Bab 11Aku mengangguk. "Tentu saja, Dok. Saya akan patuhi semua aturan dari Dokter dan Mas Atta.""Baiklah, Alifa. Saya hanya bisa mengantar kamu sampai sini." Pria itu menyentuh tombol di pintu, lalu pintu itupun terbuka. "Silahkan masuk. Saya akan menghubungi Atta untuk memberitahu, supaya dia tidak perlu kaget jika melihat keberadaan kamu dan Gibran di apartemennya.""Apakah Mas Atta akan tinggal di sini?" tanyaku. Aku melongok ke dalam dan menyadari jika apartemen ini ukurannya tidak terlalu luas."Kadang-kadang. Terkadang dia masih menyukai tinggal di rumah utama, tapi tak jarang dia pun pulang ke apartemennya sendiri."Aku tidak lagi menanyakan apa-apa dan membiarkan dokter Aariz meninggalkan tempat itu setelah memberitahukan password pintu masuk apartemen ini.Kuhela nafas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungku di sandaran sofa, menikmati geliat tubuh Gibran yang tampak gelisah. Aku mengeluarkan aset pribadiku dan mulai menyusui Gibran. Tidak ada perlengkapan bayi di apar
Bab 12Dibandingkan dengan dokter Aariz, Atta memang lebih hangat dan membuatku nyaman dari pertama kali bertemu. Pria itu pula yang pertama kali menawarkan untuk menyusui keponakannya.Aku mengangguk, lalu kembali menyuap nasi goreng yang terasa begitu lezat di lidahku. Atta pun begitu juga. Kami makan dengan sangat lahap karena memang belum makan apapun semenjak sore tadi. Aku bahkan sengaja nggak masak dan berjanji kepada Naira untuk membawakan makanan untuknya.Selesai makan, aku pun bangkit dari kursi dan berjalan menuju sisi cafe ini. Cafe ini didesain terbuka, jadi tinggi dindingnya hanya setengah badanku. Sementara bagian atas dibiarkan terbuka, sehingga terkesan tempat ini menyatu dengan alam. Aku menikmati pemandangan beberapa orang yang masih saja berlarian di bibir pantai sembari bermain pasir. Tampak begitu ceria dan bahagianya mereka.Aku menggigit bibirku. Getir sekali. Dulu aku seringkali dibawa mas Keenan menghabiskan waktu di pantai seperti ini.Ah, kenapa otakku ti
Bab 13Pengalaman indah?Ya, aku memang memiliki kenangan indah bersama dengan mas Keenan. Tapi itu dulu, sebelum orang-orang di dalam keluarga mas Keenan merencanakan makar untuk memisahkan kami."Aku tidak punya kriteria apapun. Yang penting dia pria yang baik. Sudah, itu saja.""Cuma itu?!" Atta tampak kaget. "Wanita secantik Mbak Alifa tidak punya kriteria tentang suami idaman?""Nggak, Mas." Aku tersenyum geli, merasa lucu dengan pertanyaan pria itu. Bukan cuma pertanyaannya, tetapi juga dengan gestur tubuhnya yang di mataku terlihat menggemaskan, mirip seorang pria yang ingin menembak seorang wanita saja. Namun aku segera menepis dugaan itu, karena tidak mungkin juga Mas Atta akan menembakku.Dibalik perhatiannya yang detil, Atta selalu bersikap sopan, menghormati, dan tidak pernah menggodaku, padahal ia tahu jika aku seorang janda.Namun pria itu balas tersenyum. Dia tak menanyakan apapun, tetapi malah bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju kamar, lalu merebahkan Gibran denga
Bab 14Ini bukan kedekatan seorang majikan kepada pekerjanya.Ini lebih intim.Aariz melihat sendiri dari gestur tubuhnya, adiknya terlihat menyukai Alifa. Atau jangan-jangan mereka memang sudah dekat duluan sebelum Alifa melahirkan?Lalu, dimana sebenarnya Atta kenal dengan Alifa? Kapan mereka berkenalan?Ah, rasanya Atta mulai main rahasia dengannya.Memang menurutnya ini sedikit janggal. Tiba-tiba saja Atta begitu perhatian dengan anaknya, bahkan sampai rela mencarikan seorang ibu susu. Dan ibu susu pilihan Atta adalah Alifa.Iya sih, Alifa itu sehat setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan air susunya pun melimpah. Ibunya pun setuju jika Alifa menyusui Gibran.Tapi apa benar alasan Atta, jika sengaja menyuruh Alifa untuk menyusui Gibran dengan tujuan untuk menghibur perempuan itu? Jadi sebenarnya yang menjadi pusat perhatian Atta itu siapa? Alifa atau Gibran?Pria itu menghela nafas, lalu segera berjalan menuju ruang tamu."Saya berangkat dulu, Alifa. Sudah ditunggu sama Nia d
Bab 15"Hebat sekali," gumamku tanpa sadar."Biasa saja. Saya hanya menyayangi para perempuan dan ingin agar mereka bisa melahirkan senyaman mungkin. Saya menginginkan setiap perempuan bisa melewati proses persalinannya senyaman liburan. Kamu sudah ngerasainnya, bukan?" Lagi-lagi pria itu tersenyum.Mimpi apa aku semalam, sehingga sore ini dokter Aariz terlihat jauh lebih ramah, padahal tidak ada Gibran di dekatku."Ya, saya merasakan pelayanan paripurna dari RSIA Hermina. Excellent." Tanpa sungkan aku mengacungkan jempol."Terima kasih atas reviewnya. Kami berusaha melayani sebaik mungkin. Jika memang ada harga yang harus dibayar, itu adalah hal yang wajar, karena ada obat yang harus dibeli, karyawan yang harus dibayar upahnya, listrik, air, dan semua keperluan yang tidak bisa diselesaikan tanpa menggunakan uang.""Tentu saja. Di balik itu, tanpa harus mengurangi tingkat keikhlasan dari tim dan dokter, kan?""Pintar kamu, Alifa." Pria itu pun membalas dengan mengacungkan jempol.Dokt
Bab 16Aku yang sedang makan langsung tersedak, buru-buru mengambil air minum dan segera menegak cairan putih itu sampai isi gelas tinggal separuh.Eliana mau melahirkan?Entah kenapa ada rasa nyeri yang menyergap di hatiku.Aku teringat mendiang anakku, Zaid, yang tidak diketahui keberadaannya oleh mas Keenan. Dan sekarang dia sudah mendapatkan gantinya. Anaknya akan segera lahir. Anak yang ia nantikan selama ini akan lahir dari rahim Eliana, istri barunya.Aku harus bilang apa sekarang? Aku juga tidak bisa bersikap apapun, bahkan mendoakan semoga semua proses persalinannya lancar pun tidak bisa. Rasanya ada yang mengganjal di hatiku. Aku tidak membenci mas Keenan ataupun Eliana. Hanya saja, aku tidak bisa melupakan perlakuan mereka yang begitu kejam.Dituduh berzina, selingkuh, dikata-katai seorang pelacur, dan akhirnya diceraikan. Aku bukan cuma kehilangan suami dan harta, tapi juga nama baik dan harga diri. Aku terisolir dari lingkungan pergaulanku karena semua orang menganggapk
Bab 17 Selesai mengazankan putrinya, Keenan kembali menyerahkan kepada perawat yang langsung membawanya kembali ke ruang bayi baru lahir. Pria itu menghela nafas. Dia mengarahkan pandangannya ke depan. Sosok perempuan tua yang tak lain adalah ibunya itu muncul, tengah berjalan mendekatinya. "Bagaimana keadaan Eliana?" tanyanya dengan nafas terengah-engah. Berjalan dari lokasi parkir ke tempat putranya sekarang berada membuatnya sedikit merasa lelah. "Masih di ruang operasi, Ma," jawab Keenan. "Operasi?!" Perempuan tua itu langsung membulatkan matanya. "Memangnya kenapa sih harus operasi? Ada masalah apa?" "Dia yang minta, Ma. Katanya udah nggak kuat menahan sakit," ujarnya datar. Keenan merasa tidak perlu menutupi keadaan yang sebenarnya. Bukankah Eliana itu menantu kesayangan ibunya? "Mana ada proses melahirkan yang nggak sakit, Keenan?" cetusnya kesal. "Istrimu itu memang manja!" "Itu istri pilihan Mama loh, jadi jangan komplain!" sindir Keenan. "Bedalah kalau yang
Bab 18Keenan terus melangkah sembari menekan dadanya. Sungguh sesak rasanya membayangkan Alifa berada dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain."Kurang apa aku selama ini, Sayang? Mengapa kamu lakukan itu? Kenapa kamu tak pernah kembali dan menyadari kesalahanmu, sampai akhirnya aku terpaksa menikahi Eliana dan mendapatkan anak darinya?" Pria itu memejamkan mata sejenak setelah ia mendaratkan tubuhnya di balik kemudi.Keenan menghidupkan mesin mobil, dan mobil itu pun perlahan keluar dari pekarangan rumahnya, lalu meluncur ke jalan raya. Tak ada tujuan Keenan saat ini. Dia hanya ingin menenangkan diri.Keenan mengemudikan kendaraannya begitu lambat, sembari menatap ke depan.Perutnya sudah berdemo minta di isi. Sebenarnya ia ingin makan malam di restoran, tetapi rasanya begitu hambar jika makan sendirian. Belum apa-apa moodnya sudah rusak.Mobil terus meluncur. Dia sudah melewati beberapa restoran. Namun tak ada satupun yang menarik perhatian untuk disinggahinya.Sa
Bab 140Keenan tahu, orang yang dimaksud oleh dokter Aariz itu adalah Eliana, dan dokter Aariz juga memberi tindakan operasi caesar kepada Eliana atas paksaannya, karena pria itu tidak mau terlalu lama mendengarkan umpatan kesakitan dari mantan istrinya itu.Pria itu mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh dokter Aariz. Obrolan mereka sangat jelas terdengar. Namun Keenan sengaja tidak mau turut campur. Tidak ada urusan dengannya. Lagi pula sepertinya Alifa memang hanya menginginkan bertemu dengan Donita.Terlihat jelas dari sikap dokter Aariz bahwa dia begitu posesif. Dia dan dokter Aariz sama-sama laki-laki dan tentu tahu bagaimana caranya agar pasangan tidak lagi berhubungan dengan mantan. Jelas sekali bahwa pria itu tidak menginginkan Alifa berhubungan kembali dengan mantan suaminya, walaupun hanya sebatas berteman."Apa aku terlihat menyedihkan?" Pria itu memutar bola matanya malas sembari berjalan mendekat setelah sepasang suami istri itu meninggalkan ruangan perawatan
Bab 139"Sepanjang kondisi kamu masih memungkinkan, Mas pasti mengizinkan." Aku berbaring dengan posisi miring menghadapnya. Pandangan kami beradu, aku mencoba menyelami apa yang ada di dalam pikirannya.Barusan ia bilang jika Donita sudah melahirkan, dan aku spontan mengemukakan keinginan untuk menjenguk Donita di rumah sakit, lagi pula itu adalah rumah sakit milik suamiku sendiri, seharusnya kan tidak masalah."Tapi ingat kamu nggak boleh mual-mual atau menunjukkan ekspresi yang mencurigakan, karena kita harus menyembunyikan kehamilan kamu," ujarnya lagi."Sampai saat ini aku masih tidak mengerti apa alasan Mas menyembunyikan semuanya.""Kelak kamu pasti akan mengerti jika usia kandunganmu sudah memasuki trimester ketiga.""Mas menyembunyikan sesuatu dariku," rajukku."Ini untuk kebaikanmu dan keluarga kita, jangan sampai kamu kenapa-kenapa." Pria itu melingkarkan tangan di pinggangku dan wajah kami pun terpadu. Dia mencium keningku lalu berlanjut ke pipi.Aku mendengus. "Mas selal
Bab 138Pria itu tidak berbohong. Aariz menjamin jika Donita bisa melahirkan secara normal.Dan benar saja. Begitu pembukaan sudah lengkap, pria itu memberi instruksi Donita untuk segera mengejan Seorang bayi laki-laki lahir, dan suara tangis pertamanya memenuhi seisi ruangan persalinan, membuat Keenan seketika mengucap syukur. Lantaran Donita menggunakan metode ELA, jadi dia bisa lebih fokus dan tenang untuk mengejan. Dan hasilnya, perempuan itu hanya menerima dua bonus jahitan saja.Luar biasa, bukan?"Selamat ya Donita. Tuh, bisa kan lahiran normal?" Pria itu mengacungkan jempol setelah dokter anak mengambil alih bayi itu untuk diobservasi."Perjuangan yang luar biasa. Untung dokternya sabar." Perempuan itu menanggapi sambil tersenyum. Saat digigit pun, Donita tetap tenang karena rasanya memang tidak terlalu sakit, beda sekali jika menjahit. jalan lahir tanpa bius sama sekali.Itu karena kamu bersedia untuk berjuang. Kalau pasien nggak mau diajak berjuang dan maunya minta SC, ya
Bab 137Keenan menatap nanar pria yang sudah menghilang di balik ruangan tempat ia duduk. Sekarang sepertinya pria itu menuju ruangan operasi, karena barusan dia mendengar Nia memberitahu jika akan ada tindakan untuk salah satu pasien. Pria itu menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Lamat-lamat dia masih mendengar suara Donita yang merintih. Ada rasa tidak tega, tapi bagaimanapun dia harus mematuhi anjuran dokter. Aariz itu terkenal jujur dalam memberi rekomendasi. Banyak dokter yang cenderung merekomendasikan untuk operasi caesar, karena ingin pekerjaannya cepat selesai, apalagi bagi pasien yang menggunakan layanan pembayaran melalui BPJS. Keenan pernah mendengar rumor yang berkembang di dunia kesehatan. Konon BPJS hanya bersedia untuk membayar tindakan terakhir, jadi tindakan sebelumnya seperti induksi dan lain-lain tidak dihitung, sehingga para dokter cenderung lebih merekomendasikan operasi caesar apabila pasien mengalami sedikit kesulitan dalam proses persalinan normal. Padahal sebe
Bab 136"Dok, satu jam lalu masuk satu pasien atas nama Donita. Dia baru pembukaan satu sejak mulas pertama kali tadi malam. Dokter Amel menyarankan untuk induksi, tapi pasien itu tidak mau," lapor Nia saat Aariz baru saja menjejakkan kakinya di pelataran rumah sakit."Baiklah, kita akan memeriksanya." Pria itu segera berbelok ke arah samping, di mana ruangan IGD berada. Dia memasuki ruangan dengan langkah-langkah lebarnya. Suara rintihan terdengar. Hal yang biasa ia dengar jika masuk ke ruangan seperti ini."Loh, Donita." Pria itu sangat terkejut. Tentu dia mengenali perempuan itu, karena mereka pernah beberapa kali ketemu saat kontrol kehamilan."Dok, sakit," rintih Donita. Dia menggeliat. Pinggangnya sudah sangat pegal. Sesekali gelombang kontraksi menderanya, gelombang yang semakin lama semakin sering dan itu yang membuat Donita semalaman tidak bisa tidur. Dia mengantuk, tapi tidak bisa tidur. Fisiknya pun terasa mulai melemah.Sebenarnya sudah sejak sore kemarin dia merasakan hal
Bab 135Pria itu tidak menjawab. Dia memilih untuk membelai rambut istrinya, lalu mengusap wajah itu, dan mengatupkan kedua mata Alifa. "Tidurlah. Kamu pasti lelah.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas," ucap Alifa. Rupanya dia masih belum juga memejamkan mata."Kamu akan tahu jawabannya nanti, jadi untuk sekarang tolong patuhi perintahku. Kamu nggak boleh kasih tahu kepada siapapun soal kehamilan kamu, meski itu orang terdekat kita sekalipun.""Aku akan mentaati suamiku sejauh itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan rasul-nya...." "Bagus, istri solehah." Pria itu tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya, dan mengecup kening perempuan itu. "Sekarang kamu tidur ya, semoga besok nggak mual-mual lagi."Perempuan itu mengangguk. Dia mulai memejamkan mata.Aariz tersenyum senang. Sebenarnya istrinya ini penurut dan sangat baik. Hanya saja sampai saat ini dia baru sebatas melakukan segala hal untuk menjadikan dirinya sebagai suami yang layak untuk Alifa, perempuan yang dipilihkan
Bab 134Baru saja perut kenyang lantaran makan martabak dan juga makan malam dengan menu yang sangat enak di posko tadi, tapi kini semuanya termuntahkan, sehingga perutku kembali kosong. Aku memandangi sisa-sisa muntahanku yang tengah coba kuhilangkan dengan guyuran air yang terus mengalir dari kran di atas wastafel kamar mandi. Sementara suamiku yang rupanya menyusulku ke kamar mandi tengah memijat-mijat punggungku."Sayang, kamu kenapa? Lagi masuk angin, atau asam lambung kamu yang kumat?""Aku nggak tahu, Mas," jawabku setelah menutup kembali kran di tempat cuci tangan dan muka di kamar mandi setelah memastikan semua isi muntahanku bersih.Tubuhku gemetar dengan kepala yang berkunang-kunang. Mas Aariz memapahku kembali ke ranjang, lalu menyandarkan tubuh ini di kepala ranjang dengan beberapa bantal sebagai penyangga."Sepertinya kamu salah makan deh. Tadi kan kamu menghirup banyak kuah asam yang buat martabak itu. Kayaknya nikmat sekali." Dia mengingatkan."Memang enak, Mas. Rasan
Bab 133"Saya bahkan bisa saja meminta kepada suami saya untuk menarik dukungannya terhadap suami Ibu," tekanku tanpa mengeraskan suara."Dan saya pastikan karir Aariz tamat sebagai dokter kandungan di rumah sakit umum," balas perempuan paruh baya itu."Oh ya?" Bukannya takut, tapi aku malah kembali tersenyum. "Apa saya tidak salah dengar? Bukankah kalian sengaja memasukkan Mas Aariz sebagai salah satu anggota tim sukses agar suami saya ini tidak melanjutkan niatnya untuk mengundurkan diri dari rumah sakit umum?" Tidak prakteknya suamiku di rumah sakit umum pasti akan berdampak cukup besar, karena kebanyakan pasien memang selalu ingin ditangani oleh dokter senior, walaupun mereka menggunakan pembiayaan dari BPJS sekalipun."Jaga bicara kamu ya!""Saya pikir malah bagus, karena kalau suami saya tidak lagi praktek di rumah sakit umum, maka calon pasien dipastikan akan langsung ke RSIA Hermina. Jadi rumah sakit milik sendiri pasti akan lebih maju....""Tutup mulutmu! Tahu apa kamu tenta
Bab 132"Jadi dulunya Mbak Alifa ini kuliahnya apa?""Akuntansi, Dok, karena saya suka hitung-hitungan.""Wah... Emangnya nggak tertarik dengan kedokteran?" Perempuan itu menaikkan alisnya."Kebetulan Alifa ini dulunya suka sama itung-itungan, dan dia kuliah lewat jalur beasiswa." Pria itu menerangkan tanpa melepas genggaman tangannya padaku. Di atas meja hadapan kami sudah ada beberapa macam hidangan yang siap untuk kami santap. Namun tampaknya dokter Hera masih penasaran denganku. Dia tetap mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya."Oh, ya? Apakah lewat jalur prestasi atau beasiswa yang buat anak yang nggak mampu?""Jalur prestasi, Hera. Alifa ini pintar dan dia berhasil kuliah di bidang yang ia sukai. Lulus kuliah, Alifa sempat bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan, tapi kemudian resign karena dia menikah.""Loh, katanya kan Mbak Alifa ini ibu susu anaknya dokter. Emangnya kapan dia bekerja sebagai akuntan?""Tepatnya sebelum menikah dengan suami pertamanya. Setelah menik