Share

Tawaran Menjadi Ibu Susu

Penulis: Jannah Zein
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-08 08:16:17

Bab 5

Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada.

Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz.

Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi.

Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?

"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias.

"Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung.

"Ah iya, saya memang nggak sampai berpikir ke arah sana, Mbak. Sebenarnya saya memang lagi bingung untuk mencari ibu susu yang cocok untuk keponakan saya. Kebetulan tadi saya bertemu dengan Mbak saat Mbak akan menyelesaikan pembayaran," papar Atta. Dia menangkupkan tangan di dadanya.

Pria itu terlihat menelan ludahnya tanpa mengalihkan atensinya kepadaku.

"Tapi Mbak tenang saja, tidak perlu khawatir. Ini memang belum sepengetahuan Mas Aariz, tapi saya yakin beliau pasti akan senang jika ada wanita yang mau menyusui bayinya. Selama dua hari ini kami sudah mencoba beberapa merek susu formula bahkan yang soya sekalipun, tetapi nggak ada yang cocok. Gibran bahkan selalu menolak menyusu dot. Sepertinya memang hanya ASI yang cocok."

"Mas terkesan perhatian sekali dengan keponakan." Aku memuji dengan senyum getir lantaran merasa sedikit iri.

Adik dokter Aariz ini begitu perhatian dengan nasib keponakannya, sementara papanya Zaid malah tidak tahu sama sekali keberadaan bayinya yang bahkan sudah menghembuskan nafas terakhir kemarin.

"Karena saya tidak mau melihat Mas Aariz terus bersedih. Dia sudah kehilangan istrinya, masa iya harus kehilangan anaknya pula? Jadi sedapat mungkin kami akan berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Gibran," ujar pria itu.

"Gibran? Wah, nama yang bagus." Aku kembali mencoba untuk tersenyum dengan tatapan teralih pada dadaku. Aku meraba dadaku yang basah, sembari berpikir mungkin memang sudah jalannya.

Bayi itu menginginkan sosok seorang ibu, sementara aku baru saja kehilangan anakku. Bukankah kami bisa saling melengkapi nantinya?

"Baiklah, Mas. Saya bersedia. Mohon dipahami, di sini saya tidak dalam posisi menjual air susu saya, tetapi hanya membaginya kepada bayi yang membutuhkan," ujarku menegaskan.

"Tentu saja. Saya percaya Mbak Alifa orangnya tulus dan ini adalah poin plus untuk Mbak Alifa. Mbak Alifa nanti tidak hanya sekedar menjadi ibu susu bagi keponakan saya, tetapi juga menjadi ibu asuhnya. Jadi Mbak Alifa akan tinggal bersama kami, dan mohon maaf harus resign dari pekerjaan Mbak selama ini, karena Mbak Alifa harus full menyusui dan mengasuh keponakan saya," pinta Atta.

"Iya Mas, tidak apa-apa. Seandainya anak saya masih hidup pun saya juga akan resign dari pekerjaan saya. Saya sudah berencana memberinya ASI eksklusif...."

Setelah menghabiskan minuman yang sudah kami pesan, Atta mengantarku kembali ke toko, sekalian berpamitan dengan ibu Sabrina dan juga mengambil barang-barangku yang tidak seberapa.

Mataku basah kembali saat mengemasi barang-barang yang sedianya akan aku pakai untuk menyambut kelahiran bayiku. Aku sudah membeli perlengkapan untuk bayiku. Kasur lengkap dengan bantal dan guling, baju, celana, selimut, popok bayi, perlengkapan mandi, dan lainnya. Aku mengambilnya dari toko ibu Sabrina sedikit demi sedikit, sesuai dengan kemampuanku untuk membayar. Terkadang aku membayarnya dengan jumlah komisi yang didapatkan setiap harinya.

Semoga saja masih berguna untuk anak susuanku nanti, supaya benda-benda ini tidak mubazir. Meski aku sendiri juga ragu, karena mereka adalah orang berada. Barang-barang perlengkapan bayi ini bukan berasal dari merk terkenal dan mahal. Apakah mereka mengizinkan aku memakaikannya kepada bayi mereka?

Meski merasakan hatiku ragu, aku tetap mengemasinya, lalu meminta kepada ibu Sabrina dan Atta untuk membawa barang-barang itu ke mobil. Aku sendiri masih tidak bisa mengangkat barang berat karena masih dalam proses pemulihan pasca operasi.

"Seringlah main kemari, Nak. Ibu pasti akan selalu merindukanmu, apalagi kamu sudah Ibu anggap seperti anak sendiri."

"Tentu saja, Bu. Aku pun pasti selalu merindukan Ibu." Aku balas memeluk Ibu Sabrina, lalu mencium pipi kanan dan kiri beliau, lalu akhirnya berbalik dan masuk ke mobil.

***

Aku termangu menatap bangunan tinggi dan besar di hadapanku.

Ini bukanlah rumah, tetapi seperti istana kecil.

Jadi di sinikah tempat tinggalku sekarang?

Aku menghela nafas, berusaha menepis rasa rendah diri yang diam-diam menyergap.

"Mari silahkan masuk," ujar pria itu. Dia memegang tanganku, lalu menarikku pelan dan kami akhirnya berjalan beriringan. Sementara barang-barangku dibawa oleh seorang pria yang memakai seragam petugas keamanan.

Seorang perempuan tua menyambut. Terlihat dari penampilannya biasa saja. Namun aku bisa melihat jika pakaian yang dikenakan oleh perempuan tua itu bukan berasal dari brand murahan.

"Kenalkan, ini Ibu saya. Namanya Wardah," ujar Atta setelah melepaskan genggaman tangannya.

Aku berusaha untuk membungkuk dan mencium tangan perempuan itu. Namun seperti paham dengan kesulitanku, perempuan tua itu malah menarik tangannya sedikit ke atas, sehingga aku tidak perlu membungkuk hanya untuk menyalami punggung tangannya.

"Saya Alifa, Bu. Mas Atta meminta saya untuk menjadi ibu susu bagi keponakannya." Aku menjabarkan keperluanku secara gamblang.

"Iya, barusan Atta kirim pesan kepada Ibu. Jadi benar, kamu yang akan menjadi ibu susu cucu saya?"

"Benar, Bu," sahutku agak sungkan karena ternyata perempuan tua itu meminta duduk di sisinya. Dengan ekor mataku aku memindai sekeliling ruangan. Ruangan tamu ini nampak begitu mewah, jauh lebih mewah dari rumahku dulu bersama dengan mas Keenan.

Ah kenapa pula aku harus memikirkan pria itu lagi?

Aku menghela nafas berat, lalu membalas tatapan bu Wardah.

"Maaf jika penampilan saya kurang berkenan. Saya baru keluar dari rumah sakit, tadi nggak sengaja bertemu dengan Mas Atta saat berada di ruang administrasi dan di pemakaman putra saya...."

"Anak kamu meninggal?" tanya perempuan tua itu sembari menatap gundukan di dadaku. Pakaian atasku yang basah pun tak luput dari pengamatannya.

"Iya Bu, bayi saya meninggal sehari setelah dilahirkan. Ada infeksi di tubuhnya dan dia tak tertolong."

Ibu Wardah terlihat mengangguk-angguk, lalu menatap putranya yang duduk berseberangan dengan kami.

"Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Ma. Aku ketemu Mbak Alifa ini saat berada di bagian administrasi, lalu aku mengikutinya, dan ternyata dia berada di pemakaman." Pria itu mulai menjelaskan. "Jadi aku rasa nggak ada salahnya jika kita meminta Mbak Alifa untuk menyusui Gibran."

"Ya, Mama mengerti. Tapi kita tunggu kakak kamu dulu. Tanpa persetujuannya, kita tidak bisa berbuat apa-apa." Ibunya mengingatkan.

"Aku yakin Mas Aariz pasti setuju, Ma."

"Iya. Tetap saja kita harus meminta izinnya." Perempuan tua itu bangkit dan memintaku untuk mengiringinya ke sebuah ruangan.

Suara tangis bayi langsung menyambut saat aku memasuki ruangan itu. Sosok perempuan muda yang tengah menggendong bayi yang menangis kejar. Aku yang tidak tega memilih duduk di pembaringan dan meminta bayi itu untuk segera disusui.

Tak sampai semenit, bayi itu langsung diam. Hanya suara kecipak dari mulut baby Gibran yang tengah menyusu terdengar, dan itu membuat ibu Wardah dan perempuan muda yang sepertinya merupakan baby sister itu tersenyum senang.

"Alhamdulillah... Terima kasih, Mbak." Perempuan muda itu menghela nafas lega.

"Sama-sama. Saya senang bisa menyusui bayi ini. Saya nggak menyangka jika ternyata air susu saya bisa berguna." Aku menunduk dan menatap wajah polos bayi itu.

Jantungku berdetak lebih kencang saat menatap wajahnya. Entah kenapa aku merasa memiliki ikatan batin dengan bayi ini. Hanya dengan memangkunya sekali saja, aku sudah merasa sangat menyayanginya.

Ah, mungkin karena aku memang ditakdirkan untuk menjadi ibu susunya.

Aku akan menjalani peranku dengan senang hati. Aku berharap semoga dokter Aariz berkenan memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi ibu susu bagi anaknya.

Akhirnya bayi itu tertidur setelah kenyang menyusu. Baby sister yang bernama Naira itu meminta baby Gibran untuk ditidurkan di box bayi.

Aku segera keluar kamar menyusul ibu Wardah yang lebih dulu keluar dari kamar ini setelah mendapati cucunya tenang bersamaku. Kuayunkan kakiku, melangkah perlahan menuju ke ruang tamu lantaran berpikir mungkin ibu Wardah berada di ruangan itu.

"Kenapa kamu seceroboh itu Atta? Kenapa kamu nggak minta izin sama Mas saat membawa perempuan itu ke rumah kita?!" Suara dokter Aariz terdengar.

Seketika aku menghentikan langkah dan merapatkan tubuh ke dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga.

"Ini juga dadakan sih Mas. Aku nggak tega lihat Gibran menangis terus. Sebenarnya tadi aku mau menyusul Mas ke Hermina, tapi aku melihat Mbak Alifa ada di bagian administrasi, jadi aku minta saja dia untuk menyusui Gibran, lagi pula dari petugas administrasi aku jadi tahu jika bayinya mbak Alifa itu baru saja meninggal...."

"Tapi kita tidak bisa sembarangan menerima seorang perempuan untuk menyusui Gibran. Kita nggak tahu dia sehat atau enggak...."

Aku yang tidak tahan lagi dengan perdebatan itu akhirnya memberanikan diri untuk menyusul dua lelaki yang tengah berdebat di teras rumah ini.

"Mohon maaf... Mas Atta, Dokter Aariz, mohon maaf jika saya sudah lancang menyusui baby Gibran." Aku berjalan mendekati mereka dengan wajah tertunduk.

"Mbak Alifa?!" Suara tertahan Atta. Tentunya dia kaget dengan keberadaanku di teras rumah ini, karena yang dia tahu jika aku tengah bersama dengan keponakannya di ruangan bayi.

"Jika yang Dokter Aariz maksudkan adalah soal kesehatan, saya bersedia kok untuk diperiksa kesehatannya, termasuk kualitas dari ASI saya. Saya nggak akan tersinggung kok Mas, karena saya tahu setiap ayah pasti ingin memberikan yang terbaik untuk putranya, kan?!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yurni M
sampai 14 bab, seru. lanjut. tapi menunggu esok. semangat ya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Hadiah Kecil

    Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Mengingat Alifa

    Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-09
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Kelemahan Keenan

    Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Kita Sudah Selesai

    Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Maafkan Saya, Dok

    Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Makan Malam Dengan Atta

    Bab 11Aku mengangguk. "Tentu saja, Dok. Saya akan patuhi semua aturan dari Dokter dan Mas Atta.""Baiklah, Alifa. Saya hanya bisa mengantar kamu sampai sini." Pria itu menyentuh tombol di pintu, lalu pintu itupun terbuka. "Silahkan masuk. Saya akan menghubungi Atta untuk memberitahu, supaya dia tidak perlu kaget jika melihat keberadaan kamu dan Gibran di apartemennya.""Apakah Mas Atta akan tinggal di sini?" tanyaku. Aku melongok ke dalam dan menyadari jika apartemen ini ukurannya tidak terlalu luas."Kadang-kadang. Terkadang dia masih menyukai tinggal di rumah utama, tapi tak jarang dia pun pulang ke apartemennya sendiri."Aku tidak lagi menanyakan apa-apa dan membiarkan dokter Aariz meninggalkan tempat itu setelah memberitahukan password pintu masuk apartemen ini.Kuhela nafas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungku di sandaran sofa, menikmati geliat tubuh Gibran yang tampak gelisah. Aku mengeluarkan aset pribadiku dan mulai menyusui Gibran. Tidak ada perlengkapan bayi di apar

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Pelatihan Jadi Seorang Ayah

    Bab 12Dibandingkan dengan dokter Aariz, Atta memang lebih hangat dan membuatku nyaman dari pertama kali bertemu. Pria itu pula yang pertama kali menawarkan untuk menyusui keponakannya.Aku mengangguk, lalu kembali menyuap nasi goreng yang terasa begitu lezat di lidahku. Atta pun begitu juga. Kami makan dengan sangat lahap karena memang belum makan apapun semenjak sore tadi. Aku bahkan sengaja nggak masak dan berjanji kepada Naira untuk membawakan makanan untuknya.Selesai makan, aku pun bangkit dari kursi dan berjalan menuju sisi cafe ini. Cafe ini didesain terbuka, jadi tinggi dindingnya hanya setengah badanku. Sementara bagian atas dibiarkan terbuka, sehingga terkesan tempat ini menyatu dengan alam. Aku menikmati pemandangan beberapa orang yang masih saja berlarian di bibir pantai sembari bermain pasir. Tampak begitu ceria dan bahagianya mereka.Aku menggigit bibirku. Getir sekali. Dulu aku seringkali dibawa mas Keenan menghabiskan waktu di pantai seperti ini.Ah, kenapa otakku ti

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Seperti Papa Saja Layaknya

    Bab 13Pengalaman indah?Ya, aku memang memiliki kenangan indah bersama dengan mas Keenan. Tapi itu dulu, sebelum orang-orang di dalam keluarga mas Keenan merencanakan makar untuk memisahkan kami."Aku tidak punya kriteria apapun. Yang penting dia pria yang baik. Sudah, itu saja.""Cuma itu?!" Atta tampak kaget. "Wanita secantik Mbak Alifa tidak punya kriteria tentang suami idaman?""Nggak, Mas." Aku tersenyum geli, merasa lucu dengan pertanyaan pria itu. Bukan cuma pertanyaannya, tetapi juga dengan gestur tubuhnya yang di mataku terlihat menggemaskan, mirip seorang pria yang ingin menembak seorang wanita saja. Namun aku segera menepis dugaan itu, karena tidak mungkin juga Mas Atta akan menembakku.Dibalik perhatiannya yang detil, Atta selalu bersikap sopan, menghormati, dan tidak pernah menggodaku, padahal ia tahu jika aku seorang janda.Namun pria itu balas tersenyum. Dia tak menanyakan apapun, tetapi malah bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju kamar, lalu merebahkan Gibran denga

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13

Bab terbaru

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 162

    Bab 162Keenan benar-benar membawa Naira keluar dari apartemen pagi ini setelah mereka selesai sarapan. Namun ternyata dia tidak membawanya langsung pulang ke rumah utama keluarga El Fata, tetapi justru jalan-jalan keliling kota dan berakhir dengan mampir di sebuah mall yang memiliki wahana permainan anak."Santai saja, Nai. Aariz dan Alifa tidak akan pulang pagi-pagi. Mereka itu pergi ke villa dan kamu tahu tempatnya di mana, bukan?" bujuk Keenan sembari mengingatkan. Dia menyadari ekspresi Naira yang muram. Dia berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin Aariz dan Alifa akan pulang cepat, mengingat lokasi villa keluarga yang terletak di desa, suatu daerah di luar kota."Aku cuma ingin cepat sampai di rumah, Mas. Aku capek.""Capek dengan tingkah Mas?" Pria itu tersenyum kecut. "Maaf ya." Namun lagi-lagi tangannya lancang mengacak rambut gadis itu. "Percayalah, Mas tidak pernah bermaksud macam-macam, melainkan hanya menuruti keinginan hati saja.""Bermain drama, ngaku-ngaku aku adalah

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 161

    Bab 161"Mas akui, Mas bukan pria yang baik, tetapi tidak seberengsek seperti yang kamu duga. Hubungan Mas dengan Donita tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas sekamar dengan Donita, karena ingin menjaga perempuan itu. Dia adalah karyawan terbaik Mas. Dia itu aset perusahaan yang harus Mas jaga. Dia adalah pahlawan bagi Mas. Disaat perusahaan mengalami krisis, Donita berdiri dengan tegar bersama dengan tim kami menyelamatkan perusahaan. Menurutmu apa yang harus Mas lakukan untuk membalas jasanya?" Keenan berkata dengan suara perlahan memberi pengertian pada gadis itu. Cara bicaranya sudah seperti seorang lelaki yang memberi pengertian pada pacar yang tengah cemburu karena dia dekat dengan wanita lain."Aku nggak ada kaitannya sama hubungan Mas dengan Mbak Donita. Apa urusannya denganku?" rajuk gadis itu seraya melengos ke samping."Jelas ada urusannya dengan kamu, karena kamu mengira Mas itu kumpul kebo dengan Donita. Kamu pasti mengira Mas sedang menjalin hubungan tanpa status! Kamu s

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 160 (Duda mana bisa di percaya?)

    Bab 160"Na, Ina," panggil Donita seraya mengetuk pintu.Ina membuka pintu sembari menguap lebar karena rupanya gadis itu sudah tertidur, atau mungkin dia ikut tidur bersama dengan anak asuhnya."Mbak Donita?" Rasa kantuknya tiba-tiba saja hilang. Donita menerobos masuk ke dalam kamarnya, lalu merebahkan Arga di sisi Sherina."Aku ngungsi dulu malam ini ya. Dan mungkin malam-malam selanjutnya. Kamu keberatan nggak jika kita berbagi kamar?" todong wanita itu."Tidak." Ina tidak mengerti, namun otomatis kepalanya mengangguk. "Maksudnya apa ya, Mbak? Bukannya Mbak biasa tidur satu kamar sama Pak Keenan?""Aku rasa udah saatnya pisah kamar dari Mas Keenan. Nggak enak sama Naira, nanti dia mikirinnya yang bukan-bukan. Jangan sampai dia mengira jika Mas Keenan itu pria brengsek, yang memelihara wanita tanpa status hubungan yang jelas."Gadis itu langsung manggut-manggut mendengar penuturan Donita. "Aha... bener juga sih, Mbak. Aku aja dulu sempat bingung dengan hubungan Pak Keenan dengan m

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 159

    Bab 159"Tidurlah di sini. Aku nggak masalah tidur di sofa ruang tamu." Pria itu menahan tubuh Naira dengan tangannya supaya tetap di posisinya yang tengah berbaring di samping Gibran. Balita cowok itu baru saja tertidur setelah dibacakan dongeng oleh Naira."Tapi Mas...""Udah, nggak ada tapi-tapian. Laki-laki bisa tidur di mana saja. Di sini kamu juga ditemani oleh Donita dan Arga. Semoga saja kamu nggak keberatan dengan tangisan Arga yang sering terbangun minta ASI." Pria itu tetap menekan bahu Naira dan membuat gadis itu tak berkutik."Tapi nggak enak sama Mas. Mas kan tuan rumah, masa iya tidur di sofa sih?""Justru karena tuan rumah harus memberikan yang terbaik kepada tamu, tapi kamu bukan tamu sih. Aku menganggap kamu bagian dari rumah ini.""Kamu nggak keberatan kan tiap akhir pekan menginap di sini?" tanya Donita menimpali."Ke mana Gibran pergi, aku selalu bersamanya, Mbak. Namanya juga pengasuh," jawab Naira seraya menoleh pada perempuan itu.Dia baru menyadari jika ternya

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 158

    Bab 158"Maaf," gumam Keenan. Dia menarik Naira untuk duduk di sisinya, setelah Eliana berhasil mereka usir secara halus dari apartemen ini."Kenapa semua ini Mas lakukan? Drama macam apa ini?? Ini sama sekali nggak lucu, tahu!" protes gadis itu. Dia bermaksud memberontak dan menjauh, tapi Keenan tentu tidak akan membiarkan gadis ini menjauh darinya dalam keadaan masih marah."Kalau nggak begitu, nanti dia akan mengira melunaknya sikapku akhir-akhir ini sebagai lampu hijau. Padahal aku sama sekali nggak ada niat untuk balik lagi sama perempuan itu. Sudah cukup semuanya, Nai. Aku lelah.""Tetapi itu tidak cukup untukku, Mas. Mas pikir saja sendiri, apa yang akan dilakukan Bu Eli karena mengira aku ini kekasihnya Mas!""Kamu tenang saja, Naira. Aku nggak akan membiarkan Eliana mengganggumu, lagian kamu kan tinggal bersama keluarga El Fata. Kamu bisa minta bantuan Alifa dan Aariz. Mereka pasti akan melindungimu dan memaklumi kejadian siang ini.""Iya, aku tahu, Mas. Tapi ini nggak mungki

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 157 (pacar baru Keenan)

    Bab 157Eliana melenggang begitu saja mendekati Keenan yang masih ternganga.Tentunya ia tak menduga mantan istrinya ini muncul kembali, apalagi di situasi seperti ini, sedang ada Gibran dan Naira di apartemennya. Biasanya mantan istrinya ini hanya menelpon Ina dan mereka bertemu di suatu tempat, tempat yang tak begitu jauh dari apartemen.Keenan memang memberikan keleluasaan bagi Eliana untuk bertemu putrinya. Kebaikan Keenan yang ditanggapi lain oleh Eliana. Dia mengira jika mantan suaminya ini kembali luluh, dan bisa menerima dirinya kembali, meskipun tubuhnya tak lagi utuh seperti semula. Kini ia sudah kehilangan dua payudaranya.Sementara Naira berdiri kaku, menyadari kesalahannya yang main buka pintu saja, sehingga meloloskan Eliana masuk ke apartemen ini. Gadis itu tahu apa artinya. Bisa-bisa terjadi keributan, padahal ia sedang berada di apartemen ini. Andaikan ia tidak sedang berada di sini, masa bodoh lah. Biarkan saja Keenan, Donita dan Ina yang menghadapi perempuan sakit j

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 156

    Bab 156Sepertinya keputusan Keenan untuk menghubungi Aariz adalah keputusan yang salah. Dia tak pernah menyangka jika ternyata Aariz menyambut panggilan videonya bersama dengan Alifa.Dan dia harus menyaksikan pemandangan itu.Perempuan yang dicintainya begitu dalam ini tengah menyadarkan kepala dengan manja di dada Aariz. Tak ada yang salah sebenarnya dengan sikap Alifa, karena nyatanya pria itu adalah suaminya sekarang. Hanya saja ada rasa nyeri yang terasa menusuk di hati.Meski ia tetap berusaha sedapat mungkin untuk menyembunyikan perasaan cemburunya.Ah, ya. Apakah masih pantas ia cemburu, padahal ia sudah kalah sekarang?"Iya, Mas, ada apa?""Maaf, Riz, aku berencana membawa Gibran menginap di apartemen. Apakah kamu dan Alifa mengizinkan?" Pria itu menelan ludahnya. Hampir saja dia tak bisa bersuara lantaran matanya duluan menyaksikan pemandangan yang menyesak di hati ini."Kebetulan sekali aku dan Alifa memang berencana untuk menginap semalam di villa keluarga, jadi kamu beba

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 155

    Bab 155Alifa sudah menghabiskan dua biji kue talam ubi saat penjaga villa ini muncul. Pria setengah baya itu membawa bahan makanan yang ia request. Beruntungnya ikan-ikan itu sudah dibersihkan. Jadi mereka tinggal membuat bumbu dan melumuri ikan-ikan itu dengan bumbu."Awas... sambalnya jangan terlalu pedas ya." Aariz mengingatkan dari halaman belakang villa ini. Pria itu tengah berusaha menyalakan api dan membuat bara untuk membakar ikan. Sementara Alifa memang tengah menyiapkan bahan untuk membuat sambal terasi."Iya, aku ngerti kok. Lagian si adik juga nggak bakal kepedesan di dalam perutku," kekeh perempuan itu.Teras belakang villa ini sengaja disulap menjadi dapur dadakan. Ada kompor gas satu tungku yang diletakkan di tempat itu, lengkap dengan peralatan masak. Alifa kini tengah menumis bawang, cabe dan tomat. Aroma harum menguar membuat perut semakin keroncongan."Kamu ini bisa aja jawabnya. Nakal ya," keluh pria itu. Dia tidak merespon apapun lagi, tetapi fokus untuk membuat

  • Menyusui Bayi Dokter Tampan    Bab 154

    Bab 154Alifa memiliki prinsip yang kuat dalam urusan sebuah hubungan. Dia akan mempertahankan mati-matian, tetapi jika sudah terlepas, maka tidak ada jalan untuk kembali. Perempuan itu rupanya ingin memberi pelajaran untuk para pria yang terikat hubungan dengannya, agar tidak main-main dengan yang namanya talak.Aariz mendapatkan pelajaran dari kisah rumah tangga Alifa sebelumnya. Dia berjanji akan menjaga perempuan ini selamanya, apalagi semakin hari semakin dalam perasaannya pada perempuan itu. Meski awalnya hanya menganggap Alifa seperti teman, bahkan parahnya seperti adik angkat, tetapi akhirnya dia bisa memandang Alifa sama seperti ia memandang kepada seorang perempuan. Dia bisa menyayangi Alifa sebagai seorang istri, dan kini dia membuktikan semua ucapannya. Dia pun menepati janjinya kepada sang ibunda menghadirkan cucu untuknya, cucu yang berasal dari darah dagingnya sendiri dengan seorang perempuan yang ibunya ridha kepadanya.Pembicaraan mereka malam ini berakhir setelah Aar

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status