"Oohh ini ... aku habis jatuh tadi, Sa, kepleset," jawab Silla yang terpaksa berbohong. Dia hanya tidak ingin nantinya Elsa berpikir yang tidak-tidak tentangnya terhadap Nathan.Elsa terlihat terkejut dan khawatir mendengar penjelasan Silla. Dia ikut menyentuh bokong Silla, mengekspresikan rasa simpati dan kekhawatirannya."Kok bisa, kamu kepleset?!" tanya Elsa, sambil tetap memperhatikan reaksi Silla dengan seksama. Kemudian, Elsa kembali bertanya dengan nada yang penuh curiga, "Tapi, ngapain kamu dari kamar Mas Nathan dan aku, Sil? Apa ada Mas Nathan juga, di dalam kamar?"Silla merasa tegang, namun dia mencoba menjelaskan dengan cepat, "Ada Kak Nathan di dalam. Tapi kamu jangan berpikir yang enggak-enggak, Sa." Silla menyilangkan kedua tangannya dengan cepat, berusaha menenangkan situasi yang semakin rumit. "Aku tadi masuk ke kamarmu karena diminta Kak Nathan untuk mengisi air pada bathub, katanya dia mau berendam."Elsa mulai meraba-raba, "Jadi kamu sekalian lihatin Mas Nathan ber
Cukup lama Nathan memandangi layar ponsel, menunggu balasan dari Darwin.Waktu terasa berjalan lambat, seperti detik-detik yang tak kunjung berlalu.Sampai akhirnya Elsa selesai mandi dan keluar dari kamar mandi melangkah menghampirinya. Langkahnya terdengar lembut di lantai keramik yang masih sedikit basah dari uap air mandi Elsa."Mas lagi ngapain? Kok lihatin hapeku terus?" tanyanya heran seraya meraih ponselnya, lalu terkejut saat melihat sebuah chat dari Darwin dan balasannya. Matanya membulat kaget, seolah menemukan sesuatu yang tak terduga. "Lho ... kok Mas tiba-tiba bales chatnya Daddy? Ini chat kapan?""Chat tadi. Iya maafin aku, Yang. Aku membalasnya karena penasaran aja," jawab Nathan dengan suara lembut yang penuh penyesalan, mencoba menjelaskan tanpa menyakiti perasaan Elsa."Penasaran gimana? Dan harusnya Mas izin dulu dong sama aku. Lagian hapeku 'kan tadinya ada di tas, kenapa main dikeluarin gitu aja?" Elsa terlihat kesal, segera dia mencabut charger ponsel meski bate
Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka perlahan. Silla muncul dengan langkah lemas, matanya masih terasa berat karena kantuk yang belum hilang."Ada apa, Kak? Kok malam-malam Kakak ke kamar—" Ucapan Silla terhenti tiba-tiba, saat Nathan menerobos masuk dan segera menutup pintu."Kamu jangan ge'er dulu, aku datang ke sini karena ingin bicara empat mata. Bukan hal lain!" Nathan menegaskan dengan ekspresi wajah serius, khawatir Silla salah mengartikan kedatangannya."Bicara empat mata tentang apa, Kak?" Silla mendekati Nathan yang kini sudah duduk di sofa pojok ruangan."Aku ingin kita secepatnya bercerai.""Bercerai?!" Silla terlihat sedikit terkejut, tapi lebih dominan bingung. "Tapi aku 'kan belum hamil dan melahirkan, Kak.""Kamu nggak perlu hamil apalagi sampai melahirkan. Aku sama sekali nggak butuh seorang anak, apalagi yang keluar dari rahimmu!" tegas Nathan dengan emosi yang sulit ditutupi. Sorot matanya terlihat tajam menatap ke arah Silla. "Nggak butuh! Lagian, aku juga me
Setelah memilih unit apartemen yang sesuai dari segi lokasi dan harga, Silla dengan tegas memberikan uang muka sebagai tanda jadi dan menandatangani kwitansi yang diserahkan oleh pemilik apartemen."Terima kasih, Nona. Saya akan segera mengurus surat kepemilikan agar selesai dengan cepat," ucap pria tersebut sambil berdiri."Iya, Pak." Silla mengangguk sambil tersenyum. "Kalau begitu saya pamit ya, Pak. Selamat—""Tunggu sebentar," potong pria itu dengan cepat, lalu mengambil sebuah kunci akses dari atas meja dan memberikannya kepada Silla. "Jangan lupa dengan kunci ini, Nona. Anda akan kesulitan masuk jika lupa membawanya," tambahnya sambil tersenyum."Oh iya, Pak. Terima kasih sudah mengingatkan." Silla segera mengambil kunci tersebut sambil tersenyum, kemudian meninggalkan ruangan dan bertemu kembali dengan Abang Ojol yang menunggu di luar."Tujuan kita selanjutnya ke mana, Nona?" tanya Abang Ojol ketika Silla baru saja duduk membonceng di belakang."Restoran, Bang. Sebentar ... ak
"Benerlah, Mas. Kan kemarin aku bilang kalau toko bunga lagi ramai," jawab Elsa dengan penuh keyakinan."Oohh gitu. Baiklah." Nathan mengangguk paham. Mungkin benar, Yasir hanya salah melihat dan dia sendiri seratus persen lebih percaya dengan ucapan Elsa, ketimbang orang lain."Kenapa memangnya, Mas? Mas nggak percaya, sama aku?" tanya Elsa penasaran."Percaya kok, Sayang," sahut Nathan dengan lembut. "Cuma tadi pas di kantor, selesai rapat dengan Yasir ... Yasir sempat ngomong, katanya dia ketemu kamu di hotel."Wajah Elsa langsung berubah pucat, tapi segera dia mengulas senyum sembari meraih kedua pipi Nathan dengan lembut. "Mas sendiri... lebih percaya aku apa Yasir?""Ya kamulah, Yang," jawab Nathan cepat. "Aku yakin kamu nggak mungkin berbohong. Mungkin ... Yasir hanya salah lihat.""Nahhh ... itu Mas tau sendiri jawabannya. Ya udah, sana berangkat. Nanti telat." Elsa berjinjit, lalu mengecup lembut bibir suaminya."Iya, Sayang."Mereka pun keluar bersama dari kamar, Elsa mengan
"Hanya sampai jam makan siang, Pak.""Jam makan siang?!" Mata Nathan seketika membulat sempurna. "Maksudmu, dia pergi dari toko pas jam makan siang?""Benar, Pak.""Sama siapa?""Sendiri.""Habis itu, apakah dia balik lagi? Ke toko bunga?""Enggak, Pak."'Jadi Elsa berbohong??' batin Nathan, merasa tercengang saat mengetahui apa yang baru saja didengarnya. 'Tapi kenapa dia berbohong? Dan kenapa juga Elsa ke hotel? Mau apa dan siapa pria yang bersamanya?'Rasa panas tiba-tiba menyambar dadanya, sebuah api cemburu dan kemarahan melintas dalam pikirannya."Maaf, tapi kenapa ya, Pak? Apa ada masalah?" tanya Nuri yang masih berada dalam sambungan telepon."Enggak kok, aku cuma tanya. Dan oh ya ... satu lagi.""Apa itu, Pak?""Apakah toko bunga hari ini sangat ramai?""Enggak, Pak. Justru sepi, hanya ada tiga pembeli."'Tiga pembeli??' Mata Nathan kembali membola. 'Elsa, kamu benar-benar tega. Kenapa kamu berbohong mengatakan ramai, tapi pada kenyataannya hanya ada tiga pembeli?? Apa maksud
"Kakak... aku—" Silla belum sempat menyelesaikan kalimatnya, bibir Nathan sudah menempel di bibirnya. Ciuman yang tiba-tiba dan tak terduga membuat Silla terkejut. Aroma alkohol yang kuat dari napas Nathan membuatnya sesak, tapi Nathan tak memberi kesempatan untuk menolak. Pria itu memeluk pinggang Silla, tubuhnya terasa panas dan kuat. Dia menggulingkan tubuh Silla, sehingga kini Nathan yang berada di atas. Silla berusaha mendorong dada Nathan, ingin melepaskan diri dari dekapannya. Namun, usahanya sia-sia. Kekuatan Nathan jauh lebih besar. Dia terjebak dalam pelukannya. "Kakak, kenapa—" "Sshh... jangan bergerak," bisik Nathan, suaranya serak dan menggoda. Sentuhannya semakin berani, menelusuri leher Silla dengan jemari yang kasar. Silla terdiam, matanya terpejam, merasakan sentuhan Nathan yang semakin dalam. 'Apa yang Kak Nathan lakukan? Kenapa dia melakukan ini semua?' batin Silla bingung. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk dalam dirinya. Tubuhnya semakin lama
Keesokan harinya, Nathan perlahan membuka mata, kepalanya terasa berat."Aduhh ... sakit sekali," lirihnya. Pandangannya jatuh pada Silla yang tertidur di sampingnya. Wajahnya tampak lelah, namun saat Nathan melihat lebih dekat, jantungnya berdebar kencang. "Ya Allah, apa yang terjadi? Kenapa aku dan Silla..." Nathan terkesiap, apalagi saat menyadari mereka berdua berada di bawah satu selimut, tanpa busana.Silla mengerang pelan, matanya perlahan terbuka dan bertemu dengan tatapan panik Nathan. "Hmm... Kakak kena—""Kenapa kamu ada di kamarku?¡" tanya Nathan, suaranya sedikit meninggi. Dia buru-buru bangkit dari tempat tidur, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai.Nathan merasa malu dan canggung. Dia memakai salah satu kain untuk menutupi tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Silla masih terdiam di tempat tidur, matanya menatap Nathan dengan ekspresi bingung."Ada apa dengan Kak Nathan? Kenapa dia pergi ke kamar mandi? Dan tadi, dia juga kenapa bertanya aku ada di kama
"Ma ... sampai kapan Mas Nathan dan Papa nggak pulang? Sudah tiga hari, sejak kepergian Silla." Suara Elsa bergetar, khawatir menggerogoti hatinya. Bukan hanya soal kabar mereka, tapi juga hatinya sendiri yang terasa tercabik-cabik.Kepergian Nathan mencari Silla membuatnya takut jika Nathan kembali terbelenggu oleh cinta masa lalunya. Elsa tak siap, tak akan pernah rela, jika harus berbagi cinta dengan siapa pun. Cinta Nathan sepenuhnya miliknya."Sabar, Sayang. Mama terus mencoba menghubungi Papa, tapi nomornya tak aktif sejak kemarin. Kamu coba telepon Nathan lagi." Herlin tampak frustasi, jemarinya masih sibuk dengan ponselnya. Upayanya menghubungi suami tercinta tak membuahkan hasil."Semalam aku sudah mencoba, Ma. Aku minta dia pulang, tapi dia menolak," isak Elsa, air matanya mulai menetes. Penolakan Nathan bagai sebilah pisau yang menusuk hatinya.***Di tempat yang berbeda, aroma obat menyengat dihidung Nathan saat dia membuka mata. Satu jam telah berlalu sejak pertol
"Kamu pulang saja, Tan. Elsa pasti sudah menunggumu." Suara Haikal lembut namun tegas, tersirat kekhawatiran di baliknya. Hari telah larut, dan kelelahan jelas terpancar dari wajah Nathan. Dia butuh istirahat.Nathan mengangguk, namun pandangannya masih tertuju pada Shaka. "Aku akan pulang bersama Silla, Pa. Tapi..." Nada suaranya berubah, dingin dan penuh tekanan. Tatapannya tajam, menusuk, seperti dua bilah pisau yang siap menghunus. "Sebaiknya dia saja yang pulang!"Haikal menghela napas. Dia memahami alasan di balik permintaan Nathan, tapi tetap saja, permintaan itu terasa menyakitkan bagi Shaka. Dia ingin menghindari perselisihan lebih lanjut antara kedua pemuda itu, perselisihan yang selalu berujung pada luka yang tak kunjung sembuh. "Baiklah, Shaka. Istirahatlah. Aku dan Nathan akan melanjutkan pencarian Silla."Shaka mengangguk patuh, walau raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang tertahan. "Baik, Pak. Jika Bapak membutuhkan sesuatu, hubungi saja saya.""Iya," jawab Haikal s
"Selingkuh?! Aku tidak berselingkuh, Kak!" bantah Silla, seraya mengusap wajahnya yang basah.Bugh!Sebuah pukulan telak mendarat di pipi Shaka. Tubuhnya terhuyung ke belakang, melepaskan pelukannya dari Silla. Pelukan yang kini terasa begitu memalukan dan salah arti.Nathan tak berhenti. Satu demi satu pukulannya menghujani Shaka. Amarah membutakan matanya, rasa sakit hati menggerogoti jiwanya. Dia merasa dikhianati, dilukai hingga ke ulu hati."Pak! Berhenti, Pak!" Satpam berusaha melerai, namun amarah Nathan bagai api yang sulit dipadamkan. Tak lama kemudian, Haikal datang, bergegas turun dari mobilnya. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran."Astaghfirullah... Nathan, kenapa ini? Kenapa memukuli Shaka?" tanya Haikal, suaranya bercampur antara bingung dan marah. Dia menghampiri Shaka, membantu pria itu berdiri dari posisi terduduk di tanah yang dingin."Silla... Silla berselingkuh dengan Shaka, Pa! Dia pergi dari rumah karena ingin berselingkuh dengan Shaka!!" teriak Nathan.
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut