Bab 2
"Tapi Ma, aku sangat mencintai Alifa. Aku nggak bisa kehilangan Alifa...." "Dia itu hanya seorang pelacur. Masa iya kamu mau berbagi istri dengan laki-laki lain? Mikir, Keenan!" Kali ini kembali mbak Rosa yang bersuara. "Kamu itu masih muda, masih banyak perempuan yang mau sama kamu. Lagi pula kalian juga tidak punya anak. Siapa tahu aja jika kamu menikah dengan perempuan lain, kamu bisa punya anak," bujuk mbak Yuna pula. "Aku nggak peduli, Mbak. Aku nggak peduli apakah Alifa bisa melahirkan keturunanku atau tidak. Aku mencintai Alifa!" Pria itu memekik setelah ia berhasil membuat sang ibu kembali berdiri. "Tapi kamu itu anak laki-laki. Kamu perlu seorang pewaris. Siapa yang akan mewarisi perusahaanmu kecuali anakmu nanti? Memangnya kamu mau, perusahaanmu diberikan kepada keponakanmu?" ucap mbak Rosa seolah-olah ia sangat memihak kepada mas Keenan, meskipun aku tahu benar jika selama ini mbak Rosa dan keluarganya hidup bergantung kepada kami. Untung saja mas Keenan adalah seorang pengusaha, jadi ia masih mampu membiayai empat rumah tangga sekaligus. Mama, mbak Rossa, mbak Yuna, dan rumah tangga kami. Arrrghhh... Pria itu langsung histeris saat melihat sang ibunda tiba-tiba menyambar sebuah pisau yang terletak di atas lemari pajangan. Dia langsung menangkap tangan sang ibu yang bermaksud mengiris pergelangan tangannya sendiri. "Apa yang Mama lakukan? Jangan bodoh, Ma!" "Lebih baik Mama mati sekarang daripada Mama mati pelan-pelan lantaran tersiksa karena melihat kamu yang begitu bodoh beristrikan seorang pelacur!" Perempuan tua itu balas berteriak. Namun kulihat dia begitu pasrah saat mas Keenan mengambil pisau itu dari tangannya. "Talak Alifa sekarang juga. Cepat!" teriak mbak Rosa dan mbak Yuna bersamaan, lalu kedua perempuan itu menarik tubuh ibunya setelah sang ibu terbebas dari pisau yang membahayakannya barusan. Aku tahu, mas Keenan bisa mengabaikan apapun dan memilih tidak percaya dengan barang bukti yang disodorkan oleh kedua kakak perempuannya dan Eliana, tapi tidak dengan ibunya. Kelemahan mas Keenan adalah ibunya, dan pria itu adalah lelaki satu-satunya di dalam keluarga inti mereka. Anak lelaki adalah milik ibunya selamanya. Itu yang selalu ditanamkan oleh ibunya kepada mas Keenan, sehingga pria itupun tunduk dengan kemauan mereka. Akhirnya talak itu pun jatuh. Namun tidak cukup sampai di situ. Ibu mertuaku tidak membiarkan aku hidup enak setelah bercerai dari mas Keenan. Dia memaksa mas Keenan untuk mengambil semua fasilitas yang telah diberikan kepadaku. Pria itu menjadi gelap mata. Dia sangat emosi, frustasi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia malah memilih membakar semua barang-barang yang pernah kumiliki, termasuk barang-barang yang sangat penting, ijazah, kartu tanda pengenal, dan semua benda penting dan berharga yang kumiliki. Aku keluar dari rumah mas Keenan hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Tersaruk-saruk melangkah, lalu berhenti di sebuah masjid, menunaikan shalat zuhur dan menangis di dalam doaku. Aku terus menangis sampai kurasakan dan menyadari jika sudah tak ada lagi yang perlu ditangisi. Buat apa? Saat ini mereka pasti tengah merayakan kemenangan karena berhasil memisahkan kami. Tanganku seketika mengepal ke depan. Akhirnya aku bangkit, melepaskan mukena dan segera keluar dari masjid, melanjutkan perjalananku menuju pasar terdekat. Aku harus segera melanjutkan hidup. Satu-satunya keahlian yang mungkin bisa membantuku bertahan hidup hanyalah berjualan. Aku mendekati sebuah toko perlengkapan bayi yang terlihat sepi, lalu mencoba berbicara dengan pemiliknya. "Kamu lihat sendiri, toko ini sepi, Nak. Apa kamu mau jika nantinya pendapatan kamu dihitung hanya berdasarkan komisi? Terus terang Ibu tidak sanggup untuk menggajimu, karena omset penjualan belakangan ini sangat sedikit," ucap perempuan paruh baya itu. Perempuan bernama Sabrina itu menatapku sembari mengerutkan kening. Mungkin dia merasa iba dan ingin menolong, tapi melihat kondisi tokonya yang sepi membuatnya harus berpikir ulang. "Tidak apa-apa, Bu. Sebagai percobaan, saya minta waktu seminggu untuk berjualan dan membantu ibu di sini. Gratis kok, Bu. Ibu hanya cukup bayar komisi dari setiap barang yang terjual. Cuma itu saja. Paling-paling nanti Ibu menyediakan saya segelas teh dan sepotong kue untuk makan saya," bujukku. Tuntutan perut yang sudah keroncongan meminta untuk segera di isi membuat cara berbicaraku lebih mirip seorang pengemis. "Kalau cuma sekedar makan dan minum, Ibu nggak akan keberatan. Baiklah, Alifa. Kamu boleh ikut kerja bantu ibu berjualan mulai hari ini." Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Sepertinya memang sudah jalannya. Baru tiga hari aku mulai berjualan, tetapi pembeli sudah berdatangan, bahkan aku berhasil menjual ratusan barang setiap harinya. Itu yang membuatku akhirnya diterima sebagai karyawan tetap dan mendapatkan gaji mingguan, di samping uang komisi dari setiap barang yang terjual. *** Suara berisik yang berada di dekatku membuatku kembali membuka mata. Aku tidak tahu entah berapa menit aku melamun, tapi yang jelas hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu di sekitaran bangunan itu sudah dinyalakan, memaksaku untuk segera bangkit dan keluar dari area rumah sakit. Aku berjalan pelan sembari menahan rasa pusing. Untungnya toko tempatku mengais rezeki dan juga tempat tinggalku itu cukup dekat dengan rumah sakit, sehingga aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki. Mungkin lantaran kasihan, ibu Sabrina membiarkanku menempati sebuah ruangan kosong yang berada di belakang tokonya. Ruangan yang semula berfungsi sebagai gudang itu akhirnya disulap menjadi tempat tinggalku. Tidak apa-apa, yang penting ada tempat bernaung. Aku juga bersyukur karena masih bisa makan meski seadanya. "Ayo semangat, Sayang. Kamu bantu Mama jualan ya, biar dapat komisi yang banyak. Biar Mama bisa beli susu hamil...." Aku mengusap perutku berkali-kali saat perutku kembali bergejolak pagi ini. Rasanya ingin istirahat saja, tapi tidak mungkin. Aku butuh uang yang banyak untuk persiapan kelahiran anakku nanti. Kalau aku tidak bekerja, lalu bagaimana dengan nasibku? Aku hanya sendirian di dunia ini. Tidak punya orang tua bahkan sanak keluarga pun juga sudah tidak peduli padaku semenjak orang tuaku meninggal. Tidak seorangpun yang bisa kumintai bantuan. Aku bersyukur bertemu dengan ibu Sabrina yang mau mempekerjakanku dan memberikan tumpangan tempat tinggal. "Wajahmu pucat sekali. Kamu kenapa, Nak?" tegurnya saat kami makan siang. Rupanya ia baru menyadari perubahan di wajahku karena sejak tadi aku sibuk melayani pembeli yang nyaris tiada henti berdatangan. "Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit lelah, karena banyak sekali pembeli yang datang," kilahku. "Tapi kamu terlihat sedang menahan sakit. Bagaimana kalau kamu istirahat saja? Biar Ibu yang handle pembeli sore ini," tawar ibu Sabrina. "Nggak usah, Bu. Aku masih kuat kok. Lagi pula nanti malam bisa istirahat puas-puas." Perempuan itu menggeleng, meski terlihat tak percaya dengan penjelasanku. Namun nyatanya ia membiarkanku terus berjualan sampai waktu tutup toko. Tidak boleh ada yang tahu kehamilanku, termasuk ibu Sabrina. Aku berusaha menutupi kehamilanku, karena takut wanita itu tidak lagi mau mempekerjakanku lantaran sedang hamil. Kalau aku tidak bekerja, lalu bagaimana dengan biaya persalinanku nanti? Bahkan sejak hari itu, aku tidak pernah lagi konsultasi kehamilan dengan dokter Aariz. Biaya USG sebesar 250.000 itu cukup mahal untukku, belum termasuk vitamin dan obat-obatan yang nanti harus ditebus. Aku berpikir berulang kali untuk mendatangi rumah sakit itu. Lebih baik uangnya ditabung untuk persiapan biaya persalinan. Untuk periksa kehamilan, aku mendatangi bidan di puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan secara gratis. Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Kehamilanku tidak ada masalah. Aku hanya mengalami mual dan pusing saat trimester pertama. Setelah itu badanku kembali fit, walaupun terkadang aku tidak selalu bisa minum susu hamil lantaran tidak ada uang lebih untuk membelinya. Aku menutupi perutku dengan gamis longgar yang memang selalu menjadi pakaian harianku sehingga perut besarku tidak begitu kentara terlihat. Sampai akhirnya.... Aku mengalami pendarahan disaat baru saja bangun tidur. "Darah...?! Banyak sekali." Tubuhku seketika gemetar menyaksikan sprei yang basah oleh cairan merah yang mengalir dari selangkanganku. Meskipun perutku tidak merasakan sakit, tapi aku tahu, ini adalah tanda bahaya. Aku bergegas mengambil pembalut dan memasangnya, lalu bersiap-siap menuju rumah sakit. Tak ada seorangpun yang menolong untuk bersiap-siap. Aku menyeret tas besarku sendirian, dan berjalan keluar dari bagian belakang toko ini. Rasa cemas, takut dan bingung bercampur menjadi satu. Satu-satunya tempat yang ada di otakku hanyalah rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina yang memang berjarak paling dekat dengan toko ini. Saking kalutnya, aku bahkan sampai lupa menyadari jika rumah sakit milik dokter Aariz itu tidak memberikan pelayanan kepada pasien BPJS.Bab 3 Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah
Bab 4 Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang?Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis. "Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku. Kenapa takdir begitu kejam? Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja? Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil ny
Bab 5Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias."Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung."Ah iya, saya
Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar
Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha
Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara
Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere
Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci
Bab 140Keenan tahu, orang yang dimaksud oleh dokter Aariz itu adalah Eliana, dan dokter Aariz juga memberi tindakan operasi caesar kepada Eliana atas paksaannya, karena pria itu tidak mau terlalu lama mendengarkan umpatan kesakitan dari mantan istrinya itu.Pria itu mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh dokter Aariz. Obrolan mereka sangat jelas terdengar. Namun Keenan sengaja tidak mau turut campur. Tidak ada urusan dengannya. Lagi pula sepertinya Alifa memang hanya menginginkan bertemu dengan Donita.Terlihat jelas dari sikap dokter Aariz bahwa dia begitu posesif. Dia dan dokter Aariz sama-sama laki-laki dan tentu tahu bagaimana caranya agar pasangan tidak lagi berhubungan dengan mantan. Jelas sekali bahwa pria itu tidak menginginkan Alifa berhubungan kembali dengan mantan suaminya, walaupun hanya sebatas berteman."Apa aku terlihat menyedihkan?" Pria itu memutar bola matanya malas sembari berjalan mendekat setelah sepasang suami istri itu meninggalkan ruangan perawatan
Bab 139"Sepanjang kondisi kamu masih memungkinkan, Mas pasti mengizinkan." Aku berbaring dengan posisi miring menghadapnya. Pandangan kami beradu, aku mencoba menyelami apa yang ada di dalam pikirannya.Barusan ia bilang jika Donita sudah melahirkan, dan aku spontan mengemukakan keinginan untuk menjenguk Donita di rumah sakit, lagi pula itu adalah rumah sakit milik suamiku sendiri, seharusnya kan tidak masalah."Tapi ingat kamu nggak boleh mual-mual atau menunjukkan ekspresi yang mencurigakan, karena kita harus menyembunyikan kehamilan kamu," ujarnya lagi."Sampai saat ini aku masih tidak mengerti apa alasan Mas menyembunyikan semuanya.""Kelak kamu pasti akan mengerti jika usia kandunganmu sudah memasuki trimester ketiga.""Mas menyembunyikan sesuatu dariku," rajukku."Ini untuk kebaikanmu dan keluarga kita, jangan sampai kamu kenapa-kenapa." Pria itu melingkarkan tangan di pinggangku dan wajah kami pun terpadu. Dia mencium keningku lalu berlanjut ke pipi.Aku mendengus. "Mas selal
Bab 138Pria itu tidak berbohong. Aariz menjamin jika Donita bisa melahirkan secara normal.Dan benar saja. Begitu pembukaan sudah lengkap, pria itu memberi instruksi Donita untuk segera mengejan Seorang bayi laki-laki lahir, dan suara tangis pertamanya memenuhi seisi ruangan persalinan, membuat Keenan seketika mengucap syukur. Lantaran Donita menggunakan metode ELA, jadi dia bisa lebih fokus dan tenang untuk mengejan. Dan hasilnya, perempuan itu hanya menerima dua bonus jahitan saja.Luar biasa, bukan?"Selamat ya Donita. Tuh, bisa kan lahiran normal?" Pria itu mengacungkan jempol setelah dokter anak mengambil alih bayi itu untuk diobservasi."Perjuangan yang luar biasa. Untung dokternya sabar." Perempuan itu menanggapi sambil tersenyum. Saat digigit pun, Donita tetap tenang karena rasanya memang tidak terlalu sakit, beda sekali jika menjahit. jalan lahir tanpa bius sama sekali.Itu karena kamu bersedia untuk berjuang. Kalau pasien nggak mau diajak berjuang dan maunya minta SC, ya
Bab 137Keenan menatap nanar pria yang sudah menghilang di balik ruangan tempat ia duduk. Sekarang sepertinya pria itu menuju ruangan operasi, karena barusan dia mendengar Nia memberitahu jika akan ada tindakan untuk salah satu pasien. Pria itu menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Lamat-lamat dia masih mendengar suara Donita yang merintih. Ada rasa tidak tega, tapi bagaimanapun dia harus mematuhi anjuran dokter. Aariz itu terkenal jujur dalam memberi rekomendasi. Banyak dokter yang cenderung merekomendasikan untuk operasi caesar, karena ingin pekerjaannya cepat selesai, apalagi bagi pasien yang menggunakan layanan pembayaran melalui BPJS. Keenan pernah mendengar rumor yang berkembang di dunia kesehatan. Konon BPJS hanya bersedia untuk membayar tindakan terakhir, jadi tindakan sebelumnya seperti induksi dan lain-lain tidak dihitung, sehingga para dokter cenderung lebih merekomendasikan operasi caesar apabila pasien mengalami sedikit kesulitan dalam proses persalinan normal. Padahal sebe
Bab 136"Dok, satu jam lalu masuk satu pasien atas nama Donita. Dia baru pembukaan satu sejak mulas pertama kali tadi malam. Dokter Amel menyarankan untuk induksi, tapi pasien itu tidak mau," lapor Nia saat Aariz baru saja menjejakkan kakinya di pelataran rumah sakit."Baiklah, kita akan memeriksanya." Pria itu segera berbelok ke arah samping, di mana ruangan IGD berada. Dia memasuki ruangan dengan langkah-langkah lebarnya. Suara rintihan terdengar. Hal yang biasa ia dengar jika masuk ke ruangan seperti ini."Loh, Donita." Pria itu sangat terkejut. Tentu dia mengenali perempuan itu, karena mereka pernah beberapa kali ketemu saat kontrol kehamilan."Dok, sakit," rintih Donita. Dia menggeliat. Pinggangnya sudah sangat pegal. Sesekali gelombang kontraksi menderanya, gelombang yang semakin lama semakin sering dan itu yang membuat Donita semalaman tidak bisa tidur. Dia mengantuk, tapi tidak bisa tidur. Fisiknya pun terasa mulai melemah.Sebenarnya sudah sejak sore kemarin dia merasakan hal
Bab 135Pria itu tidak menjawab. Dia memilih untuk membelai rambut istrinya, lalu mengusap wajah itu, dan mengatupkan kedua mata Alifa. "Tidurlah. Kamu pasti lelah.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas," ucap Alifa. Rupanya dia masih belum juga memejamkan mata."Kamu akan tahu jawabannya nanti, jadi untuk sekarang tolong patuhi perintahku. Kamu nggak boleh kasih tahu kepada siapapun soal kehamilan kamu, meski itu orang terdekat kita sekalipun.""Aku akan mentaati suamiku sejauh itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan rasul-nya...." "Bagus, istri solehah." Pria itu tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya, dan mengecup kening perempuan itu. "Sekarang kamu tidur ya, semoga besok nggak mual-mual lagi."Perempuan itu mengangguk. Dia mulai memejamkan mata.Aariz tersenyum senang. Sebenarnya istrinya ini penurut dan sangat baik. Hanya saja sampai saat ini dia baru sebatas melakukan segala hal untuk menjadikan dirinya sebagai suami yang layak untuk Alifa, perempuan yang dipilihkan
Bab 134Baru saja perut kenyang lantaran makan martabak dan juga makan malam dengan menu yang sangat enak di posko tadi, tapi kini semuanya termuntahkan, sehingga perutku kembali kosong. Aku memandangi sisa-sisa muntahanku yang tengah coba kuhilangkan dengan guyuran air yang terus mengalir dari kran di atas wastafel kamar mandi. Sementara suamiku yang rupanya menyusulku ke kamar mandi tengah memijat-mijat punggungku."Sayang, kamu kenapa? Lagi masuk angin, atau asam lambung kamu yang kumat?""Aku nggak tahu, Mas," jawabku setelah menutup kembali kran di tempat cuci tangan dan muka di kamar mandi setelah memastikan semua isi muntahanku bersih.Tubuhku gemetar dengan kepala yang berkunang-kunang. Mas Aariz memapahku kembali ke ranjang, lalu menyandarkan tubuh ini di kepala ranjang dengan beberapa bantal sebagai penyangga."Sepertinya kamu salah makan deh. Tadi kan kamu menghirup banyak kuah asam yang buat martabak itu. Kayaknya nikmat sekali." Dia mengingatkan."Memang enak, Mas. Rasan
Bab 133"Saya bahkan bisa saja meminta kepada suami saya untuk menarik dukungannya terhadap suami Ibu," tekanku tanpa mengeraskan suara."Dan saya pastikan karir Aariz tamat sebagai dokter kandungan di rumah sakit umum," balas perempuan paruh baya itu."Oh ya?" Bukannya takut, tapi aku malah kembali tersenyum. "Apa saya tidak salah dengar? Bukankah kalian sengaja memasukkan Mas Aariz sebagai salah satu anggota tim sukses agar suami saya ini tidak melanjutkan niatnya untuk mengundurkan diri dari rumah sakit umum?" Tidak prakteknya suamiku di rumah sakit umum pasti akan berdampak cukup besar, karena kebanyakan pasien memang selalu ingin ditangani oleh dokter senior, walaupun mereka menggunakan pembiayaan dari BPJS sekalipun."Jaga bicara kamu ya!""Saya pikir malah bagus, karena kalau suami saya tidak lagi praktek di rumah sakit umum, maka calon pasien dipastikan akan langsung ke RSIA Hermina. Jadi rumah sakit milik sendiri pasti akan lebih maju....""Tutup mulutmu! Tahu apa kamu tenta
Bab 132"Jadi dulunya Mbak Alifa ini kuliahnya apa?""Akuntansi, Dok, karena saya suka hitung-hitungan.""Wah... Emangnya nggak tertarik dengan kedokteran?" Perempuan itu menaikkan alisnya."Kebetulan Alifa ini dulunya suka sama itung-itungan, dan dia kuliah lewat jalur beasiswa." Pria itu menerangkan tanpa melepas genggaman tangannya padaku. Di atas meja hadapan kami sudah ada beberapa macam hidangan yang siap untuk kami santap. Namun tampaknya dokter Hera masih penasaran denganku. Dia tetap mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya."Oh, ya? Apakah lewat jalur prestasi atau beasiswa yang buat anak yang nggak mampu?""Jalur prestasi, Hera. Alifa ini pintar dan dia berhasil kuliah di bidang yang ia sukai. Lulus kuliah, Alifa sempat bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan, tapi kemudian resign karena dia menikah.""Loh, katanya kan Mbak Alifa ini ibu susu anaknya dokter. Emangnya kapan dia bekerja sebagai akuntan?""Tepatnya sebelum menikah dengan suami pertamanya. Setelah menik