Share

Pendarahan

Penulis: Jannah Zein
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-02 18:27:19

Bab 2

"Tapi Ma, aku sangat mencintai Alifa. Aku nggak bisa kehilangan Alifa...."

"Dia itu hanya seorang pelacur. Masa iya kamu mau berbagi istri dengan laki-laki lain? Mikir, Keenan!" Kali ini kembali mbak Rosa yang bersuara.

"Kamu itu masih muda, masih banyak perempuan yang mau sama kamu. Lagi pula kalian juga tidak punya anak. Siapa tahu aja jika kamu menikah dengan perempuan lain, kamu bisa punya anak," bujuk mbak Yuna pula.

"Aku nggak peduli, Mbak. Aku nggak peduli apakah Alifa bisa melahirkan keturunanku atau tidak. Aku mencintai Alifa!" Pria itu memekik setelah ia berhasil membuat sang ibu kembali berdiri.

"Tapi kamu itu anak laki-laki. Kamu perlu seorang pewaris. Siapa yang akan mewarisi perusahaanmu kecuali anakmu nanti? Memangnya kamu mau, perusahaanmu diberikan kepada keponakanmu?" ucap mbak Rosa seolah-olah ia sangat memihak kepada mas Keenan, meskipun aku tahu benar jika selama ini mbak Rosa dan keluarganya hidup bergantung kepada kami. Untung saja mas Keenan adalah seorang pengusaha, jadi ia masih mampu membiayai empat rumah tangga sekaligus. Mama, mbak Rossa, mbak Yuna, dan rumah tangga kami.

Arrrghhh...

Pria itu langsung histeris saat melihat sang ibunda tiba-tiba menyambar sebuah pisau yang terletak di atas lemari pajangan. Dia langsung menangkap tangan sang ibu yang bermaksud mengiris pergelangan tangannya sendiri.

"Apa yang Mama lakukan? Jangan bodoh, Ma!"

"Lebih baik Mama mati sekarang daripada Mama mati pelan-pelan lantaran tersiksa karena melihat kamu yang begitu bodoh beristrikan seorang pelacur!" Perempuan tua itu balas berteriak. Namun kulihat dia begitu pasrah saat mas Keenan mengambil pisau itu dari tangannya.

"Talak Alifa sekarang juga. Cepat!" teriak mbak Rosa dan mbak Yuna bersamaan, lalu kedua perempuan itu menarik tubuh ibunya setelah sang ibu terbebas dari pisau yang membahayakannya barusan.

Aku tahu, mas Keenan bisa mengabaikan apapun dan memilih tidak percaya dengan barang bukti yang disodorkan oleh kedua kakak perempuannya dan Eliana, tapi tidak dengan ibunya.

Kelemahan mas Keenan adalah ibunya, dan pria itu adalah lelaki satu-satunya di dalam keluarga inti mereka.

Anak lelaki adalah milik ibunya selamanya. Itu yang selalu ditanamkan oleh ibunya kepada mas Keenan, sehingga pria itupun tunduk dengan kemauan mereka.

Akhirnya talak itu pun jatuh.

Namun tidak cukup sampai di situ.

Ibu mertuaku tidak membiarkan aku hidup enak setelah bercerai dari mas Keenan. Dia memaksa mas Keenan untuk mengambil semua fasilitas yang telah diberikan kepadaku.

Pria itu menjadi gelap mata. Dia sangat emosi, frustasi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia malah memilih membakar semua barang-barang yang pernah kumiliki, termasuk barang-barang yang sangat penting, ijazah, kartu tanda pengenal, dan semua benda penting dan berharga yang kumiliki.

Aku keluar dari rumah mas Keenan hanya dengan pakaian yang melekat di badan.

Tersaruk-saruk melangkah, lalu berhenti di sebuah masjid, menunaikan shalat zuhur dan menangis di dalam doaku. Aku terus menangis sampai kurasakan dan menyadari jika sudah tak ada lagi yang perlu ditangisi.

Buat apa?

Saat ini mereka pasti tengah merayakan kemenangan karena berhasil memisahkan kami.

Tanganku seketika mengepal ke depan.

Akhirnya aku bangkit, melepaskan mukena dan segera keluar dari masjid, melanjutkan perjalananku menuju pasar terdekat.

Aku harus segera melanjutkan hidup.

Satu-satunya keahlian yang mungkin bisa membantuku bertahan hidup hanyalah berjualan. Aku mendekati sebuah toko perlengkapan bayi yang terlihat sepi, lalu mencoba berbicara dengan pemiliknya.

"Kamu lihat sendiri, toko ini sepi, Nak. Apa kamu mau jika nantinya pendapatan kamu dihitung hanya berdasarkan komisi? Terus terang Ibu tidak sanggup untuk menggajimu, karena omset penjualan belakangan ini sangat sedikit," ucap perempuan paruh baya itu.

Perempuan bernama Sabrina itu menatapku sembari mengerutkan kening. Mungkin dia merasa iba dan ingin menolong, tapi melihat kondisi tokonya yang sepi membuatnya harus berpikir ulang.

"Tidak apa-apa, Bu. Sebagai percobaan, saya minta waktu seminggu untuk berjualan dan membantu ibu di sini. Gratis kok, Bu. Ibu hanya cukup bayar komisi dari setiap barang yang terjual. Cuma itu saja. Paling-paling nanti Ibu menyediakan saya segelas teh dan sepotong kue untuk makan saya," bujukku.

Tuntutan perut yang sudah keroncongan meminta untuk segera di isi membuat cara berbicaraku lebih mirip seorang pengemis.

"Kalau cuma sekedar makan dan minum, Ibu nggak akan keberatan. Baiklah, Alifa. Kamu boleh ikut kerja bantu ibu berjualan mulai hari ini."

Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan.

Sepertinya memang sudah jalannya. Baru tiga hari aku mulai berjualan, tetapi pembeli sudah berdatangan, bahkan aku berhasil menjual ratusan barang setiap harinya. Itu yang membuatku akhirnya diterima sebagai karyawan tetap dan mendapatkan gaji mingguan, di samping uang komisi dari setiap barang yang terjual.

***

Suara berisik yang berada di dekatku membuatku kembali membuka mata.

Aku tidak tahu entah berapa menit aku melamun, tapi yang jelas hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu di sekitaran bangunan itu sudah dinyalakan, memaksaku untuk segera bangkit dan keluar dari area rumah sakit.

Aku berjalan pelan sembari menahan rasa pusing. Untungnya toko tempatku mengais rezeki dan juga tempat tinggalku itu cukup dekat dengan rumah sakit, sehingga aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki.

Mungkin lantaran kasihan, ibu Sabrina membiarkanku menempati sebuah ruangan kosong yang berada di belakang tokonya. Ruangan yang semula berfungsi sebagai gudang itu akhirnya disulap menjadi tempat tinggalku.

Tidak apa-apa, yang penting ada tempat bernaung. Aku juga bersyukur karena masih bisa makan meski seadanya.

"Ayo semangat, Sayang. Kamu bantu Mama jualan ya, biar dapat komisi yang banyak. Biar Mama bisa beli susu hamil...." Aku mengusap perutku berkali-kali saat perutku kembali bergejolak pagi ini.

Rasanya ingin istirahat saja, tapi tidak mungkin.

Aku butuh uang yang banyak untuk persiapan kelahiran anakku nanti. Kalau aku tidak bekerja, lalu bagaimana dengan nasibku?

Aku hanya sendirian di dunia ini. Tidak punya orang tua bahkan sanak keluarga pun juga sudah tidak peduli padaku semenjak orang tuaku meninggal. Tidak seorangpun yang bisa kumintai bantuan. Aku bersyukur bertemu dengan ibu Sabrina yang mau mempekerjakanku dan memberikan tumpangan tempat tinggal.

"Wajahmu pucat sekali. Kamu kenapa, Nak?" tegurnya saat kami makan siang. Rupanya ia baru menyadari perubahan di wajahku karena sejak tadi aku sibuk melayani pembeli yang nyaris tiada henti berdatangan.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit lelah, karena banyak sekali pembeli yang datang," kilahku.

"Tapi kamu terlihat sedang menahan sakit. Bagaimana kalau kamu istirahat saja? Biar Ibu yang handle pembeli sore ini," tawar ibu Sabrina.

"Nggak usah, Bu. Aku masih kuat kok. Lagi pula nanti malam bisa istirahat puas-puas."

Perempuan itu menggeleng, meski terlihat tak percaya dengan penjelasanku. Namun nyatanya ia membiarkanku terus berjualan sampai waktu tutup toko.

Tidak boleh ada yang tahu kehamilanku, termasuk ibu Sabrina. Aku berusaha menutupi kehamilanku, karena takut wanita itu tidak lagi mau mempekerjakanku lantaran sedang hamil.

Kalau aku tidak bekerja, lalu bagaimana dengan biaya persalinanku nanti?

Bahkan sejak hari itu, aku tidak pernah lagi konsultasi kehamilan dengan dokter Aariz. Biaya USG sebesar 250.000 itu cukup mahal untukku, belum termasuk vitamin dan obat-obatan yang nanti harus ditebus. Aku berpikir berulang kali untuk mendatangi rumah sakit itu. Lebih baik uangnya ditabung untuk persiapan biaya persalinan.

Untuk periksa kehamilan, aku mendatangi bidan di puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan secara gratis.

Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Kehamilanku tidak ada masalah. Aku hanya mengalami mual dan pusing saat trimester pertama. Setelah itu badanku kembali fit, walaupun terkadang aku tidak selalu bisa minum susu hamil lantaran tidak ada uang lebih untuk membelinya. Aku menutupi perutku dengan gamis longgar yang memang selalu menjadi pakaian harianku sehingga perut besarku tidak begitu kentara terlihat.

Sampai akhirnya....

Aku mengalami pendarahan disaat baru saja bangun tidur.

"Darah...?! Banyak sekali." Tubuhku seketika gemetar menyaksikan sprei yang basah oleh cairan merah yang mengalir dari selangkanganku.

Meskipun perutku tidak merasakan sakit, tapi aku tahu, ini adalah tanda bahaya.

Aku bergegas mengambil pembalut dan memasangnya, lalu bersiap-siap menuju rumah sakit.

Tak ada seorangpun yang menolong untuk bersiap-siap. Aku menyeret tas besarku sendirian, dan berjalan keluar dari bagian belakang toko ini.

Rasa cemas, takut dan bingung bercampur menjadi satu. Satu-satunya tempat yang ada di otakku hanyalah rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina yang memang berjarak paling dekat dengan toko ini.

Saking kalutnya, aku bahkan sampai lupa menyadari jika rumah sakit milik dokter Aariz itu tidak memberikan pelayanan kepada pasien BPJS.

Bab terkait

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Senyum Bahagia

    Bab 3 Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Kenapa Takdir Begitu Kejam?

    Bab 4 Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang?Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis. "Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku. Kenapa takdir begitu kejam? Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja? Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil ny

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Tawaran Menjadi Ibu Susu

    Bab 5Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias."Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung."Ah iya, saya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-08
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Hadiah Kecil

    Bab 6"Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku."Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang.Buat apa tersinggung?Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan."Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak."Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya."Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu."Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, karena sesaat menjel

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Mengingat Alifa

    Bab 7Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini.Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman.Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu hanya tersenyum get

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Kelemahan Keenan

    Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Kita Sudah Selesai

    Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Maafkan Saya, Dok

    Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11

Bab terbaru

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Menolak Menyusui

    Bab 21Aku mulai mengeluarkan perlengkapan bayi milik Zaid dari dalam lemari. Baju, celana, bedongan, gendongan, kasur bayi, bantal, guling, beberapa kaos kaki dan topi. Ada pula perlengkapan mandi dan perawatan bayi. Semuanya lengkap, tidak kurang suatu apapun, meskipun barang-barang itu berasal dari merk yang harganya murah.Keterbatasan ekonomi membuatku berpikir ulang untuk menyiapkan perlengkapan bayi dengan budget wow, meskipun sebagai seorang ibu aku menginginkan yang terbaik. Itu pun aku harus mencicilnya sedikit demi sedikit dari toko ibu Sabrina."Bener juga, sebaiknya disumbangkan saja, daripada mubazir," ucapku dalam hati. Jika ke depannya aku menikah kemudian punya anak lagi, aku bisa membelinya lagi. Namun fokusku sekarang bukan soal itu. Aku harus menjalankan peranku sebagai ibu susu bayi dokter Aariz ini, dan nanti akan bekerja di perusahaannya seperti yang ia janjikan.Tak sepatutnya aku memikirkan soal jodoh. Aku pun masih trauma dengan yang namanya pernikahan. Pria

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Gajian

    Bab 20Sejenak aku tertegun. Pria itu bergerak begitu lihai, tak terlihat canggung sama sekali.Hebat!Sungguh tak bisa dipercaya jika dokter Aariz bisa melakukan pekerjaan dapur. Ini kejutan. Selama ini aku berpikir jika dokter Aariz hanya piawai memainkan pisau bedah saja.Aku memilih menumis ati ampela lebih dulu, kemudian membuat nasi goreng. Untung saja bumbu-bumbunya sudah aku persiapkan, karena itu adalah bumbu jadi, tapi buatanku sendiri. Bumbu basah yang biasa menjadi andalanku ketika ingin memasak lebih cepat yang stoknya selalu tersedia di kulkas."Harum sekali," komentar dokter Aariz. Terlihat sekali ia sangat puas dengan hasil masakanku."Terima kasih sudah bantu saya memasak. Nggak nyangka ternyata dokter Aariz bisa memasak. Kirain hanya bisa memainkan pisau bedah saja." Aku terkekeh.Pria itu pun seketika tergelak. "Cuma mengiris ati ampela saja, Ifa. Kamu terlalu melebih-lebihkan.""Itu juga sangat membantu, Dok." Aku segera menyiapkan piranti makan dan mengisi piring

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bisakah Kita Berteman?

    Bab 19Gibran masih asyik menyusu tatkala suara bel di depan berbunyi. Matanya yang baru saja terpejam membuatku terpaksa melepas puting payudaraku dari mulut mungil itu, lalu mengangkat tubuhnya dengan hati-hati, merebahkannya di kasur, di samping Naira.Sembari memberi kode kedipan mata dengan baby sister itu, aku perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan. Terhitung sudah dua kali bel berbunyi. Aku mengintip melalui kaca kecil yang berada di tengah pintu."Dokter Aariz?" gumamku. Aku segera menekan tombol dan akhirnya pintu pun terbuka.Seketika aku menaikkan alis, menyadari penampilan pria yang bertubuh tinggi besar itu. Hari memang sudah malam dan penampilan pria itu tidak terlihat seperti orang yang baru datang dari rumah sakit."Apakah Gibran sudah tidur?" tanya pria itu."Iya Dok, dia di kamar bersama dengan Naira," jawabku.Pria itu mengangguk. Aku pikir dia akan langsung masuk ke dalam kamar, tapi ternyata dia malah duduk di sofa dan menepuk-nepuk tempat duduk

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Tak Semudah Itu, Keenan

    Bab 18Keenan terus melangkah sembari menekan dadanya. Sungguh sesak rasanya membayangkan Alifa berada dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain."Kurang apa aku selama ini, Sayang? Mengapa kamu lakukan itu? Kenapa kamu tak pernah kembali dan menyadari kesalahanmu, sampai akhirnya aku terpaksa menikahi Eliana dan mendapatkan anak darinya?" Pria itu memejamkan mata sejenak setelah ia mendaratkan tubuhnya di balik kemudi.Keenan menghidupkan mesin mobil, dan mobil itu pun perlahan keluar dari pekarangan rumahnya, lalu meluncur ke jalan raya. Tak ada tujuan Keenan saat ini. Dia hanya ingin menenangkan diri.Keenan mengemudikan kendaraannya begitu lambat, sembari menatap ke depan.Perutnya sudah berdemo minta di isi. Sebenarnya ia ingin makan malam di restoran, tetapi rasanya begitu hambar jika makan sendirian. Belum apa-apa moodnya sudah rusak.Mobil terus meluncur. Dia sudah melewati beberapa restoran. Namun tak ada satupun yang menarik perhatian untuk disinggahinya.Sa

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Jangan Komplain!

    Bab 17Selesai mengazankan putrinya, Keenan kembali menyerahkan kepada perawat yang langsung membawanya kembali ke ruang bayi baru lahir.Pria itu menghela nafas. Dia mengarahkan pandangannya ke depan. Sosok perempuan tua yang tak lain adalah ibunya itu muncul, tengah berjalan mendekatinya."Bagaimana keadaan Eliana?" tanyanya dengan nafas terengah-engah. Berjalan dari lokasi parkir ke tempat putranya sekarang berada membuatnya sedikit merasa lelah."Masih di ruang operasi, Ma," jawab Keenan."Operasi?!" Perempuan tua itu langsung membulatkan matanya. "Memangnya kenapa sih harus operasi? Ada masalah apa?""Dia yang minta, Ma. Katanya udah nggak kuat menahan sakit," ujarnya datar. Keenan merasa tidak perlu menutupi keadaan yang sebenarnya. Bukankah Eliana itu menantu kesayangan ibunya?"Mana ada proses melahirkan yang nggak sakit, Keenan?" cetusnya kesal. "Istrimu itu memang manja!""Itu istri pilihan Mama loh, jadi jangan komplain!" sindir Keenan."Bedalah kalau yang melahirkan itu Al

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Hambar

    Bab 16Aku yang sedang makan langsung tersedak, buru-buru mengambil air minum dan segera menegak cairan putih itu sampai isi gelas tinggal separuh.Eliana mau melahirkan?Entah kenapa ada rasa nyeri yang menyergap di hatiku.Aku teringat mendiang anakku, Zaid, yang tidak diketahui keberadaannya oleh mas Keenan. Dan sekarang dia sudah mendapatkan gantinya. Anaknya akan segera lahir. Anak yang ia nantikan selama ini akan lahir dari rahim Eliana, istri barunya.Aku harus bilang apa sekarang? Aku juga tidak bisa bersikap apapun, bahkan mendoakan semoga semua proses persalinannya lancar pun tidak bisa. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku. Aku tidak membenci mas Keenan ataupun Eliana. Hanya saja, aku tidak bisa melupakan perlakuan mereka yang begitu kejam.Dituduh berzina, selingkuh, dikata-katai seorang pelacur, dan akhirnya diceraikan. Aku bukan cuma kehilangan suami dan harta, tapi juga nama baik dan harga diri. Aku terisolir dari lingkungan pergaulanku karena semua orang menganggapk

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Ternyata Kamu Bisa Memasak, Alifa

    Bab 15"Hebat sekali," gumamku tanpa sadar."Biasa saja. Saya hanya menyayangi para perempuan dan ingin agar mereka bisa melahirkan senyaman mungkin. Saya menginginkan setiap perempuan bisa melewati proses persalinannya senyaman liburan. Kamu sudah ngerasainnya, bukan?" Lagi-lagi pria itu tersenyum.Mimpi apa aku semalam, sehingga sore ini dokter Aariz terlihat jauh lebih ramah, padahal tidak ada Gibran di dekatku."Ya, saya merasakan pelayanan paripurna dari RSIA Hermina. Excellent." Tanpa sungkan aku mengacungkan jempol."Terima kasih atas reviewnya. Kami berusaha melayani sebaik mungkin. Jika memang ada harga yang harus dibayar, itu adalah hal yang wajar, karena ada obat yang harus dibeli, karyawan yang harus dibayar upahnya, listrik, air, dan semua keperluan yang tidak bisa diselesaikan tanpa menggunakan uang.""Tentu saja. Di balik itu, tanpa harus mengurangi tingkat keikhlasan dari tim dan dokter, kan?""Pintar kamu, Alifa." Pria itu pun membalas dengan mengacungkan jempol.Dokt

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Main Rahasia

    Bab 14Ini bukan kedekatan seorang majikan kepada pekerjanya.Ini lebih intim.Aariz melihat sendiri dari gestur tubuhnya, adiknya terlihat menyukai Alifa. Atau jangan-jangan mereka memang sudah dekat duluan sebelum Alifa melahirkan?Lalu, dimana sebenarnya Atta kenal dengan Alifa? Kapan mereka berkenalan?Ah, rasanya Atta mulai main rahasia dengannya.Memang menurutnya ini sedikit janggal. Tiba-tiba saja Atta begitu perhatian dengan anaknya, bahkan sampai rela mencarikan seorang ibu susu. Dan ibu susu pilihan Atta adalah Alifa.Iya sih, Alifa itu sehat setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan air susunya pun melimpah. Ibunya pun setuju jika Alifa menyusui Gibran.Tapi apa benar alasan Atta, jika sengaja menyuruh Alifa untuk menyusui Gibran dengan tujuan untuk menghibur perempuan itu? Jadi sebenarnya yang menjadi pusat perhatian Atta itu siapa? Alifa atau Gibran?Pria itu menghela nafas, lalu segera berjalan menuju ruang tamu."Saya berangkat dulu, Alifa. Sudah ditunggu sama Nia d

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Seperti Papa Saja Layaknya

    Bab 13Pengalaman indah?Ya, aku memang memiliki kenangan indah bersama dengan mas Keenan. Tapi itu dulu, sebelum orang-orang di dalam keluarga mas Keenan merencanakan makar untuk memisahkan kami."Aku tidak punya kriteria apapun. Yang penting dia pria yang baik. Sudah, itu saja.""Cuma itu?!" Atta tampak kaget. "Wanita secantik Mbak Alifa tidak punya kriteria tentang suami idaman?""Nggak, Mas." Aku tersenyum geli, merasa lucu dengan pertanyaan pria itu. Bukan cuma pertanyaannya, tetapi juga dengan gestur tubuhnya yang di mataku terlihat menggemaskan, mirip seorang pria yang ingin menembak seorang wanita saja. Namun aku segera menepis dugaan itu, karena tidak mungkin juga Mas Atta akan menembakku.Dibalik perhatiannya yang detil, Atta selalu bersikap sopan, menghormati, dan tidak pernah menggodaku, padahal ia tahu jika aku seorang janda.Namun pria itu balas tersenyum. Dia tak menanyakan apapun, tetapi malah bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju kamar, lalu merebahkan Gibran denga

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status