"Silla, kamu mau 'kan jadi maduku?"
Silla yang tengah mencuci piring di dapur sontak terhenyak, mendapatkan permintaan secara tiba-tiba oleh sahabatnya itu. Bahkan hampir saja, piring yang ada ditangannya jatuh. "Elsa, apa yang kamu katakan??" Silla menganggap dia salah dengar, atau, perempuan itu hanya bercanda. "Apa belum jelas, aku memintamu untuk menjadi maduku, Silla." Elsa langsung memeluk Silla dari belakang, kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Jangan bercanda tentang hal seperti ini, Elsa. Nggak lucu." "Siapa juga yang bercanda? Aku serius, Sil." Dengan lembut, Elsa mematikan kran air pada wastafel lalu menarik Silla untuk duduk bersamanya di kursi yang letaknya tak jauh dari sana. "Aku belum selesai mencuci piring tau, Sa." "Udah biarin aja. Ada yang jauh lebih penting, lihatlah." Elsa menyodorkan selembar kertas ke arah sahabatnya. Perempuan itu langsung mengambilnya dengan raut bingung. "Ini apa?" "Itu hasil pemeriksaan dari Dokter, Sil. Dia mengatakan kalau aku nggak subur. Aku mandul." Air mata Elsa tak kuasa berlinang, mengalir pada kedua pipi mulusnya. "Lalu, apa hubungannya denganku, Sa? Kenapa juga aku harus menjadi madumu?" Silla bertanya dengan hati-hati, sambil menyeka air mata Elsa. Perempuan itu perlahan meraih tangan Silla, lalu mengenggamnya erat. "Karena aku yakin, kamu subur. Kamu bisa memberikan keturunan kepada Mas Nathan." Silla yang merasa terkejut langsung menarik tangannya. Lalu menggelengkan kepala. "Enggak! Aku nggak mau, Sa!" "Kenapa nggak mau? Kamu nggak sayang ya, sama aku?" "Aku menolak karena aku sayang padamu, aku nggak mau menyakitimu, Sa." "Kamu sama sekali nggak menyakitiku kok, Sil. Kamu nggak perlu khawatir." Elsa menatap dengan raut memohon. "Ini hanya sementara saja kok, hanya sampai kamu melahirkan anak Mas Nathan. Selanjutnya kamu bisa berpisah dengannya." "Apa kamu gila??" Silla kembali terkejut mendengar permintaan sahabatnya yang menurutnya konyol. Dan bukankah ini sama saja seperti mempermainkan pernikahan? "Maksudmu, aku hanya diminta untuk mengandung dan melahirkan, begitu?" "Iya." Elsa mengangguk cepat. "Keluarga Mas Nathan ingin sekali punya cucu, Sil. Apalagi Mas Nathan itu anak tunggal." "Tapi kenapa harus menikah lagi? Kenapa nggak coba bayi tabung dulu, Sa?" "Aku dan Mas Nathan udah mencobanya dua kali, dan itu gagal. Aku selalu keguguran, Sil." "Kapan itu? Kok aku nggak tau, Sa? Kamu belum pernah cerita padaku." "Aku malu untuk bercerita, Sil. Bahkan orang tuaku saja tidak tau." "Ngapain malu, itu 'kan bukan aib. Lagian namanya manusia itu hanya bisa berusaha dan berdoa. Sepenuhnya hanya Allah yang berkehendak, jadi kamu sabar aja. Nanti juga kalau udah waktunya ... pasti dikasih kok, Sa." Silla mencoba menasehati, sembari mencari jalan keluar untuk masalah sahabatnya. "Enggak, Sil. Aku udah nggak bisa sabar lagi. Usia pernikahanku dan Mas Nathan sudah memasuki 7 tahun, kedua orang tua Mas Nathan pun terus menerus mendesak kami." "Kalau begitu adopsi anak saja di panti asuhan." Elsa menggeleng. Usulan dari Silla sama sekali tak ada yang membantu. "Enggak bisa, yang mereka inginkan hanya keturunan dari Mas Nathan. Kamu mengerti maksudku, kan? Jadi ayolah, Silla, aku mohon padamu ... tolong jadilah maduku untuk sebentar saja. Aku benar-benar nggak mau berpisah dengan Mas Nathan, karena bisa saja kedua orang tuanya meminta Mas Nathan untuk menceraikan aku dan menikahi perempuan lain." "Adduuhh, Sa. Gimana, ya? Aku bingung." Kepala Silla mendadak gatal karena bingung dan pusing dengan permintaan konyol itu. "Kenapa harus bingung? Apa kamu begitu keberatan? Bukankah selama ini kamu selalu bilang akan melakukan hal apapun untukku, yang penting aku bahagia? Dan yang aku inginkan sekarang hanya itu, Sil." Ya, Silla memang dulu pernah mengatakan hal itu. Semuanya karena dia merasa sangat berhutang budi kepada Elsa dan kedua orang tuanya. Silla terlahir dari keluarga miskin, sedari kecil dia ditinggal oleh Papanya yang kabur entah kemana. Sementara Mama Silla, hanya bekerja sebagai pemulung rongsokan. Dengan keterbatasan ekonomi yang dimiliki, Mama Silla hanya bisa menyekolahkannya sampai SD. Saat itu, keluarga Elsa menjadi keluarga yang baru pindah ke desanya. Dan menjadi keluarga yang paling kaya dan dermawan. Karena merasa simpati pada keadaan Silla, Haikal—Papa dari Elsa dengan berbaik hati menyekolahkannya, bersama Elsa yang saat itu juga sudah begitu akrab dengan Silla. Saat baru dimasukkan sekolah SMP, Mama Silla mengalami kecelakaan hingga dirinya dinyatakan meninggal. Haikal yang kembali merasa simpati pada keadaan Silla, hidup seorang diri, akhirnya memutuskan untuk membawa Silla ke rumahnya, menganggapnya sebagai anak hingga sekarang. Silla berhasil sekolah sampai lulus SMA. Haikal sempat menawarkannya untuk melanjutkan kuliah bersama Elsa, hanya saja Silla menolak. Karena baginya, ini semua sudah lebih dari cukup. "Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuamu, Sa? Pasti mereka nggak setuju." Silla kembali mencari celah, supaya Elsa mampu berpikir ulang. "Soal mereka gampang, Sil. Yang penting kamunya dulu setuju apa enggak." "Kalau tentang Kak Nathannya sendiri gimana? Kan kamu tau dia sangat membenciku." "Aku bisa membujuknya, asal kamu setuju dulu." "Baiklah ...." Meskipun berat, akhirnya Silla setuju. Karena memang sesungguhnya dia tak pernah bisa menolak permintaan dari sahabatnya itu. Silla tak tega. "Tapi kamu harus janji padaku, Sa." "Janji apa?" "Jangan pernah cemburu, atau menganggapku sebagai sainganmu. Karena semua yang terjadi karena keinginanmu." "Iya, aku janji." Elsa mengangguk cepat, lalu mengangkat jari kelingkingnya ke arah sang sahabat. "Tapi kamu juga harus janji padaku." "Janji apa?" Silla hendak menautkan jarinya ke jari Elsa, tapi terhenti karena dia merasa penasaran dengan ucapan yang belum selesai dari Elsa. "Jangan pernah merebut Mas Nathan dariku, apalagi kembali mencintainya seperti dulu. Kamu hanya cukup mengandung anaknya saja, lalu melahirkannya. Setuju?" "Iya, aku setuju." Silla mengangguk dan langsung menautkan jarinya. "Terima kasih banyak ya, Silla." Elsa langsung berdiri dan memeluk tubuh Silla dengan erat. Mengusap punggungnya dengan penuh kasih sayang. "Aku sangat menyayangimu. Tolong tetaplah menjadi sahabatku." "Iya, Sa. Aku juga sangat menyayangimu. Semoga keputusanmu sudah benar, ya? Aku sama sekali nggak mau menyakitimu." "Iya, keputusanku sudah benar kok, Sil." *** "Saya terima nikah dan kawinnya Asilla Farzana binti Aiman Hamza dengan mas kawin kalung emas 12 gram dibayar tunaaaiii!!" Sebuah kalimat ijab kabul diucapkan dengan satu tarikan napas, membuat semua mata tertuju pada Nathan. Elsa, yang duduk tak jauh dari Silla tampak tersenyum bahagia. Karena akhirnya, keinginannya bisa terwujud. Dia bahkan sudah merasa tak sabar ingin segera mengendong bayi yang dilahirkan oleh Silla nanti. "Bagaimana para saksi?" tanya Pak Penghulu, menatap beberapa orang yang menjadi saksi di sana. "Sah!" sahut Elsa, kemudian diikuti oleh yang lain. "Saaaahhhhh!!" Hari ini, Silla telah resmi menjadi istri kedua Nathan. Setelah seminggu yang lalu Elsa memohon padanya. Silla tahu, ini adalah keputusan yang sangat berat dalam hidupnya, tapi dia tidak bisa menolak. Silla juga tahu, pastinya Nathan pun sangat berat menikahinya. Karena terlihat dari ekspresi wajahnya saja, pria itu sama sekali tak terlihat bahagia. Bahkan, ada rasa kebencian yang terlihat dalam matanya. Proses ijab kabul itu dilakukan secara sederhana di rumah Nathan, dan hanya disaksikan oleh sanak keluarga. "Mas ... kok diem?" tanya Elsa yang merasa heran dengan suaminya yang diam saja, karena seharusnya dia dan Silla bertukar untuk memasangkan cincin kawin yang sudah ada di atas meja. "Ayok pasangkan cincin kawin untuk Silla." 'Nggak sudi!' Nathan menyeru dalam hati. Dan tanpa mengatakan apa pun, dia langsung berdiri dan berlari meninggalkan acara itu."Lho, Mas. Mas Nathan!!"Melihat sang suami berlari begitu saja meninggalkan acara yang belum selesai, Elsa bergegas mengejarnya sampai pria itu masuk ke dalam kamar."Aaaarrggghhh!!"Nathan tiba-tiba mengerang, membuat Elsa terkejut. Dia berlari menghampiri, lalu mendekapnya dari belakang."Mas kenapa? Ada apa, Mas?"Hembusan napas Nathan terdengar berat, dia lantas mengusap kasar wajahnya. "Masih bisa kamu tanya aku kenapa? Apa kamu udah puas sekarang?""Puas bagaimana sih, Mas? Ini 'kan untuk kebahagiaan kita." Elsa melepaskan dekapannya, lalu menarik sang suami ke kasur untuk duduk bersama. "Kan kedua orang tua Mas yang mendesak kita untuk punya anak. Apa Mas lupa?""Tapi kenapa harus Silla, Yang? Apakah nggak ada perempuan lain di dunia ini selain dia, yang bisa jadi madumu?"Meskipun pada akhirnya Nathan bisa luluh, atas permintaan paksa dari sang istri, tapi nyatanya dia seolah belum bisa terima jika Silla lah yang akan menjadi istri keduanya.Nathan sangat membencinya, dan ten
Sesampainya di sana, Elsa dengan penuh keceriaan mengantar mereka ke salah satu kamar yang sudah dia pesan khusus untuk keduanya. Dia dengan teliti mempersiapkan segala hal demi membuat Nathan merasa nyaman dan segera dapat memiliki anak."Semoga kamu suka dengan kamarnya, Sil. Begitu pun dengan Mas Nathan," ucap Elsa dengan penuh harap dan kehangatan dalam suaranya, sambil tersenyum lembut membukakan pintu untuk mereka masuk.Kamar hotel khusus untuk pengantin baru itu terlihat begitu indah dan romantis. Silla merasakan getaran kebahagiaan dan haru melihat dekorasinya yang menakjubkan. Dia bisa merasakan betapa Elsa telah berusaha keras untuk menciptakan momen untuknya, supaya segera memberikannya anak.Tempat tidur yang besar dan nyaman, dekorasi dengan bunga-bunga segar, lukisan-lukisan indah, dan balkon pribadi menghadap pemandangan kota. Semua detail dirancang dengan cermat untuk menciptakan pengalaman yang aman dan nyaman. "Kita keluar dulu sebentar yuk, Mas," ajak Elsa menarik
"Ah enggak, enggak! Aku nggak mau!" Nathan menggeleng cepat, berusaha menolak keras apa yang ada dalam benaknya.Meskipun hal itu untuk kebaikan, tapi tetap saja Nathan tidak bisa. Menyetujui permintaan Elsa untuk menikah lagi saja itu sudah salah, apalagi sampai menyentuh perempuan lain selain dirinya.Nathan berpikir, mungkin saja diluar sana Elsa sedang menangis. Karena membayangkan suaminya tengah memadu kasih dengan madunya."Enggak, sampai kapan pun aku nggak akan menyentuh Silla! Biarkan saja kalau aku dan Elsa nggak punya anak selamanya, yang terpenting aku nggak bersentuhan dengan perempuan yang sok kecantikan macam Silla!" serunya dengan tekad yang kuat.***Keesokan harinya.Dengan berat, mata Silla terbuka dan sontak dia terkejut melihat Nathan berdiri di hadapannya sambil menatapnya dengan dingin."Eh, Kak. Selamat pagi. Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan canggung, Silla mengalihkan pandangannya ke meja nakas, melihat jam weker di sana yang menunjukkan pukul 6. "Astagh
Lima belas menit menunggu di mobil, akhirnya Nathan melihat Silla datang dengan susah payah mendorong kopernya.Namun, melihat penampilan Silla yang mengenakan kaos pendek serta celana kolor yang dia yakini miliknya, membuat dia terkejut sendiri."Heh! Aku baru tadi ngomong supaya kamu itu tau diri, ya! Kenapa kamu belum paham juga sampai sekarang??" geram Nathan berteriak, setelah jendela mobilnya dia buka."Maksud Kakak apa? Memangnya apa yang salah?" tanya Elsa bingung."Pakai nanya, itu yang kau pakai apa, hah?" Nathan menunjuk tubuh Silla. "Itu pakaianku, kan?""Oohh ini?" Silla mencubit kecil ujung bajunya, lalu menatap sang suami. "Maaf, Kak. Aku pinjam dulu ya, baju Kakak. Nanti sampai rumah langsung aku cuci dan balikin.""Enak saja pinjam-pinjam, nggak! Nggak boleh!" tegasnya melarang. "Sekarang lepas! Ayok lepas, Silla!" desaknya memaksa."Ya Allah Kakak, aku hanya—""LEPASS!!!" pekik Nathan dengan suara menggelegar. Dia merasa tidak ikhlas, jika pakaian yang sering dia pak
"Ya ini aku barusan habis ngambil mobilku di bengkel, Mas. Terus sengaja balik lagi ke sini karena aku khawatir kamu sudah keburu sampai di rumah Daddy," jelas Elsa dengan suara lembut, namun terdengar penuh perhatian. Nathan menatap Elsa dengan ekspresi bingung yang tak dapat disembunyikan. "Kenapa harus khawatir? Memangnya kenapa kalau aku sudah keburu ada di rumah Daddy?!" tanyanya, mencoba mencari pemahaman dari penjelasan Elsa. "Ooohh ... itu, jadi maksudnya ...." Elsa terlihat sedikit gugup, matanya berbinar-binar namun mulutnya terhenti sejenak. Setelah beberapa detik berlalu, dia akhirnya melanjutkan, "Ya aku cuma nggak mau kamu nunggu aku kelamaan, kamu 'kan pasti capek, Mas." "Capek?!" Nathan mengernyitkan dahi, mencoba memahami alasan di balik kata-kata Elsa. "Capek kenapa, coba, Yang? Masa nungguin istri sendiri capek. Lagian kamu juga, kan aku udah bilang kita bareng aja sekalian ngambil mobilmu. Jadi nggak perlu kamu sendirian 'kan nggak bolak balik." "Enggak apa-
"Ooh, ini 'kan Mas yang ngecup kemarin," jawab Elsa cepat. Dia juga mencoba menyembunyikan kegugupan yang kembali melanda. "Kemarin?! Kemarin kapan, Yang?" Nathan menatap bingung. "Kemarin malam maksudnya, Mas. Memangnya Mas nggak ingat, ya, kalau pagi sebelum menikah dengan Silla ... malamnya kita sempat bercinta?" "Oohhh iya juga, sih, Yang." Nathan mengangguk, saat teringat hal itu. "Tapi, kok dari kemarin aku nggak sadar, ya, Yang? Aku baru nyadar ya sekarang. Padahal warnanya terang begitu." "Ya mungkin karena kemarin Mas sibuk berdebat denganku tentang Silla. Jadi wajar, Mas." Elsa menjelaskan dengan santai. "Iya kali ya, Yang. Maaf deh ... kalau aku lupa, aku malah sempat berpikir yang enggak-enggak." Nathan tersenyum dengan wajah bersalah. Hampir saja dia berpikiran jauh tentang Elsa, meskipun sejujurnya dia sendiri yakin, hal seperti yang dia pikirkan itu tidak mungkin terjadi. Dia yakin Elsa adalah perempuan yang sangat set
"Aku dan Kak Nathan nggak perlu pergi bulan madu, Pa," jawab Silla sambil tersenyum, lalu menyentuh perutnya. "Insya Allah ... kalau Allah sudah berkehendak, aku bisa segera hamil." "Aminnn ... Papa akan ikut do'akan yang terbaik untukmu," sahut Haikal yang ikut menyentuh perut Silla. "Tapi, Sil, si Nathan dan Elsa ada di mana kira-kira? Kok Papa dari awal sampai nggak ngelihat mereka, ya?" tanyanya yang baru menyadari ketidak hadiran anak dan menantunya itu. "Mereka nggak ada di rumah, Pa. Tadi sih aku nggak sengaja dengar pas Kak Nathan telepon Elsa, kalau Elsa dari semalam menginap di rumah Daddy-nya Kak Nathan. Terus, Kak Nathan pergi jemput Elsa," ucap Silla menjelaskan. "Lho, ngapain si Elsa menginap di rumah mertuanya??" Haikal tampak bingung, dahinya berkerut. "Aku nggak tau, Pa." Silla menggeleng. "Mungkin karena Elsa kesepian di rumah, kasihan juga sebenarnya aku sama Elsa. Pasti dia sedih banget ditinggal Kak Nathan." "Ya itu udah resikonya, siapa suruh memintamu u
Setelah setengah jam kepergian Haikal dan asistennya, Elsa dan Nathan tiba di rumah tersebut sambil saling bergandengan tangan. "Eh, Bi, di mana Silla?" tanya Elsa, memperhatikan Bibi pembantu turun dari tangga. "Ibu sudah pulang? Selamat siang, Bu," sapa Bibi dengan sopan. "Nona Silla ada di kamarnya, sedang istirahat." "Sejak kapan aku memberikan kamar untuknya di sini??" tanya Nathan dengan nada marah dan sorot mata tajam kepada Bibi. "Maafkan Bibi, Pak. Kalau Bibi belum meminta izin sebelumnya kepada Bapak dan Ibu. Tadi Nona Silla sempat bilang ingin istirahat, jadi Bibi mengajaknya masuk ke kamar tamu," jelas Bibi dengan penuh ketakutan. "Kamar tamu di mana, Silla, Bi?" tanya Elsa. Berbeda dengan reaksi marah Nathan, Elsa tetap tenang. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan Bibi. "Pas di sebelah kamar utama, Bu. Kamar Ibu dan Pak Nathan," jawab Bibi sambil menundukkan wajahnya. "Lain kali, Bibi harus konfirmasi dulu kepadaku atau Elsa sebelum bertindak. Jang
Beberapa menit setelah kepergian Haikal dan Herlin, keheningan menyelimuti ruangan. Silla mengamati Nathan dengan seksama. Kegelisahan yang disembunyikannya tampak jelas bagi Silla, terlihat dari raut wajahnya yang tegang dan tangannya yang sesekali mengepal. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Nathan. "Kakak kenapa? Dari tadi aku perhatikan... Kakak seperti gelisah. Ada masalah?" tanya Silla dengan lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia meraih tangan Nathan, sentuhannya lembut namun penuh perhatian. Nathan menggeleng cepat, namun gerakannya terlihat kaku dan terburu-buru. Dia mencoba untuk menutupi kegelisahannya, tak ingin membuat Silla sedih dan khawatir. Perempuan itu terlihat sangat lelah setelah melahirkan. "Tidak kok," jawabnya, suaranya sedikit serak. "Sekarang kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek. Atau... kamu lapar? Sebelum melahirkan kamu 'kan belum sempat makan siang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kegelisahannya masih terlihat jelas.
"Tapi, Pa—" "Papa baik-baik saja, Ma," potong Haikal meyakinkan. Nathan menghela napas panjang, berat. "Alasannya, aku sendiri belum tau, Ma, Pa. Tapi tentang Elsa... dia sekarang di Bandung, bersama Daddy." Mata Herlin membulat tak percaya. "Bandung? Tadi pagi bukannya di berita, ada gempa di sana, kan?" Suaranya bergetar, khawatir. "Iya, Ma. Benar." Nathan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu, bagaimana keadaan Elsa? Dia tidak apa-apa, kan?" Herlin tampak sangat cemas. "Elsa—" Nathan terhenti. Suara tangis bayi memenuhi ruangan, tangis yang begitu nyaring, menandakan awal kehidupan yang baru. "Ooeee ... Ooeee ... Ooee ...." "Alhamdulillah... Itu anakku, Pa, Ma. Dia sudah lahir," bisik Nathan, suaranya bergetar menahan haru. Dia langsung sujud syukur, air matanya mengalir deras. "Alhamdulillah ya, Allah." Herlin dan Haikal berucap bersama, air mata mereka juga menetes. Seorang dokter wanita dengan seragam operasi keluar. "Selamat, Pak Nathan. Anda telah menjadi ayah
"Sudah apa?" "Daddy-mu sudah meninggal, Tan." Suara Dahlia makin terisak. "Dan pihak polisi meminta tanda tangan Mommy, supaya mereka bisa mengantarkan jenazah Daddy pulang ke Jakarta." "A-apa?! M-meninggal?!" Mata Nathan melebar sempurna. Jantungnya berdebar-debar hebat, tubuhnya menegang kaku. Meskipun kebencian masih membara di hatinya, air mata tak terbendung. Dia menangis pilu, meratapi kepergian ayahnya yang begitu mendadak. "Oh ya, dan satu lagi. Katanya korban perempuan yang ada di sana adalah Elsa, Tan." "Elsa??" Suara Nathan terdengar serak. "Iya." "Elsa sendiri, bagaimana? Apakah dia—" Pertanyaan itu terhenti, digantikan oleh firasat buruk yang semakin kuat. "Elsa juga meninggal. Dia ikut tertimpa reruntuhan bangunan." "APA??" * * *
'Maafkan Daddy, Sayang. Untuk hal ini... Daddy tidak bisa mengabulkan permintaanmu.Bukan apa-apa. Jika itu terjadi, dan Silla meninggal, Daddy bisa di penjara, dan kamu... kamu akan kembali bersama Nathan. Itulah yang Daddy takutkan.'Darwin tersenyum getir, lalu mereka duduk di sofa untuk melaksanakan ijab kabul. Karena Darwin ingin segera menikahi Elsa, pernikahan mereka pun dilakukan secara siri."Saya terima nikah dan kawinnya, Elsa Alfian binti Haikal Alfian, dengan mas kawin ...."Ijab kabul itu diucapkan, menggema khidmat di ruangan. Para saksi yang hadir langsung bersorak gembira."Sah!! Sah!!"Mereka resmi menjadi suami istri.Tiba-tiba, goncangan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Bumi bergetar hebat, seakan-akan hendak retak."Dad!! Ada apa ini?? Kenapa semuanya berguncang?" jerit Elsa, panik dan ketakutan. Darwin segera berdiri, meraih tangan Elsa erat, berusaha membawanya keluar."Se
Beberapa bulan kemudian...Tok! Tok! Tok!!Bunyi ketukan palu hakim memecah kesunyian ruang sidang, menandai berakhirnya babak panjang dalam hidup Nathan.Perceraiannya dengan Elsa telah resmi diputuskan. Ironisnya, dari sidang pertama hingga putusan akhir, Elsa tak pernah hadir. Begitu pula Darwin, yang seolah menghilang ditelan bumi. Ketiadaan mereka seakan menjadi saksi bisu atas berakhirnya sebuah ikatan."Kak ... ke mana ya, Elsa? Sejak awal hingga akhir sidang, dia tak pernah datang. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Silla, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia setia menemani Nathan, meski memilih menunggu di mobil sesuai permintaan suaminya.Nathan menghela napas panjang. "Aku tak tau, Sayang. Papa dan Mama sudah mencoba menghubunginya, tapi... sudahlah. Biarkan saja. Yang terpenting, aku dan Elsa sudah resmi bercerai."Silla mengangguk pelan. "Iya, Kak.""Baiklah... sekarang kita makan, ya? Setelah itu, kit
"Alhamdulillah... akhirnya Papa sudah bangun."Herlin tersenyum haru, melihat sang suami baru saja siuman. Haikal menatapnya dengan tersenyum tipis, manik matanya berkeliling menatap sekitar."Bagaimana keadaan Papa sekarang? Apa yang Papa rasakan? Apa dada Papa masih sakit?" Masih dengan raut kecemasan, Herlin menyentuh lembut dada suaminya."Enggak. Papa baik-baik saja." Haikal menjawab dengan lirih, menggeleng pelan. "Silla dan Nathan ke mana, Ma? Dan Papa sakit apa?""Mereka ada di sana, Pa." Herlin menunjuk ke arah lantai, dekat ranjang. Di sana ada Silla dan Nathan yang tengah tertidur dengan balutan satu selimut beralaskan kasur lantai. "Dan Papa sempat kena serangan jantung kata Dokter. Tapi sekarang Papa pasti akan segera sembuh, Papa jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu, ya?"Mata Haikal berkaca, linangan air matanya perlahan membasahi pipi. "Bagaimana Papa tidak memikirkannya, sementara Elsa selalu membuat ulah. Masalah dengan Silla saja belum selesai, sekarang ada l
"Tentu saja, Sayang. Daddy tidak berbohong," bisik Darwin, senyumnya manis namun terasa hampa bagi Elsa. "Karena itu, lepaskan Nathan. Daddy jauh lebih baik darinya, Sayang." Kalimat Darwin terasa seperti sebilah pisau yang menusuk hati Elsa. Dilema menghimpitnya. Benar, kepercayaan Nathan telah hilang, hubungannya dengan Silla semakin erat, apalagi Silla kini mengandung. Nathan pasti lebih memihak Silla. Tapi… merelakan Nathan? Mustahil. Hati Elsa menolak. Air mata mengancam membasahi pipinya. 'Kenapa… kenapa lagi-lagi aku yang sial? Silla selalu bahagia. Ketidakadilan ini… aku tak sanggup!' Rasa iri dan sakit hati membakar jiwanya. Darwin menunggu, sabar namun penuh tekanan. "Bagaimana? Apa kau setuju?" tanyanya akhirnya. Elsa menarik napas panjang, dadanya sesak. "Baiklah .…" suaranya tercekat. "Aku akan bersama Daddy. Tapi… aku minta satu hal." "Apa itu, Sayang? Katakan." Keheningan mencekam. Tangan Elsa mengepal erat, urat-uratnya menegang. "Aku ingin… Daddy melenyapkan Si
"Keterlaluan sekali Elsa!!" Dia berdiri, tubuhnya menegang, urat-urat di tangannya menegang, mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Bukan hanya amarah, tetapi juga rasa sakit, kecewa, dan hancur yang terpancar dari sorot matanya. "Bagaimana bisa dia melakukan tindakan sebodoh ini? Dan untuk apa dia berselingkuh??" Suaranya bergetar, diselingi napas yang tersengal-sengal, menunjukkan betapa hancurnya hatinya.Herlin, dengan raut wajah yang dipenuhi kekhawatiran, bertanya, "Dengan siapa, Elsa berselingkuh, Tan?" Suaranya terdengar ragu, seperti meraba-raba kebenaran yang menyakitkan."Daddy," jawab Nathan lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun mampu menembus keheningan yang mencekam. Kata itu, "Daddy", menimbulkan bayangan gelap yang mengerikan.Herlin mengerutkan dahi, kebingungan. "Daddy? Daddy siapa?""Daddy Darwin, Ma. Daddy-ku." Jawaban Nathan itu bagai bom yang meledak di tengah ruangan."APA?!" Haikal menjerit, suaranya penuh keputusasaan.
"Daddy minta maaf, atas semua yang Daddy lakukan padamu dan Mommy. Daddy tahu itu salah dan sangat menyakitkan. Tapi Daddy mohon... Jangan hukum Elsa.""Hukum??" Nathan menatap bingung. Ucapan Darwin membuatnya terhenyak, amarah mulai membuncah. "Apa maksudmu—""Daddy tau, kamu pasti akan bercerai dengan Elsa. Begitu juga dengan apa yang Mommy lakukan. Tapi ... jangan ceritakan alasan sebenarnya kepada orang tua Elsa, tentang perselingkuhan Daddy dan dia.""Kenapa?" Nathan mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang."Karena orang tua Elsa pasti akan sangat marah dan kecewa. Elsa sudah cukup menderita, harus berbagi kasih sayang orang tuanya dengan Silla. Jangan sampai karena ini, kasih sayang yang baru dia dapatkan sepenuhnya, akan hilang seketika."Nathan terkekeh getir, menggelengkan kepala. "Apa Daddy pikir, aku sendiri tidak menderita saat tahu kalian bermain api? Bagaimana dengan Mommy? Kenapa yang Daddy pikirkan hanya Elsa, sementara Daddy tak memikirkan betapa hancu