Bab 5
Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui? "Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias. "Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung. "Ah iya, saya memang nggak sampai berpikir ke arah sana, Mbak. Sebenarnya saya memang lagi bingung untuk mencari ibu susu yang cocok untuk keponakan saya. Kebetulan tadi saya bertemu dengan Mbak saat Mbak akan menyelesaikan pembayaran," papar Atta. Dia menangkupkan tangan di dadanya. Pria itu terlihat menelan ludahnya tanpa mengalihkan atensinya kepadaku. "Tapi Mbak tenang saja, tidak perlu khawatir. Ini memang belum sepengetahuan Mas Aariz, tapi saya yakin beliau pasti akan senang jika ada wanita yang mau menyusui bayinya. Selama dua hari ini kami sudah mencoba beberapa merek susu formula bahkan yang soya sekalipun, tetapi nggak ada yang cocok. Gibran bahkan selalu menolak menyusu dot. Sepertinya memang hanya ASI yang cocok." "Mas terkesan perhatian sekali dengan keponakan." Aku memuji dengan senyum getir lantaran merasa sedikit iri. Adik dokter Aariz ini begitu perhatian dengan nasib keponakannya, sementara papanya Zaid malah tidak tahu sama sekali keberadaan bayinya yang bahkan sudah menghembuskan nafas terakhir kemarin. "Karena saya tidak mau melihat Mas Aariz terus bersedih. Dia sudah kehilangan istrinya, masa iya harus kehilangan anaknya pula? Jadi sedapat mungkin kami akan berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Gibran," ujar pria itu. "Gibran? Wah, nama yang bagus." Aku kembali mencoba untuk tersenyum dengan tatapan teralih pada dadaku. Aku meraba dadaku yang basah, sembari berpikir mungkin memang sudah jalannya. Bayi itu menginginkan sosok seorang ibu, sementara aku baru saja kehilangan anakku. Bukankah kami bisa saling melengkapi nantinya? "Baiklah, Mas. Saya bersedia. Mohon dipahami, di sini saya tidak dalam posisi menjual air susu saya, tetapi hanya membaginya kepada bayi yang membutuhkan," ujarku menegaskan. "Tentu saja. Saya percaya Mbak Alifa orangnya tulus dan ini adalah poin plus untuk Mbak Alifa. Mbak Alifa nanti tidak hanya sekedar menjadi ibu susu bagi keponakan saya, tetapi juga menjadi ibu asuhnya. Jadi Mbak Alifa akan tinggal bersama kami, dan mohon maaf harus resign dari pekerjaan Mbak selama ini, karena Mbak Alifa harus full menyusui dan mengasuh keponakan saya," pinta Atta. "Iya Mas, tidak apa-apa. Seandainya anak saya masih hidup pun saya juga akan resign dari pekerjaan saya. Saya sudah berencana memberinya ASI eksklusif...." Setelah menghabiskan minuman yang sudah kami pesan, Atta mengantarku kembali ke toko, sekalian berpamitan dengan ibu Sabrina dan juga mengambil barang-barangku yang tidak seberapa. Mataku basah kembali saat mengemasi barang-barang yang sedianya akan aku pakai untuk menyambut kelahiran bayiku. Aku sudah membeli perlengkapan untuk bayiku. Kasur lengkap dengan bantal dan guling, baju, celana, selimut, popok bayi, perlengkapan mandi, dan lainnya. Aku mengambilnya dari toko ibu Sabrina sedikit demi sedikit, sesuai dengan kemampuanku untuk membayar. Terkadang aku membayarnya dengan jumlah komisi yang didapatkan setiap harinya. Semoga saja masih berguna untuk anak susuanku nanti, supaya benda-benda ini tidak mubazir. Meski aku sendiri juga ragu, karena mereka adalah orang berada. Barang-barang perlengkapan bayi ini bukan berasal dari merk terkenal dan mahal. Apakah mereka mengizinkan aku memakaikannya kepada bayi mereka? Meski merasakan hatiku ragu, aku tetap mengemasinya, lalu meminta kepada ibu Sabrina dan Atta untuk membawa barang-barang itu ke mobil. Aku sendiri masih tidak bisa mengangkat barang berat karena masih dalam proses pemulihan pasca operasi. "Seringlah main kemari, Nak. Ibu pasti akan selalu merindukanmu, apalagi kamu sudah Ibu anggap seperti anak sendiri." "Tentu saja, Bu. Aku pun pasti selalu merindukan Ibu." Aku balas memeluk Ibu Sabrina, lalu mencium pipi kanan dan kiri beliau, lalu akhirnya berbalik dan masuk ke mobil. *** Aku termangu menatap bangunan tinggi dan besar di hadapanku. Ini bukanlah rumah, tetapi seperti istana kecil. Jadi di sinikah tempat tinggalku sekarang? Aku menghela nafas, berusaha menepis rasa rendah diri yang diam-diam menyergap. "Mari silahkan masuk," ujar pria itu. Dia memegang tanganku, lalu menarikku pelan dan kami akhirnya berjalan beriringan. Sementara barang-barangku dibawa oleh seorang pria yang memakai seragam petugas keamanan. Seorang perempuan tua menyambut. Terlihat dari penampilannya biasa saja. Namun aku bisa melihat jika pakaian yang dikenakan oleh perempuan tua itu bukan berasal dari brand murahan. "Kenalkan, ini Ibu saya. Namanya Wardah," ujar Atta setelah melepaskan genggaman tangannya. Aku berusaha untuk membungkuk dan mencium tangan perempuan itu. Namun seperti paham dengan kesulitanku, perempuan tua itu malah menarik tangannya sedikit ke atas, sehingga aku tidak perlu membungkuk hanya untuk menyalami punggung tangannya. "Saya Alifa, Bu. Mas Atta meminta saya untuk menjadi ibu susu bagi keponakannya." Aku menjabarkan keperluanku secara gamblang. "Iya, barusan Atta kirim pesan kepada Ibu. Jadi benar, kamu yang akan menjadi ibu susu cucu saya?" "Benar, Bu," sahutku agak sungkan karena ternyata perempuan tua itu meminta duduk di sisinya. Dengan ekor mataku aku memindai sekeliling ruangan. Ruangan tamu ini nampak begitu mewah, jauh lebih mewah dari rumahku dulu bersama dengan mas Keenan. Ah kenapa pula aku harus memikirkan pria itu lagi? Aku menghela nafas berat, lalu membalas tatapan bu Wardah. "Maaf jika penampilan saya kurang berkenan. Saya baru keluar dari rumah sakit, tadi nggak sengaja bertemu dengan Mas Atta saat berada di ruang administrasi dan di pemakaman putra saya...." "Anak kamu meninggal?" tanya perempuan tua itu sembari menatap gundukan di dadaku. Pakaian atasku yang basah pun tak luput dari pengamatannya. "Iya Bu, bayi saya meninggal sehari setelah dilahirkan. Ada infeksi di tubuhnya dan dia tak tertolong." Ibu Wardah terlihat mengangguk-angguk, lalu menatap putranya yang duduk berseberangan dengan kami. "Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Ma. Aku ketemu Mbak Alifa ini saat berada di bagian administrasi, lalu aku mengikutinya, dan ternyata dia berada di pemakaman." Pria itu mulai menjelaskan. "Jadi aku rasa nggak ada salahnya jika kita meminta Mbak Alifa untuk menyusui Gibran." "Ya, Mama mengerti. Tapi kita tunggu kakak kamu dulu. Tanpa persetujuannya, kita tidak bisa berbuat apa-apa." Ibunya mengingatkan. "Aku yakin Mas Aariz pasti setuju, Ma." "Iya. Tetap saja kita harus meminta izinnya." Perempuan tua itu bangkit dan memintaku untuk mengiringinya ke sebuah ruangan. Suara tangis bayi langsung menyambut saat aku memasuki ruangan itu. Sosok perempuan muda yang tengah menggendong bayi yang menangis kejar. Aku yang tidak tega memilih duduk di pembaringan dan meminta bayi itu untuk segera disusui. Tak sampai semenit, bayi itu langsung diam. Hanya suara kecipak dari mulut baby Gibran yang tengah menyusu terdengar, dan itu membuat ibu Wardah dan perempuan muda yang sepertinya merupakan baby sister itu tersenyum senang. "Alhamdulillah... Terima kasih, Mbak." Perempuan muda itu menghela nafas lega. "Sama-sama. Saya senang bisa menyusui bayi ini. Saya nggak menyangka jika ternyata air susu saya bisa berguna." Aku menunduk dan menatap wajah polos bayi itu. Jantungku berdetak lebih kencang saat menatap wajahnya. Entah kenapa aku merasa memiliki ikatan batin dengan bayi ini. Hanya dengan memangkunya sekali saja, aku sudah merasa sangat menyayanginya. Ah, mungkin karena aku memang ditakdirkan untuk menjadi ibu susunya. Aku akan menjalani peranku dengan senang hati. Aku berharap semoga dokter Aariz berkenan memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi ibu susu bagi anaknya. Akhirnya bayi itu tertidur setelah kenyang menyusu. Baby sister yang bernama Naira itu meminta baby Gibran untuk ditidurkan di box bayi. Aku segera keluar kamar menyusul ibu Wardah yang lebih dulu keluar dari kamar ini setelah mendapati cucunya tenang bersamaku. Kuayunkan kakiku, melangkah perlahan menuju ke ruang tamu lantaran berpikir mungkin ibu Wardah berada di ruangan itu. "Kenapa kamu seceroboh itu Atta? Kenapa kamu nggak minta izin sama Mas saat membawa perempuan itu ke rumah kita?!" Suara dokter Aariz terdengar. Seketika aku menghentikan langkah dan merapatkan tubuh ke dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. "Ini juga dadakan sih Mas. Aku nggak tega lihat Gibran menangis terus. Sebenarnya tadi aku mau menyusul Mas ke Hermina, tapi aku melihat Mbak Alifa ada di bagian administrasi, jadi aku minta saja dia untuk menyusui Gibran, lagi pula dari petugas administrasi aku jadi tahu jika bayinya mbak Alifa itu baru saja meninggal...." "Tapi kita tidak bisa sembarangan menerima seorang perempuan untuk menyusui Gibran. Kita nggak tahu dia sehat atau enggak...." Aku yang tidak tahan lagi dengan perdebatan itu akhirnya memberanikan diri untuk menyusul dua lelaki yang tengah berdebat di teras rumah ini. "Mohon maaf... Mas Atta, Dokter Aariz, mohon maaf jika saya sudah lancang menyusui baby Gibran." Aku berjalan mendekati mereka dengan wajah tertunduk. "Mbak Alifa?!" Suara tertahan Atta. Tentunya dia kaget dengan keberadaanku di teras rumah ini, karena yang dia tahu jika aku tengah bersama dengan keponakannya di ruangan bayi. "Jika yang Dokter Aariz maksudkan adalah soal kesehatan, saya bersedia kok untuk diperiksa kesehatannya, termasuk kualitas dari ASI saya. Saya nggak akan tersinggung kok Mas, karena saya tahu setiap ayah pasti ingin memberikan yang terbaik untuk putranya, kan?!"Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar
Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha
Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara
Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere
Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci
Bab 11Aku mengangguk. "Tentu saja, Dok. Saya akan patuhi semua aturan dari Dokter dan Mas Atta.""Baiklah, Alifa. Saya hanya bisa mengantar kamu sampai sini." Pria itu menyentuh tombol di pintu, lalu pintu itupun terbuka. "Silahkan masuk. Saya akan menghubungi Atta untuk memberitahu, supaya dia tidak perlu kaget jika melihat keberadaan kamu dan Gibran di apartemennya.""Apakah Mas Atta akan tinggal di sini?" tanyaku. Aku melongok ke dalam dan menyadari jika apartemen ini ukurannya tidak terlalu luas."Kadang-kadang. Terkadang dia masih menyukai tinggal di rumah utama, tapi tak jarang dia pun pulang ke apartemennya sendiri."Aku tidak lagi menanyakan apa-apa dan membiarkan dokter Aariz meninggalkan tempat itu setelah memberitahukan password pintu masuk apartemen ini.Kuhela nafas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungku di sandaran sofa, menikmati geliat tubuh Gibran yang tampak gelisah. Aku mengeluarkan aset pribadiku dan mulai menyusui Gibran. Tidak ada perlengkapan bayi di apar
Bab 12Dibandingkan dengan dokter Aariz, Atta memang lebih hangat dan membuatku nyaman dari pertama kali bertemu. Pria itu pula yang pertama kali menawarkan untuk menyusui keponakannya.Aku mengangguk, lalu kembali menyuap nasi goreng yang terasa begitu lezat di lidahku. Atta pun begitu juga. Kami makan dengan sangat lahap karena memang belum makan apapun semenjak sore tadi. Aku bahkan sengaja nggak masak dan berjanji kepada Naira untuk membawakan makanan untuknya.Selesai makan, aku pun bangkit dari kursi dan berjalan menuju sisi cafe ini. Cafe ini didesain terbuka, jadi tinggi dindingnya hanya setengah badanku. Sementara bagian atas dibiarkan terbuka, sehingga terkesan tempat ini menyatu dengan alam. Aku menikmati pemandangan beberapa orang yang masih saja berlarian di bibir pantai sembari bermain pasir. Tampak begitu ceria dan bahagianya mereka.Aku menggigit bibirku. Getir sekali. Dulu aku seringkali dibawa mas Keenan menghabiskan waktu di pantai seperti ini.Ah, kenapa otakku ti
Bab 13Pengalaman indah?Ya, aku memang memiliki kenangan indah bersama dengan mas Keenan. Tapi itu dulu, sebelum orang-orang di dalam keluarga mas Keenan merencanakan makar untuk memisahkan kami."Aku tidak punya kriteria apapun. Yang penting dia pria yang baik. Sudah, itu saja.""Cuma itu?!" Atta tampak kaget. "Wanita secantik Mbak Alifa tidak punya kriteria tentang suami idaman?""Nggak, Mas." Aku tersenyum geli, merasa lucu dengan pertanyaan pria itu. Bukan cuma pertanyaannya, tetapi juga dengan gestur tubuhnya yang di mataku terlihat menggemaskan, mirip seorang pria yang ingin menembak seorang wanita saja. Namun aku segera menepis dugaan itu, karena tidak mungkin juga Mas Atta akan menembakku.Dibalik perhatiannya yang detil, Atta selalu bersikap sopan, menghormati, dan tidak pernah menggodaku, padahal ia tahu jika aku seorang janda.Namun pria itu balas tersenyum. Dia tak menanyakan apapun, tetapi malah bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju kamar, lalu merebahkan Gibran denga
Bab 140Keenan tahu, orang yang dimaksud oleh dokter Aariz itu adalah Eliana, dan dokter Aariz juga memberi tindakan operasi caesar kepada Eliana atas paksaannya, karena pria itu tidak mau terlalu lama mendengarkan umpatan kesakitan dari mantan istrinya itu.Pria itu mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh dokter Aariz. Obrolan mereka sangat jelas terdengar. Namun Keenan sengaja tidak mau turut campur. Tidak ada urusan dengannya. Lagi pula sepertinya Alifa memang hanya menginginkan bertemu dengan Donita.Terlihat jelas dari sikap dokter Aariz bahwa dia begitu posesif. Dia dan dokter Aariz sama-sama laki-laki dan tentu tahu bagaimana caranya agar pasangan tidak lagi berhubungan dengan mantan. Jelas sekali bahwa pria itu tidak menginginkan Alifa berhubungan kembali dengan mantan suaminya, walaupun hanya sebatas berteman."Apa aku terlihat menyedihkan?" Pria itu memutar bola matanya malas sembari berjalan mendekat setelah sepasang suami istri itu meninggalkan ruangan perawatan
Bab 139"Sepanjang kondisi kamu masih memungkinkan, Mas pasti mengizinkan." Aku berbaring dengan posisi miring menghadapnya. Pandangan kami beradu, aku mencoba menyelami apa yang ada di dalam pikirannya.Barusan ia bilang jika Donita sudah melahirkan, dan aku spontan mengemukakan keinginan untuk menjenguk Donita di rumah sakit, lagi pula itu adalah rumah sakit milik suamiku sendiri, seharusnya kan tidak masalah."Tapi ingat kamu nggak boleh mual-mual atau menunjukkan ekspresi yang mencurigakan, karena kita harus menyembunyikan kehamilan kamu," ujarnya lagi."Sampai saat ini aku masih tidak mengerti apa alasan Mas menyembunyikan semuanya.""Kelak kamu pasti akan mengerti jika usia kandunganmu sudah memasuki trimester ketiga.""Mas menyembunyikan sesuatu dariku," rajukku."Ini untuk kebaikanmu dan keluarga kita, jangan sampai kamu kenapa-kenapa." Pria itu melingkarkan tangan di pinggangku dan wajah kami pun terpadu. Dia mencium keningku lalu berlanjut ke pipi.Aku mendengus. "Mas selal
Bab 138Pria itu tidak berbohong. Aariz menjamin jika Donita bisa melahirkan secara normal.Dan benar saja. Begitu pembukaan sudah lengkap, pria itu memberi instruksi Donita untuk segera mengejan Seorang bayi laki-laki lahir, dan suara tangis pertamanya memenuhi seisi ruangan persalinan, membuat Keenan seketika mengucap syukur. Lantaran Donita menggunakan metode ELA, jadi dia bisa lebih fokus dan tenang untuk mengejan. Dan hasilnya, perempuan itu hanya menerima dua bonus jahitan saja.Luar biasa, bukan?"Selamat ya Donita. Tuh, bisa kan lahiran normal?" Pria itu mengacungkan jempol setelah dokter anak mengambil alih bayi itu untuk diobservasi."Perjuangan yang luar biasa. Untung dokternya sabar." Perempuan itu menanggapi sambil tersenyum. Saat digigit pun, Donita tetap tenang karena rasanya memang tidak terlalu sakit, beda sekali jika menjahit. jalan lahir tanpa bius sama sekali.Itu karena kamu bersedia untuk berjuang. Kalau pasien nggak mau diajak berjuang dan maunya minta SC, ya
Bab 137Keenan menatap nanar pria yang sudah menghilang di balik ruangan tempat ia duduk. Sekarang sepertinya pria itu menuju ruangan operasi, karena barusan dia mendengar Nia memberitahu jika akan ada tindakan untuk salah satu pasien. Pria itu menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Lamat-lamat dia masih mendengar suara Donita yang merintih. Ada rasa tidak tega, tapi bagaimanapun dia harus mematuhi anjuran dokter. Aariz itu terkenal jujur dalam memberi rekomendasi. Banyak dokter yang cenderung merekomendasikan untuk operasi caesar, karena ingin pekerjaannya cepat selesai, apalagi bagi pasien yang menggunakan layanan pembayaran melalui BPJS. Keenan pernah mendengar rumor yang berkembang di dunia kesehatan. Konon BPJS hanya bersedia untuk membayar tindakan terakhir, jadi tindakan sebelumnya seperti induksi dan lain-lain tidak dihitung, sehingga para dokter cenderung lebih merekomendasikan operasi caesar apabila pasien mengalami sedikit kesulitan dalam proses persalinan normal. Padahal sebe
Bab 136"Dok, satu jam lalu masuk satu pasien atas nama Donita. Dia baru pembukaan satu sejak mulas pertama kali tadi malam. Dokter Amel menyarankan untuk induksi, tapi pasien itu tidak mau," lapor Nia saat Aariz baru saja menjejakkan kakinya di pelataran rumah sakit."Baiklah, kita akan memeriksanya." Pria itu segera berbelok ke arah samping, di mana ruangan IGD berada. Dia memasuki ruangan dengan langkah-langkah lebarnya. Suara rintihan terdengar. Hal yang biasa ia dengar jika masuk ke ruangan seperti ini."Loh, Donita." Pria itu sangat terkejut. Tentu dia mengenali perempuan itu, karena mereka pernah beberapa kali ketemu saat kontrol kehamilan."Dok, sakit," rintih Donita. Dia menggeliat. Pinggangnya sudah sangat pegal. Sesekali gelombang kontraksi menderanya, gelombang yang semakin lama semakin sering dan itu yang membuat Donita semalaman tidak bisa tidur. Dia mengantuk, tapi tidak bisa tidur. Fisiknya pun terasa mulai melemah.Sebenarnya sudah sejak sore kemarin dia merasakan hal
Bab 135Pria itu tidak menjawab. Dia memilih untuk membelai rambut istrinya, lalu mengusap wajah itu, dan mengatupkan kedua mata Alifa. "Tidurlah. Kamu pasti lelah.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas," ucap Alifa. Rupanya dia masih belum juga memejamkan mata."Kamu akan tahu jawabannya nanti, jadi untuk sekarang tolong patuhi perintahku. Kamu nggak boleh kasih tahu kepada siapapun soal kehamilan kamu, meski itu orang terdekat kita sekalipun.""Aku akan mentaati suamiku sejauh itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan rasul-nya...." "Bagus, istri solehah." Pria itu tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya, dan mengecup kening perempuan itu. "Sekarang kamu tidur ya, semoga besok nggak mual-mual lagi."Perempuan itu mengangguk. Dia mulai memejamkan mata.Aariz tersenyum senang. Sebenarnya istrinya ini penurut dan sangat baik. Hanya saja sampai saat ini dia baru sebatas melakukan segala hal untuk menjadikan dirinya sebagai suami yang layak untuk Alifa, perempuan yang dipilihkan
Bab 134Baru saja perut kenyang lantaran makan martabak dan juga makan malam dengan menu yang sangat enak di posko tadi, tapi kini semuanya termuntahkan, sehingga perutku kembali kosong. Aku memandangi sisa-sisa muntahanku yang tengah coba kuhilangkan dengan guyuran air yang terus mengalir dari kran di atas wastafel kamar mandi. Sementara suamiku yang rupanya menyusulku ke kamar mandi tengah memijat-mijat punggungku."Sayang, kamu kenapa? Lagi masuk angin, atau asam lambung kamu yang kumat?""Aku nggak tahu, Mas," jawabku setelah menutup kembali kran di tempat cuci tangan dan muka di kamar mandi setelah memastikan semua isi muntahanku bersih.Tubuhku gemetar dengan kepala yang berkunang-kunang. Mas Aariz memapahku kembali ke ranjang, lalu menyandarkan tubuh ini di kepala ranjang dengan beberapa bantal sebagai penyangga."Sepertinya kamu salah makan deh. Tadi kan kamu menghirup banyak kuah asam yang buat martabak itu. Kayaknya nikmat sekali." Dia mengingatkan."Memang enak, Mas. Rasan
Bab 133"Saya bahkan bisa saja meminta kepada suami saya untuk menarik dukungannya terhadap suami Ibu," tekanku tanpa mengeraskan suara."Dan saya pastikan karir Aariz tamat sebagai dokter kandungan di rumah sakit umum," balas perempuan paruh baya itu."Oh ya?" Bukannya takut, tapi aku malah kembali tersenyum. "Apa saya tidak salah dengar? Bukankah kalian sengaja memasukkan Mas Aariz sebagai salah satu anggota tim sukses agar suami saya ini tidak melanjutkan niatnya untuk mengundurkan diri dari rumah sakit umum?" Tidak prakteknya suamiku di rumah sakit umum pasti akan berdampak cukup besar, karena kebanyakan pasien memang selalu ingin ditangani oleh dokter senior, walaupun mereka menggunakan pembiayaan dari BPJS sekalipun."Jaga bicara kamu ya!""Saya pikir malah bagus, karena kalau suami saya tidak lagi praktek di rumah sakit umum, maka calon pasien dipastikan akan langsung ke RSIA Hermina. Jadi rumah sakit milik sendiri pasti akan lebih maju....""Tutup mulutmu! Tahu apa kamu tenta
Bab 132"Jadi dulunya Mbak Alifa ini kuliahnya apa?""Akuntansi, Dok, karena saya suka hitung-hitungan.""Wah... Emangnya nggak tertarik dengan kedokteran?" Perempuan itu menaikkan alisnya."Kebetulan Alifa ini dulunya suka sama itung-itungan, dan dia kuliah lewat jalur beasiswa." Pria itu menerangkan tanpa melepas genggaman tangannya padaku. Di atas meja hadapan kami sudah ada beberapa macam hidangan yang siap untuk kami santap. Namun tampaknya dokter Hera masih penasaran denganku. Dia tetap mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya."Oh, ya? Apakah lewat jalur prestasi atau beasiswa yang buat anak yang nggak mampu?""Jalur prestasi, Hera. Alifa ini pintar dan dia berhasil kuliah di bidang yang ia sukai. Lulus kuliah, Alifa sempat bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan, tapi kemudian resign karena dia menikah.""Loh, katanya kan Mbak Alifa ini ibu susu anaknya dokter. Emangnya kapan dia bekerja sebagai akuntan?""Tepatnya sebelum menikah dengan suami pertamanya. Setelah menik