Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci
Bab 11Aku mengangguk. "Tentu saja, Dok. Saya akan patuhi semua aturan dari Dokter dan Mas Atta.""Baiklah, Alifa. Saya hanya bisa mengantar kamu sampai sini." Pria itu menyentuh tombol di pintu, lalu pintu itupun terbuka. "Silahkan masuk. Saya akan menghubungi Atta untuk memberitahu, supaya dia tidak perlu kaget jika melihat keberadaan kamu dan Gibran di apartemennya.""Apakah Mas Atta akan tinggal di sini?" tanyaku. Aku melongok ke dalam dan menyadari jika apartemen ini ukurannya tidak terlalu luas."Kadang-kadang. Terkadang dia masih menyukai tinggal di rumah utama, tapi tak jarang dia pun pulang ke apartemennya sendiri."Aku tidak lagi menanyakan apa-apa dan membiarkan dokter Aariz meninggalkan tempat itu setelah memberitahukan password pintu masuk apartemen ini.Kuhela nafas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungku di sandaran sofa, menikmati geliat tubuh Gibran yang tampak gelisah. Aku mengeluarkan aset pribadiku dan mulai menyusui Gibran. Tidak ada perlengkapan bayi di apar
Bab 12Dibandingkan dengan dokter Aariz, Atta memang lebih hangat dan membuatku nyaman dari pertama kali bertemu. Pria itu pula yang pertama kali menawarkan untuk menyusui keponakannya.Aku mengangguk, lalu kembali menyuap nasi goreng yang terasa begitu lezat di lidahku. Atta pun begitu juga. Kami makan dengan sangat lahap karena memang belum makan apapun semenjak sore tadi. Aku bahkan sengaja nggak masak dan berjanji kepada Naira untuk membawakan makanan untuknya.Selesai makan, aku pun bangkit dari kursi dan berjalan menuju sisi cafe ini. Cafe ini didesain terbuka, jadi tinggi dindingnya hanya setengah badanku. Sementara bagian atas dibiarkan terbuka, sehingga terkesan tempat ini menyatu dengan alam. Aku menikmati pemandangan beberapa orang yang masih saja berlarian di bibir pantai sembari bermain pasir. Tampak begitu ceria dan bahagianya mereka.Aku menggigit bibirku. Getir sekali. Dulu aku seringkali dibawa mas Keenan menghabiskan waktu di pantai seperti ini.Ah, kenapa otakku ti
Bab 13Pengalaman indah?Ya, aku memang memiliki kenangan indah bersama dengan mas Keenan. Tapi itu dulu, sebelum orang-orang di dalam keluarga mas Keenan merencanakan makar untuk memisahkan kami."Aku tidak punya kriteria apapun. Yang penting dia pria yang baik. Sudah, itu saja.""Cuma itu?!" Atta tampak kaget. "Wanita secantik Mbak Alifa tidak punya kriteria tentang suami idaman?""Nggak, Mas." Aku tersenyum geli, merasa lucu dengan pertanyaan pria itu. Bukan cuma pertanyaannya, tetapi juga dengan gestur tubuhnya yang di mataku terlihat menggemaskan, mirip seorang pria yang ingin menembak seorang wanita saja. Namun aku segera menepis dugaan itu, karena tidak mungkin juga Mas Atta akan menembakku.Dibalik perhatiannya yang detil, Atta selalu bersikap sopan, menghormati, dan tidak pernah menggodaku, padahal ia tahu jika aku seorang janda.Namun pria itu balas tersenyum. Dia tak menanyakan apapun, tetapi malah bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju kamar, lalu merebahkan Gibran denga
Bab 14Ini bukan kedekatan seorang majikan kepada pekerjanya.Ini lebih intim.Aariz melihat sendiri dari gestur tubuhnya, adiknya terlihat menyukai Alifa. Atau jangan-jangan mereka memang sudah dekat duluan sebelum Alifa melahirkan?Lalu, dimana sebenarnya Atta kenal dengan Alifa? Kapan mereka berkenalan?Ah, rasanya Atta mulai main rahasia dengannya.Memang menurutnya ini sedikit janggal. Tiba-tiba saja Atta begitu perhatian dengan anaknya, bahkan sampai rela mencarikan seorang ibu susu. Dan ibu susu pilihan Atta adalah Alifa.Iya sih, Alifa itu sehat setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan air susunya pun melimpah. Ibunya pun setuju jika Alifa menyusui Gibran.Tapi apa benar alasan Atta, jika sengaja menyuruh Alifa untuk menyusui Gibran dengan tujuan untuk menghibur perempuan itu? Jadi sebenarnya yang menjadi pusat perhatian Atta itu siapa? Alifa atau Gibran?Pria itu menghela nafas, lalu segera berjalan menuju ruang tamu."Saya berangkat dulu, Alifa. Sudah ditunggu sama Nia d
Bab 15"Hebat sekali," gumamku tanpa sadar."Biasa saja. Saya hanya menyayangi para perempuan dan ingin agar mereka bisa melahirkan senyaman mungkin. Saya menginginkan setiap perempuan bisa melewati proses persalinannya senyaman liburan. Kamu sudah ngerasainnya, bukan?" Lagi-lagi pria itu tersenyum.Mimpi apa aku semalam, sehingga sore ini dokter Aariz terlihat jauh lebih ramah, padahal tidak ada Gibran di dekatku."Ya, saya merasakan pelayanan paripurna dari RSIA Hermina. Excellent." Tanpa sungkan aku mengacungkan jempol."Terima kasih atas reviewnya. Kami berusaha melayani sebaik mungkin. Jika memang ada harga yang harus dibayar, itu adalah hal yang wajar, karena ada obat yang harus dibeli, karyawan yang harus dibayar upahnya, listrik, air, dan semua keperluan yang tidak bisa diselesaikan tanpa menggunakan uang.""Tentu saja. Di balik itu, tanpa harus mengurangi tingkat keikhlasan dari tim dan dokter, kan?""Pintar kamu, Alifa." Pria itu pun membalas dengan mengacungkan jempol.Dokt
Bab 16Aku yang sedang makan langsung tersedak, buru-buru mengambil air minum dan segera menegak cairan putih itu sampai isi gelas tinggal separuh.Eliana mau melahirkan?Entah kenapa ada rasa nyeri yang menyergap di hatiku.Aku teringat mendiang anakku, Zaid, yang tidak diketahui keberadaannya oleh mas Keenan. Dan sekarang dia sudah mendapatkan gantinya. Anaknya akan segera lahir. Anak yang ia nantikan selama ini akan lahir dari rahim Eliana, istri barunya.Aku harus bilang apa sekarang? Aku juga tidak bisa bersikap apapun, bahkan mendoakan semoga semua proses persalinannya lancar pun tidak bisa. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku. Aku tidak membenci mas Keenan ataupun Eliana. Hanya saja, aku tidak bisa melupakan perlakuan mereka yang begitu kejam.Dituduh berzina, selingkuh, dikata-katai seorang pelacur, dan akhirnya diceraikan. Aku bukan cuma kehilangan suami dan harta, tapi juga nama baik dan harga diri. Aku terisolir dari lingkungan pergaulanku karena semua orang menganggapk
Bab 17 Selesai mengazankan putrinya, Keenan kembali menyerahkan kepada perawat yang langsung membawanya kembali ke ruang bayi baru lahir. Pria itu menghela nafas. Dia mengarahkan pandangannya ke depan. Sosok perempuan tua yang tak lain adalah ibunya itu muncul, tengah berjalan mendekatinya. "Bagaimana keadaan Eliana?" tanyanya dengan nafas terengah-engah. Berjalan dari lokasi parkir ke tempat putranya sekarang berada membuatnya sedikit merasa lelah. "Masih di ruang operasi, Ma," jawab Keenan. "Operasi?!" Perempuan tua itu langsung membulatkan matanya. "Memangnya kenapa sih harus operasi? Ada masalah apa?" "Dia yang minta, Ma. Katanya udah nggak kuat menahan sakit," ujarnya datar. Keenan merasa tidak perlu menutupi keadaan yang sebenarnya. Bukankah Eliana itu menantu kesayangan ibunya? "Mana ada proses melahirkan yang nggak sakit, Keenan?" cetusnya kesal. "Istrimu itu memang manja!" "Itu istri pilihan Mama loh, jadi jangan komplain!" sindir Keenan. "Bedalah kalau yang
Bab 162Keenan benar-benar membawa Naira keluar dari apartemen pagi ini setelah mereka selesai sarapan. Namun ternyata dia tidak membawanya langsung pulang ke rumah utama keluarga El Fata, tetapi justru jalan-jalan keliling kota dan berakhir dengan mampir di sebuah mall yang memiliki wahana permainan anak."Santai saja, Nai. Aariz dan Alifa tidak akan pulang pagi-pagi. Mereka itu pergi ke villa dan kamu tahu tempatnya di mana, bukan?" bujuk Keenan sembari mengingatkan. Dia menyadari ekspresi Naira yang muram. Dia berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin Aariz dan Alifa akan pulang cepat, mengingat lokasi villa keluarga yang terletak di desa, suatu daerah di luar kota."Aku cuma ingin cepat sampai di rumah, Mas. Aku capek.""Capek dengan tingkah Mas?" Pria itu tersenyum kecut. "Maaf ya." Namun lagi-lagi tangannya lancang mengacak rambut gadis itu. "Percayalah, Mas tidak pernah bermaksud macam-macam, melainkan hanya menuruti keinginan hati saja.""Bermain drama, ngaku-ngaku aku adalah
Bab 161"Mas akui, Mas bukan pria yang baik, tetapi tidak seberengsek seperti yang kamu duga. Hubungan Mas dengan Donita tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas sekamar dengan Donita, karena ingin menjaga perempuan itu. Dia adalah karyawan terbaik Mas. Dia itu aset perusahaan yang harus Mas jaga. Dia adalah pahlawan bagi Mas. Disaat perusahaan mengalami krisis, Donita berdiri dengan tegar bersama dengan tim kami menyelamatkan perusahaan. Menurutmu apa yang harus Mas lakukan untuk membalas jasanya?" Keenan berkata dengan suara perlahan memberi pengertian pada gadis itu. Cara bicaranya sudah seperti seorang lelaki yang memberi pengertian pada pacar yang tengah cemburu karena dia dekat dengan wanita lain."Aku nggak ada kaitannya sama hubungan Mas dengan Mbak Donita. Apa urusannya denganku?" rajuk gadis itu seraya melengos ke samping."Jelas ada urusannya dengan kamu, karena kamu mengira Mas itu kumpul kebo dengan Donita. Kamu pasti mengira Mas sedang menjalin hubungan tanpa status! Kamu s
Bab 160"Na, Ina," panggil Donita seraya mengetuk pintu.Ina membuka pintu sembari menguap lebar karena rupanya gadis itu sudah tertidur, atau mungkin dia ikut tidur bersama dengan anak asuhnya."Mbak Donita?" Rasa kantuknya tiba-tiba saja hilang. Donita menerobos masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan Arga di sisi Sherina."Aku ngungsi dulu malam ini ya. Dan mungkin malam-malam selanjutnya. Kamu keberatan nggak jika kita berbagi kamar?" todong wanita itu."Tidak." Ina tidak mengerti, namun otomatis kepalanya mengangguk. "Maksudnya apa ya, Mbak? Bukannya Mbak biasa tidur satu kamar sama Pak Keenan?""Aku rasa udah saatnya pisah kamar dari Mas Keenan. Nggak enak sama Naira, nanti dia mikirinnya yang bukan-bukan. Jangan sampai dia mengira jika Mas Keenan itu pria brengsek, yang memelihara wanita tanpa status hubungan yang jelas."Gadis itu langsung manggut-manggut mendengar penuturan Donita. "Aha... bener juga sih, Mbak. Aku aja dulu sempat bingung dengan hubungan Pak Keenan dengan m
Bab 159"Tidurlah di sini. Aku nggak masalah tidur di sofa ruang tamu." Pria itu menahan tubuh Naira dengan tangannya supaya tetap di posisinya yang tengah berbaring di samping Gibran. Balita cowok itu baru saja tertidur setelah dibacakan dongeng oleh Naira."Tapi Mas...""Udah, nggak ada tapi-tapian. Laki-laki bisa tidur di mana saja. Di sini kamu juga ditemani oleh Donita dan Arga. Semoga saja kamu nggak keberatan dengan tangisan Arga yang sering terbangun minta ASI." Pria itu tetap menekan bahu Naira dan membuat gadis itu tak berkutik."Tapi nggak enak sama Mas. Mas kan tuan rumah, masa iya tidur di sofa sih?""Justru karena tuan rumah harus memberikan yang terbaik kepada tamu, tapi kamu bukan tamu sih. Aku menganggap kamu bagian dari rumah ini.""Kamu nggak keberatan kan tiap akhir pekan menginap di sini?" tanya Donita menimpali."Ke mana Gibran pergi, aku selalu bersamanya, Mbak. Namanya juga pengasuh," jawab Naira seraya menoleh pada perempuan itu.Dia baru menyadari jika ternya
Bab 158"Maaf," gumam Keenan. Dia menarik Naira untuk duduk di sisinya, setelah Eliana berhasil mereka usir secara halus dari apartemen ini."Kenapa semua ini Mas lakukan? Drama macam apa ini?? Ini sama sekali nggak lucu, tahu!" protes gadis itu. Dia bermaksud memberontak dan menjauh, tapi Keenan tentu tidak akan membiarkan gadis ini menjauh darinya dalam keadaan masih marah."Kalau nggak begitu, nanti dia akan mengira melunaknya sikapku akhir-akhir ini sebagai lampu hijau. Padahal aku sama sekali nggak ada niat untuk balik lagi sama perempuan itu. Sudah cukup semuanya, Nai. Aku lelah.""Tetapi itu tidak cukup untukku, Mas. Mas pikir saja sendiri, apa yang akan dilakukan Bu Eli karena mengira aku ini kekasihnya Mas!""Kamu tenang saja, Naira. Aku nggak akan membiarkan Eliana mengganggumu, lagian kamu kan tinggal bersama keluarga El Fata. Kamu bisa minta bantuan Alifa dan Aariz. Mereka pasti akan melindungimu dan memaklumi kejadian siang ini.""Iya, aku tahu, Mas. Tapi ini nggak mungki
Bab 157Eliana melenggang begitu saja mendekati Keenan yang masih ternganga.Tentunya ia tak menduga mantan istrinya ini muncul kembali, apalagi di situasi seperti ini, sedang ada Gibran dan Naira di apartemennya. Biasanya mantan istrinya ini hanya menelpon Ina dan mereka bertemu di suatu tempat, tempat yang tak begitu jauh dari apartemen.Keenan memang memberikan keleluasaan bagi Eliana untuk bertemu putrinya. Kebaikan Keenan yang ditanggapi lain oleh Eliana. Dia mengira jika mantan suaminya ini kembali luluh, dan bisa menerima dirinya kembali, meskipun tubuhnya tak lagi utuh seperti semula. Kini ia sudah kehilangan dua payudaranya.Sementara Naira berdiri kaku, menyadari kesalahannya yang main buka pintu saja, sehingga meloloskan Eliana masuk ke apartemen ini. Gadis itu tahu apa artinya. Bisa-bisa terjadi keributan, padahal ia sedang berada di apartemen ini. Andaikan ia tidak sedang berada di sini, masa bodoh lah. Biarkan saja Keenan, Donita dan Ina yang menghadapi perempuan sakit j
Bab 156Sepertinya keputusan Keenan untuk menghubungi Aariz adalah keputusan yang salah. Dia tak pernah menyangka jika ternyata Aariz menyambut panggilan videonya bersama dengan Alifa.Dan dia harus menyaksikan pemandangan itu.Perempuan yang dicintainya begitu dalam ini tengah menyadarkan kepala dengan manja di dada Aariz. Tak ada yang salah sebenarnya dengan sikap Alifa, karena nyatanya pria itu adalah suaminya sekarang. Hanya saja ada rasa nyeri yang terasa menusuk di hati.Meski ia tetap berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan perasaan cemburunya.Ah, ya. Apakah masih pantas ia cemburu, padahal ia sudah kalah sekarang?"Iya, Mas, ada apa?""Maaf, Riz, aku berencana membawa Gibran menginap di apartemen. Apakah kamu dan Alifa mengizinkan?" Pria itu menelan ludahnya. Hampir saja dia tak bisa bersuara lantaran matanya duluan menyaksikan pemandangan yang menyesak di hati ini."Kebetulan sekali aku dan Alifa memang berencana untuk menginap semalam di villa keluarga, jadi kamu beba
Bab 155Alifa sudah menghabiskan dua biji kue talam ubi saat penjaga villa ini muncul. Pria setengah baya itu membawa bahan makanan yang ia request. Beruntungnya ikan-ikan itu sudah dibersihkan. Jadi mereka tinggal membuat bumbu dan melumuri ikan-ikan itu dengan bumbu."Awas... sambalnya jangan terlalu pedas ya." Aariz mengingatkan dari halaman belakang villa ini. Pria itu tengah berusaha menyalakan api dan membuat bara untuk membakar ikan. Sementara Alifa memang tengah menyiapkan bahan untuk membuat sambal terasi."Iya, aku ngerti kok. Lagian si adik juga nggak bakal kepedesan di dalam perutku," kekeh perempuan itu.Teras belakang villa ini sengaja disulap menjadi dapur dadakan. Ada kompor gas satu tungku yang diletakkan di tempat itu, lengkap dengan peralatan masak. Alifa kini tengah menumis bawang, cabe dan tomat. Aroma harum menguar membuat perut semakin keroncongan."Kamu ini bisa aja jawabnya. Nakal ya," keluh pria itu. Dia tidak merespon apapun lagi, tetapi fokus untuk membuat
Bab 154Alifa memiliki prinsip yang kuat dalam urusan sebuah hubungan. Dia akan mempertahankan mati-matian, tetapi jika sudah terlepas, maka tidak ada jalan untuk kembali. Perempuan itu rupanya ingin memberi pelajaran untuk para pria yang terikat hubungan dengannya, agar tidak main-main dengan yang namanya talak.Aariz mendapatkan pelajaran dari kisah rumah tangga Alifa sebelumnya. Dia berjanji akan menjaga perempuan ini selamanya, apalagi semakin hari semakin dalam perasaannya pada perempuan itu. Meski awalnya hanya menganggap Alifa seperti teman, bahkan parahnya seperti adik angkat, tetapi akhirnya dia bisa memandang Alifa sama seperti ia memandang kepada seorang perempuan. Dia bisa menyayangi Alifa sebagai seorang istri, dan kini dia membuktikan semua ucapannya. Dia pun menepati janjinya kepada sang ibunda menghadirkan cucu untuknya, cucu yang berasal dari darah dagingnya sendiri dengan seorang perempuan yang ibunya ridha kepadanya.Pembicaraan mereka malam ini berakhir setelah Aar