Lima belas menit menunggu di mobil, akhirnya Nathan melihat Silla datang dengan susah payah mendorong kopernya.
Namun, melihat penampilan Silla yang mengenakan kaos pendek serta celana kolor yang dia yakini miliknya, membuat dia terkejut sendiri."Heh! Aku baru tadi ngomong supaya kamu itu tau diri, ya! Kenapa kamu belum paham juga sampai sekarang??" geram Nathan berteriak, setelah jendela mobilnya dia buka."Maksud Kakak apa? Memangnya apa yang salah?" tanya Elsa bingung."Pakai nanya, itu yang kau pakai apa, hah?" Nathan menunjuk tubuh Silla. "Itu pakaianku, kan?""Oohh ini?" Silla mencubit kecil ujung bajunya, lalu menatap sang suami. "Maaf, Kak. Aku pinjam dulu ya, baju Kakak. Nanti sampai rumah langsung aku cuci dan balikin.""Enak saja pinjam-pinjam, nggak! Nggak boleh!" tegasnya melarang. "Sekarang lepas! Ayok lepas, Silla!" desaknya memaksa."Ya Allah Kakak, aku hanya—""LEPASS!!!" pekik Nathan dengan suara menggelegar. Dia merasa tidak ikhlas, jika pakaian yang sering dia pakai dipakai oleh Silla."Astaghfirullah, iya, iya!"Entah sudah berapa kali, jantung Silla terguncang karena kaget dengan ulah Nathan. Tapi bergegas, dia menarik baju itu hingga terlepas. Namun, sungguh terkejutnya Nathan melihat perempuan itu kini hanya memakai bra."Astaga, Silla! Apa kau gila?!" Dengan panik, Nathan langsung membuka pintu dan menarik Silla untuk masuk. Dia juga segera menaikkan jendela mobil.Nathan tak mau, jika ada orang lain melihat Silla dengan keadaan seperti itu. Karena walau segimana bencinya pun dia, Silla tetaplah istrinya. Nathan ikut malu."Apa-apaan kau ini, cepat pakai lagi bajumu. Apa kau sama sekali nggak malu? Dasar nggak punya harga diri!""Enak saja aku nggak punya harga diri. Jelas punya lah, Kak," kesal Silla, segera memakai kembali kaosnya. "Kan Kakak sendiri yang nyuruh lepas baju. Aneh.""Ya enggak diluar juga kali. Kamu ini 'kan harusnya punya otak!" Nathan langsung menyentil dahi Silla dengan gemas. Membuat perempuan itu meringis."Maaf, lagi-lagi aku salah.""Sekarang masukkan koperku tadi ke dalam bagasi, lalu ambillah bajumu. Setelah itu kau masuk dan langsung ganti baju.""Kakak mau aku pakai lingerie? Apa nggak malu? Aku nggak mau ah!" tolak Silla."Siapa juga yang ingin melihatmu pakai baju haram itu. Aku juga nggak mau!""Ya terus gimana? Masalahnya hanya baju itu yang ada dikoper, Kak. Selebihnya baju-baju Kakak.""Mana mungkin hanya baju itu, pasti ada baju yang lain!" Nathan tampak tidak percaya."Demi Allah, Kak. Kalau Kakak nggak percaya silahkan cek sendiri.""Awas saja kalau kau berani bohong! Aku akan meninggalkanmu di sini," ancam Nathan kemudian turun dari mobil."Boleh!" Silla menyahut dan tak takut.Nathan langsung membongkar koper itu, bahkan menuangkannya ke dalam bagasi belakang mobil supaya dia bisa leluasa mencari.Dan ternyata, apa yang dikatakan Silla benar. Hanya beberapa baju kurang bahan yang dia temukan, tak ada baju perempuan yang lain."Bisa-bisanya Elsa ngirim baju haram untuk Silla, padahal nggak ada pantas-pantasnya sama sekali!" gerutunya kesal. Kemudian masuk lagi ke dalam mobil."Bagaimana, ketemu Kak bajunya?" tanya Silla.Pria itu menggeleng, kemudian dengan raut cemberut dia segera mengemudikan mobil. Mau tidak mau, akhirnya pakaiannya dipinjam oleh Silla."Oh ya, nanti setelah kita sampai rumah dan Elsa bertanya tentang malam pertama kita. Kamu jawab saja bahwa kita sudah melakukannya, ya?""Kenapa begitu, Kak?" Silla tampak bingung, karena itu berarti Nathan memintanya untuk berbohong. "Bukannya itu sama saja seperti berbohong, kan kita belum ngapa-ngapain.""Udah sih nggak usah bawel. Cukup turuti saja permintaanku. Lagian, siapa juga yang mau menyentuhmu. Nggak sudi, ya!" tegas Nathan.Silla dapat merasakan sesak pada dadanya. Ternyata berbicara secara langsung terdengar jauh lebih menyakitkan dibanding berbicara dibelakang."Kok diam?" tanya Nathan, setelah beberapa saat Silla tak ada tanggapan."Aku harus jawab apa memangnya, Kak?""Ya iya kek atau apa gitu. Kan aku daritadi nungguin jawabannya. Kamu ini nggak ngerti-ngerti juga daritadi, ya! Dari dulu memang selalu membuatku kesal!" gerutu Nathan emosi, dia mendesaah dengan berat."Iya, Kak," jawab Silla, lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. 'Sabar, Silla. Ini semua untuk kebahagiaan Elsa,' batinnya mencoba tegar.**"Assalamualaikum, Sayang ...," ucap Nathan setibanya dia di rumah mewahnya dan membuka pintu.Sementara Silla di belakang ikut menyusul sambil mendorong koper mereka."Eh, Pak Nathan dan Nona Silla sudah pulang." Seorang pembantu rumah tangga datang menghampiri mereka, lalu mengambil alih koper di tangan Silla. "Selamat pagi Pak ... Nona.""Pagi juga, Bi," sahut Silla sambil tersenyum."Di mana Elsa, Bi? Apa ada di kamarnya?" Nathan terlihat senang dan tidak sabar, ingin cepat-cepat bertemu dengan istri tercintanya. Kedua kaki itu kini melangkah cepat menyusuri anak tangga, namun ucapan Bibi pembantu seketika menghentikannya."Bu Elsa belum pulang, Pak. Sejak semalam.""Belum pulang sejak semalam?!" Nathan menoleh, lalu turun dari anak tangga dengan raut heran. "Ke mana?""Saya nggak tau, Pak. Saya kira sama Bapak dan Nona Silla. Soalnya 'kan perginya bareng.""Jadi Elsa belum pulang, dari pas pergi bertiga denganku, Bu?""Iya." Bibi mengangguk cepat."Ya Allah, ke mana Elsa?" Rasa khawatir menghinggapi ruang hati Nathan. Segera dia duduk di sofa lalu menghubungi Elsa via telepon. Sementara Silla, dia langsung menuju dapur untuk mencari makanan.Perutnya terasa sangat lapar, karena sejak pagi belum sempat sarapan. Bahkan minum pun belum, karena memang Nathan membawanya pulang dengan buru-buru.Satu panggilan, dua panggilan, tiga panggilan, dan empat panggilan akhirnya berhasil diangkat. Nathan merasa sangat lega."Assalamualaikum, Sayang. Apa kamu baik-baik saja?""Walaikum salam." Suara Elsa terdengar serak seperti bangun tidur. "Aku baik-baik saja, kenapa, Mas?""Kamu ada di mana, Sayang?""Aku ada rumah. Mas bagaimana malam pertamanya dengan Silla? Apa semuanya lancar?""Yang benar aja kamu ada di rumah, tadi barusan Bibi bilang padaku kalau kamu belum pulang.""Kapan Mas telepon Bibi?""Aku nggak telepon Bibi, tapi aku pulang. Aku udah ada di rumah sekarang.""Sayang ... kamu teleponan sama siapa?" Tiba-tiba, terdengar suara pria dari sana. Dan suara itu sangat familiar ditelinga Nathan."Lho, itu 'kan suara Daddy. Kamu lagi sama Daddy, Yang?" tanyanya yang tampak bingung.Daddy yang dimaksud ini adalah ayah kandung Nathan. Dia memang memanggilnya dengan sebutan Daddy."Ooohhh iya, itu Daddy. Aku sekarang ada di rumah Daddy, Mas.""Tadi kamu bilang di rumah, sekarang di rumah Daddy. Gimana sih kamu, Yang?" Nathan semakin bingung, dia juga jadi curiga dengan apa yang terjadi sebenarnya.Apakah ada yang Elsa sembunyikan? Itulah yang ada dalam benaknya."Aku tadi bangun tidur, Mas. Jadi nyawaku belum sepenuhnya kumpul. Aku nggak ingat bahwa semalam menginap di rumah Daddy, jadi aku mengira sekarang ada di rumah," jelas Elsa, supaya tak membuat sang suami salah paham."Tapi kenapa kamu harus menginap di rumah Daddy, Yang? Dan kamu juga nggak ngomong dulu sama aku.""Semalam itu nggak niat sebenarnya, Mas. Cuma tiba-tiba Daddy telepon pas aku pulang nganterin kamu dan Silla. Dia bilang kalau aku suruh nginap aja di rumahnya, biar aku nggak kesepian. Maaf juga kalau aku lupa ngabarin, karena aku memang nggak mau ganggu waktu kalian, Mas.""Kamu ini bicara apa sih, Yang? Aku nggak suka, ya, kamu terus menerus mengatakan kata 'menganggu'! Silla itu nggak penting buatku!" tegas Nathan marah, tampak tersinggung dengan ucapan istrinya."Maaf, Mas. Kamu nggak perlu marah. Ya udah ... aku pulang sekarang, ya? Kamu udah sarapan belum? Biar nanti aku sekalian mampir ke restoran.""Aku udah sarapan, Yang. Dan biar aku aja yang jemput kamu ke rumah Daddy, ya? Tunggu sebentar.""Enggak usah, Mas! Aku bisa pulang sendiri kok!" sahut Elsa cepat. Dan entah mengapa suaranya mendadak seperti orang yang panik."Enggak apa-apa. Aku jalan sekarang.""Dih, Mas, nggak usah. Lagian aku juga mau sekalian ke bengkel. Mau ngambil mobilku yang sempat diservise semalam.""Nggak apa-apa, malah lebih bagus aku antar. Udah, ya, assalamualaikum, Sayang.""Tapi, Mas—" Ucapan Elsa seketika terputus, saat Nathan memutuskan panggilan.Pria itu bergegas keluar dari rumah, lalu masuk ke dalam mobilnya.Silla yang melihat kepergian Nathan hanya diam dan memandanginya. Tadi dia juga tak sengaja mendengar percakapan Nathan lewat telepon, yang terdengar sangat mengkhawatirkan Elsa.**Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya Nathan tiba dikediaman kedua orang tuanya. Sebuah rumah mewah bercat silver.Mobil sedan lamborghini berwarna hitam itu kini telah masuki halaman, lalu tak lama sang pemiliknya turun dari sana."Selamat pagi Pak Nathan," sapa satpam penjaga rumah yang baru saja membukakan pintu mobil untuknya."Pagi juga, Pak." Nathan tersenyum, tapi dahinya tampak mengerenyit karena tak melihat keberadaan mobil sang Daddy. "Apa Daddy udah berangkat kerja, Pak?""Pak Darwin dari semalam ...." Ucapan satpam itu seketika terputus ketika mobil Elsa memasuki halaman."Lho, Yang?" Nathan tampak bingung, melihat istrinya keluar dari sana dan langsung berlari memeluk tubuhnya."Apa Mas kangen sama aku?""Tentu saja aku kangen." Nathan dengan lembut mengusap punggung Elsa. Lalu bertanya dengan rasa penasaran yang mendalam. "Tapi kamu habis dari mana? Kok pergi dengan mobil, dan bukannya mobilmu katanya diservise di bengkel, ya?""Ya ini aku barusan habis ngambil mobilku di bengkel, Mas. Terus sengaja balik lagi ke sini karena aku khawatir kamu sudah keburu sampai di rumah Daddy," jelas Elsa dengan suara lembut, namun terdengar penuh perhatian. Nathan menatap Elsa dengan ekspresi bingung yang tak dapat disembunyikan. "Kenapa harus khawatir? Memangnya kenapa kalau aku sudah keburu ada di rumah Daddy?!" tanyanya, mencoba mencari pemahaman dari penjelasan Elsa. "Ooohh ... itu, jadi maksudnya ...." Elsa terlihat sedikit gugup, matanya berbinar-binar namun mulutnya terhenti sejenak. Setelah beberapa detik berlalu, dia akhirnya melanjutkan, "Ya aku cuma nggak mau kamu nunggu aku kelamaan, kamu 'kan pasti capek, Mas." "Capek?!" Nathan mengernyitkan dahi, mencoba memahami alasan di balik kata-kata Elsa. "Capek kenapa, coba, Yang? Masa nungguin istri sendiri capek. Lagian kamu juga, kan aku udah bilang kita bareng aja sekalian ngambil mobilmu. Jadi nggak perlu kamu sendirian 'kan nggak bolak balik." "Enggak apa-
"Ooh, ini 'kan Mas yang ngecup kemarin," jawab Elsa cepat. Dia juga mencoba menyembunyikan kegugupan yang kembali melanda. "Kemarin?! Kemarin kapan, Yang?" Nathan menatap bingung. "Kemarin malam maksudnya, Mas. Memangnya Mas nggak ingat, ya, kalau pagi sebelum menikah dengan Silla ... malamnya kita sempat bercinta?" "Oohhh iya juga, sih, Yang." Nathan mengangguk, saat teringat hal itu. "Tapi, kok dari kemarin aku nggak sadar, ya, Yang? Aku baru nyadar ya sekarang. Padahal warnanya terang begitu." "Ya mungkin karena kemarin Mas sibuk berdebat denganku tentang Silla. Jadi wajar, Mas." Elsa menjelaskan dengan santai. "Iya kali ya, Yang. Maaf deh ... kalau aku lupa, aku malah sempat berpikir yang enggak-enggak." Nathan tersenyum dengan wajah bersalah. Hampir saja dia berpikiran jauh tentang Elsa, meskipun sejujurnya dia sendiri yakin, hal seperti yang dia pikirkan itu tidak mungkin terjadi. Dia yakin Elsa adalah perempuan yang sangat set
"Aku dan Kak Nathan nggak perlu pergi bulan madu, Pa," jawab Silla sambil tersenyum, lalu menyentuh perutnya. "Insya Allah ... kalau Allah sudah berkehendak, aku bisa segera hamil." "Aminnn ... Papa akan ikut do'akan yang terbaik untukmu," sahut Haikal yang ikut menyentuh perut Silla. "Tapi, Sil, si Nathan dan Elsa ada di mana kira-kira? Kok Papa dari awal sampai nggak ngelihat mereka, ya?" tanyanya yang baru menyadari ketidak hadiran anak dan menantunya itu. "Mereka nggak ada di rumah, Pa. Tadi sih aku nggak sengaja dengar pas Kak Nathan telepon Elsa, kalau Elsa dari semalam menginap di rumah Daddy-nya Kak Nathan. Terus, Kak Nathan pergi jemput Elsa," ucap Silla menjelaskan. "Lho, ngapain si Elsa menginap di rumah mertuanya??" Haikal tampak bingung, dahinya berkerut. "Aku nggak tau, Pa." Silla menggeleng. "Mungkin karena Elsa kesepian di rumah, kasihan juga sebenarnya aku sama Elsa. Pasti dia sedih banget ditinggal Kak Nathan." "Ya itu udah resikonya, siapa suruh memintamu u
Setelah setengah jam kepergian Haikal dan asistennya, Elsa dan Nathan tiba di rumah tersebut sambil saling bergandengan tangan. "Eh, Bi, di mana Silla?" tanya Elsa, memperhatikan Bibi pembantu turun dari tangga. "Ibu sudah pulang? Selamat siang, Bu," sapa Bibi dengan sopan. "Nona Silla ada di kamarnya, sedang istirahat." "Sejak kapan aku memberikan kamar untuknya di sini??" tanya Nathan dengan nada marah dan sorot mata tajam kepada Bibi. "Maafkan Bibi, Pak. Kalau Bibi belum meminta izin sebelumnya kepada Bapak dan Ibu. Tadi Nona Silla sempat bilang ingin istirahat, jadi Bibi mengajaknya masuk ke kamar tamu," jelas Bibi dengan penuh ketakutan. "Kamar tamu di mana, Silla, Bi?" tanya Elsa. Berbeda dengan reaksi marah Nathan, Elsa tetap tenang. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan Bibi. "Pas di sebelah kamar utama, Bu. Kamar Ibu dan Pak Nathan," jawab Bibi sambil menundukkan wajahnya. "Lain kali, Bibi harus konfirmasi dulu kepadaku atau Elsa sebelum bertindak. Jang
"Enggak mungkinlah Pak Nathan marah, Nona." Bibi menggeleng tidak percaya. "Bibi saja di rumah ini, sering makan lebih dulu sebelum Pak Nathan maupun Bu Elsa. Tapi mereka nggak marah sama sekali." "Aku sama Bibi beda." "Beda apanya, Nona?" Bibi tampak mengerutkan dahinya, bingung dengan jawaban Silla. "Oohh, karena Bibi itu pembantu kali, ya?" "Bukan, Bi. Ini bukan masalah pekerjaan." Silla menggeleng, dia tak mau nantinya Bibi tersinggung karena memang maksudnya bukan itu. "Terus apa, Nona dong, Nona?" "Ya karena intinya kita beda aja, Bi. Ditambah aku juga orang baru di rumah ini," jawab Silla mencari alasan. Tidak mungkin juga dia bercerita sebenarnya, kalau Nathan membencinya. Lagian, Bibi juga tidak memiliki urusan dalam hal itu. "Udah ... mending Nona makan dulu, daripada nanti sakit perut, kena magh. Bibi bisa-bisa disalahkan." Bibi langsung mengambil piring lalu menuangkan nasi dan lauk di atas piring untuk Silla, lalu menarik kursi untuknya. "Siapa yang bakal menyalahka
"Nona ... maafin Bibi, ya?" ucap Bibi pembantu yang datang menghampiri Silla, ketika baru saja Silla menyelesaikan makan malamnya.Ekspresi wajah Bibi dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam, akibat kejadian yang menimpa Silla tadi.Dia juga tak menyangka, jika Nathan mampu memperlakukan Silla seperti itu, padahal jelas Silla adalah istrinya juga.Apalagi dia adalah istri muda, yang biasanya orang-orang selalu lebih mengutamakannya ketimbang istri tua. Namun, kenyataannya kali ini sungguh berbeda."Eh, Bi." Silla langsung menoleh, raut wajahnya tampak bingung. Dia tak memahami maksud Bibi meminta maaf. "Kenapa Bibi minta maaf? Bibi salah apa?""Gara-gara Bibi, Nona jadi dimarahi Pak Nathan. Sumpah ... Bibi nggak tau kalau akhirnya akan seperti ini, Bibi minta maaf, Nona," sesal Bibi dengan sepenuh hati, sambil menangkup kedua tangannya di bawah dagu."Ya ampun Bibi, nggak usah berlebihan begitu ah." Silla justru tertawa, dia berpikir tingkah Bibi terlalu berlebihan padanya. "Santai a
[Bicara tentang apa, ya, Kak?] Silla membalas dan selang beberapa detik pun Shaka membalasnya lagi. [Besok aku kasih tau. Nona Silla sendiri besok kerja, nggak?] [Kerja, Kak.] [Ya sudah, sampai ketemu besok. Nona segera tidur, jangan begadang. Karena itu nggak baik.] [Iya, Kak.] Balasan dari Silla mengakhiri chattingan mereka. Segera, Silla menaruh kembali ponselnya di atas nakas kemudian mulai memejamkan mata. *** Keesokan harinya. Silla sudah rapih dan bersiap untuk pergi bekerja. Dia memakai baju bebas sekarang, karena seragam pelayan biasa dipakai saat sudah berada di restoran dan siap bekerja. Langkah Silla terhenti saat memasuki ruang makan. Nathan dan Elsa sudah ada di sana, sedang sarapan bersama. Nathan terlihat rapi dan tampan dalam stelan jasnya, namun tatapannya menusuk ke arah Silla. "Selamat pagi, Kak Nathan, Elsa," sapa Silla dengan senyum di bibirnya. Meskipun sambutannya mungkin akan diabaikan oleh Nathan, Silla tetap ramah. "Selamat pagi, Silla.
Sebelumnya.... Setelah mencuci piring, Silla melangkah keluar dari restoran melalui pintu belakang, berniat untuk membuang sampah bekas sisa makanan para pengunjung. Tong sampah terletak dekat area parkiran, tidak jauh dari pintu belakang restoran. "Silla! Sil!" seru seseorang saat Silla hendak membuang kantong plastik ke dalam tong sampah. Silla menoleh dan tersenyum saat melihat bahwa yang memanggilnya adalah Rival, pemilik restoran, yang berarti bosnya.. "Pak Rival, apa ada sesuatu?" tanya Silla sopan sambil sedikit menundukkan pandangannya. "Aku punya sesuatu untukmu, Sil. Mohon di terima, ya!"ujar Rival sambil merogoh saku jas abu-abunya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin yang indah. Silla terkejut melihat cincin berlian yang cantik di dalam kotak tersebut. Meskipun terkesan, Silla merasa heran dengan tindakan tiba-tiba Rival memberikannya cincin tersebut. Rival dikenal sebagai bos yang baik oleh Silla, terutama jika dibandingkan dengan pengalaman Silla dengan bos-
Keesokan harinya, suasana rumah masih diliputi kesedihan. Herlin menatap punggung suaminya yang tengah bersiap, setelan jas abu tua itu seakan menggambarkan beratnya beban yang dipikul Haikal."Papa ... Papa hari ini langsung mencari Silla lagi, atau ke kantor dulu?" tanyanya lirih, suaranya terdengar khawatir.Haikal berbalik, matanya lelah. "Sebenarnya, Papa mau langsung mencari Silla. Tapi Papa ada rapat penting yang sudah berkali-kali diundur dan tak bisa ditunda lagi." Suaranya terdengar lesu, penuh penyesalan.Herlin mengusap lembut lengan suaminya. "Biarkan Shaka yang mencari Silla, Pa. Nathan juga pasti ikut, kan?"Haikal menggeleng pelan. "Nathan tidak perlu ikut, Ma. Nanti Mama hubungi Nathan saja, suruh dia menghabiskan waktu seharian dengan Elsa. Kasihan Elsa, dia pasti merasa terabaikan karena kita sibuk mencari Silla."Rasa bersalah terpancar dari sorot matanya. Haikal telah berjanji akan lebih memperhatikan Elsa, anak kandungnya yang selama ini mungkin merasa kura
Sementara Nathan terpaku di sofa, seakan membeku oleh beban suasana."Elsa, jawab pertanyaan Mommy!" desis Dahlia, tak sabar menunggu penjelasan dari menantunya. Suaranya bergetar, menahan amarah yang membuncah.Air mata Elsa berlinang. Suaranya terbata-bata, "Aku... aku minta maaf, Mom. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Daddy. Semuanya... semuanya terjadi karena Daddy yang memaksaku."Dahlia mengerutkan dahi, tak percaya. "Memaksa? Rekaman itu tidak menunjukkan hal itu, Elsa. Sudahlah, berhenti berkelit. Lebih baik jujur saja."Tangis Elsa semakin menjadi. "Aku sudah jujur, Mom! Tapi bagaimana caranya agar Mommy dan Mas Nathan percaya? Dad ...." Pandangannya mencari Darwin yang sedari tadi hanya diam. "Dad, tolong bicaralah. Katakan pada Mommy dan Mas Nathan bahwa semuanya tidak benar. Daddy yang memaksaku, kan?"Semua mata tertuju pada Darwin. Keheningan mencekam ruangan.Pria itu menarik napas panjang, berat. "Elsa, ku sangka."Mata Elsa melebar, bingung. "Salah san
Dahlia menatap Elsa, matanya berkaca-kaca, menahan gelombang emosi yang hampir membanjiri dirinya. Dia berusaha keras memberikan ruang bagi Elsa untuk berbicara, untuk menjelaskan, meskipun hatinya remuk berkeping-keping."Bukti yang Mommy maksud... rekaman yang Nathan lihat," suara Dahlia bergetar, jari-jarinya gemetar saat dia membuka laptop dan memutar rekaman itu kembali. Adegan ciuman Elsa dan Darwin terputar di layar, menusuk jantungnya seperti sebilah pisau. Dia sengaja memutarnya lagi, agar tak ada yang bisa mengelak, tak ada yang bisa bersembunyi di balik kebohongan."Apa... apa ini?!" Elsa tersentak, matanya melebar tak percaya. Dia buru-buru menutup laptop, mencoba menghentikan tayangan yang begitu memalukan."Harusnya Mommy yang bertanya begitu." Suara Dahlia tercekat, suaranya bercampur amarah dan kepedihan. "Apa yang membuat kalian tega melakukan ini pada kami? Kenapa kalian begitu kejam?" Air matanya jatuh membasahi pipinya. Tatapannya tajam, menusuk ke dalam jiwa Elsa
Rekaman video itu menampilkan kamar Nathan. Elsa terbaring di tempat tidur, namun yang membuat jantung Nathan berdebar kencang adalah pakaiannya.Elsa mengenakan lingerie sutra berwarna merah marun, sejenis lingerie yang belum pernah dilihat Nathan sebelumnya. Sepertinya lingerie baru. Nathan terpaku. Untuk apa Elsa mengenakan pakaian seperti itu di rumah orang tuanya? Pertanyaan itu menusuk-nusuk pikirannya.Pikiran Nathan melayang. Saat Elsa berada di sana... bukankah itu saat Nathan seharusnya bersama Silla? Kecurigaan itu mulai mengakar kuat dalam benaknya, semakin menguat saat sosok Darwin muncul dari balik pintu.'Daddy?? Kenapa Daddy masuk ke kamarku, dan Elsa...?' Batin Nathan. Matanya membulat sempurna saat menyaksikan adegan yang tak terbayangkan: Darwin mencium bibir Elsa dengan penuh g*irah, dan Elsa menyambutnya dengan sebuah pelukan yang erat.Sebuah amarah membara membakar seluruh tubuh Nathan. "Brengsek!!" teriaknya, suara itu pecah dan penuh kepedihan. Rek
"Bagaimana, Pa? Apa kabar dari polisi? Sudah ada kabar tentang Nathan dan Silla?" tanya Herlin, suaranya dipenuhi kecemasan. Sinar matahari siang yang terik menyinari halaman rumah, namun tak mampu menghangatkan hati yang dipenuhi kekhawatiran.Haikal baru saja menutup telepon dengan petugas kepolisian yang ditugaskan mencari Nathan. Sejak petir menyambar dan memisahkan mereka dari menantunya di tengah guyuran hujan kemarin, Haikal belum berhasil menemukan Nathan. Hanya mobilnya yang tertinggal di tempat kejadian."Belum ada, Ma," jawab Haikal, menggelengkan kepala frustasi. Keringat membasahi dahinya, meski udara terasa panas."Sebaiknya kita beri tahu orang tua Nathan, Pa?" usul Herlin, suaranya sedikit gemetar. Dia tampak lelah, namun tetap tegar."Tunggu dulu, Ma. Kita usahakan dulu hari ini. Kalau sampai sore belum ada kabar… baru kita hubungi mereka." Haikal tak ingin menambah beban kekhawatiran orang tua Nathan, apalagi dengan kabar keberadaan Silla yang belum menemukan titi
Beberapa detik Silla membiarkan bibirnya menyatu dengan bibir Nathan, sebelum akhirnya membalas kecupan itu dengan penuh perasaan. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara dengkuran halus yang keluar dari bibir Nathan. Pria itu tertidur begitu cepat, tanpa diduga.'Tidak mungkin, Kak Nathan tidur secepat ini? Baru saja dia menciumku. Kukira tadi dia benar-benar ingin berciuman,' batin Silla, rasa kecewa menusuk hatinya. Namun, melihat Nathan tidur dengan tenang dan tanpa beban, sebuah rasa lega dan bahagia pun menyusup hatinya.'Ya sudahlah, tak apa. Anggap saja tadi adalah kecupan perpisahan kita. Karena besok, jika Kak Nathan sudah diizinkan pulang dari rumah sakit... otomatis dia akan pulang ke rumah dan tidak akan bertemu denganku lagi,' batin Silla pilu. Kepalanya bersandar di dada Nathan, air mata mulai membasahi pipinya.***Seperti yang Silla duga semalam, pagi ini dokter mengizinkan Nathan pulang. Kabar itu membawanya pada kelegaan yang begitu dalam, sebuah beban se
"E-eh!! Eemm ... Terima kasih, Kak." Wajah Silla memerah, malu-malu. Pandangannya tertunduk.Nathan berusaha bangun dari ranjang, ingin menuju kamar mandi. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat."Aaww!!" ringis Nathan, menahan rasa sakit yang menusuk."Kakak kenapa? Kenapa bangun?" Silla dengan sigap mengulurkan tangan, menyentuh dahi Nathan saat pria itu memegangi kepalanya."Aku mau kencing, Sil. Tapi kepalaku sangat sakit." Suaranya terdengar lemah."Kencing di sini saja, Kak. Sebentar ... aku carikan botol." Silla menawarkan solusi yang spontan, tanpa berpikir panjang."Jangan, Sil! Masa pakai botol?" Nathan menahan tangan Silla yang hendak mencari botol. Bayangannya saja sudah membuatnya merasa malu."Tadi Kakak bilang kepalanya sakit," Silla mengingatkan dengan nada lembut, namun tetap bersikeras."Memang sakit. Tapi tidak perlu sampai kencing di botol juga, Sil." Wajah Nathan memerah menahan malu. "Tolong bantu aku saja, antar ke kamar mandi." Suaranya terdengar lir
"Karena aku men …," ujar Nathan, suaranya terputus. Rasa malu membanjiri dirinya, dua pipinya memerah padam.Silla mengamati wajah Nathan yang memerah. "Lho, Kakak demam lagi?" tanyanya, jari-jari lentiknya menyentuh dahi sang suami. Kulit Nathan memang terasa panas, namun ini bukan karena demam. "Sebentar, aku panggil dokter, ya, Kak. Tunggu—"Silla berdiri, hendak melangkah pergi, namun Nathan menahan lengannya."Tidak usah, ini bukan demam. Aku baik-baik saja.""Tapi badan Kakak panas," Silla menyentuh leher Nathan, sentuhannya membuat jantung Nathan berdebar-debar semakin kencang. Wajahnya memerah semakin dalam."Iya, tidak apa-apa. Nanti juga hilang sendiri. Duduklah lagi.""Eemmm… baiklah," Silla duduk kembali, raut wajahnya masih dipenuhi keraguan. "Jadi, alasan Kakak tidak mau cerai denganku apa?"Nathan menarik napas dalam-dalam. "Tidak ada alasan. Intinya, aku ingin terus bersamamu.""Elsa? Bagaimana dengan Elsa?" Silla mengerutkan dahi, kebingungan mencengk
"Ma ... sampai kapan Mas Nathan dan Papa nggak pulang? Sudah tiga hari, sejak kepergian Silla." Suara Elsa bergetar, khawatir menggerogoti hatinya. Bukan hanya soal kabar mereka, tapi juga hatinya sendiri yang terasa tercabik-cabik.Kepergian Nathan mencari Silla membuatnya takut jika Nathan kembali terbelenggu oleh cinta masa lalunya. Elsa tak siap, tak akan pernah rela, jika harus berbagi cinta dengan siapa pun. Cinta Nathan sepenuhnya miliknya."Sabar, Sayang. Mama terus mencoba menghubungi Papa, tapi nomornya tak aktif sejak kemarin. Kamu coba telepon Nathan lagi." Herlin tampak frustasi, jemarinya masih sibuk dengan ponselnya. Upayanya menghubungi suami tercinta tak membuahkan hasil."Semalam aku sudah mencoba, Ma. Aku minta dia pulang, tapi dia menolak," isak Elsa, air matanya mulai menetes. Penolakan Nathan bagai sebilah pisau yang menusuk hatinya.***Di tempat yang berbeda, aroma obat menyengat dihidung Nathan saat dia membuka mata. Satu jam telah berlalu sejak pertol