Author pov.
Nana sangat bahagia selama beberapa hari tinggal bersama sang ayah, karena ini yang Nana inginkan, kasih sayang dan perhatian sang ayah padanya, meski sosok sang ayah tidak bisa menggantikan posisi sang ibu, tapi Nana cukup senang setidaknya ia bisa sedikit melupakan rasa dukanya setelah kepergian ibunya.
Seperti hari ini Bayu menghabiskan waktu bersama Nana, karena dengan seperti itu ia bisa menepis sedikit rasa rindunya pada sang istri dengan memandangi wajah nana.
"Papa, kenapa menatap Nana seperti itu, Nana malu tahu." Cicit nana menutupi wajahnya saat Perth terus menerus memandangnya.
"Kenapa, emm ..., papa sangat suka melihat wajah Nana. Karena sangat mirip seperti Mama. "Ungkap Bayu mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya selama beberapa hari ini bersama Nana.
Nana membuka tutupan tangannya dari wajahnya.
"Emm, Bibi dan paman juga selalu mengatakan itu. Nana begitu mirip seperti Mama. "
Bayu tersenyum, sembari membelai pipi Nana sayang. Karena setiap ia melihat Nana yang terbayang adalah mending Nia.
"Nana benar. Kalian sangat mirip. Kalian sama-sama manis.. "
Nana melihat jutaan duka serta penyesalan di iris mata sang ayah yang selalu ia pendam selama seminggu terakhir mereka tinggal bersama..
"Pa, Papa kenapa? Kenapa selalu bersedih. Bukankah Nana mirip Mama. Papa bisa memandangi Nana sepuasnya jika Papa mau. Nana tidak keberatan. "
Air mata yang Bayu tahan dari tadi akhirnya menetes begitu saja tanpa ia sadari saat mendengar ungkapan tulus Nana anaknya.
Karena Bayu tidak menyangka jika akhir semuanya akan seperti ini, hal bahagia yang ia harapkan setelah meninggalkan Nia dulu dengan melakukan pengkhianatan dengan Mona akan seperti ini, berakhir dengan duka.
Dulu Bayu tidak peduli bagaimana perasaan Nia setelah dusta yang ia lakukan, tapi kini semuanya seperti bumerang yang menghancurkan dirinya sendiri. Sosok yang ia anggap tidak berguna lemah dan cengeng kini bak batu Permata yang tidak perlu digali dan ia poles, tapi batu itu tetap terlihat indah dan berharga. Begitu lah kini Nia di dalam harinya. Berbanding terbalik dengan intan yang ia poles dengan sedemikian rupa, tapi tidak berharga dan bermakna. Seperti itulah gambaran Mona saat ini di matanya, wanita yang ia banggakan dan rela meninggalkan Nia ternyata memberikan luka dan torehan tak bertepi.
"Pa. " Nana tidak mengerti kenapa Papanya begitu lemah setelah kepergian ibunya.
"Hiks ... Rasanya Papa tidak kuat sayang. Papa tidak kuat menghadapi semua ini hiks ...." Nana yang menahan air mata kini ikut menangis bersama dengan keluhan singkat sang ayah.
"Hiks … Papa tidak boleh berkata seperti itu, jika papa berpikir demikian, berarti sama saja papa juga akan meninggalkan Nana dan adik Hafiz, hiks .... " Isak Nana pilu menatap raut putus asa sang ayah.
"Hiks … Papa ingin menebus semua kesalahan yang pernah terjadi ... Hiks …." Bayu menangis dalam pilu, Nana yang iba dengan lekat menatap wajah bersalah sang ayah yang masih berderai air mata.
"Papa ingin menebus kesalahan seperti apa? Bukan kah seseorang yang berputus-asa itu tidak diperbolehkan, apa lagi sampai berpikir ingin mengakhiri hidup. Jika Papa berpikiran demikian. Lalu bagaimana dengan Nana, pa? Bagaimana dengan adik Hafiz?" Cecar Nana mengingatkan tanggung jawab Bayu atas dirinya dan sang adik Hafiz.
"Hiks … maafkan Papa nak, Papa tidak kuat dengan rasa sesal dan salah ini, hikss … ." Pikiran Bayu benar-benar buntu hingga ia tidak memperdulikan apa yang Nana katakan karena rasa sesal dan sakit. Bahkan lebih sakit dari luka yang sengaja ia torehkan di lengannya akibat frustasi.
Nana sesaat diam lalu mengusap air matanya yang sempat mengalir sembari menatap sang ayah yang tengah terpuruk.
"Pa, saat ini Nana dan adik Hafiz hanya memiliki Papa. Jika Papa pergi, lalu Nana dan adik Hafiz dengan siapa, kami akan tinggal dengan siapa. Siapa yang akan menjaga dan merawat kami jika bukan Papa. Kenapa sekarang Papa seperti ini, Papa begitu mudah menangis, bukankah papa paling tidak suka dengan orang yang cengeng dan orang lemah. "Seketika Bayu tertengun, tangisannya yang semula tergugu kini berhenti setelah mendengar semua ungkapan Nana, karena apa yang Nana katakan benar, hanya dirinya yang mereka miliki dan Nana juga menyinggung dengan sifat cengeng dan lemah. Tapi ternyata kini waktu menunjukkan siapa yang sebenarnya cengeng.
"Papa harus kuat. Nana dan adik Hafiz sangat membutuhkan Papa. " Cicit Nana seraya mengusap sisa air mata sang ayah denganlembut.
Bayu benar-benar tidak menyangka, jika Nana begitu dewasa dari usianya hingga bisa membuat dirinya sadar dari segala keinginan mengakhiri diri, ia benar-benar malu pada gadis kecilnya karena selalu kuat bahkan semenjak kepergian Nia, Nana sama sekali tidak menangis, Nana selalu tersenyum menyemangati dirinya. Tapi berbeda dengan Bayu, ia begitu lemah menghadapi keadaan ini, bahkan ia sempat menoreh luka pada lengannya agar bisa mengakhiri semuanya dengan mudah tanpa memikirkan seperti apa nasib anak-anak yang akan ia tinggalkan nanti.
"Maafkan Papa nak, Papa khilaf. " Sesal Bayu atas ucapan dan keinginan serta perbuatannya selama ini.
"Papa harus berjanji. Papa harus kuat. Apapun yang terjadi kita hadapi bersama. " Bayu mengusap air matanya lalu mendekap Nana dari samping dengan hangat.
"Papa berjanji sayang. Papa akan selalu kuat seperti yang Nana katakan. Untuk kalian" Nana tersenyum mendengar janji kesungguhan sang ayah.
Autor pov. Setelah semua selesai, para dokter dan perawat mendorong keluar ranjang di mana jasad Nia terbaring, mereka akan segera memandikan dan mempersiapkan semuanya agar pemakaman segera dilakukan hari ini juga. "Tunggu suster! " Cegat Ema, sembari menggandeng Nana menghampiri ranjang di mana Nia berada. "Tolong jangan terlalu lama, nyonya. Kami harus segera memandikan mengkafankan dan menyolatkan beliau sebelum ke pemakaman. "tutur salah seorang perawat. " Baik sus. "Singkat Ema lalu membuka penutup wajah Nia. Hanya sekejap, Ema berlalu dengan tangis histeris, karena ia tidak kuasa memandang lama wajah damai Nia yang kini telah terbujur kaku. " Pa, Nana ingin melihat Mama untuk yang terakhir kalinya. "Pinta Nana, agar Bayu menggendongnya. Bayu dengan sekuat tenaga menahan diri agar tidak menangis saat berdiri di samping ranjang di mana Nia terbaring. Nana menatap wajah teduh sang Ibu dengan tabah, bahkan sudut bibir mungilnya melengkung dengan cantik saat memandangi
"PAPA … PAPA … MAMA MANA, NANA INGIN BERTEMU MAMA …." Teriak Nana, saat aku dan Anton keluar dari ruang operasi, karena Nia harus segera dimakamkan. Anton disampingku hanya bisa bergeming untuk menjawab pertanyaan dan permintaan sederhana Nana. Disini pertahanan iman ku benar-benar runtuh saat melihat air mata tidak berdosa Nana, gadis sekecil dia telah kehilangan sosok seorang ibu hebat hanya karena diriini. Rasa sesal di hatiku kian menggila hingga dada ini sesak, nafasku tidur teratur jika harus membayangkan bagaimana anak-anakku kelak, bagaimana jika mereka merindukan ibunya, aku tidak kuat, rasanya aku ingin menyusul Nia. "Papa, Mama mana?" Nana mengulang pertanyaannya lagi. Ema yang mendampingi Nana mengusap lembut rambut panjangnya agar ia tenang dan tidak menangis histeris. "Apa yang terjadi, Mas?"tanya Ema dengan penasaran sembari mempertahankan wajah kami berdua. "Dan kau? Apa yang kau lakukan di sini? Tidak cukupkan kau menghina Nia kemarin dan kini kau ingin mend
Bayu pov Setelah merasa lebih baik, ku lirik arloji yang terpasang di tangan ini lalu menghempaskan nafas dalam, karena hari ini adalah jadwal Mona pulang setelah satu minggu di rawat setelah pasca persalinan, dan sejauh ini aku belum jika Nana tinggal di rumah ini bersamaku, aku tahu ini akan menjadi masalah jika Mona pulang, dia pasti akan menentang dan akan marah besar. Tapi aku tidak memiliki cara lain karena Nana adalah tanggung jawabku dan lagi aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. "Sayang! " Panggil ku pada Nana yang masih tiduran. "Apa pa! " "Papa mau pergi, Apa Nana mau ikut." Tawar ku lembut, sembari menarik Nana agar berpangku padaku. Beginilah rutinitas kami setiap hari,setelah aku pulang dari kantor,aku sengaja menghabiskan waktu bersama Nana dan menemaninya. Aku sengaja melakukan semua ini untuk menebus rasa sesal dan bersalah di hati ini. "Ikut kemana, pa. Memangnya Papa mau kemana? " "Menjemput mama, Mona. " Wajah Nana seketika berubah setelah menden
Pov Bayu. Hanya berselang satu jam aku kembali dari rumah sakit bersama Mona istriku. Nana yang mendengar mobil ku memasuki halaman rumah bergegas ke teras menyambut kedatangan kami. Begitu jelas terlihat perubahan wajah melihat Nana yang tengah berdiri di teras, ia bergegas turun dengan nafas memburu. "MAS! KENAPA ANAK JANDA ITU ADA DI SINI!! " tunjuk Mona dengan emosi menggebu-gebu, bahkan ia berucap dengan teriakan, Nana yang mendapatkan kemarahan dengan cepat bersembunyi di belakangku setelah aku bergegas menyusul turun. "HEY! APA YANG KAU LAKUKAN ANAK JANDA BODOH! MENYINGKIR DARI SUAMIKU SIAL!" Marah Mona sembari mengumpati Nana dengan kata-kata kasar. Setiap mendengar cercaan Mona kesabaran ku seketika hilang, karena sikapnya benar-benar tidak dewasa bahkan cenderung seperti anak-anak. "Hentikan, Mona. Kau bisa tidak sehari saja bersikap waras dan wajar. " Kesal ku menekan meski tanpa berteriak, ku utarakan uneg-uneg yang ada di hati ini, karena sikap Mona semakin ane
Bayu pov. Hari berganti minggu, selama itu pula aku dan Mona selalu berselisih paham karena keberadaan Nana di sana. Teriak dan cercaan selalu lolos dari bibir Mona setiap aku menolak permintaannya saat ingin mengusir Nana. Semua itu tidak akan pernah terjadi dan aku tidak akan pernah mengabulkannya. Hingga suatu hari Nana tidak tahan dan minta pulang ke rumah Ema. Hatiku benar-benar sakit, karena Nana selalu memohon agar dirinya diantarkan pulang supaya mereka tidak terus menerus bertengkar. Meski seperti itu, aku selalu mencoba membujuk dan mengertikan keadaan ini, karena aku tidak ingin berpisah dengannya, apapun yang terjadi. Itu sebabnya selama Nana tinggal di rumah ini aku sengaja tidur bersamanya, agar Mona tidak berbuat ulah apa lagi mengganggu Nana. " Nana, siap! " Seru ku sembari menggendong Nana menuju ke halaman di mana mobil ku terparkir. "Siap Pa .... Nana sudah tidak sabar ingin bertemu dengan adik Hafiz," balas Nana penuh semangat. Karena hari ini, Hafiz suda
Tuhan … Malangnya nasib mereka, karena memiliki Ibu tiri tempramental seperti Mona, kembali rasa sesal menyelimuti hatiku, andai tidak ada pengkhianatan mungkin saat ini aku dan anak-anakku pasti hidup bahagia bersama Nia. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah ku tabur itulah yang akan aku tuai, dan inilah karmanya. "Cukup, Mona! Bisakah sedikit saja kau curahkan rasa kasihan ku terhadap mereka, bukan kah aku sudah menceritakan semuanya padamu, tolong mengertilah Mona. Cukup jangan berkata yang tidak-tidak pada almarhum Nia, bagaimanapun juga dia adalah istriku." Mona hanya tersenyum mencibir, karena memang aku telah menceritakan kebenaran jika Nia telah meninggal, aku hanya ingin Mona bisa memperlakukan kedua anak-anakku dengan baik seperti anaknya sendiri. "JANGAN PERNAH BERMIMPI! SEKALI TIDAK YA TETAP TIDAK! AKU TIDAK AKAN PERNAH MENGANGGAP MEREKA KELUARGA APALAGI ANAKKU! SAMPAI KAPANPUN ITU TIDAK AKAN PERNAH TERJADI! SEKARANG USIR MEREKA! AKU TIDAK
Bayu pov. Hari berganti bulan, kesibukan ku tidak hanya bekerja di kantor. Tapi juga mengurus Nana dan Hafiz. Tapi hatiku sangat senang dengan adanya mereka, mereka meredam rasa rindu dan bersalah ku pada Nia, bahkan aku sengaja membawa semua berkas kantor ke rumah agar bisa memantau langsung tumbuh kembang mereka, aku tidak ingin kehilangan momen ini, karena hanya terjadi sekali dalam seumur hidupku, aku tidak ingin menyia nyiakan nya. Meski terkadang aku kewalahan menjaga mereka, karena selama Hafiz pulang, bayi mungil itu selalu rewel meski seorang babysitter selalu menjaga dan bersamanya, Hafiz terkadang rewel dan tidak mau bersama pengasuhnya, terkadang aku heran dengan bayi kecil itu, ia dengan cepat tenang dan terlelap jika bersamaku dan berada di pelukan ku. Meski ini sangat merepotkan tapi aku sangat bersyukur dan sangat bahagia, bahkan aku tidak memiliki waktu untuk diriku sendiri, karena hanya mereka yang aku miliki dan hanya mereka semangat hidup ku, jika tidak ada mereka
Author pov Nana dengan girangnya turun dari mobil setelah Bayu memarkirkan di halaman rumah yang selama ini menjadi saksi tumbuh kembang Nana semenjak dilahirkan. Bi Ijah menuntun Nana, sedangkan babysitter dengan hati-hati menggendong Hafiz yang masih terlelap sejak di rumah. "Hore… akhirnya Nana pulang, ayo bibi, nek. " Seru Nana dengan senang lalu mengajak bi Ijah dan babysitter Hafiz mengiringinya ke teras rumah yang menyimpan banyak kenangan manis sebelum Bayu pergi dan kembali membuat kehancuran. Bayu benar-benar terpukul mengingat semua itu, karena semua adalah asal dari kesalahannya. "Hayy… sayang, apa kabar. " Ema dengan rindu memeluk Nana, karena selama ini ia lah yang merawat dan memelihara rumah mendiang Nia setelah Nana tinggal bersama Bayu. Ema sengaja meluangkan waktu datang, karena memang rumah mereka tidak jauh dari sana dan cukup dengan berjalan kaki. "Kyaa… . Bibi! " Girang Nana membalas pelukan Ema, ia tidak menyangka jika Ema akan datang dan menjadi kejutan