Bab 158"Maaf," gumam Keenan. Dia menarik Naira untuk duduk di sisinya, setelah Eliana berhasil mereka usir secara halus dari apartemen ini."Kenapa semua ini Mas lakukan? Drama macam apa ini?? Ini sama sekali nggak lucu, tahu!" protes gadis itu. Dia bermaksud memberontak dan menjauh, tapi Keenan tentu tidak akan membiarkan gadis ini menjauh darinya dalam keadaan masih marah."Kalau nggak begitu, nanti dia akan mengira melunaknya sikapku akhir-akhir ini sebagai lampu hijau. Padahal aku sama sekali nggak ada niat untuk balik lagi sama perempuan itu. Sudah cukup semuanya, Nai. Aku lelah.""Tetapi itu tidak cukup untukku, Mas. Mas pikir saja sendiri, apa yang akan dilakukan Bu Eli karena mengira aku ini kekasihnya Mas!""Kamu tenang saja, Naira. Aku nggak akan membiarkan Eliana mengganggumu, lagian kamu kan tinggal bersama keluarga El Fata. Kamu bisa minta bantuan Alifa dan Aariz. Mereka pasti akan melindungimu dan memaklumi kejadian siang ini.""Iya, aku tahu, Mas. Tapi ini nggak mungki
Bab 159"Tidurlah di sini. Aku nggak masalah tidur di sofa ruang tamu." Pria itu menahan tubuh Naira dengan tangannya supaya tetap di posisinya yang tengah berbaring di samping Gibran. Balita cowok itu baru saja tertidur setelah dibacakan dongeng oleh Naira."Tapi Mas...""Udah, nggak ada tapi-tapian. Laki-laki bisa tidur di mana saja. Di sini kamu juga ditemani oleh Donita dan Arga. Semoga saja kamu nggak keberatan dengan tangisan Arga yang sering terbangun minta ASI." Pria itu tetap menekan bahu Naira dan membuat gadis itu tak berkutik."Tapi nggak enak sama Mas. Mas kan tuan rumah, masa iya tidur di sofa sih?""Justru karena tuan rumah harus memberikan yang terbaik kepada tamu, tapi kamu bukan tamu sih. Aku menganggap kamu bagian dari rumah ini.""Kamu nggak keberatan kan tiap akhir pekan menginap di sini?" tanya Donita menimpali."Ke mana Gibran pergi, aku selalu bersamanya, Mbak. Namanya juga pengasuh," jawab Naira seraya menoleh pada perempuan itu.Dia baru menyadari jika ternya
Bab 160"Na, Ina," panggil Donita seraya mengetuk pintu.Ina membuka pintu sembari menguap lebar karena rupanya gadis itu sudah tertidur, atau mungkin dia ikut tidur bersama dengan anak asuhnya."Mbak Donita?" Rasa kantuknya tiba-tiba saja hilang. Donita menerobos masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan Arga di sisi Sherina."Aku ngungsi dulu malam ini ya. Dan mungkin malam-malam selanjutnya. Kamu keberatan nggak jika kita berbagi kamar?" todong wanita itu."Tidak." Ina tidak mengerti, namun otomatis kepalanya mengangguk. "Maksudnya apa ya, Mbak? Bukannya Mbak biasa tidur satu kamar sama Pak Keenan?""Aku rasa udah saatnya pisah kamar dari Mas Keenan. Nggak enak sama Naira, nanti dia mikirinnya yang bukan-bukan. Jangan sampai dia mengira jika Mas Keenan itu pria brengsek, yang memelihara wanita tanpa status hubungan yang jelas."Gadis itu langsung manggut-manggut mendengar penuturan Donita. "Aha... bener juga sih, Mbak. Aku aja dulu sempat bingung dengan hubungan Pak Keenan dengan m
Bab 161"Mas akui, Mas bukan pria yang baik, tetapi tidak seberengsek seperti yang kamu duga. Hubungan Mas dengan Donita tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas sekamar dengan Donita, karena ingin menjaga perempuan itu. Dia adalah karyawan terbaik Mas. Dia itu aset perusahaan yang harus Mas jaga. Dia adalah pahlawan bagi Mas. Disaat perusahaan mengalami krisis, Donita berdiri dengan tegar bersama dengan tim kami menyelamatkan perusahaan. Menurutmu apa yang harus Mas lakukan untuk membalas jasanya?" Keenan berkata dengan suara perlahan memberi pengertian pada gadis itu. Cara bicaranya sudah seperti seorang lelaki yang memberi pengertian pada pacar yang tengah cemburu karena dia dekat dengan wanita lain."Aku nggak ada kaitannya sama hubungan Mas dengan Mbak Donita. Apa urusannya denganku?" rajuk gadis itu seraya melengos ke samping."Jelas ada urusannya dengan kamu, karena kamu mengira Mas itu kumpul kebo dengan Donita. Kamu pasti mengira Mas sedang menjalin hubungan tanpa status! Kamu s
Bab 162Keenan benar-benar membawa Naira keluar dari apartemen pagi ini setelah mereka selesai sarapan. Namun ternyata dia tidak membawanya langsung pulang ke rumah utama keluarga El Fata, tetapi justru jalan-jalan keliling kota dan berakhir dengan mampir di sebuah mall yang memiliki wahana permainan anak."Santai saja, Nai. Aariz dan Alifa tidak akan pulang pagi-pagi. Mereka itu pergi ke villa dan kamu tahu tempatnya di mana, bukan?" bujuk Keenan sembari mengingatkan. Dia menyadari ekspresi Naira yang muram. Dia berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin Aariz dan Alifa akan pulang cepat, mengingat lokasi villa keluarga yang terletak di desa, suatu daerah di luar kota."Aku cuma ingin cepat sampai di rumah, Mas. Aku capek.""Capek dengan tingkah Mas?" Pria itu tersenyum kecut. "Maaf ya." Namun lagi-lagi tangannya lancang mengacak rambut gadis itu. "Percayalah, Mas tidak pernah bermaksud macam-macam, melainkan hanya menuruti keinginan hati saja.""Bermain drama, ngaku-ngaku aku adalah
Bab 1"Apa? Saya hamil, Dok?" ulangku lirih. Aku menoleh sekilas kepada pria yang tengah fokus menghadapi alat USG yang terpasang tepat di sisi ranjang yang tengah kutiduri ini."Betul, Bu. Lihatlah, titik kecil ini menandakan sebuah embrio, titik kehidupan baru yang ada di rahim ibu." Pria muda itu menggerakkan kursor dan menunjuk ke titik yang dimaksud, walaupun tentu saja aku tidak mengerti karena bagiku sama saja. Layar di depanku itu hanya berwarna hitam putih dan aku tidak tahu titik yang dimaksud oleh dokter Aariz."Tapi bagaimana mungkin? Bukankah aku sudah lima tahun menikah dan belum juga dikaruniai anak?" Aku menggumam tanpa sadar. Seorang perawat perempuan membantuku bangkit dari pembaringan dan kini aku sudah duduk berhadapan dengan dokter Aariz.Sebenarnya dokter Aariz meresepkan obat pereda mual dan vitamin untukku, tapi sengaja tidak kutebus, karena uang yang kumiliki terbatas. Aku hanya sanggup membayar biaya pemeriksaan. Mungkin nanti aku akan membeli minyak kayu p
Bab 2"Tapi Ma, aku sangat mencintai Alifa. Aku nggak bisa kehilangan Alifa....""Dia itu hanya seorang pelacur. Masa iya kamu mau berbagi istri dengan laki-laki lain? Mikir, Keenan!" Kali ini kembali mbak Rosa yang bersuara."Kamu itu masih muda, masih banyak perempuan yang mau sama kamu. Lagi pula kalian juga tidak punya anak. Siapa tahu aja jika kamu menikah dengan perempuan lain, kamu bisa punya anak," bujuk mbak Yuna pula."Aku nggak peduli, Mbak. Aku nggak peduli apakah Alifa bisa melahirkan keturunanku atau tidak. Aku mencintai Alifa!" Pria itu memekik setelah ia berhasil membuat sang ibu kembali berdiri."Tapi kamu itu anak laki-laki. Kamu perlu seorang pewaris. Siapa yang akan mewarisi perusahaanmu kecuali anakmu nanti? Memangnya kamu mau, perusahaanmu diberikan kepada keponakanmu?" ucap mbak Rosa seolah-olah ia sangat memihak kepada mas Keenan, meskipun aku tahu benar jika selama ini mbak Rosa dan keluarganya hidup bergantung kepada kami. Untung saja mas Keenan adalah seoran
Bab 3 Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah
Bab 162Keenan benar-benar membawa Naira keluar dari apartemen pagi ini setelah mereka selesai sarapan. Namun ternyata dia tidak membawanya langsung pulang ke rumah utama keluarga El Fata, tetapi justru jalan-jalan keliling kota dan berakhir dengan mampir di sebuah mall yang memiliki wahana permainan anak."Santai saja, Nai. Aariz dan Alifa tidak akan pulang pagi-pagi. Mereka itu pergi ke villa dan kamu tahu tempatnya di mana, bukan?" bujuk Keenan sembari mengingatkan. Dia menyadari ekspresi Naira yang muram. Dia berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin Aariz dan Alifa akan pulang cepat, mengingat lokasi villa keluarga yang terletak di desa, suatu daerah di luar kota."Aku cuma ingin cepat sampai di rumah, Mas. Aku capek.""Capek dengan tingkah Mas?" Pria itu tersenyum kecut. "Maaf ya." Namun lagi-lagi tangannya lancang mengacak rambut gadis itu. "Percayalah, Mas tidak pernah bermaksud macam-macam, melainkan hanya menuruti keinginan hati saja.""Bermain drama, ngaku-ngaku aku adalah
Bab 161"Mas akui, Mas bukan pria yang baik, tetapi tidak seberengsek seperti yang kamu duga. Hubungan Mas dengan Donita tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas sekamar dengan Donita, karena ingin menjaga perempuan itu. Dia adalah karyawan terbaik Mas. Dia itu aset perusahaan yang harus Mas jaga. Dia adalah pahlawan bagi Mas. Disaat perusahaan mengalami krisis, Donita berdiri dengan tegar bersama dengan tim kami menyelamatkan perusahaan. Menurutmu apa yang harus Mas lakukan untuk membalas jasanya?" Keenan berkata dengan suara perlahan memberi pengertian pada gadis itu. Cara bicaranya sudah seperti seorang lelaki yang memberi pengertian pada pacar yang tengah cemburu karena dia dekat dengan wanita lain."Aku nggak ada kaitannya sama hubungan Mas dengan Mbak Donita. Apa urusannya denganku?" rajuk gadis itu seraya melengos ke samping."Jelas ada urusannya dengan kamu, karena kamu mengira Mas itu kumpul kebo dengan Donita. Kamu pasti mengira Mas sedang menjalin hubungan tanpa status! Kamu s
Bab 160"Na, Ina," panggil Donita seraya mengetuk pintu.Ina membuka pintu sembari menguap lebar karena rupanya gadis itu sudah tertidur, atau mungkin dia ikut tidur bersama dengan anak asuhnya."Mbak Donita?" Rasa kantuknya tiba-tiba saja hilang. Donita menerobos masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan Arga di sisi Sherina."Aku ngungsi dulu malam ini ya. Dan mungkin malam-malam selanjutnya. Kamu keberatan nggak jika kita berbagi kamar?" todong wanita itu."Tidak." Ina tidak mengerti, namun otomatis kepalanya mengangguk. "Maksudnya apa ya, Mbak? Bukannya Mbak biasa tidur satu kamar sama Pak Keenan?""Aku rasa udah saatnya pisah kamar dari Mas Keenan. Nggak enak sama Naira, nanti dia mikirinnya yang bukan-bukan. Jangan sampai dia mengira jika Mas Keenan itu pria brengsek, yang memelihara wanita tanpa status hubungan yang jelas."Gadis itu langsung manggut-manggut mendengar penuturan Donita. "Aha... bener juga sih, Mbak. Aku aja dulu sempat bingung dengan hubungan Pak Keenan dengan m
Bab 159"Tidurlah di sini. Aku nggak masalah tidur di sofa ruang tamu." Pria itu menahan tubuh Naira dengan tangannya supaya tetap di posisinya yang tengah berbaring di samping Gibran. Balita cowok itu baru saja tertidur setelah dibacakan dongeng oleh Naira."Tapi Mas...""Udah, nggak ada tapi-tapian. Laki-laki bisa tidur di mana saja. Di sini kamu juga ditemani oleh Donita dan Arga. Semoga saja kamu nggak keberatan dengan tangisan Arga yang sering terbangun minta ASI." Pria itu tetap menekan bahu Naira dan membuat gadis itu tak berkutik."Tapi nggak enak sama Mas. Mas kan tuan rumah, masa iya tidur di sofa sih?""Justru karena tuan rumah harus memberikan yang terbaik kepada tamu, tapi kamu bukan tamu sih. Aku menganggap kamu bagian dari rumah ini.""Kamu nggak keberatan kan tiap akhir pekan menginap di sini?" tanya Donita menimpali."Ke mana Gibran pergi, aku selalu bersamanya, Mbak. Namanya juga pengasuh," jawab Naira seraya menoleh pada perempuan itu.Dia baru menyadari jika ternya
Bab 158"Maaf," gumam Keenan. Dia menarik Naira untuk duduk di sisinya, setelah Eliana berhasil mereka usir secara halus dari apartemen ini."Kenapa semua ini Mas lakukan? Drama macam apa ini?? Ini sama sekali nggak lucu, tahu!" protes gadis itu. Dia bermaksud memberontak dan menjauh, tapi Keenan tentu tidak akan membiarkan gadis ini menjauh darinya dalam keadaan masih marah."Kalau nggak begitu, nanti dia akan mengira melunaknya sikapku akhir-akhir ini sebagai lampu hijau. Padahal aku sama sekali nggak ada niat untuk balik lagi sama perempuan itu. Sudah cukup semuanya, Nai. Aku lelah.""Tetapi itu tidak cukup untukku, Mas. Mas pikir saja sendiri, apa yang akan dilakukan Bu Eli karena mengira aku ini kekasihnya Mas!""Kamu tenang saja, Naira. Aku nggak akan membiarkan Eliana mengganggumu, lagian kamu kan tinggal bersama keluarga El Fata. Kamu bisa minta bantuan Alifa dan Aariz. Mereka pasti akan melindungimu dan memaklumi kejadian siang ini.""Iya, aku tahu, Mas. Tapi ini nggak mungki
Bab 157Eliana melenggang begitu saja mendekati Keenan yang masih ternganga.Tentunya ia tak menduga mantan istrinya ini muncul kembali, apalagi di situasi seperti ini, sedang ada Gibran dan Naira di apartemennya. Biasanya mantan istrinya ini hanya menelpon Ina dan mereka bertemu di suatu tempat, tempat yang tak begitu jauh dari apartemen.Keenan memang memberikan keleluasaan bagi Eliana untuk bertemu putrinya. Kebaikan Keenan yang ditanggapi lain oleh Eliana. Dia mengira jika mantan suaminya ini kembali luluh, dan bisa menerima dirinya kembali, meskipun tubuhnya tak lagi utuh seperti semula. Kini ia sudah kehilangan dua payudaranya.Sementara Naira berdiri kaku, menyadari kesalahannya yang main buka pintu saja, sehingga meloloskan Eliana masuk ke apartemen ini. Gadis itu tahu apa artinya. Bisa-bisa terjadi keributan, padahal ia sedang berada di apartemen ini. Andaikan ia tidak sedang berada di sini, masa bodoh lah. Biarkan saja Keenan, Donita dan Ina yang menghadapi perempuan sakit j
Bab 156Sepertinya keputusan Keenan untuk menghubungi Aariz adalah keputusan yang salah. Dia tak pernah menyangka jika ternyata Aariz menyambut panggilan videonya bersama dengan Alifa.Dan dia harus menyaksikan pemandangan itu.Perempuan yang dicintainya begitu dalam ini tengah menyadarkan kepala dengan manja di dada Aariz. Tak ada yang salah sebenarnya dengan sikap Alifa, karena nyatanya pria itu adalah suaminya sekarang. Hanya saja ada rasa nyeri yang terasa menusuk di hati.Meski ia tetap berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan perasaan cemburunya.Ah, ya. Apakah masih pantas ia cemburu, padahal ia sudah kalah sekarang?"Iya, Mas, ada apa?""Maaf, Riz, aku berencana membawa Gibran menginap di apartemen. Apakah kamu dan Alifa mengizinkan?" Pria itu menelan ludahnya. Hampir saja dia tak bisa bersuara lantaran matanya duluan menyaksikan pemandangan yang menyesak di hati ini."Kebetulan sekali aku dan Alifa memang berencana untuk menginap semalam di villa keluarga, jadi kamu beba
Bab 155Alifa sudah menghabiskan dua biji kue talam ubi saat penjaga villa ini muncul. Pria setengah baya itu membawa bahan makanan yang ia request. Beruntungnya ikan-ikan itu sudah dibersihkan. Jadi mereka tinggal membuat bumbu dan melumuri ikan-ikan itu dengan bumbu."Awas... sambalnya jangan terlalu pedas ya." Aariz mengingatkan dari halaman belakang villa ini. Pria itu tengah berusaha menyalakan api dan membuat bara untuk membakar ikan. Sementara Alifa memang tengah menyiapkan bahan untuk membuat sambal terasi."Iya, aku ngerti kok. Lagian si adik juga nggak bakal kepedesan di dalam perutku," kekeh perempuan itu.Teras belakang villa ini sengaja disulap menjadi dapur dadakan. Ada kompor gas satu tungku yang diletakkan di tempat itu, lengkap dengan peralatan masak. Alifa kini tengah menumis bawang, cabe dan tomat. Aroma harum menguar membuat perut semakin keroncongan."Kamu ini bisa aja jawabnya. Nakal ya," keluh pria itu. Dia tidak merespon apapun lagi, tetapi fokus untuk membuat
Bab 154Alifa memiliki prinsip yang kuat dalam urusan sebuah hubungan. Dia akan mempertahankan mati-matian, tetapi jika sudah terlepas, maka tidak ada jalan untuk kembali. Perempuan itu rupanya ingin memberi pelajaran untuk para pria yang terikat hubungan dengannya, agar tidak main-main dengan yang namanya talak.Aariz mendapatkan pelajaran dari kisah rumah tangga Alifa sebelumnya. Dia berjanji akan menjaga perempuan ini selamanya, apalagi semakin hari semakin dalam perasaannya pada perempuan itu. Meski awalnya hanya menganggap Alifa seperti teman, bahkan parahnya seperti adik angkat, tetapi akhirnya dia bisa memandang Alifa sama seperti ia memandang kepada seorang perempuan. Dia bisa menyayangi Alifa sebagai seorang istri, dan kini dia membuktikan semua ucapannya. Dia pun menepati janjinya kepada sang ibunda menghadirkan cucu untuknya, cucu yang berasal dari darah dagingnya sendiri dengan seorang perempuan yang ibunya ridha kepadanya.Pembicaraan mereka malam ini berakhir setelah Aar