"Ya ini aku barusan habis ngambil mobilku di bengkel, Mas. Terus sengaja balik lagi ke sini karena aku khawatir kamu sudah keburu sampai di rumah Daddy," jelas Elsa dengan suara lembut, namun terdengar penuh perhatian.
Nathan menatap Elsa dengan ekspresi bingung yang tak dapat disembunyikan. "Kenapa harus khawatir? Memangnya kenapa kalau aku sudah keburu ada di rumah Daddy?!" tanyanya, mencoba mencari pemahaman dari penjelasan Elsa. "Ooohh ... itu, jadi maksudnya ...." Elsa terlihat sedikit gugup, matanya berbinar-binar namun mulutnya terhenti sejenak. Setelah beberapa detik berlalu, dia akhirnya melanjutkan, "Ya aku cuma nggak mau kamu nunggu aku kelamaan, kamu 'kan pasti capek, Mas." "Capek?!" Nathan mengernyitkan dahi, mencoba memahami alasan di balik kata-kata Elsa. "Capek kenapa, coba, Yang? Masa nungguin istri sendiri capek. Lagian kamu juga, kan aku udah bilang kita bareng aja sekalian ngambil mobilmu. Jadi nggak perlu kamu sendirian 'kan nggak bolak balik." "Enggak apa-apa, Mas." Elsa menggeleng pelan sambil tersenyum hangat. Dia melepaskan pelukan dari Nathan dan berjalan menuju mobilnya dengan langkah ringan. "Kalau begitu kita langsung pulang aja yuk, Mas! Ayok cepat Mas naik mobil Mas!" ajaknya. Elsa segera masuk ke dalam mobilnya, tetapi Nathan juga ikut menyusulnya masuk dan duduk di sebelah Elsa. "Lho, Mas? Kenapa Mas ikut masuk ke mobilku?" tanya Elsa dengan ekspresi bingung yang terpancar dari matanya. "Kita pulangnya bareng aja satu mobil, biar mobilku nanti yang ngambil sopirku, Yang," jawab Nathan sambil tersenyum hangat. "Oohh ya udah, tapi Mas aja yang nyetir gimana?" tawar Elsa, sambil menatap Nathan dengan penuh pertimbangan. Nathan pun mengangguk dengan mantap. "Dengan senang hati, Sayang," katanya dengan suara lembut yang penuh kasih. Mereka pun saling bertukar posisi duduk, dan tak lama kemudian mobil itu melaju pergi dengan kecepatan sedang, membawa keduanya pulang. "Ngomong-ngomong ... tadi Daddy udah berangkat kerja apa gimana, Yang? Kok mobilnya nggak ada?" tanya Nathan dengan rasa ingin tahu yang kentara. Elsa mengangguk. "Iya. Udah, Mas. Malah tadi itu aku sebenarnya bareng Daddy pas ngambil mobil, sekalian dia berangkat kerja." "Oohh gitu. Eemm tapi, kamu baik-baik saja 'kan, Yang?" tanya Nathan dengan penuh perhatian, sambil memperhatikan wajah Elsa yang terlihat sedikit lelah. Kantung matanya pun sedikit menghitam, menandakan kurangnya istirahat. "Pas ditelepon 'kan Mas udah nanya, dan aku juga jawab, kalau aku baik-baik saja. Jadi Mas nggak usah khawatir." Elsa menyentuh lembut lengan suaminya, mencoba memberikan rasa nyaman. "Jangan bohong ah, aku yakin kamu semalam kurang tidur, kan?" tebak Nathan dengan nada curiga namun penuh perhatian. "Sedikit," jawab Elsa sambil tersenyum kecut, mencoba meremehkan kelelahannya. "Sedikit kok sampai hitam begitu kantung matamu, Yang?" Tangan Nathan dengan lembut menyentuh pipi Elsa, sorot matanya penuh kekhawatiran terhadap sang istri. "Aku tau kok, pasti kamu kurang tidur karena semalam mikirin aku bersama Silla. Benar 'kan kataku juga, seharusnya kita nggak perlu melakukan hal ini. Yang ada kamu yang tertekan, Sayang." "Mas kok bahasnya tentang itu melulu sih? Kan ini sudah kesepakatan kita bersama. Lagian, aku sama sekali nggak merasa tertekan kok," Elsa menggeleng lembut, mencoba menenangkan Nathan. "Aku malah senang, karena sebentar lagi kita akan memiliki anak. Semalam Mas dengan Silla sudah berhubungan badan, kan?" "Sudah," jawab Nathan dengan cepat, berusaha menyembunyikan kecemasannya agar Elsa tidak curiga. Dia tidak ingin Elsa mengetahui kebenaran yang sebenarnya, karena takut akan menimbulkan masalah yang lebih rumit. "Iihh seriusan, Mas??" Elsa menatap Nathan dengan senyuman yang penuh kebahagiaan, matanya berbinar-binar karena kegembiraan yang menyelimuti hatinya. "Seriuslah, Sayang." Nathan berbicara dengan penuh kesungguhan, mencoba meyakinkan Elsa. "Obat darimu itu manjur banget. Tapi ... perlu kamu ingat bahwa apa yang aku lakukan semalam dengan Silla, aku anggap aku melakukannya denganmu. Karena yang aku bayangkan hanya kamu. Hanya kamu," ucapnya dengan penuh perasaan, sambil menekankan kata 'hanya kamu' agar Elsa tidak merasa tersakiti. Meskipun Elsa tidak menunjukkan tanda-tanda kesedihan, bahkan terlihat bahagia, Nathan yakin bahwa mungkin ada rasa yang terpendam di dalam hatinya. Elsa benar-benar istri yang sempurna menurut Nathan. Bagi Nathan, tak ada yang rela membagi suaminya dengan perempuan lain, meskipun hanya untuk sesaat. Namun, Elsa memilih untuk tidak egois. Dia melakukan segala hal dengan penuh cinta dan pengorbanan, tidak hanya untuk kebahagiaan dirinya dan Nathan, tetapi juga untuk seluruh anggota keluarganya. "Iya, Mas. Aku percaya," Elsa mengangguk dengan senyuman tipis. "Aku yakin kamu nggak akan pernah mengkhianatiku." Suaranya penuh dengan keyakinan dan cinta yang tulus. "Ee-eh, tapi, Yang ... lehermu kenapa ini??" Nathan tiba-tiba kehilangan fokus saat melihat leher istrinya yang berwarna merah keunguan di sebelah kanan bawah. Dengan perlahan, dia meraba leher Elsa. "Leherku?! Kenapa memangnya dengan leherku, Mas?" Elsa membalikkan tangannya dengan ekspresi bingung, lalu segera membuka tasnya untuk mengambil cermin dan melihat lehernya dari sana. Kedua matanya membulat saat melihat bekas kissmark yang jelas terlihat. "Itu seperti bekas kecupan, bener nggak sih, Yang? Tapi kamu dikecup siapa kira-kira??" tanyanya dengan rasa curiga yang mulai muncul di benaknya."Ooh, ini 'kan Mas yang ngecup kemarin," jawab Elsa cepat. Dia juga mencoba menyembunyikan kegugupan yang kembali melanda. "Kemarin?! Kemarin kapan, Yang?" Nathan menatap bingung. "Kemarin malam maksudnya, Mas. Memangnya Mas nggak ingat, ya, kalau pagi sebelum menikah dengan Silla ... malamnya kita sempat bercinta?" "Oohhh iya juga, sih, Yang." Nathan mengangguk, saat teringat hal itu. "Tapi, kok dari kemarin aku nggak sadar, ya, Yang? Aku baru nyadar ya sekarang. Padahal warnanya terang begitu." "Ya mungkin karena kemarin Mas sibuk berdebat denganku tentang Silla. Jadi wajar, Mas." Elsa menjelaskan dengan santai. "Iya kali ya, Yang. Maaf deh ... kalau aku lupa, aku malah sempat berpikir yang enggak-enggak." Nathan tersenyum dengan wajah bersalah. Hampir saja dia berpikiran jauh tentang Elsa, meskipun sejujurnya dia sendiri yakin, hal seperti yang dia pikirkan itu tidak mungkin terjadi. Dia yakin Elsa adalah perempuan yang sangat set
"Aku dan Kak Nathan nggak perlu pergi bulan madu, Pa," jawab Silla sambil tersenyum, lalu menyentuh perutnya. "Insya Allah ... kalau Allah sudah berkehendak, aku bisa segera hamil." "Aminnn ... Papa akan ikut do'akan yang terbaik untukmu," sahut Haikal yang ikut menyentuh perut Silla. "Tapi, Sil, si Nathan dan Elsa ada di mana kira-kira? Kok Papa dari awal sampai nggak ngelihat mereka, ya?" tanyanya yang baru menyadari ketidak hadiran anak dan menantunya itu. "Mereka nggak ada di rumah, Pa. Tadi sih aku nggak sengaja dengar pas Kak Nathan telepon Elsa, kalau Elsa dari semalam menginap di rumah Daddy-nya Kak Nathan. Terus, Kak Nathan pergi jemput Elsa," ucap Silla menjelaskan. "Lho, ngapain si Elsa menginap di rumah mertuanya??" Haikal tampak bingung, dahinya berkerut. "Aku nggak tau, Pa." Silla menggeleng. "Mungkin karena Elsa kesepian di rumah, kasihan juga sebenarnya aku sama Elsa. Pasti dia sedih banget ditinggal Kak Nathan." "Ya itu udah resikonya, siapa suruh memintamu u
Setelah setengah jam kepergian Haikal dan asistennya, Elsa dan Nathan tiba di rumah tersebut sambil saling bergandengan tangan. "Eh, Bi, di mana Silla?" tanya Elsa, memperhatikan Bibi pembantu turun dari tangga. "Ibu sudah pulang? Selamat siang, Bu," sapa Bibi dengan sopan. "Nona Silla ada di kamarnya, sedang istirahat." "Sejak kapan aku memberikan kamar untuknya di sini??" tanya Nathan dengan nada marah dan sorot mata tajam kepada Bibi. "Maafkan Bibi, Pak. Kalau Bibi belum meminta izin sebelumnya kepada Bapak dan Ibu. Tadi Nona Silla sempat bilang ingin istirahat, jadi Bibi mengajaknya masuk ke kamar tamu," jelas Bibi dengan penuh ketakutan. "Kamar tamu di mana, Silla, Bi?" tanya Elsa. Berbeda dengan reaksi marah Nathan, Elsa tetap tenang. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan Bibi. "Pas di sebelah kamar utama, Bu. Kamar Ibu dan Pak Nathan," jawab Bibi sambil menundukkan wajahnya. "Lain kali, Bibi harus konfirmasi dulu kepadaku atau Elsa sebelum bertindak. Jang
"Enggak mungkinlah Pak Nathan marah, Nona." Bibi menggeleng tidak percaya. "Bibi saja di rumah ini, sering makan lebih dulu sebelum Pak Nathan maupun Bu Elsa. Tapi mereka nggak marah sama sekali." "Aku sama Bibi beda." "Beda apanya, Nona?" Bibi tampak mengerutkan dahinya, bingung dengan jawaban Silla. "Oohh, karena Bibi itu pembantu kali, ya?" "Bukan, Bi. Ini bukan masalah pekerjaan." Silla menggeleng, dia tak mau nantinya Bibi tersinggung karena memang maksudnya bukan itu. "Terus apa, Nona dong, Nona?" "Ya karena intinya kita beda aja, Bi. Ditambah aku juga orang baru di rumah ini," jawab Silla mencari alasan. Tidak mungkin juga dia bercerita sebenarnya, kalau Nathan membencinya. Lagian, Bibi juga tidak memiliki urusan dalam hal itu. "Udah ... mending Nona makan dulu, daripada nanti sakit perut, kena magh. Bibi bisa-bisa disalahkan." Bibi langsung mengambil piring lalu menuangkan nasi dan lauk di atas piring untuk Silla, lalu menarik kursi untuknya. "Siapa yang bakal menyalahka
"Nona ... maafin Bibi, ya?" ucap Bibi pembantu yang datang menghampiri Silla, ketika baru saja Silla menyelesaikan makan malamnya.Ekspresi wajah Bibi dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam, akibat kejadian yang menimpa Silla tadi.Dia juga tak menyangka, jika Nathan mampu memperlakukan Silla seperti itu, padahal jelas Silla adalah istrinya juga.Apalagi dia adalah istri muda, yang biasanya orang-orang selalu lebih mengutamakannya ketimbang istri tua. Namun, kenyataannya kali ini sungguh berbeda."Eh, Bi." Silla langsung menoleh, raut wajahnya tampak bingung. Dia tak memahami maksud Bibi meminta maaf. "Kenapa Bibi minta maaf? Bibi salah apa?""Gara-gara Bibi, Nona jadi dimarahi Pak Nathan. Sumpah ... Bibi nggak tau kalau akhirnya akan seperti ini, Bibi minta maaf, Nona," sesal Bibi dengan sepenuh hati, sambil menangkup kedua tangannya di bawah dagu."Ya ampun Bibi, nggak usah berlebihan begitu ah." Silla justru tertawa, dia berpikir tingkah Bibi terlalu berlebihan padanya. "Santai a
[Bicara tentang apa, ya, Kak?] Silla membalas dan selang beberapa detik pun Shaka membalasnya lagi. [Besok aku kasih tau. Nona Silla sendiri besok kerja, nggak?] [Kerja, Kak.] [Ya sudah, sampai ketemu besok. Nona segera tidur, jangan begadang. Karena itu nggak baik.] [Iya, Kak.] Balasan dari Silla mengakhiri chattingan mereka. Segera, Silla menaruh kembali ponselnya di atas nakas kemudian mulai memejamkan mata. *** Keesokan harinya. Silla sudah rapih dan bersiap untuk pergi bekerja. Dia memakai baju bebas sekarang, karena seragam pelayan biasa dipakai saat sudah berada di restoran dan siap bekerja. Langkah Silla terhenti saat memasuki ruang makan. Nathan dan Elsa sudah ada di sana, sedang sarapan bersama. Nathan terlihat rapi dan tampan dalam stelan jasnya, namun tatapannya menusuk ke arah Silla. "Selamat pagi, Kak Nathan, Elsa," sapa Silla dengan senyum di bibirnya. Meskipun sambutannya mungkin akan diabaikan oleh Nathan, Silla tetap ramah. "Selamat pagi, Silla.
Sebelumnya.... Setelah mencuci piring, Silla melangkah keluar dari restoran melalui pintu belakang, berniat untuk membuang sampah bekas sisa makanan para pengunjung. Tong sampah terletak dekat area parkiran, tidak jauh dari pintu belakang restoran. "Silla! Sil!" seru seseorang saat Silla hendak membuang kantong plastik ke dalam tong sampah. Silla menoleh dan tersenyum saat melihat bahwa yang memanggilnya adalah Rival, pemilik restoran, yang berarti bosnya.. "Pak Rival, apa ada sesuatu?" tanya Silla sopan sambil sedikit menundukkan pandangannya. "Aku punya sesuatu untukmu, Sil. Mohon di terima, ya!"ujar Rival sambil merogoh saku jas abu-abunya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin yang indah. Silla terkejut melihat cincin berlian yang cantik di dalam kotak tersebut. Meskipun terkesan, Silla merasa heran dengan tindakan tiba-tiba Rival memberikannya cincin tersebut. Rival dikenal sebagai bos yang baik oleh Silla, terutama jika dibandingkan dengan pengalaman Silla dengan bos-
"Dia suami sahabatku, Pak," jawab Silla dengan cepat, suaranya penuh keyakinan. "Dia orang baik, bukan maling."'Cih ... apa yang dia katakan? Pasti si Silla sengaja, mengatakan aku suami sahabatnya karena di depan si Rival-Rival ini,' batin Nathan dengan perasaan sebal. Kendati demikian, Silla sebenarnya tak salah di sini, karena memang benar Nathan adalah suami sahabatnya juga."Aahh terserah. Mau dia suami sahabatmu kek, suamimu kek, aku nggak peduli!! Intinya dia harus dibawa ke kantor polisi!!" tegas pria berkepala plontos yang seolah memaksa, tetap kekeh ingin membawa Nathan pergi.Rival segera ikut campur untuk membela Nathan. "Tunggu sebentar, Pak!" kata Rival sambil menghalangi pria berkepala plontos untuk menutup pintu mobil. Rival ingin membantu Nathan, terutama setelah mengetahui bahwa Silla mengenalnya. "Bagaimana jika kita memeriksa rekaman CCTV terlebih dahulu, Pak. Dengan begitu, kita bisa memastikan apakah benar atau tidak bahwa dia adalah maling. Beruntungnya, ada CC
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut
"Permisi, Pak Satpam. Aku ingin bertemu Pak Dayat, Kepala Sekolah. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?" Nathan bertanya dengan sopan kepada satpam yang berjaga di depan gerbang. Pak Dayat adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.Satpam mengamati Nathan dengan seksama. "Ada, Pak. Tapi, saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya. Ada keperluan apa, Pak?" Dia menatap asing pada Nathan."Aku salah satu mantan murid sekolah ini, Pak. Dan kedatanganku karena ada keperluan dengan Pak Dayat.""Oh, begitu. Baiklah, mari saya antar." Satpam itu tersenyum ramah, lalu mengarahkan Nathan menuju ruang kepala sekolah.Tok... tok... tok...Satpam mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan tiga ketukan yang teratur. "Permisi, Pak Dayat. Ada yang ingin bertemu Bapak.""Siapa?" Suara Pak Dayat terdengar dari dalam."Beliau mengaku sebagai mantan murid di sekolah ini, Pak, dan kedatangannya karena ada keperluan dengan Bapak.""Suruh masuk.""Baik, Pak." Satpam membuka pintu perlahan, mempers
"Entah mengapa... aku masih penasaran dan tidak puas dengan jawaban Elsa waktu itu. Apa aku perlu mencari tau lebih lanjut?" Silla duduk termenung di kamarnya, memikirkan masalah surat yang belum terpecahkan. Kedua tangannya terlihat gemetar memegang gelas yang berisi susu ibu hamil buatan Herlin. Kegelisahan tampak jelas terpancar dari raut wajahnya. "Buku diary itu... Apakah buku itu masih ada??" Silla tampak berpikir sejenak, lalu menenggakkan susu ibu hamil hingga habis. Dia berdiri dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas. Sebuah tekad mulai terpatri di matanya. "Mungkin saja masih ada di gudang, aku coba cari saja deh. Buat memastikan kemiripan kertas itu. Dan aku juga mau tau ... apa alasan dibalik orang yang dengan sengaja membuat aku dan Kak Nathan salah paham." Tekad bulat telah terpatri di hatinya. Silla bergegas menuju gudang yang terletak di samping dapur. Dia berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Gudang itu penuh sesak deng
"Mommy mengatakan hal itu karena Mommy merasa ada yang tidak beres dengan Daddy. Mommy yakin Daddy memiliki perempuan lain," jelas Dahlia, suaranya bergetar menahan air mata.Nathan mengerutkan dahi, ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang membuat Mommy curiga? Apakah Mommy pernah memergoki Daddy bersama perempuan lain?""Tidak memergoki, tapi Mommy pernah menemukan bekas lipstik di kemeja Daddy. Dan Mommy ingin meminta bantuanmu, Tan. Hanya kamu yang bisa membantu Mommy." Air mata Dahlia mulai menetes."Apa yang harus kulakukan, Mom?" tanya Nathan, hatinya teriris melihat kesedihan Mommy-nya."Kamu 'kan laki-laki ... pasti punya banyak kenalan. Carikan seseorang yang mau dibayar untuk membuntuti Daddy sampai menemukan bukti perselingkuhannya." Suaranya terdengar putus asa.Nathan terdiam. Bukannya dia tak mau membantu, tentu saja dia akan menjadi benteng terdepan untuk melindungi Mommy yang terluka. Namun, bukankah lebih baik Mommy berbicara langsung kepada D