Bab 5
Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui? "Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias. "Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung. "Ah iya, saya memang nggak sampai berpikir ke arah sana, Mbak. Sebenarnya saya memang lagi bingung untuk mencari ibu susu yang cocok untuk keponakan saya. Kebetulan tadi saya bertemu dengan Mbak saat Mbak akan menyelesaikan pembayaran," papar Atta. Dia menangkupkan tangan di dadanya. Pria itu terlihat menelan ludahnya tanpa mengalihkan atensinya kepadaku. "Tapi Mbak tenang saja, tidak perlu khawatir. Ini memang belum sepengetahuan Mas Aariz, tapi saya yakin beliau pasti akan senang jika ada wanita yang mau menyusui bayinya. Selama dua hari ini kami sudah mencoba beberapa merek susu formula bahkan yang soya sekalipun, tetapi nggak ada yang cocok. Gibran bahkan selalu menolak menyusu dot. Sepertinya memang hanya ASI yang cocok." "Mas terkesan perhatian sekali dengan keponakan." Aku memuji dengan senyum getir lantaran merasa sedikit iri. Adik dokter Aariz ini begitu perhatian dengan nasib keponakannya, sementara papanya Zaid malah tidak tahu sama sekali keberadaan bayinya yang bahkan sudah menghembuskan nafas terakhir kemarin. "Karena saya tidak mau melihat Mas Aariz terus bersedih. Dia sudah kehilangan istrinya, masa iya harus kehilangan anaknya pula? Jadi sedapat mungkin kami akan berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Gibran," ujar pria itu. "Gibran? Wah, nama yang bagus." Aku kembali mencoba untuk tersenyum dengan tatapan teralih pada dadaku. Aku meraba dadaku yang basah, sembari berpikir mungkin memang sudah jalannya. Bayi itu menginginkan sosok seorang ibu, sementara aku baru saja kehilangan anakku. Bukankah kami bisa saling melengkapi nantinya? "Baiklah, Mas. Saya bersedia. Mohon dipahami, di sini saya tidak dalam posisi menjual air susu saya, tetapi hanya membaginya kepada bayi yang membutuhkan," ujarku menegaskan. "Tentu saja. Saya percaya Mbak Alifa orangnya tulus dan ini adalah poin plus untuk Mbak Alifa. Mbak Alifa nanti tidak hanya sekedar menjadi ibu susu bagi keponakan saya, tetapi juga menjadi ibu asuhnya. Jadi Mbak Alifa akan tinggal bersama kami, dan mohon maaf harus resign dari pekerjaan Mbak selama ini, karena Mbak Alifa harus full menyusui dan mengasuh keponakan saya," pinta Atta. "Iya Mas, tidak apa-apa. Seandainya anak saya masih hidup pun saya juga akan resign dari pekerjaan saya. Saya sudah berencana memberinya ASI eksklusif...." Setelah menghabiskan minuman yang sudah kami pesan, Atta mengantarku kembali ke toko, sekalian berpamitan dengan ibu Sabrina dan juga mengambil barang-barangku yang tidak seberapa. Mataku basah kembali saat mengemasi barang-barang yang sedianya akan aku pakai untuk menyambut kelahiran bayiku. Aku sudah membeli perlengkapan untuk bayiku. Kasur lengkap dengan bantal dan guling, baju, celana, selimut, popok bayi, perlengkapan mandi, dan lainnya. Aku mengambilnya dari toko ibu Sabrina sedikit demi sedikit, sesuai dengan kemampuanku untuk membayar. Terkadang aku membayarnya dengan jumlah komisi yang didapatkan setiap harinya. Semoga saja masih berguna untuk anak susuanku nanti, supaya benda-benda ini tidak mubazir. Meski aku sendiri juga ragu, karena mereka adalah orang berada. Barang-barang perlengkapan bayi ini bukan berasal dari merk terkenal dan mahal. Apakah mereka mengizinkan aku memakaikannya kepada bayi mereka? Meski merasakan hatiku ragu, aku tetap mengemasinya, lalu meminta kepada ibu Sabrina dan Atta untuk membawa barang-barang itu ke mobil. Aku sendiri masih tidak bisa mengangkat barang berat karena masih dalam proses pemulihan pasca operasi. "Seringlah main kemari, Nak. Ibu pasti akan selalu merindukanmu, apalagi kamu sudah Ibu anggap seperti anak sendiri." "Tentu saja, Bu. Aku pun pasti selalu merindukan Ibu." Aku balas memeluk Ibu Sabrina, lalu mencium pipi kanan dan kiri beliau, lalu akhirnya berbalik dan masuk ke mobil. *** Aku termangu menatap bangunan tinggi dan besar di hadapanku. Ini bukanlah rumah, tetapi seperti istana kecil. Jadi di sinikah tempat tinggalku sekarang? Aku menghela nafas, berusaha menepis rasa rendah diri yang diam-diam menyergap. "Mari silahkan masuk," ujar pria itu. Dia memegang tanganku, lalu menarikku pelan dan kami akhirnya berjalan beriringan. Sementara barang-barangku dibawa oleh seorang pria yang memakai seragam petugas keamanan. Seorang perempuan tua menyambut. Terlihat dari penampilannya biasa saja. Namun aku bisa melihat jika pakaian yang dikenakan oleh perempuan tua itu bukan berasal dari brand murahan. "Kenalkan, ini Ibu saya. Namanya Wardah," ujar Atta setelah melepaskan genggaman tangannya. Aku berusaha untuk membungkuk dan mencium tangan perempuan itu. Namun seperti paham dengan kesulitanku, perempuan tua itu malah menarik tangannya sedikit ke atas, sehingga aku tidak perlu membungkuk hanya untuk menyalami punggung tangannya. "Saya Alifa, Bu. Mas Atta meminta saya untuk menjadi ibu susu bagi keponakannya." Aku menjabarkan keperluanku secara gamblang. "Iya, barusan Atta kirim pesan kepada Ibu. Jadi benar, kamu yang akan menjadi ibu susu cucu saya?" "Benar, Bu," sahutku agak sungkan karena ternyata perempuan tua itu meminta duduk di sisinya. Dengan ekor mataku aku memindai sekeliling ruangan. Ruangan tamu ini nampak begitu mewah, jauh lebih mewah dari rumahku dulu bersama dengan mas Keenan. Ah kenapa pula aku harus memikirkan pria itu lagi? Aku menghela nafas berat, lalu membalas tatapan bu Wardah. "Maaf jika penampilan saya kurang berkenan. Saya baru keluar dari rumah sakit, tadi nggak sengaja bertemu dengan Mas Atta saat berada di ruang administrasi dan di pemakaman putra saya...." "Anak kamu meninggal?" tanya perempuan tua itu sembari menatap gundukan di dadaku. Pakaian atasku yang basah pun tak luput dari pengamatannya. "Iya Bu, bayi saya meninggal sehari setelah dilahirkan. Ada infeksi di tubuhnya dan dia tak tertolong." Ibu Wardah terlihat mengangguk-angguk, lalu menatap putranya yang duduk berseberangan dengan kami. "Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Ma. Aku ketemu Mbak Alifa ini saat berada di bagian administrasi, lalu aku mengikutinya, dan ternyata dia berada di pemakaman." Pria itu mulai menjelaskan. "Jadi aku rasa nggak ada salahnya jika kita meminta Mbak Alifa untuk menyusui Gibran." "Ya, Mama mengerti. Tapi kita tunggu kakak kamu dulu. Tanpa persetujuannya, kita tidak bisa berbuat apa-apa." Ibunya mengingatkan. "Aku yakin Mas Aariz pasti setuju, Ma." "Iya. Tetap saja kita harus meminta izinnya." Perempuan tua itu bangkit dan memintaku untuk mengiringinya ke sebuah ruangan. Suara tangis bayi langsung menyambut saat aku memasuki ruangan itu. Sosok perempuan muda yang tengah menggendong bayi yang menangis kejar. Aku yang tidak tega memilih duduk di pembaringan dan meminta bayi itu untuk segera disusui. Tak sampai semenit, bayi itu langsung diam. Hanya suara kecipak dari mulut baby Gibran yang tengah menyusu terdengar, dan itu membuat ibu Wardah dan perempuan muda yang sepertinya merupakan baby sister itu tersenyum senang. "Alhamdulillah... Terima kasih, Mbak." Perempuan muda itu menghela nafas lega. "Sama-sama. Saya senang bisa menyusui bayi ini. Saya nggak menyangka jika ternyata air susu saya bisa berguna." Aku menunduk dan menatap wajah polos bayi itu. Jantungku berdetak lebih kencang saat menatap wajahnya. Entah kenapa aku merasa memiliki ikatan batin dengan bayi ini. Hanya dengan memangkunya sekali saja, aku sudah merasa sangat menyayanginya. Ah, mungkin karena aku memang ditakdirkan untuk menjadi ibu susunya. Aku akan menjalani peranku dengan senang hati. Aku berharap semoga dokter Aariz berkenan memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi ibu susu bagi anaknya. Akhirnya bayi itu tertidur setelah kenyang menyusu. Baby sister yang bernama Naira itu meminta baby Gibran untuk ditidurkan di box bayi. Aku segera keluar kamar menyusul ibu Wardah yang lebih dulu keluar dari kamar ini setelah mendapati cucunya tenang bersamaku. Kuayunkan kakiku, melangkah perlahan menuju ke ruang tamu lantaran berpikir mungkin ibu Wardah berada di ruangan itu. "Kenapa kamu seceroboh itu Atta? Kenapa kamu nggak minta izin sama Mas saat membawa perempuan itu ke rumah kita?!" Suara dokter Aariz terdengar. Seketika aku menghentikan langkah dan merapatkan tubuh ke dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. "Ini juga dadakan sih Mas. Aku nggak tega lihat Gibran menangis terus. Sebenarnya tadi aku mau menyusul Mas ke Hermina, tapi aku melihat Mbak Alifa ada di bagian administrasi, jadi aku minta saja dia untuk menyusui Gibran, lagi pula dari petugas administrasi aku jadi tahu jika bayinya mbak Alifa itu baru saja meninggal...." "Tapi kita tidak bisa sembarangan menerima seorang perempuan untuk menyusui Gibran. Kita nggak tahu dia sehat atau enggak...." Aku yang tidak tahan lagi dengan perdebatan itu akhirnya memberanikan diri untuk menyusul dua lelaki yang tengah berdebat di teras rumah ini. "Mohon maaf... Mas Atta, Dokter Aariz, mohon maaf jika saya sudah lancang menyusui baby Gibran." Aku berjalan mendekati mereka dengan wajah tertunduk. "Mbak Alifa?!" Suara tertahan Atta. Tentunya dia kaget dengan keberadaanku di teras rumah ini, karena yang dia tahu jika aku tengah bersama dengan keponakannya di ruangan bayi. "Jika yang Dokter Aariz maksudkan adalah soal kesehatan, saya bersedia kok untuk diperiksa kesehatannya, termasuk kualitas dari ASI saya. Saya nggak akan tersinggung kok Mas, karena saya tahu setiap ayah pasti ingin memberikan yang terbaik untuk putranya, kan?!"Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar
Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha
Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara
Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere
Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci
Bab 11Aku mengangguk. "Tentu saja, Dok. Saya akan patuhi semua aturan dari Dokter dan Mas Atta.""Baiklah, Alifa. Saya hanya bisa mengantar kamu sampai sini." Pria itu menyentuh tombol di pintu, lalu pintu itupun terbuka. "Silahkan masuk. Saya akan menghubungi Atta untuk memberitahu, supaya dia tidak perlu kaget jika melihat keberadaan kamu dan Gibran di apartemennya.""Apakah Mas Atta akan tinggal di sini?" tanyaku. Aku melongok ke dalam dan menyadari jika apartemen ini ukurannya tidak terlalu luas."Kadang-kadang. Terkadang dia masih menyukai tinggal di rumah utama, tapi tak jarang dia pun pulang ke apartemennya sendiri."Aku tidak lagi menanyakan apa-apa dan membiarkan dokter Aariz meninggalkan tempat itu setelah memberitahukan password pintu masuk apartemen ini.Kuhela nafas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungku di sandaran sofa, menikmati geliat tubuh Gibran yang tampak gelisah. Aku mengeluarkan aset pribadiku dan mulai menyusui Gibran. Tidak ada perlengkapan bayi di apar
Bab 12Dibandingkan dengan dokter Aariz, Atta memang lebih hangat dan membuatku nyaman dari pertama kali bertemu. Pria itu pula yang pertama kali menawarkan untuk menyusui keponakannya.Aku mengangguk, lalu kembali menyuap nasi goreng yang terasa begitu lezat di lidahku. Atta pun begitu juga. Kami makan dengan sangat lahap karena memang belum makan apapun semenjak sore tadi. Aku bahkan sengaja nggak masak dan berjanji kepada Naira untuk membawakan makanan untuknya.Selesai makan, aku pun bangkit dari kursi dan berjalan menuju sisi cafe ini. Cafe ini didesain terbuka, jadi tinggi dindingnya hanya setengah badanku. Sementara bagian atas dibiarkan terbuka, sehingga terkesan tempat ini menyatu dengan alam. Aku menikmati pemandangan beberapa orang yang masih saja berlarian di bibir pantai sembari bermain pasir. Tampak begitu ceria dan bahagianya mereka.Aku menggigit bibirku. Getir sekali. Dulu aku seringkali dibawa mas Keenan menghabiskan waktu di pantai seperti ini.Ah, kenapa otakku ti
Bab 13Pengalaman indah?Ya, aku memang memiliki kenangan indah bersama dengan mas Keenan. Tapi itu dulu, sebelum orang-orang di dalam keluarga mas Keenan merencanakan makar untuk memisahkan kami."Aku tidak punya kriteria apapun. Yang penting dia pria yang baik. Sudah, itu saja.""Cuma itu?!" Atta tampak kaget. "Wanita secantik Mbak Alifa tidak punya kriteria tentang suami idaman?""Nggak, Mas." Aku tersenyum geli, merasa lucu dengan pertanyaan pria itu. Bukan cuma pertanyaannya, tetapi juga dengan gestur tubuhnya yang di mataku terlihat menggemaskan, mirip seorang pria yang ingin menembak seorang wanita saja. Namun aku segera menepis dugaan itu, karena tidak mungkin juga Mas Atta akan menembakku.Dibalik perhatiannya yang detil, Atta selalu bersikap sopan, menghormati, dan tidak pernah menggodaku, padahal ia tahu jika aku seorang janda.Namun pria itu balas tersenyum. Dia tak menanyakan apapun, tetapi malah bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju kamar, lalu merebahkan Gibran denga
Bab 96Hari terus berganti.Meski Donita terus menolak tawarannya, tetapi Keenan tetap memperlihatkan perhatian pada wanita itu. Membuatkan susu ibu hamil, mengingatkannya untuk mengonsumsi vitamin, bahkan membelikannya setelan kerja untuk ibu hamil.Perut Donita memang masih rata. Tapi beberapa bulan kemudian, pasti akan terlihat dan Keenan sudah memperhitungkan resiko itu. Dia tidak akan memecat Donita. Namun demi menjaga nama baik perempuan itu, dia merencanakan cuti panjang untuk Donita, sehingga dia bisa menjalani kehamilannya dengan baik dan tanpa beban. Sebab bukan tidak mungkin jika dipaksakan untuk terus bekerja saat perutnya membuncit, akan muncul gosip miring yang dialamatkan kepada Donita dan mengguncang mental perempuan itu. Sebenarnya bukan cuti, karena Donita akan tetap bekerja. Donita akan bekerja dari apartemen mereka. Keenan pun akan membatasi wanita itu untuk keluar dari apartemen jika perut Donita mulai membesar.Dengan bekerja dari apartemen, setidaknya Donita ti
Bab 95Perempuan itu hanya tersenyum tipis. Pantas saja dulu Keenan lebih memilih Alifa ketimbang Aina. Ternyata attitude Aina jelek, padahal sebagai istri pemimpin perusahaan, seharusnya memiliki attitude yang baik. Di samping cantik, dia juga harus cerdas, memiliki public speaking yang bagus, dan bisa menempatkan diri sebagai istri dari pimpinan sebuah perusahaan."Perkenalkan, namaku Donita. Aku sekretarisnya Keenan dan sekaligus sebagai kekasihnya sekarang." Donita menyodorkan tangan yang ditepis oleh Aina. Namun, alih-alih tersinggung, Donita justru tersenyum semakin lebar.Rasanya menyenangkan juga melihat gadis itu yang terlihat kepanasan."Aku tak butuh perkenalan dari kamu. Namun posisi kamu sebagai sekretaris itu rawan. Jangan mengaku kekasih deh. Kamu pikir aku akan percaya, hmmm...? Bukankah seorang sekretaris lebih sering menjadi wanita pemuas bosnya. Aku bukan wanita kampung yang tak tahu apa-apa soal itu.""Terserah apa katamu, Aina. Tapi yang jelas, begitulah keadaanny
Bab 94Suara bel di depan membuat aktivitas Donita yang tengah memotong-motong setengah ekor ayam berhenti. Dia mencuci tangannya di wastafel, kemudian segera membalikkan tubuhnya."Biar aku saja," cegah Keenan. Pria yang sebelumnya tengah asyik menghadapi laptopnya itu segera beranjak dari kursi dan bergegas menuju pintu depan.Donita menggeleng, tapi ia kembali fokus dengan kegiatannya. Meskipun indera penciumannya sangat sensitif terhadap bumbu dan masakan, tetapi Donita memaksakan diri untuk tetap memasak. Dia tidak mungkin bermanja pada Keenan yang jelas-jelas bukan ayah dari anak yang tengah dikandungnya. Bahkan dia menolak untuk dinikahi oleh pria itu, karena tidak mau membuatnya repot.Entah kenapa hari ini dia sangat ingin makan ayam masak kecap, tapi ayamnya harus dipotong kecil-kecil. Donita menggunakan setengah ekor ayam yang ditumis dengan bumbu-bumbu yang sudah ia buat sebelumnya. Supaya lebih praktis, wanita menggunakan cooper untuk menghaluskan bumbu. Di samping itu, b
Bab 93"Kamu kenapa, Don?" Pria itu segera bergegas menyusul ke kamar mandi. Wajah Donita nampak pucat, karena dia sudah memuntahkan seluruh isi perutnya."Aku baik-baik saja, Mas, hanya sedikit mual dan pusing." Wanita itu meringis, lalu membasuh wajahnya dan sisa muntahannya yang memenuhi wastafel."Kita ke dokter saja ya. Belakangan ini aku lihat kamu lesu dan nggak ada semangat. Apakah kamu kecapean?""Kemungkinan iya, Mas. Tapi nggak usah ke dokter juga kali. Dibawa istirahat saja pasti akan enakan kok," tolaknya."Nggak ada bantahan, Donita. Kamu harus ke dokter sekarang. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Kalau ke dokter kan nanti ketahuan penyakitnya. Kamu itu sakit maag atau apa? Bukan cuma kali ini kan kamu muntah? Bahkan sudah beberapa hari ini begitu-begitu saja." Pria itu memapah Donita, lalu membawanya duduk di tepi tempat tidur. Dia sendiri yang mengambilkan dress untuk pakaian ganti sekretarisnya ini, lalu membantunya mengenakan pakaian. Lantaran seringnya melih
Bab 92"Kamu mau bulan madu ke mana?" Pria itu bertanya setelah meletakkan bekas makanku di atas lemari nakas.Spontan aku menggeleng. "Tidak ada urusan bulan madu di benakku. Aku nggak kepikiran apa-apa, Mas. Nggak bulan madu juga nggak apa-apa, lagian pekerjaan Mas kan banyak. Anak-anak juga susah kalau ditinggalkan, walaupun ada baby sisternya. Aku kan sudah bilang, kalau aku nggak janji akan melayanimu seperti layaknya seorang istri yang masih gadis. Aku janda, dan anaknya banyak.""Cuma dua, Sayang. Nggak banyak itu.""Tiga, Mas. Zaid, Gibran, dan Anindita," ralatku. "Bagaimana bisa suamiku melupakan fakta jika aku memiliki anak bernama Zaid? Walaupun dia sudah tiada, tetapi dia tetap anakku!""Maaf, Sayang." Mas Aariz mengusap-usap bahuku dengan lembut."Iya, kita memang punya tiga anak. Tapi kalau kita nanti pergi berbulan madu, pasti akan bersama dengan anak-anak, Naira dan Maya. Kalau nggak gitu, nanti anak-anak repot mencarimu." Pria itu mengelap bibirku dengan tisu. Bibirk
Bab 91"Kan bisa dikeringkan dengan hairdryer," ucap Atta sekenanya. Dia tak lagi melihat ponsel, malah antusias melihat kakaknya yang menata roti di atas piring, lalu membuatkan segelas susu."Cei cei... yang habis malam pertama, sarapannya di bawain ke kamar." Lagi-lagi pria itu menggodanya."Makanya nikah, Atta. Nanti kamu pasti akan merasakan kayak yang Mas lakukan, bahkan mungkin lebih daripada ini," ujar Aariz datar. Dia bergegas membawa nampan itu pergi menuju kamarnya.Atta hanya menggeleng, lalu kembali memusatkan perhatian pada ponsel. Ada beberapa email yang harus ia buka. Namun baru juga lima menit, ibunya datang ke ruangan ini."Sarapan yang benar, jangan kerja melulu."Pria itu berdehem. "Iya, Ma."Wardah duduk sembari menatap putra bungsunya dalam-dalam. "Apakah kamu tidak berpikir untuk menikah juga?""Memangnya mau menikah sama siapa, Ma?" Pria itu merotasi bola matanya malas."Siapapun perempuan yang kamu inginkan, Mama pasti merestui kok, asal jangan ada hubungannya
Bab 90"Kamu suka kamar ini?" cicit pria itu. Saking asyiknya mengagumi kamar ini, aku tidak menyadari jika tubuhku terangkat. Mas Aariz menggendongku ala bridal, lalu merebahkanku di pembaringan."Apakah aku punya alasan untuk tidak menyukai kamar ini?" Aku berusaha menahan nafas. Rasanya badanku panas dingin. Baru kali ini aku terlibat hal yang begitu intim dengan mas Aariz. Pria itu selalu bersikap sopan kepadaku selama ini, kecuali tadi malam. Dia sempat memelukku meski hanya sekilas, karena aku langsung berontak. Tapi aku mengerti alasannya memelukku, karena dia ingin menghiburku."Sebenarnya ini dadakan, jadi aku nggak sempat meminta pendapatmu. Tapi kalau kamu memang nggak suka dan ada yang ingin diubah, kamu bisa bilang kepadaku. Nanti akan diteruskan kepada orang-orang kita untuk melakukan perubahan pada tatanan kamar ini," ujar pria itu."Aku seperti seorang ratu saja." Senyumku langsung terbit. "Mas jangan terlalu berlebihan kepadaku. Aku hanya cukup menikah dengan Mas,
Bab 89Pintu pun terbuka dan Alifa muncul dengan membawa setelan baju."Ini baju yang akan dipakai untuk acara malam ini. Barusan tadi Mbak Inara datang dan mengantar baju-baju yang akan kita kenakan sampai besok," ujar Alifa. Dia melangkah menghampiri ranjang dan meletakkan setelan baju itu di atas ranjang."Iya, barusan Mbak Inara chat. Cuman tadi aku males keluar," ujar Aariz. Senyumnya nampak kecut."Lah, kenapa gitu?"Pria itu menarik Alifa dan membawanya duduk di sisi ranjang. "Aku hanya malas bertemu dengan adik sepupumu itu....""Takut jatuh cinta?" goda Alifa."Bagiku dia cuma bocah. Apa yang mau diharapkan?"Seketika perempuan itu terkikik. "Biarpun masih bocah, tapi sudah bisa diajak untuk membuat bocah lho, Mas.""Nggak, nggak! Aku tidak suka dengan modelan sepupu kamu itu. Dan tolong setelah acara selesai, usahakan mereka bisa segera pulang.""Mas ingin mengusir mereka?" Seketika alis perempuan itu terangkat."Bukan. Aku hanya tidak ingin ada masalah, karena Atta malam i
Bab 88Masih dengan memegang tangan mas Aariz, aku bergegas menghampiri mereka. Paman Ardi, Bibi Santi dan Aina. Faris dan Farid, si kembar kakak Aina, didampingi istrinya masing-masing, Vanisa dan Rayani."Selamat datang di kediaman kami, Paman, Bibi." Pria itu membungkuk. Dia menyalami paman dan bibiku dengan takzim. Aku bahkan dibuat salut, meski terlihat jelas jika paman Ardi terpaksa menerima salam dari mas Aariz, tetapi pria itu tampaknya tidak ambil pusing. Dia malah menyalami Faris dan Farid . Sepasang pria kembar itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis."Wah, besar sekali rumah kamu, Nak," komentar bibi Santi."Paling-paling hasil pinjam orang, Ma. Biar dikira punya suami orang kaya. Secara kan dia malu, karena menikahi pria yang kerjanya hanya petugas security. Mana mungkin petugas security di sebuah rumah sakit bisa membangun rumah semewah ini?" ketus Aina.Aku dan mas Aariz seketika berpandangan dan teringat bahwa mas Aariz pernah mengaku sebagai security kepada bibi San