Bab 3
Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah membuangku. Tidak mungkin aku meminta bantuan kepadanya. Dia sudah memberi syarat jika ingin kembali ke pelukannya, harus mau mengakui sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Bukankah itu artinya dia tidak akan pernah menganggap anak ini sebagai anaknya? Dia akan menganggap bahwa anak ini adalah bukti perselingkuhanku. "Saya sudah tidak punya keluarga, Mbak." "Kalau begitu baiklah. Nanti untuk pendaftaran, akan ada petugas yang datang ke ruangan ini untuk membantu," ujarnya. "Tanpa registrasi dan penanggung jawab, kami tidak bisa memberikan tindakan lebih lanjut," tambahnya. Wanita muda itu kini sudah selesai memasangkan infus untukku. "Terima kasih, Mbak. Wanita muda itu mengangguk dan segera berlalu. Aku menghela nafas, lalu meraba tas kecil yang tergeletak di sisi bantalku dengan satu tangan yang tidak terpasang selang infus. Sepuluh menit kemudian, petugas yang berasal dari bagian administrasi pun muncul dengan membawa sebuah buku besar dan ponsel. "Maaf Bu, rumah sakit ini tidak memberikan pelayanan untuk pasien BPJS. Apakah Ibu mau mendaftar sebagai pasien umum saja?" ujarnya sopan. Perempuan itu menatapku dengan sorot mata kasihan. Mungkin iba dengan wajahku yang terlihat kusut dan bingung. Aku urung memberikan kartu BPJS itu kepadanya. Ya Tuhan! Aku melupakan fakta jika rumah sakit milik dokter Aariz merupakan rumah sakit yang tidak bekerjasama dengan BPJS, sehingga kartu BPJS tidak akan diterima di sini Apa yang harus aku lakukan? Mendaftar sebagai pasien umum tentu biayanya sangat besar. Aku tidak tahu tindakan apa yang akan dijalani untuk menghentikan pendarahan ini. Namun, mengingat kehidupan kecil yang harus aku perjuangkan, tanpa sadar aku pun mengangguk. Pindah ke rumah sakit milik pemerintah juga tidak mungkin. Urusan administrasi yang ribet dan lambatnya penanganan bagi pasien BPJS membuatku berpikir ulang. "Iya Mbak, saya akan mendaftar sebagai pasien umum saja." "Baiklah, Bu." Perempuan itu segera melakukan tugasnya Dia meminta kartu pengenal yang untungnya sudah bisa kuurus kembali atas bantuan dari bidan di puskesmas. Setelah semuanya selesai, petugas bagian administrasi itu pergi. Di saat yang hampir bersamaan dua orang petugas laki-laki datang dan membawaku keluar menuju ruangan untuk USG. "Kita periksa dulu ya, Bu." Suara dokter Aariz masih saja tetap lembut dan ramah seperti biasa. Dia menempelkan alat ke perutku dan menatap layar. "Wah, letak plasentanya udah menutup jalan lahir dengan sempurna, Bu. Pantas saja Ibu mengalami pendarahan." "Jadi gimana itu solusinya Dok?" "Tidak apa-apa. Hanya saja ibu tidak bisa melahirkan secara normal. Kami akan melakukan persiapan untuk tindakan operasi.... "Operasi? Harus, Dok?" Duniaku terasa runtuh seketika. Seandainya mas Keenan masih berada di sisiku, tentu ini bukan masalah. Tapi nyatanya aku hanya sendirian. Rumah sakit ini tidak menerima pasien BPJS. Aku terdaftar sebagai pasien umum yang berarti biaya harus aku tanggung sendirian. Biaya operasi caesar di rumah sakit ini paling sedikit 15 juta, itu pun belum termasuk jika ada tindakan atau obat-obatan tambahan di luar paket. "Tidak ada jalan lain, Bu. Maaf. Jika kehamilan Ibu terus dibiarkan, maka pendarahan akan semakin sering dan itu akan mengancam nyawa ibu dan bayi. Lagi pula, umur kehamilan Ibu sudah cukup. 36 minggu. jadi lebih baik kita akhiri kehamilan ibu sekarang juga." "Langsung operasi, Dok?" Aku bertanya seperti orang bodoh saking bingungnya. Otakku masih berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang dalam tempo yang cepat. Uang tabunganku jelas tidak cukup untuk membayar biaya persalinan dengan tindakan mahal seperti SC. "Iya, Bu. Kami akan segera menyiapkannya," ujar asisten pribadi dokter Aariz yang bernama Reva itu. Akhirnya aku pun pasrah. Aku kembali ke ruangan IGD dan harus puasa. *** Proses persalinanku berjalan dengan lancar. Mendengar suara tangis bayi membuatku tak kuasa menahan rasa haru. Dua titik bening menetes begitu saja, yang di seka dengan lembut oleh seorang perawat yang bertugas di dekatku. "Selamat ya, Bu. Anak ibu laki-laki." Senyum bahagia terus-terusan terkembang di bibirku. Akhirnya setelah penantian yang panjang, aku berhasil menjadi seorang ibu. Rasanya segala derita yang selama ini kuderita terbayar sudah. Aku sudah membayangkan akan mendekap erat putraku meski dengan kondisi yang seadanya. Aku berjanji akan lebih keras lagi bekerja agar kami berdua bisa hidup dengan layak. Biarkan saja mas Keenan tidak tahu keberadaan putranya. Bahkan kalau pun ia tahu, belum tentu juga ia mau menerima anak ini. Bukankah aku dianggapnya sudah selingkuh? Bukankah ia menganggap tubuh ini sudah hina dan kotor? Tidak menutup kemungkinan jika ia menganggap anak ini sebagai anak selingkuhanku. "Kenapa kamu nggak cerita sama Ibu jika kamu sedang hamil?" omel perempuan baik hati itu. Akhirnya ibu Sabrina muncul di ruang perawatanku siang ini. "Maaf Bu, aku sengaja menyembunyikannya karena aku takut ibu akan memberhentikanku, sementara aku sedang sangat butuh uang. Aku nggak punya siapa-siapa, Bu," ujarku. "Tapi kenapa kamu nggak membagi bebanmu kepada ibu?" "Karena aku masih sanggup menanggung semuanya sendiri, Bu. Ibu sudah cukup baik memberiku tumpangan dan pekerjaan. Itu sudah lebih dari cukup. Aku nggak ingin merepotkan Ibu...." "Tapi bagaimana dengan biayanya?" Perempuan paruh baya itu menatap sekeliling ruangan. Ini adalah ruangan kelas standar di rumah sakit ini. Tapi meski ini adalah ruangan kelas standar, yang merupakan ruangan paling murah jika dibandingkan dengan ruangan VIP dan VVIP, tetapi fasilitasnya cukup lengkap. Di samping ranjang dan lemari pasien, ada juga sofa dan televisi LCD. Ruangan ini pun ber-ac. Ruangan ini dilengkapi dengan kamar mandi dengan kloset duduk. Tak cuma itu, semua keperluan mandi sudah disediakan. Di atas lemari kecil samping ranjang pasien ada sekeranjang air mineral dan tisu. Ah, ruangan perawatan ini mirip kamar hotel saja, padahal ini adalah kamar perawatan kelas termurah yang ada di rumah sakit ini. Tidak salah jika rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina milik dokter Aariz ini adalah rumah sakit terbaik di kota ini. Seharusnya memang aku tidak masuk ke rumah sakit ini dan memilih rumah sakit pemerintah saja yang menerima layanan BPJS. Tapi pikiranku tadi pagi benar-benar kalut. Aku ingin mendapatkan pelayanan kesehatan secepat mungkin dan hanya rumah sakit ini yang paling dekat dengan toko tempat tinggalku. Lagi pula, ini adalah naluri seorang ibu yang ingin memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Aku tidak mau kandunganku terlambat ditangani dan akhirnya terjadi apa-apa dengan bayiku. Keesokan harinya aku sudah diperbolehkan untuk duduk. Setelah selesai sarapan, seorang perawat datang, lalu menyuntikkan obat melalui selang infus. Kondisiku sudah jauh lebih baik. Rasa nyeri pasca operasi yang kurasakan pun sudah jauh berkurang. "Maaf Bu, kami harap Ibu bisa ikhlas dan sabar." Wanita bernama Ariana yang merupakan dokter anak di rumah sakit ini memberi isyarat kepada seorang perawat yang tengah menggendong seorang bayi. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menanggulangi infeksi yang diderita oleh si Adek, tapi ternyata Allah berkehendak lain. Dengan sangat menyesal, kami tidak bisa menyelamatkannya." Dokter Ariana menangkupkan tangan di dadanya. Ekspresi wajahnya terlihat sangat sedih. "Apa?!" Aku ingin berteriak tapi tenggorokanku seperti di cekik. Aku menatap nanar pada sesosok bayi yang masih berada di gendongan perawat itu. "Jadi bayi saya....."Bab 4 Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang?Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis. "Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku. Kenapa takdir begitu kejam? Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja? Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil ny
Bab 5Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias."Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung."Ah iya, saya
Bab 6"Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku."Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang.Buat apa tersinggung?Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan."Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak."Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya."Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu."Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, karena sesaat menjel
Bab 7Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini.Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman.Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu hanya tersenyum get
Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara
Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere
Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci
Bab 11Aku mengangguk. "Tentu saja, Dok. Saya akan patuhi semua aturan dari Dokter dan Mas Atta.""Baiklah, Alifa. Saya hanya bisa mengantar kamu sampai sini." Pria itu menyentuh tombol di pintu, lalu pintu itupun terbuka. "Silahkan masuk. Saya akan menghubungi Atta untuk memberitahu, supaya dia tidak perlu kaget jika melihat keberadaan kamu dan Gibran di apartemennya.""Apakah Mas Atta akan tinggal di sini?" tanyaku. Aku melongok ke dalam dan menyadari jika apartemen ini ukurannya tidak terlalu luas."Kadang-kadang. Terkadang dia masih menyukai tinggal di rumah utama, tapi tak jarang dia pun pulang ke apartemennya sendiri."Aku tidak lagi menanyakan apa-apa dan membiarkan dokter Aariz meninggalkan tempat itu setelah memberitahukan password pintu masuk apartemen ini.Kuhela nafas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungku di sandaran sofa, menikmati geliat tubuh Gibran yang tampak gelisah. Aku mengeluarkan aset pribadiku dan mulai menyusui Gibran. Tidak ada perlengkapan bayi di apar
Bab 21Aku mulai mengeluarkan perlengkapan bayi milik Zaid dari dalam lemari. Baju, celana, bedongan, gendongan, kasur bayi, bantal, guling, beberapa kaos kaki dan topi. Ada pula perlengkapan mandi dan perawatan bayi. Semuanya lengkap, tidak kurang suatu apapun, meskipun barang-barang itu berasal dari merk yang harganya murah.Keterbatasan ekonomi membuatku berpikir ulang untuk menyiapkan perlengkapan bayi dengan budget wow, meskipun sebagai seorang ibu aku menginginkan yang terbaik. Itu pun aku harus mencicilnya sedikit demi sedikit dari toko ibu Sabrina."Bener juga, sebaiknya disumbangkan saja, daripada mubazir," ucapku dalam hati. Jika ke depannya aku menikah kemudian punya anak lagi, aku bisa membelinya lagi. Namun fokusku sekarang bukan soal itu. Aku harus menjalankan peranku sebagai ibu susu bayi dokter Aariz ini, dan nanti akan bekerja di perusahaannya seperti yang ia janjikan.Tak sepatutnya aku memikirkan soal jodoh. Aku pun masih trauma dengan yang namanya pernikahan. Pria
Bab 20Sejenak aku tertegun. Pria itu bergerak begitu lihai, tak terlihat canggung sama sekali.Hebat!Sungguh tak bisa dipercaya jika dokter Aariz bisa melakukan pekerjaan dapur. Ini kejutan. Selama ini aku berpikir jika dokter Aariz hanya piawai memainkan pisau bedah saja.Aku memilih menumis ati ampela lebih dulu, kemudian membuat nasi goreng. Untung saja bumbu-bumbunya sudah aku persiapkan, karena itu adalah bumbu jadi, tapi buatanku sendiri. Bumbu basah yang biasa menjadi andalanku ketika ingin memasak lebih cepat yang stoknya selalu tersedia di kulkas."Harum sekali," komentar dokter Aariz. Terlihat sekali ia sangat puas dengan hasil masakanku."Terima kasih sudah bantu saya memasak. Nggak nyangka ternyata dokter Aariz bisa memasak. Kirain hanya bisa memainkan pisau bedah saja." Aku terkekeh.Pria itu pun seketika tergelak. "Cuma mengiris ati ampela saja, Ifa. Kamu terlalu melebih-lebihkan.""Itu juga sangat membantu, Dok." Aku segera menyiapkan piranti makan dan mengisi piring
Bab 19Gibran masih asyik menyusu tatkala suara bel di depan berbunyi. Matanya yang baru saja terpejam membuatku terpaksa melepas puting payudaraku dari mulut mungil itu, lalu mengangkat tubuhnya dengan hati-hati, merebahkannya di kasur, di samping Naira.Sembari memberi kode kedipan mata dengan baby sister itu, aku perlahan melangkah keluar kamar dan menuju pintu depan. Terhitung sudah dua kali bel berbunyi. Aku mengintip melalui kaca kecil yang berada di tengah pintu."Dokter Aariz?" gumamku. Aku segera menekan tombol dan akhirnya pintu pun terbuka.Seketika aku menaikkan alis, menyadari penampilan pria yang bertubuh tinggi besar itu. Hari memang sudah malam dan penampilan pria itu tidak terlihat seperti orang yang baru datang dari rumah sakit."Apakah Gibran sudah tidur?" tanya pria itu."Iya Dok, dia di kamar bersama dengan Naira," jawabku.Pria itu mengangguk. Aku pikir dia akan langsung masuk ke dalam kamar, tapi ternyata dia malah duduk di sofa dan menepuk-nepuk tempat duduk
Bab 18Keenan terus melangkah sembari menekan dadanya. Sungguh sesak rasanya membayangkan Alifa berada dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain."Kurang apa aku selama ini, Sayang? Mengapa kamu lakukan itu? Kenapa kamu tak pernah kembali dan menyadari kesalahanmu, sampai akhirnya aku terpaksa menikahi Eliana dan mendapatkan anak darinya?" Pria itu memejamkan mata sejenak setelah ia mendaratkan tubuhnya di balik kemudi.Keenan menghidupkan mesin mobil, dan mobil itu pun perlahan keluar dari pekarangan rumahnya, lalu meluncur ke jalan raya. Tak ada tujuan Keenan saat ini. Dia hanya ingin menenangkan diri.Keenan mengemudikan kendaraannya begitu lambat, sembari menatap ke depan.Perutnya sudah berdemo minta di isi. Sebenarnya ia ingin makan malam di restoran, tetapi rasanya begitu hambar jika makan sendirian. Belum apa-apa moodnya sudah rusak.Mobil terus meluncur. Dia sudah melewati beberapa restoran. Namun tak ada satupun yang menarik perhatian untuk disinggahinya.Sa
Bab 17Selesai mengazankan putrinya, Keenan kembali menyerahkan kepada perawat yang langsung membawanya kembali ke ruang bayi baru lahir.Pria itu menghela nafas. Dia mengarahkan pandangannya ke depan. Sosok perempuan tua yang tak lain adalah ibunya itu muncul, tengah berjalan mendekatinya."Bagaimana keadaan Eliana?" tanyanya dengan nafas terengah-engah. Berjalan dari lokasi parkir ke tempat putranya sekarang berada membuatnya sedikit merasa lelah."Masih di ruang operasi, Ma," jawab Keenan."Operasi?!" Perempuan tua itu langsung membulatkan matanya. "Memangnya kenapa sih harus operasi? Ada masalah apa?""Dia yang minta, Ma. Katanya udah nggak kuat menahan sakit," ujarnya datar. Keenan merasa tidak perlu menutupi keadaan yang sebenarnya. Bukankah Eliana itu menantu kesayangan ibunya?"Mana ada proses melahirkan yang nggak sakit, Keenan?" cetusnya kesal. "Istrimu itu memang manja!""Itu istri pilihan Mama loh, jadi jangan komplain!" sindir Keenan."Bedalah kalau yang melahirkan itu Al
Bab 16Aku yang sedang makan langsung tersedak, buru-buru mengambil air minum dan segera menegak cairan putih itu sampai isi gelas tinggal separuh.Eliana mau melahirkan?Entah kenapa ada rasa nyeri yang menyergap di hatiku.Aku teringat mendiang anakku, Zaid, yang tidak diketahui keberadaannya oleh mas Keenan. Dan sekarang dia sudah mendapatkan gantinya. Anaknya akan segera lahir. Anak yang ia nantikan selama ini akan lahir dari rahim Eliana, istri barunya.Aku harus bilang apa sekarang? Aku juga tidak bisa bersikap apapun, bahkan mendoakan semoga semua proses persalinannya lancar pun tidak bisa. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku. Aku tidak membenci mas Keenan ataupun Eliana. Hanya saja, aku tidak bisa melupakan perlakuan mereka yang begitu kejam.Dituduh berzina, selingkuh, dikata-katai seorang pelacur, dan akhirnya diceraikan. Aku bukan cuma kehilangan suami dan harta, tapi juga nama baik dan harga diri. Aku terisolir dari lingkungan pergaulanku karena semua orang menganggapk
Bab 15"Hebat sekali," gumamku tanpa sadar."Biasa saja. Saya hanya menyayangi para perempuan dan ingin agar mereka bisa melahirkan senyaman mungkin. Saya menginginkan setiap perempuan bisa melewati proses persalinannya senyaman liburan. Kamu sudah ngerasainnya, bukan?" Lagi-lagi pria itu tersenyum.Mimpi apa aku semalam, sehingga sore ini dokter Aariz terlihat jauh lebih ramah, padahal tidak ada Gibran di dekatku."Ya, saya merasakan pelayanan paripurna dari RSIA Hermina. Excellent." Tanpa sungkan aku mengacungkan jempol."Terima kasih atas reviewnya. Kami berusaha melayani sebaik mungkin. Jika memang ada harga yang harus dibayar, itu adalah hal yang wajar, karena ada obat yang harus dibeli, karyawan yang harus dibayar upahnya, listrik, air, dan semua keperluan yang tidak bisa diselesaikan tanpa menggunakan uang.""Tentu saja. Di balik itu, tanpa harus mengurangi tingkat keikhlasan dari tim dan dokter, kan?""Pintar kamu, Alifa." Pria itu pun membalas dengan mengacungkan jempol.Dokt
Bab 14Ini bukan kedekatan seorang majikan kepada pekerjanya.Ini lebih intim.Aariz melihat sendiri dari gestur tubuhnya, adiknya terlihat menyukai Alifa. Atau jangan-jangan mereka memang sudah dekat duluan sebelum Alifa melahirkan?Lalu, dimana sebenarnya Atta kenal dengan Alifa? Kapan mereka berkenalan?Ah, rasanya Atta mulai main rahasia dengannya.Memang menurutnya ini sedikit janggal. Tiba-tiba saja Atta begitu perhatian dengan anaknya, bahkan sampai rela mencarikan seorang ibu susu. Dan ibu susu pilihan Atta adalah Alifa.Iya sih, Alifa itu sehat setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan air susunya pun melimpah. Ibunya pun setuju jika Alifa menyusui Gibran.Tapi apa benar alasan Atta, jika sengaja menyuruh Alifa untuk menyusui Gibran dengan tujuan untuk menghibur perempuan itu? Jadi sebenarnya yang menjadi pusat perhatian Atta itu siapa? Alifa atau Gibran?Pria itu menghela nafas, lalu segera berjalan menuju ruang tamu."Saya berangkat dulu, Alifa. Sudah ditunggu sama Nia d
Bab 13Pengalaman indah?Ya, aku memang memiliki kenangan indah bersama dengan mas Keenan. Tapi itu dulu, sebelum orang-orang di dalam keluarga mas Keenan merencanakan makar untuk memisahkan kami."Aku tidak punya kriteria apapun. Yang penting dia pria yang baik. Sudah, itu saja.""Cuma itu?!" Atta tampak kaget. "Wanita secantik Mbak Alifa tidak punya kriteria tentang suami idaman?""Nggak, Mas." Aku tersenyum geli, merasa lucu dengan pertanyaan pria itu. Bukan cuma pertanyaannya, tetapi juga dengan gestur tubuhnya yang di mataku terlihat menggemaskan, mirip seorang pria yang ingin menembak seorang wanita saja. Namun aku segera menepis dugaan itu, karena tidak mungkin juga Mas Atta akan menembakku.Dibalik perhatiannya yang detil, Atta selalu bersikap sopan, menghormati, dan tidak pernah menggodaku, padahal ia tahu jika aku seorang janda.Namun pria itu balas tersenyum. Dia tak menanyakan apapun, tetapi malah bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju kamar, lalu merebahkan Gibran denga