Home / Rumah Tangga / Menyusui Bayi Dokter Tampan / Kenapa Takdir Begitu Kejam?

Share

Kenapa Takdir Begitu Kejam?

Author: Jannah Zein
last update Last Updated: 2025-01-04 22:01:23

Bab 4

Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja.

Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang?

Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis.

"Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku.

Kenapa takdir begitu kejam?

Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja?

Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil nyawaku?!

Aku meraung tanpa henti sembari memeluk erat tubuh mungil yang sudah dingin itu.

"Sudahlah, Bu. Semua sudah takdir," ucap perawat perempuan itu menghiburku.

"Tapi takdir ini begitu kejam. Aku nggak sanggup!"

"Ibu pasti sanggup. Bukannya Ibu sudah mengalami banyak hal selama mengandung dan melahirkan Adek?"

"Aku bisa menerima cobaan apapun, tapi bukan kehilangan anakku!" Bahuku berguncang hebat.

Aku tak sanggup, sungguh aku tak sanggup menghadapi kenyataan ini.

Akan tetapi, bagaimana mungkin aku bisa menolak takdir?

Menangis darah sekalipun takkan bisa menghidupkan bayiku kembali.

Aku pasrah pada nasibku. Pihak rumah sakit menanyakan soal keluargaku, tetapi aku hanya mampu menggeleng, bahkan akhirnya meminta para petugas rumah sakit untuk menyelenggarakan jenazah bayiku.

Mereka yang memandikan dan memakamkan. Aku sendiri tidak bisa mengiringi sampai ke pemakaman, karena aku harus tetap menjalani proses pemulihan di ruangan perawatanku. Pihak rumah sakit tentu tidak mau ambil resiko jika seandainya terjadi apa-apa denganku lantaran terlalu banyak bergerak pasca operasi.

Hanya ibu Sabrina yang mengiring prosesi bayiku sampai pemakaman, mewakili pihak keluarga.

"Malangnya nasibmu, Nak. Apa kamu merasa kehadiranmu tidak akan diakui oleh Papa, sehingga kamu memilih pergi?!" Aku kembali meraung.

Aku baru bisa pergi ke pemakaman bayiku setelah keluar dari rumah sakit keesokan harinya. Beruntung pihak rumah sakit bersedia memberikan keringanan, mungkin lantaran iba dengan nasibku. Aku cukup membayar sebesar 7 juta sesuai uang yang ada padaku saat ini, sementara sisanya boleh dicicil. Aku pun mendapatkan diskon, karena bayiku meninggal saat berada di rumah sakit.

Di balik segala kesulitan pasti ada kemudahan. Namun itu takkan mampu mengurangi kesedihanku. Rasanya separuh jiwaku pergi bersama dengan kepergian bayiku yang kehadirannya sudah lama aku nantikan. Tak peduli papanya mengakui atau tidak, tetapi dia adalah buah hatiku, sebagian dari diriku.

"Zaid, maafin Mama karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kamu. Mama pun nggak bisa ngasih tahu soal kehadiranmu ke Papa, karena Papa kamu sudah membuang Mama. Mama takut Papa kamu nggak percaya jika kamu anak Papa. Papa kamu lebih mempercayai keluarganya sendiri, Nak."

"Doain Mama ya, semoga Mama kuat. Doain Mama semoga Mama banyak rezeki biar nanti bisa beli kambing untuk aqiqah Zaid. Doain Mama ya, Sayang. Mama yakin suatu saat kita pasti akan bertemu kembali dengan keadaan yang lebih baik. Mama percaya kamu pasti melihat di atas sana gimana kondisi Mama saat ini. Percayalah... Mama hanyalah manusia biasa yang juga memiliki rasa sakit."

"Mama nggak tahu gimana caranya melanjutkan hidup tanpa kehadiran kamu. Apa yang harus Mama lakukan, Sayang?" Aku memegang dadaku. Sepasang gunung kembar milikku itu terasa sangat keras dan itu sudah sejak kemarin.

Tapi bagaimana mungkin aku bisa menyusui putraku, jika sekarang saja jasadnya telah terbujur di dalam tanah?

Air mataku kembali menitik tatkala menyadari cairan putih di dadaku itu mulai merembes. Bra yang kukenakan sudah basah oleh air susu.

Ya Tuhan, bagaimana ini? Haruskah air susu yang Engkau ciptakan ini terbuang sia-sia?

"Mbak Alifa?" sapa seorang laki-laki yang rupanya baru saja memasuki kompleks pemakaman ini dan kini berdiri tak jauh dariku.

Pria muda bertubuh tinggi dan gagah. Pakaian yang dikenakannya pun sangat bagus, berbanding terbalik denganku yang hanya mengenakan gamis lusuh.

"Iya, Mas." Aku mengangguk. "Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Ya, Mbak. Kalau Mbak Alifa tidak berkeberatan, saya ingin bicara," ujarnya sembari mengangguk.

"Bicaralah, Mas." Aku berjalan mendekatinya.

"Kenalkan, nama saya Atta. Saya adiknya dokter Aariz. Kita sudah bertemu saat Mbak Alifa berada di bagian administrasi tadi, bukan? Sekali lagi, saya turut berduka cita atas meninggalnya putra Mbak Alifa dan kami selaku pihak rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina sangat menyesalkan kejadian ini."

"Tak apa, Mas. Saya sudah pasrah. Mungkin memang ini yang terbaik untuk Zaid."

Ya, setidaknya aku berpikir seperti itu untuk menghibur hatiku. Bukankah anak yang meninggal di saat mereka masih kecil itu akan menjadi tabungan orang tuanya? Bukankah anak-anak itu nantinya akan menunggu orang tuanya di pintu surga?

"Saya berharap Mbak Alifa kuat," ucap pria itu terlihat bersungguh-sungguh. Pria itu membungkuk dan mengambil tas lusuh milikku, lalu memintaku untuk berjalan di sampingnya.

Rupanya ada sebuah mobil yang sedang terparkir di samping komplek pemakaman ini.

"Masuklah, Mbak. Kita akan bicara di tempat yang lebih baik dan nyaman." Dia membuka pintu mobilnya lebar-lebar, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya seolah memberi hormat.

Aku menurut saja saat pria itu membawaku ke sebuah cafe yang terlihat agak sepi. Tak ada alasanku tidak percaya dengan pria itu. Dia terlihat sungguh-sungguh dan ramah. Tidak mungkin ia mencelakakanku, apalagi aku mengenalnya saat berada di rumah sakit tadi. Dia pula yang memerintahkan kepada petugas bagian administrasi untuk memberikan keringanan dan diskon sebagai bentuk dukungan dan ungkapan duka cita dari pihak rumah sakit.

"Mohon maaf sekali jika saya lancang." Atta menangkupkan tangan di dadanya. Dia menatapku lurus. Namun aku merasa jika tatapannya malah berfokus kepada dadaku. "Dada Mbak sepertinya cukup keras. ASI-nya banyak, Mbak?"

"ASI?" Sontak aku menatap dadaku. Ternyata bukan cuma bra yang basah, tapi juga kain baju di bagian dadaku pun basah, dan itu yang terlihat jelas oleh Atta.

Aku pun mengangguk. "Sepertinya iya, Mas. Kalau stok asinya nggak melimpah, bagaimana mungkin kain baju saya di bagian dada bisa basah seperti ini? Maaf jika penampilan saya jadi nggak sopan."

"Nggak masalah itu, Mbak. Namanya juga ibu menyusui."

"Tapi yang disusui udah nggak ada," lirihku sambil menunduk.

"Jika saya menawarkan kepada mbak Alifa untuk menyusui seorang bayi, apakah mbak Alifa bisa menerima?"

"Menyusui bayi?"

"Bener, Mbak. Saat ini ada seorang bayi yang sangat membutuhkan air susu. Namanya Gibran dan dia adalah keponakan saya yang juga baru lahir...."

"Anak dokter Aariz?" tebakku asal.

"Betul, Mbak." Pria itu tersenyum. "Kami tidak mungkin memberikan susu formula karena tidak ada satupun merk susu formula yang cocok untuknya. Dia hanya mau ASI, sementara...."

"Ibunya ke mana, Mas?" tanyaku tak sabar.

"Gibran dan ibunya, Winda dipisahkan paksa oleh kedua orang tua Winda. Keluarga kami dan keluarga istri Mas Aariz itu memang berkonflik sejak lama. Ceritanya panjang, Mbak. Nanti kapan-kapan aku akan bercerita soal mereka."

Aku mengangguk. Cukup hanya sekedar itu. Tidak mungkin aku bertanya detail kepada Atta, karena rasanya tidak etis.

"Saya turut prihatin, Mas."

"Jadi bagaimana nih Mbak apakah Mbak bersedia menjadi ibu susunya keponakan saya?"

Related chapters

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Tawaran Menjadi Ibu Susu

    Bab 5Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias."Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung."Ah iya, saya

    Last Updated : 2025-01-08
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Hadiah Kecil

    Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar

    Last Updated : 2025-01-09
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Mengingat Alifa

    Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha

    Last Updated : 2025-01-09
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Kelemahan Keenan

    Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara

    Last Updated : 2025-01-10
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Kita Sudah Selesai

    Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere

    Last Updated : 2025-01-10
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Maafkan Saya, Dok

    Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci

    Last Updated : 2025-01-11
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Makan Malam Dengan Atta

    Bab 11Aku mengangguk. "Tentu saja, Dok. Saya akan patuhi semua aturan dari Dokter dan Mas Atta.""Baiklah, Alifa. Saya hanya bisa mengantar kamu sampai sini." Pria itu menyentuh tombol di pintu, lalu pintu itupun terbuka. "Silahkan masuk. Saya akan menghubungi Atta untuk memberitahu, supaya dia tidak perlu kaget jika melihat keberadaan kamu dan Gibran di apartemennya.""Apakah Mas Atta akan tinggal di sini?" tanyaku. Aku melongok ke dalam dan menyadari jika apartemen ini ukurannya tidak terlalu luas."Kadang-kadang. Terkadang dia masih menyukai tinggal di rumah utama, tapi tak jarang dia pun pulang ke apartemennya sendiri."Aku tidak lagi menanyakan apa-apa dan membiarkan dokter Aariz meninggalkan tempat itu setelah memberitahukan password pintu masuk apartemen ini.Kuhela nafas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungku di sandaran sofa, menikmati geliat tubuh Gibran yang tampak gelisah. Aku mengeluarkan aset pribadiku dan mulai menyusui Gibran. Tidak ada perlengkapan bayi di apar

    Last Updated : 2025-01-12
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Pelatihan Jadi Seorang Ayah

    Bab 12Dibandingkan dengan dokter Aariz, Atta memang lebih hangat dan membuatku nyaman dari pertama kali bertemu. Pria itu pula yang pertama kali menawarkan untuk menyusui keponakannya.Aku mengangguk, lalu kembali menyuap nasi goreng yang terasa begitu lezat di lidahku. Atta pun begitu juga. Kami makan dengan sangat lahap karena memang belum makan apapun semenjak sore tadi. Aku bahkan sengaja nggak masak dan berjanji kepada Naira untuk membawakan makanan untuknya.Selesai makan, aku pun bangkit dari kursi dan berjalan menuju sisi cafe ini. Cafe ini didesain terbuka, jadi tinggi dindingnya hanya setengah badanku. Sementara bagian atas dibiarkan terbuka, sehingga terkesan tempat ini menyatu dengan alam. Aku menikmati pemandangan beberapa orang yang masih saja berlarian di bibir pantai sembari bermain pasir. Tampak begitu ceria dan bahagianya mereka.Aku menggigit bibirku. Getir sekali. Dulu aku seringkali dibawa mas Keenan menghabiskan waktu di pantai seperti ini.Ah, kenapa otakku ti

    Last Updated : 2025-01-13

Latest chapter

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 96

    Bab 96Hari terus berganti.Meski Donita terus menolak tawarannya, tetapi Keenan tetap memperlihatkan perhatian pada wanita itu. Membuatkan susu ibu hamil, mengingatkannya untuk mengonsumsi vitamin, bahkan membelikannya setelan kerja untuk ibu hamil.Perut Donita memang masih rata. Tapi beberapa bulan kemudian, pasti akan terlihat dan Keenan sudah memperhitungkan resiko itu. Dia tidak akan memecat Donita. Namun demi menjaga nama baik perempuan itu, dia merencanakan cuti panjang untuk Donita, sehingga dia bisa menjalani kehamilannya dengan baik dan tanpa beban. Sebab bukan tidak mungkin jika dipaksakan untuk terus bekerja saat perutnya membuncit, akan muncul gosip miring yang dialamatkan kepada Donita dan mengguncang mental perempuan itu. Sebenarnya bukan cuti, karena Donita akan tetap bekerja. Donita akan bekerja dari apartemen mereka. Keenan pun akan membatasi wanita itu untuk keluar dari apartemen jika perut Donita mulai membesar.Dengan bekerja dari apartemen, setidaknya Donita ti

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 95

    Bab 95Perempuan itu hanya tersenyum tipis. Pantas saja dulu Keenan lebih memilih Alifa ketimbang Aina. Ternyata attitude Aina jelek, padahal sebagai istri pemimpin perusahaan, seharusnya memiliki attitude yang baik. Di samping cantik, dia juga harus cerdas, memiliki public speaking yang bagus, dan bisa menempatkan diri sebagai istri dari pimpinan sebuah perusahaan."Perkenalkan, namaku Donita. Aku sekretarisnya Keenan dan sekaligus sebagai kekasihnya sekarang." Donita menyodorkan tangan yang ditepis oleh Aina. Namun, alih-alih tersinggung, Donita justru tersenyum semakin lebar.Rasanya menyenangkan juga melihat gadis itu yang terlihat kepanasan."Aku tak butuh perkenalan dari kamu. Namun posisi kamu sebagai sekretaris itu rawan. Jangan mengaku kekasih deh. Kamu pikir aku akan percaya, hmmm...? Bukankah seorang sekretaris lebih sering menjadi wanita pemuas bosnya. Aku bukan wanita kampung yang tak tahu apa-apa soal itu.""Terserah apa katamu, Aina. Tapi yang jelas, begitulah keadaanny

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 94

    Bab 94Suara bel di depan membuat aktivitas Donita yang tengah memotong-motong setengah ekor ayam berhenti. Dia mencuci tangannya di wastafel, kemudian segera membalikkan tubuhnya."Biar aku saja," cegah Keenan. Pria yang sebelumnya tengah asyik menghadapi laptopnya itu segera beranjak dari kursi dan bergegas menuju pintu depan.Donita menggeleng, tapi ia kembali fokus dengan kegiatannya. Meskipun indera penciumannya sangat sensitif terhadap bumbu dan masakan, tetapi Donita memaksakan diri untuk tetap memasak. Dia tidak mungkin bermanja pada Keenan yang jelas-jelas bukan ayah dari anak yang tengah dikandungnya. Bahkan dia menolak untuk dinikahi oleh pria itu, karena tidak mau membuatnya repot.Entah kenapa hari ini dia sangat ingin makan ayam masak kecap, tapi ayamnya harus dipotong kecil-kecil. Donita menggunakan setengah ekor ayam yang ditumis dengan bumbu-bumbu yang sudah ia buat sebelumnya. Supaya lebih praktis, wanita menggunakan cooper untuk menghaluskan bumbu. Di samping itu, b

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 93

    Bab 93"Kamu kenapa, Don?" Pria itu segera bergegas menyusul ke kamar mandi. Wajah Donita nampak pucat, karena dia sudah memuntahkan seluruh isi perutnya."Aku baik-baik saja, Mas, hanya sedikit mual dan pusing." Wanita itu meringis, lalu membasuh wajahnya dan sisa muntahannya yang memenuhi wastafel."Kita ke dokter saja ya. Belakangan ini aku lihat kamu lesu dan nggak ada semangat. Apakah kamu kecapean?""Kemungkinan iya, Mas. Tapi nggak usah ke dokter juga kali. Dibawa istirahat saja pasti akan enakan kok," tolaknya."Nggak ada bantahan, Donita. Kamu harus ke dokter sekarang. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Kalau ke dokter kan nanti ketahuan penyakitnya. Kamu itu sakit maag atau apa? Bukan cuma kali ini kan kamu muntah? Bahkan sudah beberapa hari ini begitu-begitu saja." Pria itu memapah Donita, lalu membawanya duduk di tepi tempat tidur. Dia sendiri yang mengambilkan dress untuk pakaian ganti sekretarisnya ini, lalu membantunya mengenakan pakaian. Lantaran seringnya melih

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 92

    Bab 92"Kamu mau bulan madu ke mana?" Pria itu bertanya setelah meletakkan bekas makanku di atas lemari nakas.Spontan aku menggeleng. "Tidak ada urusan bulan madu di benakku. Aku nggak kepikiran apa-apa, Mas. Nggak bulan madu juga nggak apa-apa, lagian pekerjaan Mas kan banyak. Anak-anak juga susah kalau ditinggalkan, walaupun ada baby sisternya. Aku kan sudah bilang, kalau aku nggak janji akan melayanimu seperti layaknya seorang istri yang masih gadis. Aku janda, dan anaknya banyak.""Cuma dua, Sayang. Nggak banyak itu.""Tiga, Mas. Zaid, Gibran, dan Anindita," ralatku. "Bagaimana bisa suamiku melupakan fakta jika aku memiliki anak bernama Zaid? Walaupun dia sudah tiada, tetapi dia tetap anakku!""Maaf, Sayang." Mas Aariz mengusap-usap bahuku dengan lembut."Iya, kita memang punya tiga anak. Tapi kalau kita nanti pergi berbulan madu, pasti akan bersama dengan anak-anak, Naira dan Maya. Kalau nggak gitu, nanti anak-anak repot mencarimu." Pria itu mengelap bibirku dengan tisu. Bibirk

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 91

    Bab 91"Kan bisa dikeringkan dengan hairdryer," ucap Atta sekenanya. Dia tak lagi melihat ponsel, malah antusias melihat kakaknya yang menata roti di atas piring, lalu membuatkan segelas susu."Cei cei... yang habis malam pertama, sarapannya di bawain ke kamar." Lagi-lagi pria itu menggodanya."Makanya nikah, Atta. Nanti kamu pasti akan merasakan kayak yang Mas lakukan, bahkan mungkin lebih daripada ini," ujar Aariz datar. Dia bergegas membawa nampan itu pergi menuju kamarnya.Atta hanya menggeleng, lalu kembali memusatkan perhatian pada ponsel. Ada beberapa email yang harus ia buka. Namun baru juga lima menit, ibunya datang ke ruangan ini."Sarapan yang benar, jangan kerja melulu."Pria itu berdehem. "Iya, Ma."Wardah duduk sembari menatap putra bungsunya dalam-dalam. "Apakah kamu tidak berpikir untuk menikah juga?""Memangnya mau menikah sama siapa, Ma?" Pria itu merotasi bola matanya malas."Siapapun perempuan yang kamu inginkan, Mama pasti merestui kok, asal jangan ada hubungannya

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 90 (Malam pertama)

    Bab 90"Kamu suka kamar ini?" cicit pria itu. Saking asyiknya mengagumi kamar ini, aku tidak menyadari jika tubuhku terangkat. Mas Aariz menggendongku ala bridal, lalu merebahkanku di pembaringan."Apakah aku punya alasan untuk tidak menyukai kamar ini?" Aku berusaha menahan nafas. Rasanya badanku panas dingin. Baru kali ini aku terlibat hal yang begitu intim dengan mas Aariz. Pria itu selalu bersikap sopan kepadaku selama ini, kecuali tadi malam. Dia sempat memelukku meski hanya sekilas, karena aku langsung berontak. Tapi aku mengerti alasannya memelukku, karena dia ingin menghiburku."Sebenarnya ini dadakan, jadi aku nggak sempat meminta pendapatmu. Tapi kalau kamu memang nggak suka dan ada yang ingin diubah, kamu bisa bilang kepadaku. Nanti akan diteruskan kepada orang-orang kita untuk melakukan perubahan pada tatanan kamar ini," ujar pria itu."Aku seperti seorang ratu saja." Senyumku langsung terbit. "Mas jangan terlalu berlebihan kepadaku. Aku hanya cukup menikah dengan Mas,

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 89

    Bab 89Pintu pun terbuka dan Alifa muncul dengan membawa setelan baju."Ini baju yang akan dipakai untuk acara malam ini. Barusan tadi Mbak Inara datang dan mengantar baju-baju yang akan kita kenakan sampai besok," ujar Alifa. Dia melangkah menghampiri ranjang dan meletakkan setelan baju itu di atas ranjang."Iya, barusan Mbak Inara chat. Cuman tadi aku males keluar," ujar Aariz. Senyumnya nampak kecut."Lah, kenapa gitu?"Pria itu menarik Alifa dan membawanya duduk di sisi ranjang. "Aku hanya malas bertemu dengan adik sepupumu itu....""Takut jatuh cinta?" goda Alifa."Bagiku dia cuma bocah. Apa yang mau diharapkan?"Seketika perempuan itu terkikik. "Biarpun masih bocah, tapi sudah bisa diajak untuk membuat bocah lho, Mas.""Nggak, nggak! Aku tidak suka dengan modelan sepupu kamu itu. Dan tolong setelah acara selesai, usahakan mereka bisa segera pulang.""Mas ingin mengusir mereka?" Seketika alis perempuan itu terangkat."Bukan. Aku hanya tidak ingin ada masalah, karena Atta malam i

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 88

    Bab 88Masih dengan memegang tangan mas Aariz, aku bergegas menghampiri mereka. Paman Ardi, Bibi Santi dan Aina. Faris dan Farid, si kembar kakak Aina, didampingi istrinya masing-masing, Vanisa dan Rayani."Selamat datang di kediaman kami, Paman, Bibi." Pria itu membungkuk. Dia menyalami paman dan bibiku dengan takzim. Aku bahkan dibuat salut, meski terlihat jelas jika paman Ardi terpaksa menerima salam dari mas Aariz, tetapi pria itu tampaknya tidak ambil pusing. Dia malah menyalami Faris dan Farid . Sepasang pria kembar itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis."Wah, besar sekali rumah kamu, Nak," komentar bibi Santi."Paling-paling hasil pinjam orang, Ma. Biar dikira punya suami orang kaya. Secara kan dia malu, karena menikahi pria yang kerjanya hanya petugas security. Mana mungkin petugas security di sebuah rumah sakit bisa membangun rumah semewah ini?" ketus Aina.Aku dan mas Aariz seketika berpandangan dan teringat bahwa mas Aariz pernah mengaku sebagai security kepada bibi San

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status