Lima belas menit menunggu di mobil, akhirnya Nathan melihat Silla datang dengan susah payah mendorong kopernya.
Namun, melihat penampilan Silla yang mengenakan kaos pendek serta celana kolor yang dia yakini miliknya, membuat dia terkejut sendiri."Heh! Aku baru tadi ngomong supaya kamu itu tau diri, ya! Kenapa kamu belum paham juga sampai sekarang??" geram Nathan berteriak, setelah jendela mobilnya dia buka."Maksud Kakak apa? Memangnya apa yang salah?" tanya Elsa bingung."Pakai nanya, itu yang kau pakai apa, hah?" Nathan menunjuk tubuh Silla. "Itu pakaianku, kan?""Oohh ini?" Silla mencubit kecil ujung bajunya, lalu menatap sang suami. "Maaf, Kak. Aku pinjam dulu ya, baju Kakak. Nanti sampai rumah langsung aku cuci dan balikin.""Enak saja pinjam-pinjam, nggak! Nggak boleh!" tegasnya melarang. "Sekarang lepas! Ayok lepas, Silla!" desaknya memaksa."Ya Allah Kakak, aku hanya—""LEPASS!!!" pekik Nathan dengan suara menggelegar. Dia merasa tidak ikhlas, jika pakaian yang sering dia pakai dipakai oleh Silla."Astaghfirullah, iya, iya!"Entah sudah berapa kali, jantung Silla terguncang karena kaget dengan ulah Nathan. Tapi bergegas, dia menarik baju itu hingga terlepas. Namun, sungguh terkejutnya Nathan melihat perempuan itu kini hanya memakai bra."Astaga, Silla! Apa kau gila?!" Dengan panik, Nathan langsung membuka pintu dan menarik Silla untuk masuk. Dia juga segera menaikkan jendela mobil.Nathan tak mau, jika ada orang lain melihat Silla dengan keadaan seperti itu. Karena walau segimana bencinya pun dia, Silla tetaplah istrinya. Nathan ikut malu."Apa-apaan kau ini, cepat pakai lagi bajumu. Apa kau sama sekali nggak malu? Dasar nggak punya harga diri!""Enak saja aku nggak punya harga diri. Jelas punya lah, Kak," kesal Silla, segera memakai kembali kaosnya. "Kan Kakak sendiri yang nyuruh lepas baju. Aneh.""Ya enggak diluar juga kali. Kamu ini 'kan harusnya punya otak!" Nathan langsung menyentil dahi Silla dengan gemas. Membuat perempuan itu meringis."Maaf, lagi-lagi aku salah.""Sekarang masukkan koperku tadi ke dalam bagasi, lalu ambillah bajumu. Setelah itu kau masuk dan langsung ganti baju.""Kakak mau aku pakai lingerie? Apa nggak malu? Aku nggak mau ah!" tolak Silla."Siapa juga yang ingin melihatmu pakai baju haram itu. Aku juga nggak mau!""Ya terus gimana? Masalahnya hanya baju itu yang ada dikoper, Kak. Selebihnya baju-baju Kakak.""Mana mungkin hanya baju itu, pasti ada baju yang lain!" Nathan tampak tidak percaya."Demi Allah, Kak. Kalau Kakak nggak percaya silahkan cek sendiri.""Awas saja kalau kau berani bohong! Aku akan meninggalkanmu di sini," ancam Nathan kemudian turun dari mobil."Boleh!" Silla menyahut dan tak takut.Nathan langsung membongkar koper itu, bahkan menuangkannya ke dalam bagasi belakang mobil supaya dia bisa leluasa mencari.Dan ternyata, apa yang dikatakan Silla benar. Hanya beberapa baju kurang bahan yang dia temukan, tak ada baju perempuan yang lain."Bisa-bisanya Elsa ngirim baju haram untuk Silla, padahal nggak ada pantas-pantasnya sama sekali!" gerutunya kesal. Kemudian masuk lagi ke dalam mobil."Bagaimana, ketemu Kak bajunya?" tanya Silla.Pria itu menggeleng, kemudian dengan raut cemberut dia segera mengemudikan mobil. Mau tidak mau, akhirnya pakaiannya dipinjam oleh Silla."Oh ya, nanti setelah kita sampai rumah dan Elsa bertanya tentang malam pertama kita. Kamu jawab saja bahwa kita sudah melakukannya, ya?""Kenapa begitu, Kak?" Silla tampak bingung, karena itu berarti Nathan memintanya untuk berbohong. "Bukannya itu sama saja seperti berbohong, kan kita belum ngapa-ngapain.""Udah sih nggak usah bawel. Cukup turuti saja permintaanku. Lagian, siapa juga yang mau menyentuhmu. Nggak sudi, ya!" tegas Nathan.Silla dapat merasakan sesak pada dadanya. Ternyata berbicara secara langsung terdengar jauh lebih menyakitkan dibanding berbicara dibelakang."Kok diam?" tanya Nathan, setelah beberapa saat Silla tak ada tanggapan."Aku harus jawab apa memangnya, Kak?""Ya iya kek atau apa gitu. Kan aku daritadi nungguin jawabannya. Kamu ini nggak ngerti-ngerti juga daritadi, ya! Dari dulu memang selalu membuatku kesal!" gerutu Nathan emosi, dia mendesaah dengan berat."Iya, Kak," jawab Silla, lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. 'Sabar, Silla. Ini semua untuk kebahagiaan Elsa,' batinnya mencoba tegar.**"Assalamualaikum, Sayang ...," ucap Nathan setibanya dia di rumah mewahnya dan membuka pintu.Sementara Silla di belakang ikut menyusul sambil mendorong koper mereka."Eh, Pak Nathan dan Nona Silla sudah pulang." Seorang pembantu rumah tangga datang menghampiri mereka, lalu mengambil alih koper di tangan Silla. "Selamat pagi Pak ... Nona.""Pagi juga, Bi," sahut Silla sambil tersenyum."Di mana Elsa, Bi? Apa ada di kamarnya?" Nathan terlihat senang dan tidak sabar, ingin cepat-cepat bertemu dengan istri tercintanya. Kedua kaki itu kini melangkah cepat menyusuri anak tangga, namun ucapan Bibi pembantu seketika menghentikannya."Bu Elsa belum pulang, Pak. Sejak semalam.""Belum pulang sejak semalam?!" Nathan menoleh, lalu turun dari anak tangga dengan raut heran. "Ke mana?""Saya nggak tau, Pak. Saya kira sama Bapak dan Nona Silla. Soalnya 'kan perginya bareng.""Jadi Elsa belum pulang, dari pas pergi bertiga denganku, Bu?""Iya." Bibi mengangguk cepat."Ya Allah, ke mana Elsa?" Rasa khawatir menghinggapi ruang hati Nathan. Segera dia duduk di sofa lalu menghubungi Elsa via telepon. Sementara Silla, dia langsung menuju dapur untuk mencari makanan.Perutnya terasa sangat lapar, karena sejak pagi belum sempat sarapan. Bahkan minum pun belum, karena memang Nathan membawanya pulang dengan buru-buru.Satu panggilan, dua panggilan, tiga panggilan, dan empat panggilan akhirnya berhasil diangkat. Nathan merasa sangat lega."Assalamualaikum, Sayang. Apa kamu baik-baik saja?""Walaikum salam." Suara Elsa terdengar serak seperti bangun tidur. "Aku baik-baik saja, kenapa, Mas?""Kamu ada di mana, Sayang?""Aku ada rumah. Mas bagaimana malam pertamanya dengan Silla? Apa semuanya lancar?""Yang benar aja kamu ada di rumah, tadi barusan Bibi bilang padaku kalau kamu belum pulang.""Kapan Mas telepon Bibi?""Aku nggak telepon Bibi, tapi aku pulang. Aku udah ada di rumah sekarang.""Sayang ... kamu teleponan sama siapa?" Tiba-tiba, terdengar suara pria dari sana. Dan suara itu sangat familiar ditelinga Nathan."Lho, itu 'kan suara Daddy. Kamu lagi sama Daddy, Yang?" tanyanya yang tampak bingung.Daddy yang dimaksud ini adalah ayah kandung Nathan. Dia memang memanggilnya dengan sebutan Daddy."Ooohhh iya, itu Daddy. Aku sekarang ada di rumah Daddy, Mas.""Tadi kamu bilang di rumah, sekarang di rumah Daddy. Gimana sih kamu, Yang?" Nathan semakin bingung, dia juga jadi curiga dengan apa yang terjadi sebenarnya.Apakah ada yang Elsa sembunyikan? Itulah yang ada dalam benaknya."Aku tadi bangun tidur, Mas. Jadi nyawaku belum sepenuhnya kumpul. Aku nggak ingat bahwa semalam menginap di rumah Daddy, jadi aku mengira sekarang ada di rumah," jelas Elsa, supaya tak membuat sang suami salah paham."Tapi kenapa kamu harus menginap di rumah Daddy, Yang? Dan kamu juga nggak ngomong dulu sama aku.""Semalam itu nggak niat sebenarnya, Mas. Cuma tiba-tiba Daddy telepon pas aku pulang nganterin kamu dan Silla. Dia bilang kalau aku suruh nginap aja di rumahnya, biar aku nggak kesepian. Maaf juga kalau aku lupa ngabarin, karena aku memang nggak mau ganggu waktu kalian, Mas.""Kamu ini bicara apa sih, Yang? Aku nggak suka, ya, kamu terus menerus mengatakan kata 'menganggu'! Silla itu nggak penting buatku!" tegas Nathan marah, tampak tersinggung dengan ucapan istrinya."Maaf, Mas. Kamu nggak perlu marah. Ya udah ... aku pulang sekarang, ya? Kamu udah sarapan belum? Biar nanti aku sekalian mampir ke restoran.""Aku udah sarapan, Yang. Dan biar aku aja yang jemput kamu ke rumah Daddy, ya? Tunggu sebentar.""Enggak usah, Mas! Aku bisa pulang sendiri kok!" sahut Elsa cepat. Dan entah mengapa suaranya mendadak seperti orang yang panik."Enggak apa-apa. Aku jalan sekarang.""Dih, Mas, nggak usah. Lagian aku juga mau sekalian ke bengkel. Mau ngambil mobilku yang sempat diservise semalam.""Nggak apa-apa, malah lebih bagus aku antar. Udah, ya, assalamualaikum, Sayang.""Tapi, Mas—" Ucapan Elsa seketika terputus, saat Nathan memutuskan panggilan.Pria itu bergegas keluar dari rumah, lalu masuk ke dalam mobilnya.Silla yang melihat kepergian Nathan hanya diam dan memandanginya. Tadi dia juga tak sengaja mendengar percakapan Nathan lewat telepon, yang terdengar sangat mengkhawatirkan Elsa.**Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya Nathan tiba dikediaman kedua orang tuanya. Sebuah rumah mewah bercat silver.Mobil sedan lamborghini berwarna hitam itu kini telah masuki halaman, lalu tak lama sang pemiliknya turun dari sana."Selamat pagi Pak Nathan," sapa satpam penjaga rumah yang baru saja membukakan pintu mobil untuknya."Pagi juga, Pak." Nathan tersenyum, tapi dahinya tampak mengerenyit karena tak melihat keberadaan mobil sang Daddy. "Apa Daddy udah berangkat kerja, Pak?""Pak Darwin dari semalam ...." Ucapan satpam itu seketika terputus ketika mobil Elsa memasuki halaman."Lho, Yang?" Nathan tampak bingung, melihat istrinya keluar dari sana dan langsung berlari memeluk tubuhnya."Apa Mas kangen sama aku?""Tentu saja aku kangen." Nathan dengan lembut mengusap punggung Elsa. Lalu bertanya dengan rasa penasaran yang mendalam. "Tapi kamu habis dari mana? Kok pergi dengan mobil, dan bukannya mobilmu katanya diservise di bengkel, ya?""Ya ini aku barusan habis ngambil mobilku di bengkel, Mas. Terus sengaja balik lagi ke sini karena aku khawatir kamu sudah keburu sampai di rumah Daddy," jelas Elsa dengan suara lembut, namun terdengar penuh perhatian. Nathan menatap Elsa dengan ekspresi bingung yang tak dapat disembunyikan. "Kenapa harus khawatir? Memangnya kenapa kalau aku sudah keburu ada di rumah Daddy?!" tanyanya, mencoba mencari pemahaman dari penjelasan Elsa. "Ooohh ... itu, jadi maksudnya ...." Elsa terlihat sedikit gugup, matanya berbinar-binar namun mulutnya terhenti sejenak. Setelah beberapa detik berlalu, dia akhirnya melanjutkan, "Ya aku cuma nggak mau kamu nunggu aku kelamaan, kamu 'kan pasti capek, Mas." "Capek?!" Nathan mengernyitkan dahi, mencoba memahami alasan di balik kata-kata Elsa. "Capek kenapa, coba, Yang? Masa nungguin istri sendiri capek. Lagian kamu juga, kan aku udah bilang kita bareng aja sekalian ngambil mobilmu. Jadi nggak perlu kamu sendirian 'kan nggak bolak balik." "Enggak apa-
"Ooh, ini 'kan Mas yang ngecup kemarin," jawab Elsa cepat. Dia juga mencoba menyembunyikan kegugupan yang kembali melanda. "Kemarin?! Kemarin kapan, Yang?" Nathan menatap bingung. "Kemarin malam maksudnya, Mas. Memangnya Mas nggak ingat, ya, kalau pagi sebelum menikah dengan Silla ... malamnya kita sempat bercinta?" "Oohhh iya juga, sih, Yang." Nathan mengangguk, saat teringat hal itu. "Tapi, kok dari kemarin aku nggak sadar, ya, Yang? Aku baru nyadar ya sekarang. Padahal warnanya terang begitu." "Ya mungkin karena kemarin Mas sibuk berdebat denganku tentang Silla. Jadi wajar, Mas." Elsa menjelaskan dengan santai. "Iya kali ya, Yang. Maaf deh ... kalau aku lupa, aku malah sempat berpikir yang enggak-enggak." Nathan tersenyum dengan wajah bersalah. Hampir saja dia berpikiran jauh tentang Elsa, meskipun sejujurnya dia sendiri yakin, hal seperti yang dia pikirkan itu tidak mungkin terjadi. Dia yakin Elsa adalah perempuan yang sangat set
"Aku dan Kak Nathan nggak perlu pergi bulan madu, Pa," jawab Silla sambil tersenyum, lalu menyentuh perutnya. "Insya Allah ... kalau Allah sudah berkehendak, aku bisa segera hamil." "Aminnn ... Papa akan ikut do'akan yang terbaik untukmu," sahut Haikal yang ikut menyentuh perut Silla. "Tapi, Sil, si Nathan dan Elsa ada di mana kira-kira? Kok Papa dari awal sampai nggak ngelihat mereka, ya?" tanyanya yang baru menyadari ketidak hadiran anak dan menantunya itu. "Mereka nggak ada di rumah, Pa. Tadi sih aku nggak sengaja dengar pas Kak Nathan telepon Elsa, kalau Elsa dari semalam menginap di rumah Daddy-nya Kak Nathan. Terus, Kak Nathan pergi jemput Elsa," ucap Silla menjelaskan. "Lho, ngapain si Elsa menginap di rumah mertuanya??" Haikal tampak bingung, dahinya berkerut. "Aku nggak tau, Pa." Silla menggeleng. "Mungkin karena Elsa kesepian di rumah, kasihan juga sebenarnya aku sama Elsa. Pasti dia sedih banget ditinggal Kak Nathan." "Ya itu udah resikonya, siapa suruh memintamu u
Setelah setengah jam kepergian Haikal dan asistennya, Elsa dan Nathan tiba di rumah tersebut sambil saling bergandengan tangan. "Eh, Bi, di mana Silla?" tanya Elsa, memperhatikan Bibi pembantu turun dari tangga. "Ibu sudah pulang? Selamat siang, Bu," sapa Bibi dengan sopan. "Nona Silla ada di kamarnya, sedang istirahat." "Sejak kapan aku memberikan kamar untuknya di sini??" tanya Nathan dengan nada marah dan sorot mata tajam kepada Bibi. "Maafkan Bibi, Pak. Kalau Bibi belum meminta izin sebelumnya kepada Bapak dan Ibu. Tadi Nona Silla sempat bilang ingin istirahat, jadi Bibi mengajaknya masuk ke kamar tamu," jelas Bibi dengan penuh ketakutan. "Kamar tamu di mana, Silla, Bi?" tanya Elsa. Berbeda dengan reaksi marah Nathan, Elsa tetap tenang. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan Bibi. "Pas di sebelah kamar utama, Bu. Kamar Ibu dan Pak Nathan," jawab Bibi sambil menundukkan wajahnya. "Lain kali, Bibi harus konfirmasi dulu kepadaku atau Elsa sebelum bertindak. Jang
"Enggak mungkinlah Pak Nathan marah, Nona." Bibi menggeleng tidak percaya. "Bibi saja di rumah ini, sering makan lebih dulu sebelum Pak Nathan maupun Bu Elsa. Tapi mereka nggak marah sama sekali." "Aku sama Bibi beda." "Beda apanya, Nona?" Bibi tampak mengerutkan dahinya, bingung dengan jawaban Silla. "Oohh, karena Bibi itu pembantu kali, ya?" "Bukan, Bi. Ini bukan masalah pekerjaan." Silla menggeleng, dia tak mau nantinya Bibi tersinggung karena memang maksudnya bukan itu. "Terus apa, Nona dong, Nona?" "Ya karena intinya kita beda aja, Bi. Ditambah aku juga orang baru di rumah ini," jawab Silla mencari alasan. Tidak mungkin juga dia bercerita sebenarnya, kalau Nathan membencinya. Lagian, Bibi juga tidak memiliki urusan dalam hal itu. "Udah ... mending Nona makan dulu, daripada nanti sakit perut, kena magh. Bibi bisa-bisa disalahkan." Bibi langsung mengambil piring lalu menuangkan nasi dan lauk di atas piring untuk Silla, lalu menarik kursi untuknya. "Siapa yang bakal menyalahka
"Nona ... maafin Bibi, ya?" ucap Bibi pembantu yang datang menghampiri Silla, ketika baru saja Silla menyelesaikan makan malamnya.Ekspresi wajah Bibi dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam, akibat kejadian yang menimpa Silla tadi.Dia juga tak menyangka, jika Nathan mampu memperlakukan Silla seperti itu, padahal jelas Silla adalah istrinya juga.Apalagi dia adalah istri muda, yang biasanya orang-orang selalu lebih mengutamakannya ketimbang istri tua. Namun, kenyataannya kali ini sungguh berbeda."Eh, Bi." Silla langsung menoleh, raut wajahnya tampak bingung. Dia tak memahami maksud Bibi meminta maaf. "Kenapa Bibi minta maaf? Bibi salah apa?""Gara-gara Bibi, Nona jadi dimarahi Pak Nathan. Sumpah ... Bibi nggak tau kalau akhirnya akan seperti ini, Bibi minta maaf, Nona," sesal Bibi dengan sepenuh hati, sambil menangkup kedua tangannya di bawah dagu."Ya ampun Bibi, nggak usah berlebihan begitu ah." Silla justru tertawa, dia berpikir tingkah Bibi terlalu berlebihan padanya. "Santai a
[Bicara tentang apa, ya, Kak?] Silla membalas dan selang beberapa detik pun Shaka membalasnya lagi. [Besok aku kasih tau. Nona Silla sendiri besok kerja, nggak?] [Kerja, Kak.] [Ya sudah, sampai ketemu besok. Nona segera tidur, jangan begadang. Karena itu nggak baik.] [Iya, Kak.] Balasan dari Silla mengakhiri chattingan mereka. Segera, Silla menaruh kembali ponselnya di atas nakas kemudian mulai memejamkan mata. *** Keesokan harinya. Silla sudah rapih dan bersiap untuk pergi bekerja. Dia memakai baju bebas sekarang, karena seragam pelayan biasa dipakai saat sudah berada di restoran dan siap bekerja. Langkah Silla terhenti saat memasuki ruang makan. Nathan dan Elsa sudah ada di sana, sedang sarapan bersama. Nathan terlihat rapi dan tampan dalam stelan jasnya, namun tatapannya menusuk ke arah Silla. "Selamat pagi, Kak Nathan, Elsa," sapa Silla dengan senyum di bibirnya. Meskipun sambutannya mungkin akan diabaikan oleh Nathan, Silla tetap ramah. "Selamat pagi, Silla.
Sebelumnya.... Setelah mencuci piring, Silla melangkah keluar dari restoran melalui pintu belakang, berniat untuk membuang sampah bekas sisa makanan para pengunjung. Tong sampah terletak dekat area parkiran, tidak jauh dari pintu belakang restoran. "Silla! Sil!" seru seseorang saat Silla hendak membuang kantong plastik ke dalam tong sampah. Silla menoleh dan tersenyum saat melihat bahwa yang memanggilnya adalah Rival, pemilik restoran, yang berarti bosnya.. "Pak Rival, apa ada sesuatu?" tanya Silla sopan sambil sedikit menundukkan pandangannya. "Aku punya sesuatu untukmu, Sil. Mohon di terima, ya!"ujar Rival sambil merogoh saku jas abu-abunya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin yang indah. Silla terkejut melihat cincin berlian yang cantik di dalam kotak tersebut. Meskipun terkesan, Silla merasa heran dengan tindakan tiba-tiba Rival memberikannya cincin tersebut. Rival dikenal sebagai bos yang baik oleh Silla, terutama jika dibandingkan dengan pengalaman Silla dengan bos-
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut
"Permisi, Pak Satpam. Aku ingin bertemu Pak Dayat, Kepala Sekolah. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?" Nathan bertanya dengan sopan kepada satpam yang berjaga di depan gerbang. Pak Dayat adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.Satpam mengamati Nathan dengan seksama. "Ada, Pak. Tapi, saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya. Ada keperluan apa, Pak?" Dia menatap asing pada Nathan."Aku salah satu mantan murid sekolah ini, Pak. Dan kedatanganku karena ada keperluan dengan Pak Dayat.""Oh, begitu. Baiklah, mari saya antar." Satpam itu tersenyum ramah, lalu mengarahkan Nathan menuju ruang kepala sekolah.Tok... tok... tok...Satpam mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan tiga ketukan yang teratur. "Permisi, Pak Dayat. Ada yang ingin bertemu Bapak.""Siapa?" Suara Pak Dayat terdengar dari dalam."Beliau mengaku sebagai mantan murid di sekolah ini, Pak, dan kedatangannya karena ada keperluan dengan Bapak.""Suruh masuk.""Baik, Pak." Satpam membuka pintu perlahan, mempers
"Entah mengapa... aku masih penasaran dan tidak puas dengan jawaban Elsa waktu itu. Apa aku perlu mencari tau lebih lanjut?" Silla duduk termenung di kamarnya, memikirkan masalah surat yang belum terpecahkan. Kedua tangannya terlihat gemetar memegang gelas yang berisi susu ibu hamil buatan Herlin. Kegelisahan tampak jelas terpancar dari raut wajahnya. "Buku diary itu... Apakah buku itu masih ada??" Silla tampak berpikir sejenak, lalu menenggakkan susu ibu hamil hingga habis. Dia berdiri dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas. Sebuah tekad mulai terpatri di matanya. "Mungkin saja masih ada di gudang, aku coba cari saja deh. Buat memastikan kemiripan kertas itu. Dan aku juga mau tau ... apa alasan dibalik orang yang dengan sengaja membuat aku dan Kak Nathan salah paham." Tekad bulat telah terpatri di hatinya. Silla bergegas menuju gudang yang terletak di samping dapur. Dia berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Gudang itu penuh sesak deng
"Mommy mengatakan hal itu karena Mommy merasa ada yang tidak beres dengan Daddy. Mommy yakin Daddy memiliki perempuan lain," jelas Dahlia, suaranya bergetar menahan air mata.Nathan mengerutkan dahi, ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang membuat Mommy curiga? Apakah Mommy pernah memergoki Daddy bersama perempuan lain?""Tidak memergoki, tapi Mommy pernah menemukan bekas lipstik di kemeja Daddy. Dan Mommy ingin meminta bantuanmu, Tan. Hanya kamu yang bisa membantu Mommy." Air mata Dahlia mulai menetes."Apa yang harus kulakukan, Mom?" tanya Nathan, hatinya teriris melihat kesedihan Mommy-nya."Kamu 'kan laki-laki ... pasti punya banyak kenalan. Carikan seseorang yang mau dibayar untuk membuntuti Daddy sampai menemukan bukti perselingkuhannya." Suaranya terdengar putus asa.Nathan terdiam. Bukannya dia tak mau membantu, tentu saja dia akan menjadi benteng terdepan untuk melindungi Mommy yang terluka. Namun, bukankah lebih baik Mommy berbicara langsung kepada D