[Bicara tentang apa, ya, Kak?] Silla membalas dan selang beberapa detik pun Shaka membalasnya lagi. [Besok aku kasih tau. Nona Silla sendiri besok kerja, nggak?] [Kerja, Kak.] [Ya sudah, sampai ketemu besok. Nona segera tidur, jangan begadang. Karena itu nggak baik.] [Iya, Kak.] Balasan dari Silla mengakhiri chattingan mereka. Segera, Silla menaruh kembali ponselnya di atas nakas kemudian mulai memejamkan mata. *** Keesokan harinya. Silla sudah rapih dan bersiap untuk pergi bekerja. Dia memakai baju bebas sekarang, karena seragam pelayan biasa dipakai saat sudah berada di restoran dan siap bekerja. Langkah Silla terhenti saat memasuki ruang makan. Nathan dan Elsa sudah ada di sana, sedang sarapan bersama. Nathan terlihat rapi dan tampan dalam stelan jasnya, namun tatapannya menusuk ke arah Silla. "Selamat pagi, Kak Nathan, Elsa," sapa Silla dengan senyum di bibirnya. Meskipun sambutannya mungkin akan diabaikan oleh Nathan, Silla tetap ramah. "Selamat pagi, Silla.
Sebelumnya.... Setelah mencuci piring, Silla melangkah keluar dari restoran melalui pintu belakang, berniat untuk membuang sampah bekas sisa makanan para pengunjung. Tong sampah terletak dekat area parkiran, tidak jauh dari pintu belakang restoran. "Silla! Sil!" seru seseorang saat Silla hendak membuang kantong plastik ke dalam tong sampah. Silla menoleh dan tersenyum saat melihat bahwa yang memanggilnya adalah Rival, pemilik restoran, yang berarti bosnya.. "Pak Rival, apa ada sesuatu?" tanya Silla sopan sambil sedikit menundukkan pandangannya. "Aku punya sesuatu untukmu, Sil. Mohon di terima, ya!"ujar Rival sambil merogoh saku jas abu-abunya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin yang indah. Silla terkejut melihat cincin berlian yang cantik di dalam kotak tersebut. Meskipun terkesan, Silla merasa heran dengan tindakan tiba-tiba Rival memberikannya cincin tersebut. Rival dikenal sebagai bos yang baik oleh Silla, terutama jika dibandingkan dengan pengalaman Silla dengan bos-
"Dia suami sahabatku, Pak," jawab Silla dengan cepat, suaranya penuh keyakinan. "Dia orang baik, bukan maling."'Cih ... apa yang dia katakan? Pasti si Silla sengaja, mengatakan aku suami sahabatnya karena di depan si Rival-Rival ini,' batin Nathan dengan perasaan sebal. Kendati demikian, Silla sebenarnya tak salah di sini, karena memang benar Nathan adalah suami sahabatnya juga."Aahh terserah. Mau dia suami sahabatmu kek, suamimu kek, aku nggak peduli!! Intinya dia harus dibawa ke kantor polisi!!" tegas pria berkepala plontos yang seolah memaksa, tetap kekeh ingin membawa Nathan pergi.Rival segera ikut campur untuk membela Nathan. "Tunggu sebentar, Pak!" kata Rival sambil menghalangi pria berkepala plontos untuk menutup pintu mobil. Rival ingin membantu Nathan, terutama setelah mengetahui bahwa Silla mengenalnya. "Bagaimana jika kita memeriksa rekaman CCTV terlebih dahulu, Pak. Dengan begitu, kita bisa memastikan apakah benar atau tidak bahwa dia adalah maling. Beruntungnya, ada CC
"Aku kurang tau, Kak." Silla menggeleng bingung dan mencoba untuk menebak-nebak. "Apa mungkin sama Kak Nathan kali, ya? Atau sama Papa Haikal.""Pak Haikal kebetulan lembur, Nona, dia masih ada di kantor.""Oohh berarti sama Kak Nathan kali," sahut Silla lalu menoleh ke arah Shaka. "Oh ya, Kak. Pas dichat semalam katanya Kakak mau bicara. Bicara apa kira-kira?""Kita bicara di cafe saja, ya, Nona. Sekalian ngopi. Biar enak.""Oke." Silla mengangguk setuju.**Di sebuah cafe yang dikenal dengan kehangatan dan aroma kopi yang menggoda, Shaka dan Silla duduk bersama di meja kecil. Suasana seakan terhenti sejenak ketika Shaka memesan secangkir kopi hitam untuknya dan sepiring cappuccino untuk Silla.Dengan tatapan penuh kekhawatiran, Shaka memulai percakapan yang penuh makna, "Maaf, Nona, jika pertanyaanku mengarah ke arah pribadi. Tapi sebagai seorang pria yang selama ini mencintai Nona, rasanya aku benar-benar nggak percaya dengan tindakan yang Nona lakukan," kata Shaka yang memulai ob
"Aku ingin kamu menyiapkan air hangat untuk mandi," pinta Nathan dengan lembut, suaranya penuh harap."Air hangat?!" Silla terlihat sedikit bingung dengan permintaan Nathan, namun dengan penuh kehati-hatian dia mencoba untuk memahaminya. "Maksudnya, Kakak ingin berendam di dalam bathtub yang aku isi dengan air hangat?""Iya, masa begitu saja kamu nggak mengerti? Ayoklah," ajak Nathan, lalu melangkah lebih dulu menaiki anak tangga.Silla dengan langkah ragu menyusulnya dari belakang, hatinya dipenuhi keraguan saat Nathan membuka pintu kamarnya dengan lembut."Kenapa diam? Bukannya masuk." Nathan menyadari bahwa sang istri sejak tadi diam mematung di depan pintu. Padahal, dia sendiri sudah lebih dulu memasuki kamar."Aku nggak enak buat masuknya, Kak. Ini 'kan kamar Kakak sama Elsa." Silla menatap sekeliling kamar dengan raut bingung, ragu antara masuk atau tidak. Terutama karena Elsa tidak ada di rumah, Silla tidak ingin terjadi kesalahpahaman yang tidak diinginkan."Kenapa memangnya?"
"Oohh ini ... aku habis jatuh tadi, Sa, kepleset," jawab Silla yang terpaksa berbohong. Dia hanya tidak ingin nantinya Elsa berpikir yang tidak-tidak tentangnya terhadap Nathan.Elsa terlihat terkejut dan khawatir mendengar penjelasan Silla. Dia ikut menyentuh bokong Silla, mengekspresikan rasa simpati dan kekhawatirannya."Kok bisa, kamu kepleset?!" tanya Elsa, sambil tetap memperhatikan reaksi Silla dengan seksama. Kemudian, Elsa kembali bertanya dengan nada yang penuh curiga, "Tapi, ngapain kamu dari kamar Mas Nathan dan aku, Sil? Apa ada Mas Nathan juga, di dalam kamar?"Silla merasa tegang, namun dia mencoba menjelaskan dengan cepat, "Ada Kak Nathan di dalam. Tapi kamu jangan berpikir yang enggak-enggak, Sa." Silla menyilangkan kedua tangannya dengan cepat, berusaha menenangkan situasi yang semakin rumit. "Aku tadi masuk ke kamarmu karena diminta Kak Nathan untuk mengisi air pada bathub, katanya dia mau berendam."Elsa mulai meraba-raba, "Jadi kamu sekalian lihatin Mas Nathan ber
Cukup lama Nathan memandangi layar ponsel, menunggu balasan dari Darwin.Waktu terasa berjalan lambat, seperti detik-detik yang tak kunjung berlalu.Sampai akhirnya Elsa selesai mandi dan keluar dari kamar mandi melangkah menghampirinya. Langkahnya terdengar lembut di lantai keramik yang masih sedikit basah dari uap air mandi Elsa."Mas lagi ngapain? Kok lihatin hapeku terus?" tanyanya heran seraya meraih ponselnya, lalu terkejut saat melihat sebuah chat dari Darwin dan balasannya. Matanya membulat kaget, seolah menemukan sesuatu yang tak terduga. "Lho ... kok Mas tiba-tiba bales chatnya Daddy? Ini chat kapan?""Chat tadi. Iya maafin aku, Yang. Aku membalasnya karena penasaran aja," jawab Nathan dengan suara lembut yang penuh penyesalan, mencoba menjelaskan tanpa menyakiti perasaan Elsa."Penasaran gimana? Dan harusnya Mas izin dulu dong sama aku. Lagian hapeku 'kan tadinya ada di tas, kenapa main dikeluarin gitu aja?" Elsa terlihat kesal, segera dia mencabut charger ponsel meski bate
Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka perlahan. Silla muncul dengan langkah lemas, matanya masih terasa berat karena kantuk yang belum hilang."Ada apa, Kak? Kok malam-malam Kakak ke kamar—" Ucapan Silla terhenti tiba-tiba, saat Nathan menerobos masuk dan segera menutup pintu."Kamu jangan ge'er dulu, aku datang ke sini karena ingin bicara empat mata. Bukan hal lain!" Nathan menegaskan dengan ekspresi wajah serius, khawatir Silla salah mengartikan kedatangannya."Bicara empat mata tentang apa, Kak?" Silla mendekati Nathan yang kini sudah duduk di sofa pojok ruangan."Aku ingin kita secepatnya bercerai.""Bercerai?!" Silla terlihat sedikit terkejut, tapi lebih dominan bingung. "Tapi aku 'kan belum hamil dan melahirkan, Kak.""Kamu nggak perlu hamil apalagi sampai melahirkan. Aku sama sekali nggak butuh seorang anak, apalagi yang keluar dari rahimmu!" tegas Nathan dengan emosi yang sulit ditutupi. Sorot matanya terlihat tajam menatap ke arah Silla. "Nggak butuh! Lagian, aku juga me
Beberapa menit setelah kepergian Haikal dan Herlin, keheningan menyelimuti ruangan. Silla mengamati Nathan dengan seksama. Kegelisahan yang disembunyikannya tampak jelas bagi Silla, terlihat dari raut wajahnya yang tegang dan tangannya yang sesekali mengepal. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Nathan. "Kakak kenapa? Dari tadi aku perhatikan... Kakak seperti gelisah. Ada masalah?" tanya Silla dengan lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia meraih tangan Nathan, sentuhannya lembut namun penuh perhatian. Nathan menggeleng cepat, namun gerakannya terlihat kaku dan terburu-buru. Dia mencoba untuk menutupi kegelisahannya, tak ingin membuat Silla sedih dan khawatir. Perempuan itu terlihat sangat lelah setelah melahirkan. "Tidak kok," jawabnya, suaranya sedikit serak. "Sekarang kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek. Atau... kamu lapar? Sebelum melahirkan kamu 'kan belum sempat makan siang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kegelisahannya masih terlihat jelas.
"Tapi, Pa—" "Papa baik-baik saja, Ma," potong Haikal meyakinkan. Nathan menghela napas panjang, berat. "Alasannya, aku sendiri belum tau, Ma, Pa. Tapi tentang Elsa... dia sekarang di Bandung, bersama Daddy." Mata Herlin membulat tak percaya. "Bandung? Tadi pagi bukannya di berita, ada gempa di sana, kan?" Suaranya bergetar, khawatir. "Iya, Ma. Benar." Nathan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu, bagaimana keadaan Elsa? Dia tidak apa-apa, kan?" Herlin tampak sangat cemas. "Elsa—" Nathan terhenti. Suara tangis bayi memenuhi ruangan, tangis yang begitu nyaring, menandakan awal kehidupan yang baru. "Ooeee ... Ooeee ... Ooee ...." "Alhamdulillah... Itu anakku, Pa, Ma. Dia sudah lahir," bisik Nathan, suaranya bergetar menahan haru. Dia langsung sujud syukur, air matanya mengalir deras. "Alhamdulillah ya, Allah." Herlin dan Haikal berucap bersama, air mata mereka juga menetes. Seorang dokter wanita dengan seragam operasi keluar. "Selamat, Pak Nathan. Anda telah menjadi ayah
"Sudah apa?" "Daddy-mu sudah meninggal, Tan." Suara Dahlia makin terisak. "Dan pihak polisi meminta tanda tangan Mommy, supaya mereka bisa mengantarkan jenazah Daddy pulang ke Jakarta." "A-apa?! M-meninggal?!" Mata Nathan melebar sempurna. Jantungnya berdebar-debar hebat, tubuhnya menegang kaku. Meskipun kebencian masih membara di hatinya, air mata tak terbendung. Dia menangis pilu, meratapi kepergian ayahnya yang begitu mendadak. "Oh ya, dan satu lagi. Katanya korban perempuan yang ada di sana adalah Elsa, Tan." "Elsa??" Suara Nathan terdengar serak. "Iya." "Elsa sendiri, bagaimana? Apakah dia—" Pertanyaan itu terhenti, digantikan oleh firasat buruk yang semakin kuat. "Elsa juga meninggal. Dia ikut tertimpa reruntuhan bangunan." "APA??" * * *
'Maafkan Daddy, Sayang. Untuk hal ini... Daddy tidak bisa mengabulkan permintaanmu.Bukan apa-apa. Jika itu terjadi, dan Silla meninggal, Daddy bisa di penjara, dan kamu... kamu akan kembali bersama Nathan. Itulah yang Daddy takutkan.'Darwin tersenyum getir, lalu mereka duduk di sofa untuk melaksanakan ijab kabul. Karena Darwin ingin segera menikahi Elsa, pernikahan mereka pun dilakukan secara siri."Saya terima nikah dan kawinnya, Elsa Alfian binti Haikal Alfian, dengan mas kawin ...."Ijab kabul itu diucapkan, menggema khidmat di ruangan. Para saksi yang hadir langsung bersorak gembira."Sah!! Sah!!"Mereka resmi menjadi suami istri.Tiba-tiba, goncangan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Bumi bergetar hebat, seakan-akan hendak retak."Dad!! Ada apa ini?? Kenapa semuanya berguncang?" jerit Elsa, panik dan ketakutan. Darwin segera berdiri, meraih tangan Elsa erat, berusaha membawanya keluar."Se
Beberapa bulan kemudian...Tok! Tok! Tok!!Bunyi ketukan palu hakim memecah kesunyian ruang sidang, menandai berakhirnya babak panjang dalam hidup Nathan.Perceraiannya dengan Elsa telah resmi diputuskan. Ironisnya, dari sidang pertama hingga putusan akhir, Elsa tak pernah hadir. Begitu pula Darwin, yang seolah menghilang ditelan bumi. Ketiadaan mereka seakan menjadi saksi bisu atas berakhirnya sebuah ikatan."Kak ... ke mana ya, Elsa? Sejak awal hingga akhir sidang, dia tak pernah datang. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Silla, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia setia menemani Nathan, meski memilih menunggu di mobil sesuai permintaan suaminya.Nathan menghela napas panjang. "Aku tak tau, Sayang. Papa dan Mama sudah mencoba menghubunginya, tapi... sudahlah. Biarkan saja. Yang terpenting, aku dan Elsa sudah resmi bercerai."Silla mengangguk pelan. "Iya, Kak.""Baiklah... sekarang kita makan, ya? Setelah itu, kit
"Alhamdulillah... akhirnya Papa sudah bangun."Herlin tersenyum haru, melihat sang suami baru saja siuman. Haikal menatapnya dengan tersenyum tipis, manik matanya berkeliling menatap sekitar."Bagaimana keadaan Papa sekarang? Apa yang Papa rasakan? Apa dada Papa masih sakit?" Masih dengan raut kecemasan, Herlin menyentuh lembut dada suaminya."Enggak. Papa baik-baik saja." Haikal menjawab dengan lirih, menggeleng pelan. "Silla dan Nathan ke mana, Ma? Dan Papa sakit apa?""Mereka ada di sana, Pa." Herlin menunjuk ke arah lantai, dekat ranjang. Di sana ada Silla dan Nathan yang tengah tertidur dengan balutan satu selimut beralaskan kasur lantai. "Dan Papa sempat kena serangan jantung kata Dokter. Tapi sekarang Papa pasti akan segera sembuh, Papa jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu, ya?"Mata Haikal berkaca, linangan air matanya perlahan membasahi pipi. "Bagaimana Papa tidak memikirkannya, sementara Elsa selalu membuat ulah. Masalah dengan Silla saja belum selesai, sekarang ada l
"Tentu saja, Sayang. Daddy tidak berbohong," bisik Darwin, senyumnya manis namun terasa hampa bagi Elsa. "Karena itu, lepaskan Nathan. Daddy jauh lebih baik darinya, Sayang." Kalimat Darwin terasa seperti sebilah pisau yang menusuk hati Elsa. Dilema menghimpitnya. Benar, kepercayaan Nathan telah hilang, hubungannya dengan Silla semakin erat, apalagi Silla kini mengandung. Nathan pasti lebih memihak Silla. Tapi… merelakan Nathan? Mustahil. Hati Elsa menolak. Air mata mengancam membasahi pipinya. 'Kenapa… kenapa lagi-lagi aku yang sial? Silla selalu bahagia. Ketidakadilan ini… aku tak sanggup!' Rasa iri dan sakit hati membakar jiwanya. Darwin menunggu, sabar namun penuh tekanan. "Bagaimana? Apa kau setuju?" tanyanya akhirnya. Elsa menarik napas panjang, dadanya sesak. "Baiklah .…" suaranya tercekat. "Aku akan bersama Daddy. Tapi… aku minta satu hal." "Apa itu, Sayang? Katakan." Keheningan mencekam. Tangan Elsa mengepal erat, urat-uratnya menegang. "Aku ingin… Daddy melenyapkan Si
"Keterlaluan sekali Elsa!!" Dia berdiri, tubuhnya menegang, urat-urat di tangannya menegang, mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Bukan hanya amarah, tetapi juga rasa sakit, kecewa, dan hancur yang terpancar dari sorot matanya. "Bagaimana bisa dia melakukan tindakan sebodoh ini? Dan untuk apa dia berselingkuh??" Suaranya bergetar, diselingi napas yang tersengal-sengal, menunjukkan betapa hancurnya hatinya.Herlin, dengan raut wajah yang dipenuhi kekhawatiran, bertanya, "Dengan siapa, Elsa berselingkuh, Tan?" Suaranya terdengar ragu, seperti meraba-raba kebenaran yang menyakitkan."Daddy," jawab Nathan lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun mampu menembus keheningan yang mencekam. Kata itu, "Daddy", menimbulkan bayangan gelap yang mengerikan.Herlin mengerutkan dahi, kebingungan. "Daddy? Daddy siapa?""Daddy Darwin, Ma. Daddy-ku." Jawaban Nathan itu bagai bom yang meledak di tengah ruangan."APA?!" Haikal menjerit, suaranya penuh keputusasaan.
"Daddy minta maaf, atas semua yang Daddy lakukan padamu dan Mommy. Daddy tahu itu salah dan sangat menyakitkan. Tapi Daddy mohon... Jangan hukum Elsa.""Hukum??" Nathan menatap bingung. Ucapan Darwin membuatnya terhenyak, amarah mulai membuncah. "Apa maksudmu—""Daddy tau, kamu pasti akan bercerai dengan Elsa. Begitu juga dengan apa yang Mommy lakukan. Tapi ... jangan ceritakan alasan sebenarnya kepada orang tua Elsa, tentang perselingkuhan Daddy dan dia.""Kenapa?" Nathan mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang."Karena orang tua Elsa pasti akan sangat marah dan kecewa. Elsa sudah cukup menderita, harus berbagi kasih sayang orang tuanya dengan Silla. Jangan sampai karena ini, kasih sayang yang baru dia dapatkan sepenuhnya, akan hilang seketika."Nathan terkekeh getir, menggelengkan kepala. "Apa Daddy pikir, aku sendiri tidak menderita saat tahu kalian bermain api? Bagaimana dengan Mommy? Kenapa yang Daddy pikirkan hanya Elsa, sementara Daddy tak memikirkan betapa hancu