Bab 2
"Tapi Ma, aku sangat mencintai Alifa. Aku nggak bisa kehilangan Alifa...." "Dia itu hanya seorang pelacur. Masa iya kamu mau berbagi istri dengan laki-laki lain? Mikir, Keenan!" Kali ini kembali mbak Rosa yang bersuara. "Kamu itu masih muda, masih banyak perempuan yang mau sama kamu. Lagi pula kalian juga tidak punya anak. Siapa tahu aja jika kamu menikah dengan perempuan lain, kamu bisa punya anak," bujuk mbak Yuna pula. "Aku nggak peduli, Mbak. Aku nggak peduli apakah Alifa bisa melahirkan keturunanku atau tidak. Aku mencintai Alifa!" Pria itu memekik setelah ia berhasil membuat sang ibu kembali berdiri. "Tapi kamu itu anak laki-laki. Kamu perlu seorang pewaris. Siapa yang akan mewarisi perusahaanmu kecuali anakmu nanti? Memangnya kamu mau, perusahaanmu diberikan kepada keponakanmu?" ucap mbak Rosa seolah-olah ia sangat memihak kepada mas Keenan, meskipun aku tahu benar jika selama ini mbak Rosa dan keluarganya hidup bergantung kepada kami. Untung saja mas Keenan adalah seorang pengusaha, jadi ia masih mampu membiayai empat rumah tangga sekaligus. Mama, mbak Rossa, mbak Yuna, dan rumah tangga kami. Arrrghhh... Pria itu langsung histeris saat melihat sang ibunda tiba-tiba menyambar sebuah pisau yang terletak di atas lemari pajangan. Dia langsung menangkap tangan sang ibu yang bermaksud mengiris pergelangan tangannya sendiri. "Apa yang Mama lakukan? Jangan bodoh, Ma!" "Lebih baik Mama mati sekarang daripada Mama mati pelan-pelan lantaran tersiksa karena melihat kamu yang begitu bodoh beristrikan seorang pelacur!" Perempuan tua itu balas berteriak. Namun kulihat dia begitu pasrah saat mas Keenan mengambil pisau itu dari tangannya. "Talak Alifa sekarang juga. Cepat!" teriak mbak Rosa dan mbak Yuna bersamaan, lalu kedua perempuan itu menarik tubuh ibunya setelah sang ibu terbebas dari pisau yang membahayakannya barusan. Aku tahu, mas Keenan bisa mengabaikan apapun dan memilih tidak percaya dengan barang bukti yang disodorkan oleh kedua kakak perempuannya dan Eliana, tapi tidak dengan ibunya. Kelemahan mas Keenan adalah ibunya, dan pria itu adalah lelaki satu-satunya di dalam keluarga inti mereka. Anak lelaki adalah milik ibunya selamanya. Itu yang selalu ditanamkan oleh ibunya kepada mas Keenan, sehingga pria itupun tunduk dengan kemauan mereka. Akhirnya talak itu pun jatuh. Namun tidak cukup sampai di situ. Ibu mertuaku tidak membiarkan aku hidup enak setelah bercerai dari mas Keenan. Dia memaksa mas Keenan untuk mengambil semua fasilitas yang telah diberikan kepadaku. Pria itu menjadi gelap mata. Dia sangat emosi, frustasi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia malah memilih membakar semua barang-barang yang pernah kumiliki, termasuk barang-barang yang sangat penting, ijazah, kartu tanda pengenal, dan semua benda penting dan berharga yang kumiliki. Aku keluar dari rumah mas Keenan hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Tersaruk-saruk melangkah, lalu berhenti di sebuah masjid, menunaikan shalat zuhur dan menangis di dalam doaku. Aku terus menangis sampai kurasakan dan menyadari jika sudah tak ada lagi yang perlu ditangisi. Buat apa? Saat ini mereka pasti tengah merayakan kemenangan karena berhasil memisahkan kami. Tanganku seketika mengepal ke depan. Akhirnya aku bangkit, melepaskan mukena dan segera keluar dari masjid, melanjutkan perjalananku menuju pasar terdekat. Aku harus segera melanjutkan hidup. Satu-satunya keahlian yang mungkin bisa membantuku bertahan hidup hanyalah berjualan. Aku mendekati sebuah toko perlengkapan bayi yang terlihat sepi, lalu mencoba berbicara dengan pemiliknya. "Kamu lihat sendiri, toko ini sepi, Nak. Apa kamu mau jika nantinya pendapatan kamu dihitung hanya berdasarkan komisi? Terus terang Ibu tidak sanggup untuk menggajimu, karena omset penjualan belakangan ini sangat sedikit," ucap perempuan paruh baya itu. Perempuan bernama Sabrina itu menatapku sembari mengerutkan kening. Mungkin dia merasa iba dan ingin menolong, tapi melihat kondisi tokonya yang sepi membuatnya harus berpikir ulang. "Tidak apa-apa, Bu. Sebagai percobaan, saya minta waktu seminggu untuk berjualan dan membantu ibu di sini. Gratis kok, Bu. Ibu hanya cukup bayar komisi dari setiap barang yang terjual. Cuma itu saja. Paling-paling nanti Ibu menyediakan saya segelas teh dan sepotong kue untuk makan saya," bujukku. Tuntutan perut yang sudah keroncongan meminta untuk segera di isi membuat cara berbicaraku lebih mirip seorang pengemis. "Kalau cuma sekedar makan dan minum, Ibu nggak akan keberatan. Baiklah, Alifa. Kamu boleh ikut kerja bantu ibu berjualan mulai hari ini." Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Sepertinya memang sudah jalannya. Baru tiga hari aku mulai berjualan, tetapi pembeli sudah berdatangan, bahkan aku berhasil menjual ratusan barang setiap harinya. Itu yang membuatku akhirnya diterima sebagai karyawan tetap dan mendapatkan gaji mingguan, di samping uang komisi dari setiap barang yang terjual. *** Suara berisik yang berada di dekatku membuatku kembali membuka mata. Aku tidak tahu entah berapa menit aku melamun, tapi yang jelas hari sudah mulai gelap. Lampu-lampu di sekitaran bangunan itu sudah dinyalakan, memaksaku untuk segera bangkit dan keluar dari area rumah sakit. Aku berjalan pelan sembari menahan rasa pusing. Untungnya toko tempatku mengais rezeki dan juga tempat tinggalku itu cukup dekat dengan rumah sakit, sehingga aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki. Mungkin lantaran kasihan, ibu Sabrina membiarkanku menempati sebuah ruangan kosong yang berada di belakang tokonya. Ruangan yang semula berfungsi sebagai gudang itu akhirnya disulap menjadi tempat tinggalku. Tidak apa-apa, yang penting ada tempat bernaung. Aku juga bersyukur karena masih bisa makan meski seadanya. "Ayo semangat, Sayang. Kamu bantu Mama jualan ya, biar dapat komisi yang banyak. Biar Mama bisa beli susu hamil...." Aku mengusap perutku berkali-kali saat perutku kembali bergejolak pagi ini. Rasanya ingin istirahat saja, tapi tidak mungkin. Aku butuh uang yang banyak untuk persiapan kelahiran anakku nanti. Kalau aku tidak bekerja, lalu bagaimana dengan nasibku? Aku hanya sendirian di dunia ini. Tidak punya orang tua bahkan sanak keluarga pun juga sudah tidak peduli padaku semenjak orang tuaku meninggal. Tidak seorangpun yang bisa kumintai bantuan. Aku bersyukur bertemu dengan ibu Sabrina yang mau mempekerjakanku dan memberikan tumpangan tempat tinggal. "Wajahmu pucat sekali. Kamu kenapa, Nak?" tegurnya saat kami makan siang. Rupanya ia baru menyadari perubahan di wajahku karena sejak tadi aku sibuk melayani pembeli yang nyaris tiada henti berdatangan. "Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit lelah, karena banyak sekali pembeli yang datang," kilahku. "Tapi kamu terlihat sedang menahan sakit. Bagaimana kalau kamu istirahat saja? Biar Ibu yang handle pembeli sore ini," tawar ibu Sabrina. "Nggak usah, Bu. Aku masih kuat kok. Lagi pula nanti malam bisa istirahat puas-puas." Perempuan itu menggeleng, meski terlihat tak percaya dengan penjelasanku. Namun nyatanya ia membiarkanku terus berjualan sampai waktu tutup toko. Tidak boleh ada yang tahu kehamilanku, termasuk ibu Sabrina. Aku berusaha menutupi kehamilanku, karena takut wanita itu tidak lagi mau mempekerjakanku lantaran sedang hamil. Kalau aku tidak bekerja, lalu bagaimana dengan biaya persalinanku nanti? Bahkan sejak hari itu, aku tidak pernah lagi konsultasi kehamilan dengan dokter Aariz. Biaya USG sebesar 250.000 itu cukup mahal untukku, belum termasuk vitamin dan obat-obatan yang nanti harus ditebus. Aku berpikir berulang kali untuk mendatangi rumah sakit itu. Lebih baik uangnya ditabung untuk persiapan biaya persalinan. Untuk periksa kehamilan, aku mendatangi bidan di puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan secara gratis. Sejauh ini semuanya baik-baik saja. Kehamilanku tidak ada masalah. Aku hanya mengalami mual dan pusing saat trimester pertama. Setelah itu badanku kembali fit, walaupun terkadang aku tidak selalu bisa minum susu hamil lantaran tidak ada uang lebih untuk membelinya. Aku menutupi perutku dengan gamis longgar yang memang selalu menjadi pakaian harianku sehingga perut besarku tidak begitu kentara terlihat. Sampai akhirnya.... Aku mengalami pendarahan disaat baru saja bangun tidur. "Darah...?! Banyak sekali." Tubuhku seketika gemetar menyaksikan sprei yang basah oleh cairan merah yang mengalir dari selangkanganku. Meskipun perutku tidak merasakan sakit, tapi aku tahu, ini adalah tanda bahaya. Aku bergegas mengambil pembalut dan memasangnya, lalu bersiap-siap menuju rumah sakit. Tak ada seorangpun yang menolong untuk bersiap-siap. Aku menyeret tas besarku sendirian, dan berjalan keluar dari bagian belakang toko ini. Rasa cemas, takut dan bingung bercampur menjadi satu. Satu-satunya tempat yang ada di otakku hanyalah rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina yang memang berjarak paling dekat dengan toko ini. Saking kalutnya, aku bahkan sampai lupa menyadari jika rumah sakit milik dokter Aariz itu tidak memberikan pelayanan kepada pasien BPJS.Bab 3 Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah
Bab 4 Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang?Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis. "Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku. Kenapa takdir begitu kejam? Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja? Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil ny
Bab 5Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias."Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung."Ah iya, saya
Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar
Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha
Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara
Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere
Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci
Bab 162Keenan benar-benar membawa Naira keluar dari apartemen pagi ini setelah mereka selesai sarapan. Namun ternyata dia tidak membawanya langsung pulang ke rumah utama keluarga El Fata, tetapi justru jalan-jalan keliling kota dan berakhir dengan mampir di sebuah mall yang memiliki wahana permainan anak."Santai saja, Nai. Aariz dan Alifa tidak akan pulang pagi-pagi. Mereka itu pergi ke villa dan kamu tahu tempatnya di mana, bukan?" bujuk Keenan sembari mengingatkan. Dia menyadari ekspresi Naira yang muram. Dia berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin Aariz dan Alifa akan pulang cepat, mengingat lokasi villa keluarga yang terletak di desa, suatu daerah di luar kota."Aku cuma ingin cepat sampai di rumah, Mas. Aku capek.""Capek dengan tingkah Mas?" Pria itu tersenyum kecut. "Maaf ya." Namun lagi-lagi tangannya lancang mengacak rambut gadis itu. "Percayalah, Mas tidak pernah bermaksud macam-macam, melainkan hanya menuruti keinginan hati saja.""Bermain drama, ngaku-ngaku aku adalah
Bab 161"Mas akui, Mas bukan pria yang baik, tetapi tidak seberengsek seperti yang kamu duga. Hubungan Mas dengan Donita tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas sekamar dengan Donita, karena ingin menjaga perempuan itu. Dia adalah karyawan terbaik Mas. Dia itu aset perusahaan yang harus Mas jaga. Dia adalah pahlawan bagi Mas. Disaat perusahaan mengalami krisis, Donita berdiri dengan tegar bersama dengan tim kami menyelamatkan perusahaan. Menurutmu apa yang harus Mas lakukan untuk membalas jasanya?" Keenan berkata dengan suara perlahan memberi pengertian pada gadis itu. Cara bicaranya sudah seperti seorang lelaki yang memberi pengertian pada pacar yang tengah cemburu karena dia dekat dengan wanita lain."Aku nggak ada kaitannya sama hubungan Mas dengan Mbak Donita. Apa urusannya denganku?" rajuk gadis itu seraya melengos ke samping."Jelas ada urusannya dengan kamu, karena kamu mengira Mas itu kumpul kebo dengan Donita. Kamu pasti mengira Mas sedang menjalin hubungan tanpa status! Kamu s
Bab 160"Na, Ina," panggil Donita seraya mengetuk pintu.Ina membuka pintu sembari menguap lebar karena rupanya gadis itu sudah tertidur, atau mungkin dia ikut tidur bersama dengan anak asuhnya."Mbak Donita?" Rasa kantuknya tiba-tiba saja hilang. Donita menerobos masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan Arga di sisi Sherina."Aku ngungsi dulu malam ini ya. Dan mungkin malam-malam selanjutnya. Kamu keberatan nggak jika kita berbagi kamar?" todong wanita itu."Tidak." Ina tidak mengerti, namun otomatis kepalanya mengangguk. "Maksudnya apa ya, Mbak? Bukannya Mbak biasa tidur satu kamar sama Pak Keenan?""Aku rasa udah saatnya pisah kamar dari Mas Keenan. Nggak enak sama Naira, nanti dia mikirinnya yang bukan-bukan. Jangan sampai dia mengira jika Mas Keenan itu pria brengsek, yang memelihara wanita tanpa status hubungan yang jelas."Gadis itu langsung manggut-manggut mendengar penuturan Donita. "Aha... bener juga sih, Mbak. Aku aja dulu sempat bingung dengan hubungan Pak Keenan dengan m
Bab 159"Tidurlah di sini. Aku nggak masalah tidur di sofa ruang tamu." Pria itu menahan tubuh Naira dengan tangannya supaya tetap di posisinya yang tengah berbaring di samping Gibran. Balita cowok itu baru saja tertidur setelah dibacakan dongeng oleh Naira."Tapi Mas...""Udah, nggak ada tapi-tapian. Laki-laki bisa tidur di mana saja. Di sini kamu juga ditemani oleh Donita dan Arga. Semoga saja kamu nggak keberatan dengan tangisan Arga yang sering terbangun minta ASI." Pria itu tetap menekan bahu Naira dan membuat gadis itu tak berkutik."Tapi nggak enak sama Mas. Mas kan tuan rumah, masa iya tidur di sofa sih?""Justru karena tuan rumah harus memberikan yang terbaik kepada tamu, tapi kamu bukan tamu sih. Aku menganggap kamu bagian dari rumah ini.""Kamu nggak keberatan kan tiap akhir pekan menginap di sini?" tanya Donita menimpali."Ke mana Gibran pergi, aku selalu bersamanya, Mbak. Namanya juga pengasuh," jawab Naira seraya menoleh pada perempuan itu.Dia baru menyadari jika ternya
Bab 158"Maaf," gumam Keenan. Dia menarik Naira untuk duduk di sisinya, setelah Eliana berhasil mereka usir secara halus dari apartemen ini."Kenapa semua ini Mas lakukan? Drama macam apa ini?? Ini sama sekali nggak lucu, tahu!" protes gadis itu. Dia bermaksud memberontak dan menjauh, tapi Keenan tentu tidak akan membiarkan gadis ini menjauh darinya dalam keadaan masih marah."Kalau nggak begitu, nanti dia akan mengira melunaknya sikapku akhir-akhir ini sebagai lampu hijau. Padahal aku sama sekali nggak ada niat untuk balik lagi sama perempuan itu. Sudah cukup semuanya, Nai. Aku lelah.""Tetapi itu tidak cukup untukku, Mas. Mas pikir saja sendiri, apa yang akan dilakukan Bu Eli karena mengira aku ini kekasihnya Mas!""Kamu tenang saja, Naira. Aku nggak akan membiarkan Eliana mengganggumu, lagian kamu kan tinggal bersama keluarga El Fata. Kamu bisa minta bantuan Alifa dan Aariz. Mereka pasti akan melindungimu dan memaklumi kejadian siang ini.""Iya, aku tahu, Mas. Tapi ini nggak mungki
Bab 157Eliana melenggang begitu saja mendekati Keenan yang masih ternganga.Tentunya ia tak menduga mantan istrinya ini muncul kembali, apalagi di situasi seperti ini, sedang ada Gibran dan Naira di apartemennya. Biasanya mantan istrinya ini hanya menelpon Ina dan mereka bertemu di suatu tempat, tempat yang tak begitu jauh dari apartemen.Keenan memang memberikan keleluasaan bagi Eliana untuk bertemu putrinya. Kebaikan Keenan yang ditanggapi lain oleh Eliana. Dia mengira jika mantan suaminya ini kembali luluh, dan bisa menerima dirinya kembali, meskipun tubuhnya tak lagi utuh seperti semula. Kini ia sudah kehilangan dua payudaranya.Sementara Naira berdiri kaku, menyadari kesalahannya yang main buka pintu saja, sehingga meloloskan Eliana masuk ke apartemen ini. Gadis itu tahu apa artinya. Bisa-bisa terjadi keributan, padahal ia sedang berada di apartemen ini. Andaikan ia tidak sedang berada di sini, masa bodoh lah. Biarkan saja Keenan, Donita dan Ina yang menghadapi perempuan sakit j
Bab 156Sepertinya keputusan Keenan untuk menghubungi Aariz adalah keputusan yang salah. Dia tak pernah menyangka jika ternyata Aariz menyambut panggilan videonya bersama dengan Alifa.Dan dia harus menyaksikan pemandangan itu.Perempuan yang dicintainya begitu dalam ini tengah menyadarkan kepala dengan manja di dada Aariz. Tak ada yang salah sebenarnya dengan sikap Alifa, karena nyatanya pria itu adalah suaminya sekarang. Hanya saja ada rasa nyeri yang terasa menusuk di hati.Meski ia tetap berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan perasaan cemburunya.Ah, ya. Apakah masih pantas ia cemburu, padahal ia sudah kalah sekarang?"Iya, Mas, ada apa?""Maaf, Riz, aku berencana membawa Gibran menginap di apartemen. Apakah kamu dan Alifa mengizinkan?" Pria itu menelan ludahnya. Hampir saja dia tak bisa bersuara lantaran matanya duluan menyaksikan pemandangan yang menyesak di hati ini."Kebetulan sekali aku dan Alifa memang berencana untuk menginap semalam di villa keluarga, jadi kamu beba
Bab 155Alifa sudah menghabiskan dua biji kue talam ubi saat penjaga villa ini muncul. Pria setengah baya itu membawa bahan makanan yang ia request. Beruntungnya ikan-ikan itu sudah dibersihkan. Jadi mereka tinggal membuat bumbu dan melumuri ikan-ikan itu dengan bumbu."Awas... sambalnya jangan terlalu pedas ya." Aariz mengingatkan dari halaman belakang villa ini. Pria itu tengah berusaha menyalakan api dan membuat bara untuk membakar ikan. Sementara Alifa memang tengah menyiapkan bahan untuk membuat sambal terasi."Iya, aku ngerti kok. Lagian si adik juga nggak bakal kepedesan di dalam perutku," kekeh perempuan itu.Teras belakang villa ini sengaja disulap menjadi dapur dadakan. Ada kompor gas satu tungku yang diletakkan di tempat itu, lengkap dengan peralatan masak. Alifa kini tengah menumis bawang, cabe dan tomat. Aroma harum menguar membuat perut semakin keroncongan."Kamu ini bisa aja jawabnya. Nakal ya," keluh pria itu. Dia tidak merespon apapun lagi, tetapi fokus untuk membuat
Bab 154Alifa memiliki prinsip yang kuat dalam urusan sebuah hubungan. Dia akan mempertahankan mati-matian, tetapi jika sudah terlepas, maka tidak ada jalan untuk kembali. Perempuan itu rupanya ingin memberi pelajaran untuk para pria yang terikat hubungan dengannya, agar tidak main-main dengan yang namanya talak.Aariz mendapatkan pelajaran dari kisah rumah tangga Alifa sebelumnya. Dia berjanji akan menjaga perempuan ini selamanya, apalagi semakin hari semakin dalam perasaannya pada perempuan itu. Meski awalnya hanya menganggap Alifa seperti teman, bahkan parahnya seperti adik angkat, tetapi akhirnya dia bisa memandang Alifa sama seperti ia memandang kepada seorang perempuan. Dia bisa menyayangi Alifa sebagai seorang istri, dan kini dia membuktikan semua ucapannya. Dia pun menepati janjinya kepada sang ibunda menghadirkan cucu untuknya, cucu yang berasal dari darah dagingnya sendiri dengan seorang perempuan yang ibunya ridha kepadanya.Pembicaraan mereka malam ini berakhir setelah Aar