Bab 15"Hebat sekali," gumamku tanpa sadar."Biasa saja. Saya hanya menyayangi para perempuan dan ingin agar mereka bisa melahirkan senyaman mungkin. Saya menginginkan setiap perempuan bisa melewati proses persalinannya senyaman liburan. Kamu sudah ngerasainnya, bukan?" Lagi-lagi pria itu tersenyum.Mimpi apa aku semalam, sehingga sore ini dokter Aariz terlihat jauh lebih ramah, padahal tidak ada Gibran di dekatku."Ya, saya merasakan pelayanan paripurna dari RSIA Hermina. Excellent." Tanpa sungkan aku mengacungkan jempol."Terima kasih atas reviewnya. Kami berusaha melayani sebaik mungkin. Jika memang ada harga yang harus dibayar, itu adalah hal yang wajar, karena ada obat yang harus dibeli, karyawan yang harus dibayar upahnya, listrik, air, dan semua keperluan yang tidak bisa diselesaikan tanpa menggunakan uang.""Tentu saja. Di balik itu, tanpa harus mengurangi tingkat keikhlasan dari tim dan dokter, kan?""Pintar kamu, Alifa." Pria itu pun membalas dengan mengacungkan jempol.Dokt
Bab 16Aku yang sedang makan langsung tersedak, buru-buru mengambil air minum dan segera menegak cairan putih itu sampai isi gelas tinggal separuh.Eliana mau melahirkan?Entah kenapa ada rasa nyeri yang menyergap di hatiku.Aku teringat mendiang anakku, Zaid, yang tidak diketahui keberadaannya oleh mas Keenan. Dan sekarang dia sudah mendapatkan gantinya. Anaknya akan segera lahir. Anak yang ia nantikan selama ini akan lahir dari rahim Eliana, istri barunya.Aku harus bilang apa sekarang? Aku juga tidak bisa bersikap apapun, bahkan mendoakan semoga semua proses persalinannya lancar pun tidak bisa. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku. Aku tidak membenci mas Keenan ataupun Eliana. Hanya saja, aku tidak bisa melupakan perlakuan mereka yang begitu kejam.Dituduh berzina, selingkuh, dikata-katai seorang pelacur, dan akhirnya diceraikan. Aku bukan cuma kehilangan suami dan harta, tapi juga nama baik dan harga diri. Aku terisolir dari lingkungan pergaulanku karena semua orang menganggapk
Bab 17 Selesai mengazankan putrinya, Keenan kembali menyerahkan kepada perawat yang langsung membawanya kembali ke ruang bayi baru lahir. Pria itu menghela nafas. Dia mengarahkan pandangannya ke depan. Sosok perempuan tua yang tak lain adalah ibunya itu muncul, tengah berjalan mendekatinya. "Bagaimana keadaan Eliana?" tanyanya dengan nafas terengah-engah. Berjalan dari lokasi parkir ke tempat putranya sekarang berada membuatnya sedikit merasa lelah. "Masih di ruang operasi, Ma," jawab Keenan. "Operasi?!" Perempuan tua itu langsung membulatkan matanya. "Memangnya kenapa sih harus operasi? Ada masalah apa?" "Dia yang minta, Ma. Katanya udah nggak kuat menahan sakit," ujarnya datar. Keenan merasa tidak perlu menutupi keadaan yang sebenarnya. Bukankah Eliana itu menantu kesayangan ibunya? "Mana ada proses melahirkan yang nggak sakit, Keenan?" cetusnya kesal. "Istrimu itu memang manja!" "Itu istri pilihan Mama loh, jadi jangan komplain!" sindir Keenan. "Bedalah kalau yang
Bab 18Keenan terus melangkah sembari menekan dadanya. Sungguh sesak rasanya membayangkan Alifa berada dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain."Kurang apa aku selama ini, Sayang? Mengapa kamu lakukan itu? Kenapa kamu tak pernah kembali dan menyadari kesalahanmu, sampai akhirnya aku terpaksa menikahi Eliana dan mendapatkan anak darinya?" Pria itu memejamkan mata sejenak setelah ia mendaratkan tubuhnya di balik kemudi.Keenan menghidupkan mesin mobil, dan mobil itu pun perlahan keluar dari pekarangan rumahnya, lalu meluncur ke jalan raya. Tak ada tujuan Keenan saat ini. Dia hanya ingin menenangkan diri.Keenan mengemudikan kendaraannya begitu lambat, sembari menatap ke depan.Perutnya sudah berdemo minta di isi. Sebenarnya ia ingin makan malam di restoran, tetapi rasanya begitu hambar jika makan sendirian. Belum apa-apa moodnya sudah rusak.Mobil terus meluncur. Dia sudah melewati beberapa restoran. Namun tak ada satupun yang menarik perhatian untuk disinggahinya.Sa
Bab 19Gibran masih asyik menyusu tatkala suara bel di depan berbunyi. Matanya yang baru saja terpejam membuatku terpaksa melepas puting payudaraku dari mulut mungil itu, lalu mengangkat tubuhnya dengan hati-hati, merebahkannya di kasur, di samping Naira.Sembari memberi kode kedipan mata dengan baby sister itu, aku perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan. Terhitung sudah dua kali bel berbunyi. Aku mengintip melalui kaca kecil yang berada di tengah pintu."Dokter Aariz?" gumamku. Aku segera menekan tombol dan akhirnya pintu pun terbuka.Seketika aku menaikkan alis, menyadari penampilan pria yang bertubuh tinggi besar itu. Hari memang sudah malam dan penampilan pria itu tidak terlihat seperti orang yang baru datang dari rumah sakit."Apakah Gibran sudah tidur?" tanya pria itu."Iya Dok, dia di kamar bersama dengan Naira," jawabku.Pria itu mengangguk. Aku pikir dia akan langsung masuk ke dalam kamar, tapi ternyata dia malah duduk di sofa dan menepuk-nepuk tempat duduk
Bab 20Sejenak aku tertegun. Pria itu bergerak begitu lihai, tak terlihat canggung sama sekali.Hebat!Sungguh tak bisa dipercaya jika dokter Aariz bisa melakukan pekerjaan dapur. Ini kejutan. Selama ini aku berpikir jika dokter Aariz hanya piawai memainkan pisau bedah saja.Aku memilih menumis ati ampela lebih dulu, kemudian membuat nasi goreng. Untung saja bumbu-bumbunya sudah aku persiapkan, karena itu adalah bumbu jadi, tapi buatanku sendiri. Bumbu basah yang biasa menjadi andalanku ketika ingin memasak lebih cepat yang stoknya selalu tersedia di kulkas."Harum sekali," komentar dokter Aariz. Terlihat sekali ia sangat puas dengan hasil masakanku."Terima kasih sudah bantu saya memasak. Nggak nyangka ternyata dokter Aariz bisa memasak. Kirain hanya bisa memainkan pisau bedah saja." Aku terkekeh.Pria itu pun seketika tergelak. "Cuma mengiris ati ampela saja, Ifa. Kamu terlalu melebih-lebihkan.""Itu juga sangat membantu, Dok." Aku segera menyiapkan piranti makan dan mengisi piring
Bab 21Aku mulai mengeluarkan perlengkapan bayi milik Zaid dari dalam lemari. Baju, celana, bedongan, gendongan, kasur bayi, bantal, guling, beberapa kaos kaki dan topi. Ada pula perlengkapan mandi dan perawatan bayi. Semuanya lengkap, tidak kurang suatu apapun, meskipun barang-barang itu berasal dari merk yang harganya murah.Keterbatasan ekonomi membuatku berpikir ulang untuk menyiapkan perlengkapan bayi dengan budget wow, meskipun sebagai seorang ibu aku menginginkan yang terbaik. Itu pun aku harus mencicilnya sedikit demi sedikit dari toko ibu Sabrina."Bener juga, sebaiknya disumbangkan saja, daripada mubazir," ucapku dalam hati. Jika ke depannya aku menikah kemudian punya anak lagi, aku bisa membelinya lagi. Namun fokusku sekarang bukan soal itu. Aku harus menjalankan peranku sebagai ibu susu bayi dokter Aariz ini, dan nanti akan bekerja di perusahaannya seperti yang ia janjikan.Tak sepatutnya aku memikirkan soal jodoh. Aku pun masih trauma dengan yang namanya pernikahan. Pria
Bab 22"Kalaupun aku masih mencintainya, apa dia masih mau untuk dicintai?" Keenan tersenyum pahit seolah memberi gambaran kepada sang ibu jika ia begitu terluka. Menceraikan Alifa, sama artinya dengan melukai dirinya sendiri. Membakar semua barang kepunyaan perempuan itu, sama artinya dengan membakar barang berharganya sendiri.Sampai saat ini, Keenan tidak tahu secara persis, alasan apa yang menyebabkan ibu dan dua kakak perempuannya begitu benci dengan Alifa. Namun yang lebih lucu, mereka memaksa untuk menjodohkannya dengan seorang perempuan yang jauh lebih buruk daripada Alifa, minus kelakuan Alifa yang pernah berselingkuh."Mama nggak akan izinkan kamu untuk rujuk dengan Alifa, walaupun kamu menceraikan Eliana. Lebih baik Mama nggak punya menantu daripada bermenantukan wanita miskin seperti Alifa." Yunita tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Perempuan paruh baya itu malah mengepalkan tangan, sembari menunjuk kepada putra bungsunya ini.Apa jangan-jangan karena selama ini dia mer
Bab 48"Ke rumah utama?" Aku sangat terkejut. Ini memang sudah lewat seminggu dari momen hari ibu, dan ini adalah hari terakhir tugas dokter Aariz sebelum menjalani masa cuti tahun baru.Di benakku langsung terbayang sosok ibu Wardah. Wanita baik hati itu pasti kini tengah menunggu jawabanku. Tapi apa yang harus kujawab? Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan, termasuk ketidaktahuan dokter Aariz kalau ibunya sudah melamarku untuknya.Aku tidak bisa memprediksi bagaimana sikap dokter Aariz selanjutnya. Apakah ia memarahi ibunya, atau justru memarahiku yang tidak tahu apa-apa?Heran, kenapa bu Wardah bersikap begini? Wanita itu terlihat bijaksana, tapi kenapa malah memperlakukan putranya seperti anak kecil yang harus dipilihkan mainan?Aku benar-benar tidak habis pikir.Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkejutnya dokter Aariz ketika mengetahui jika ibunya sudah menjodohkannya dengan seorang perempuan."Iya, Alifa. Mama meminta kita semua untuk makan malam bersama. Kangen cu
Bab 47[Selamat hari ibu, wanita yang hebat!Teriring doa, semoga tetap menjadi seperti ini, memberikan cinta yang besar kepada putramu.Alifa, bolehkah saya minta sesuatu? Saya ingin agar kamu menjadi Ibu yang sebenarnya untuk cucu saya, Gibran dan calon adik-adiknya nanti. Menikahlah dengan Aariz. Saya mohon....]Tubuhku lemas seketika. Bahkan secarik kertas itu terlepas dari peganganku, jatuh ke lantai.Isi kotak itu memang benar sebuah boneka beruang yang cantik dan berukuran mungil. Namun bukan itu saja. Ada sebuah kotak yang ternyata isinya adalah satu set perhiasan bertahtakan berlian. Sepertinya satu set perhiasan ini dipesan khusus, karena kotak perhiasannya tertera logo merek perhiasan itu."Mbak dilamar?" cicit Naira."Aku tidak mengerti, Naira. Ini membingungkan. Aku nggak tahu." Menggunakan tanganku yang gemetar, aku segera membungkus kembali barang-barang itu, berikut dengan kertas yang berisi tulisan tangan bu Wardah. Aku membungkusnya seperti semula, lengkap dengan p
Bab 46"Ibu, apa kabar?" Aku mencium tangan yang mulai agak keriput itu. Hari ini RSIA Hermina kedatangan tamu istimewa. Dialah Ibu Wardah Aurora, ibunda dari dokter Aariz El Fata, yang merupakan pemilik rumah sakit ini."Saya sangat sehat dan bahagia, apalagi hari ini bisa berjumpa sama kamu, Alifa. Kenapa jarang sekali main ke rumah utama, hmm...? Saya sangat merindukan cucu saya," ujarnya ramah."Aduh... maaf sekali, Bu. Kebetulan Dokter Aariz maupun Mas Atta belum sempat mengantar. Karena kalau bersama dengan adek Gibran, biasanya saya diantar langsung oleh salah satu dari mereka," jelasku. Sebenarnya agak sungkan juga. Aku melihat jelas dari sorot matanya seperti menahan kerinduan."Wanita yang penurut." Perempuan tua itu mengusap kepalaku, sentuhan yang hangat. "Saya merasa sangat senang, karena di bawah asuhanmu cucu saya tumbuh menjadi anak yang sehat dan bahagia.""Saya senang sekali bisa menyusui dan mengasuh Adek Gibran. Dia menganggap saya seperti ibunya sendiri, Bu." Aku
Bab 45Keenan membuka mata dan terlonjak dari tempat duduk. Seketika ia merenggangkan tubuhnya dari wanita yang juga tak kalah kaget, karena ternyata Donita juga memejamkan mata sembari bersandar di bahu pria itu."Bu Eli," tegur wanita itu."Ternyata benar ya, rumor yang beredar jika seorang bos itu biasanya selingkuh sama sekretarisnya. Dan ternyata memang benar sih!" Tangan wanita itu sudah terulur bermaksud menarik Donita, namun Keenan lebih dulu membuat Eliana tidak berkutik. Dia malah menarik Eliana, lalu mengunci sepasang tangan wanita itu di belakang tubuhnya."Lepas, Mas. Kamu apa-apaan sih? Niat banget melindungi pelakor ini?!""Kamu pikir, aku diam saja melihat kamu mau berlaku seenaknya sama karyawan terbaik di perusahaan ini?!" Keenan balas membentak."Tapi dia pelakor, Mas. Aku dengar percakapan kalian barusan. Dia mengompori kamu supaya menceraikan aku!""Saya nggak mengompori Pak Keenan untuk menceraikan Ibu. Cuma yang bener aja sih, logikanya mana ada pria yang tahan
Bab 44"Oh... maaf, saya nggak nyadar." Pria itu mengangguk, lalu mendekati ranjang, menatap putranya yang tertidur. Dua buah guling yang berbentuk boneka Keroppi dan Doraemon berada di sisi kanan dan kirinya."Nggak apa-apa, Dok. Kalau Dokter mau istirahat, kami bisa keluar kok. Nanti kalau Adek Gibran bangun, Dokter bisa dipanggil lagi kami," ujarku."Iya benar, saya memang mau istirahat sebentar. Nanti jam 13.30 siang akan ada operasi lagi. Mudah-mudahan tidak ada lagi pasien dadakan.""Oh, kalau begitu baiklah, Dok. Saya dan Naira akan keluar dulu sekalian mau shalat zuhur." Aku menarik Naira dan berjalan menuju pintu, keluar dari ruang peristirahatan itu. Masih ada waktu hampir satu jam, cukup untuk kami shalat zuhur dan makan siang. "Sekarang mbak Alifa seperti nyonya saja. Semua orang di rumah sakit ini hormat sama mbak Alifa," ujar Naira. Saat ini mereka tengah berada di salah satu lorong dan berpapasan dengan para petugas medis yang terlihat tersenyum dan mengangguk hormat k
Bab 43"Berasa jadi pengemis kalau begini caranya," gerutu Yuna. Dia terus mengeluh sambil mengamati barang-barang yang dipajang di rak dan mulai memilih barang yang sesuai dengan kebutuhannya."Kamu pakai sabun mandi dan shampo ini saja. Harganya lebih murah," tegur Yunita. Dia mengambil shampo dan sabun mandi cair kemasan reffil yang sudah diletakkan Yuna ke dalam troli, lalu menukarnya dengan shampo dan sabun mandi yang harganya lebih murah. Bukan cuma itu. Dia mengambil odol, sikat gigi, detergen, pelembut pakaian dari dalam troli, lalu menggantinya dengan produk serupa yang harganya lebih murah."Aduh, Ma. Masa Mama hitung-hitungan sama harga. Biasanya juga nggak," keluh Yuna lagi. Tapi dia memilih pasrah saja dan terus mendorong troli mengiringi ibunya."Mika jangan dibiasain lagi makan makanan cepat saji. Itu nggak sehat. Kamu bikin aja sendiri." Lagi-lagi Yunita menegur saat Yuna akan membuka freezer yang berisi dengan nugget, sosis, dan kawan-kawannya."Mana aku bisa bikin ya
Bab 42"Kenapa tidak?! Tuhan itu maha baik. Selama ini kalian terobsesi dengan keturunan, sampai melakukan segala cara untuk menyingkirkanku yang dianggap mandul." Tatapanku beralih pada dua orang perawat yang masih sibuk berbelanja. Troli yang mereka dorong sudah hampir penuh. Di samping boneka, pihak rumah sakit juga memberikan hadiah berupa satu set alat makan yang cantik. Harganya memang tidak seberapa, hanya sekedar tanda kecil bahwa pihak ke rumah sakit begitu menghargai setiap pasien yang mempercayakan perawatan diri dan buah hatinya ke rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina"Alah... paling-paling juga anak dari pria lain!" seru mbak Yuna."Kalau begitu, kalian menganggap jika Mas Keenan itu mandul?" Aku mengerjapkan mata berkali-kali, sedikit menjahili dua orang yang pernah menyakitiku ini. Rasanya puas juga melihat mereka sepertinya kelimpungan."Tidak mungkin anak saya mandul. Saya saja punya tiga anak kok. Baik dari papanya maupun saya, tidak ada riwayat mandul. Kami sekeluarga
Bab 41Sistem penanggalan sudah menunjukkan penghujung tahun, tepatnya pertengahan Desember. Tak terasa aku sudah 7 bulan menjadi ibu susu Gibran. Sang pewaris keluarga El Fata itu tumbuh sehat dan bahagia, tidak kekurangan suatu apapun, meski tanpa sentuhan ibu kandungnya.Sekarang Gibran sudah boleh memakan makanan pendamping ASI. Aku sendiri yang membuat MPASI untuknya. Sedapat mungkin aku tidak membiarkan Gibran memakan bubur instan, meski pengawetnya aman bagi bayi sekalipun.Papanya Gibran itu dokter, dan pastinya akan terus mengawasi apa yang dimakan dan diminum oleh putranya. Jika sedang berada di rumah sakit, aku selalu membuat MPASI di kantin. Pihak kantin memberiku izin untuk membuat MPASI di dapur mereka, tentu karena mengingat Gibran adalah anak pemilik rumah sakit ini.Hasilnya, apa yang dimakan oleh Gibran selalu fresh, sehat dan bergizi.Hari ini aku sengaja membawa Naira ke rumah sakit, karena aku akan berbelanja pernak-pernik untuk peringatan Hari Ibu. Tepat tanggal
Bab 40"Ah, tidak. Lupakanlah. Aku juga sedang bercanda. Mengapa kalian terlihat begitu ramai, sampai melupakan ada yang sedang cemberut di sana, tuh?!" Pria itu menunjuk sang kakak yang duduk bersandar di sofa. Pria itu sudah melepas jas putih miliknya dan menyandarkan di sofa pula."Siapa yang cemberut? Aku hanya sedikit lelah. Kamu pikir menghadapi pasien dengan segala macam wataknya itu urusan gampang?!""Resiko pekerjaan itu, Mas. Mas sendiri kan yang memilih menjadi seorang dokter? Gara-gara Mas memilih menjadi seorang dokter, akibatnya akulah yang kebagian tugas mengelola perusahaan Papa...." Atta mulai mengoceh, seperti biasanya ia menjahili sang kakak."Sok sibuk kamu! Kamu hanya kebagian mengurus Hotel Permata, sementara perusahaan yang lain, sudah ada orang kepercayaan Papa yang mengurus. Gitu saja kok mengeluh?!""Habis Mas duluan yang mengeluh....""Saya bukan mengeluh, wahai Attalarich El Fata." Pria itu memanggil nama panjang adiknya lantaran sedikit kesal. "Aku hanya i