"Hanya sampai jam makan siang, Pak.""Jam makan siang?!" Mata Nathan seketika membulat sempurna. "Maksudmu, dia pergi dari toko pas jam makan siang?""Benar, Pak.""Sama siapa?""Sendiri.""Habis itu, apakah dia balik lagi? Ke toko bunga?""Enggak, Pak."'Jadi Elsa berbohong??' batin Nathan, merasa tercengang saat mengetahui apa yang baru saja didengarnya. 'Tapi kenapa dia berbohong? Dan kenapa juga Elsa ke hotel? Mau apa dan siapa pria yang bersamanya?'Rasa panas tiba-tiba menyambar dadanya, sebuah api cemburu dan kemarahan melintas dalam pikirannya."Maaf, tapi kenapa ya, Pak? Apa ada masalah?" tanya Nuri yang masih berada dalam sambungan telepon."Enggak kok, aku cuma tanya. Dan oh ya ... satu lagi.""Apa itu, Pak?""Apakah toko bunga hari ini sangat ramai?""Enggak, Pak. Justru sepi, hanya ada tiga pembeli."'Tiga pembeli??' Mata Nathan kembali membola. 'Elsa, kamu benar-benar tega. Kenapa kamu berbohong mengatakan ramai, tapi pada kenyataannya hanya ada tiga pembeli?? Apa maksud
"Kakak... aku—" Silla belum sempat menyelesaikan kalimatnya, bibir Nathan sudah menempel di bibirnya. Ciuman yang tiba-tiba dan tak terduga membuat Silla terkejut. Aroma alkohol yang kuat dari napas Nathan membuatnya sesak, tapi Nathan tak memberi kesempatan untuk menolak. Pria itu memeluk pinggang Silla, tubuhnya terasa panas dan kuat. Dia menggulingkan tubuh Silla, sehingga kini Nathan yang berada di atas. Silla berusaha mendorong dada Nathan, ingin melepaskan diri dari dekapannya. Namun, usahanya sia-sia. Kekuatan Nathan jauh lebih besar. Dia terjebak dalam pelukannya. "Kakak, kenapa—" "Sshh... jangan bergerak," bisik Nathan, suaranya serak dan menggoda. Sentuhannya semakin berani, menelusuri leher Silla dengan jemari yang kasar. Silla terdiam, matanya terpejam, merasakan sentuhan Nathan yang semakin dalam. 'Apa yang Kak Nathan lakukan? Kenapa dia melakukan ini semua?' batin Silla bingung. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk dalam dirinya. Tubuhnya semakin lama
Keesokan harinya, Nathan perlahan membuka mata, kepalanya terasa berat."Aduhh ... sakit sekali," lirihnya. Pandangannya jatuh pada Silla yang tertidur di sampingnya. Wajahnya tampak lelah, namun saat Nathan melihat lebih dekat, jantungnya berdebar kencang. "Ya Allah, apa yang terjadi? Kenapa aku dan Silla..." Nathan terkesiap, apalagi saat menyadari mereka berdua berada di bawah satu selimut, tanpa busana.Silla mengerang pelan, matanya perlahan terbuka dan bertemu dengan tatapan panik Nathan. "Hmm... Kakak kena—""Kenapa kamu ada di kamarku?¡" tanya Nathan, suaranya sedikit meninggi. Dia buru-buru bangkit dari tempat tidur, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai.Nathan merasa malu dan canggung. Dia memakai salah satu kain untuk menutupi tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Silla masih terdiam di tempat tidur, matanya menatap Nathan dengan ekspresi bingung."Ada apa dengan Kak Nathan? Kenapa dia pergi ke kamar mandi? Dan tadi, dia juga kenapa bertanya aku ada di kama
"Aku ... aku kan udah ngirim chat, ya, sama Mas ... kalau aku pergi ke toko karena ada pesanan? Apa Mas lupa, nggak ngecek hape?" Elsa menjawab, suaranya sedikit gemetar.Nathan buru-buru merogoh kantong celananya, mencari ponselnya. Benarkah Elsa sudah mengirim pesan?Dan benar saja, di sana tertera pesan dari Elsa yang meminta izin untuk pergi ke toko bunga karena ada pesanan mendadak dan banyak. Pesanan yang tak bisa ditunda hingga besok. Namun, Nathan bingung. Kenapa Elsa baru pulang pagi?"Tapi kenapa kamu pulang pagi? Apa kamu nginep di sana? Atau kamu pergi ke tempat lain?" Tatapan Nathan menusuk, sorot matanya penuh curiga. Ingatannya melayang ke ucapan teman-temannya semalam saat pesta. Mereka mengatakan sering melihat Elsa pergi ke hotel bersama seorang pria. Ditambah lagi, pernyataan Nuri yang meragukan semua penjelasan Elsa kemarin."Aku ketiduran di toko, Mas. Biasa, kan," jawab Elsa santai, lalu matanya melotot tajam ke arah Silla yang hendak beranjak dari tempat tidur.
"Mas kok belain Silla, sih?" tanya Elsa dengan ketus. Tidak suka dengan apa yang didengarnya barusan. Nada suaranya tajam."Bukan aku membelanya, tapi memang itu salahku." Nathan berusaha menjelaskan dengan tenang, meskipun hatinya juga tak kalah panas mendengar nada bicara Elsa.Alasan Nathan berkata demikian, karena dia sendiri sudah menelepon Yasir untuk mengkonfirmasi apakah benar dengan yang dikatakan Silla, bahwa kemarin dia mabuk? Dan memang masuk akal juga jika Nathan mabuk parah hingga tak sadarkan diri, karena yang dilakukannya bersama Silla sudah diluar batas."Jadi Mas kemarin benar-benar melakukan dengan Silla atas dasar Mas pengen, begitu?" Mata Elsa terlihat memerah, emosinya dapat Nathan rasakan. Suara Elsa bergetar, menahan amarah yang hampir meledak."Yang terjadi hanya kecelakaan. Aku tidak ingat, karena aku sendiri mabuk," jelas Nathan."Mabuk?? Jadi Mas mabuk, pulang dari pesta? Tapi kenapa harus mabuk sih, Mas?" Elsa masih belum bisa menerima penjelasan Nathan."
Ting!Suara notifikasi dari ponsel Nathan memecah keheningan di kantornya, tepat saat dia baru saja tiba.Dengan cepat, dia melangkah masuk ke ruang kerjanya dan membuka chat yang masuk. Ternyata, itu adalah sebuah video yang dikirim oleh Nuri, rekaman dari kamera CCTV di toko bunga Elsa. Nathan pun memastikan Nuri mendapatkan imbalan yang layak atas bantuannya."Semoga saja apa yang dikatakan Elsa benar. Dia tidak membohongiku." Dengan tangan bergetar, Nathan mulai menekan tombol putar. Jantungnya berdebar kencang, ketakutan menyelimuti pikirannya jika ternyata Elsa berbohong. Di lubuk hatinya yang terdalam, dia sangat berharap itu tidak terjadi.Beberapa menit berlalu, bahkan hingga satu jam, Nathan mempercepat rekaman tersebut hingga selesai. Namun, betapa hancurnya hatinya saat menyadari bahwa Elsa sama sekali tidak ada di sana. Malam itu, Elsa tidak pergi ke toko bunga, apalagi menginap. Ini berarti dia benar-benar berbohong."Tega kamu, Sa, sama aku!" teriak Nathan, mengepalkan
"Terus, hubunganmu dengan Silla sendiri bagaimana? Apa benar yang dikatakan Elsa, kalau kalian itu menjadi sangat dekat sekarang? Bisa jadi... apa yang Elsa lakukan dipengaruhi oleh apa yang kamu lakukan, Tan."Nathan menggeleng, raut wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan yang dalam. "Aku sama Silla biasa saja, Dad. Nggak dekat sama sekali. Mungkin hanya perasaan Elsa saja, tapi bukan berarti dia berhak mengkhianatiku, kan? Aku menikah lagi demi dia juga. Seharusnya dia tidak perlu berprasangka buruk tentang hubunganku dengan Silla." Suaranya terdengar sedikit getir.Darwin mengangguk, memahami namun turut merasa berat. "Iya, Tan, Daddy mengerti. Tapi Daddy berharap... hubunganmu dengan Elsa bisa kembali harmonis seperti dulu. Semoga ada jalan keluar untuk masalah kalian. Ingat, di hatimu hanya ada dia. Jangan terlalu keras padanya. Jangan terus bertengkar." Nada suaranya lembut, penuh kasih sayang namun juga sedikit cemas.Nathan terdiam, pandangannya kosong."Ya sudah, kalau begitu D
Herlin melangkah cepat menuju toilet wanita, hatinya berdebar-debar. "Silla ... Sayang." Dia memeriksa satu per satu kabin toilet, memanggil nama Silla dengan suara lembut namun penuh harap. Namun, tidak ada jawaban dan ruangannya juga kosong. "Ke mana si Silla?" Herlin menoleh ke kanan dan kiri, matanya tertuju pada satu kabin toilet yang tertutup rapat. Itu adalah kabin terakhir toilet wanita yang belum dia buka, berharap Silla ada di sana. Dia melangkah mendekat. "Silla? Kamu di dalam?" Tok! Tok! Tok! Herlin mengetuk pintu. Sayang, tidak ada jawaban. Herlin mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Silla, buka pintunya! Mama khawatir!" Hening. Herlin pun mulai panik. Dia mencoba membuka pintu toilet, namun terkunci dari dalam. "Silla, apa kamu baik-baik saja?" Suaranya bergetar. Dia terus memutar handle pintu, berusaha untuk bisa membukanya. "Silla!!" "Ada apa, Bu?" Tiba-tiba, seorang cleaning service muncul dari balik sudut toilet. Dia membawa alat pel. "Kok Ibu teriak-teri
"Tapi, Kak ... kenapa Elsa bisa berselingkuh, apalagi dengan Daddy? Apa alasannya?" tanya Silla, suaranya bergetar, terbebani oleh keterkejutan yang baru saja dialaminya setelah menonton video syur tersebut.Nathan menjawab dengan suara berat, meskipun raut wajahnya berusaha tegar. Kekecewaan dan luka terpancar dari sorot matanya. "Aku tidak tau alasannya, tapi aku sendiri tidak peduli. Karena apapun alasannya ... intinya dia adalah perempuan yang tidak setia. Aku kecewa, Sil." Kata-katanya tegas, namun di baliknya tersimpan kesedihan yang dalam.Dahlia menarik napas panjang, suaranya teredam oleh rasa getir yang membanjiri hatinya. "Sudahlah, Tan. Tidak perlu membahas masalah Elsa lagi. Mommy muak rasanya." Matanya berkaca-kaca, menahan beban emosi yang begitu berat. "Seperti yang kamu katakan, kita fokus pada perceraian saja, ya, Tan?" Harapannya terpancar dalam tatapannya yang lelah.Nathan mengangguk pelan, sentuhan lembutnya di punggung tangan Dahlia seakan ingin meringanka
Keesokan harinya, suasana rumah masih diliputi kesedihan. Herlin menatap punggung suaminya yang tengah bersiap, setelan jas abu tua itu seakan menggambarkan beratnya beban yang dipikul Haikal."Papa ... Papa hari ini langsung mencari Silla lagi, atau ke kantor dulu?" tanyanya lirih, suaranya terdengar khawatir.Haikal berbalik, matanya lelah. "Sebenarnya, Papa mau langsung mencari Silla. Tapi Papa ada rapat penting yang sudah berkali-kali diundur dan tak bisa ditunda lagi." Suaranya terdengar lesu, penuh penyesalan.Herlin mengusap lembut lengan suaminya. "Biarkan Shaka yang mencari Silla, Pa. Nathan juga pasti ikut, kan?"Haikal menggeleng pelan. "Nathan tidak perlu ikut, Ma. Nanti Mama hubungi Nathan saja, suruh dia menghabiskan waktu seharian dengan Elsa. Kasihan Elsa, dia pasti merasa terabaikan karena kita sibuk mencari Silla."Rasa bersalah terpancar dari sorot matanya. Haikal telah berjanji akan lebih memperhatikan Elsa, anak kandungnya yang selama ini mungkin merasa kura
Sementara Nathan terpaku di sofa, seakan membeku oleh beban suasana."Elsa, jawab pertanyaan Mommy!" desis Dahlia, tak sabar menunggu penjelasan dari menantunya. Suaranya bergetar, menahan amarah yang membuncah.Air mata Elsa berlinang. Suaranya terbata-bata, "Aku... aku minta maaf, Mom. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Daddy. Semuanya... semuanya terjadi karena Daddy yang memaksaku."Dahlia mengerutkan dahi, tak percaya. "Memaksa? Rekaman itu tidak menunjukkan hal itu, Elsa. Sudahlah, berhenti berkelit. Lebih baik jujur saja."Tangis Elsa semakin menjadi. "Aku sudah jujur, Mom! Tapi bagaimana caranya agar Mommy dan Mas Nathan percaya? Dad ...." Pandangannya mencari Darwin yang sedari tadi hanya diam. "Dad, tolong bicaralah. Katakan pada Mommy dan Mas Nathan bahwa semuanya tidak benar. Daddy yang memaksaku, kan?"Semua mata tertuju pada Darwin. Keheningan mencekam ruangan.Pria itu menarik napas panjang, berat. "Elsa, ku sangka."Mata Elsa melebar, bingung. "Salah san
Dahlia menatap Elsa, matanya berkaca-kaca, menahan gelombang emosi yang hampir membanjiri dirinya. Dia berusaha keras memberikan ruang bagi Elsa untuk berbicara, untuk menjelaskan, meskipun hatinya remuk berkeping-keping."Bukti yang Mommy maksud... rekaman yang Nathan lihat," suara Dahlia bergetar, jari-jarinya gemetar saat dia membuka laptop dan memutar rekaman itu kembali. Adegan ciuman Elsa dan Darwin terputar di layar, menusuk jantungnya seperti sebilah pisau. Dia sengaja memutarnya lagi, agar tak ada yang bisa mengelak, tak ada yang bisa bersembunyi di balik kebohongan."Apa... apa ini?!" Elsa tersentak, matanya melebar tak percaya. Dia buru-buru menutup laptop, mencoba menghentikan tayangan yang begitu memalukan."Harusnya Mommy yang bertanya begitu." Suara Dahlia tercekat, suaranya bercampur amarah dan kepedihan. "Apa yang membuat kalian tega melakukan ini pada kami? Kenapa kalian begitu kejam?" Air matanya jatuh membasahi pipinya. Tatapannya tajam, menusuk ke dalam jiwa Elsa
Rekaman video itu menampilkan kamar Nathan. Elsa terbaring di tempat tidur, namun yang membuat jantung Nathan berdebar kencang adalah pakaiannya.Elsa mengenakan lingerie sutra berwarna merah marun, sejenis lingerie yang belum pernah dilihat Nathan sebelumnya. Sepertinya lingerie baru. Nathan terpaku. Untuk apa Elsa mengenakan pakaian seperti itu di rumah orang tuanya? Pertanyaan itu menusuk-nusuk pikirannya.Pikiran Nathan melayang. Saat Elsa berada di sana... bukankah itu saat Nathan seharusnya bersama Silla? Kecurigaan itu mulai mengakar kuat dalam benaknya, semakin menguat saat sosok Darwin muncul dari balik pintu.'Daddy?? Kenapa Daddy masuk ke kamarku, dan Elsa...?' Batin Nathan. Matanya membulat sempurna saat menyaksikan adegan yang tak terbayangkan: Darwin mencium bibir Elsa dengan penuh g*irah, dan Elsa menyambutnya dengan sebuah pelukan yang erat.Sebuah amarah membara membakar seluruh tubuh Nathan. "Brengsek!!" teriaknya, suara itu pecah dan penuh kepedihan. Rek
"Bagaimana, Pa? Apa kabar dari polisi? Sudah ada kabar tentang Nathan dan Silla?" tanya Herlin, suaranya dipenuhi kecemasan. Sinar matahari siang yang terik menyinari halaman rumah, namun tak mampu menghangatkan hati yang dipenuhi kekhawatiran.Haikal baru saja menutup telepon dengan petugas kepolisian yang ditugaskan mencari Nathan. Sejak petir menyambar dan memisahkan mereka dari menantunya di tengah guyuran hujan kemarin, Haikal belum berhasil menemukan Nathan. Hanya mobilnya yang tertinggal di tempat kejadian."Belum ada, Ma," jawab Haikal, menggelengkan kepala frustasi. Keringat membasahi dahinya, meski udara terasa panas."Sebaiknya kita beri tahu orang tua Nathan, Pa?" usul Herlin, suaranya sedikit gemetar. Dia tampak lelah, namun tetap tegar."Tunggu dulu, Ma. Kita usahakan dulu hari ini. Kalau sampai sore belum ada kabar… baru kita hubungi mereka." Haikal tak ingin menambah beban kekhawatiran orang tua Nathan, apalagi dengan kabar keberadaan Silla yang belum menemukan titi
Beberapa detik Silla membiarkan bibirnya menyatu dengan bibir Nathan, sebelum akhirnya membalas kecupan itu dengan penuh perasaan. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara dengkuran halus yang keluar dari bibir Nathan. Pria itu tertidur begitu cepat, tanpa diduga.'Tidak mungkin, Kak Nathan tidur secepat ini? Baru saja dia menciumku. Kukira tadi dia benar-benar ingin berciuman,' batin Silla, rasa kecewa menusuk hatinya. Namun, melihat Nathan tidur dengan tenang dan tanpa beban, sebuah rasa lega dan bahagia pun menyusup hatinya.'Ya sudahlah, tak apa. Anggap saja tadi adalah kecupan perpisahan kita. Karena besok, jika Kak Nathan sudah diizinkan pulang dari rumah sakit... otomatis dia akan pulang ke rumah dan tidak akan bertemu denganku lagi,' batin Silla pilu. Kepalanya bersandar di dada Nathan, air mata mulai membasahi pipinya.***Seperti yang Silla duga semalam, pagi ini dokter mengizinkan Nathan pulang. Kabar itu membawanya pada kelegaan yang begitu dalam, sebuah beban se
"E-eh!! Eemm ... Terima kasih, Kak." Wajah Silla memerah, malu-malu. Pandangannya tertunduk.Nathan berusaha bangun dari ranjang, ingin menuju kamar mandi. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat."Aaww!!" ringis Nathan, menahan rasa sakit yang menusuk."Kakak kenapa? Kenapa bangun?" Silla dengan sigap mengulurkan tangan, menyentuh dahi Nathan saat pria itu memegangi kepalanya."Aku mau kencing, Sil. Tapi kepalaku sangat sakit." Suaranya terdengar lemah."Kencing di sini saja, Kak. Sebentar ... aku carikan botol." Silla menawarkan solusi yang spontan, tanpa berpikir panjang."Jangan, Sil! Masa pakai botol?" Nathan menahan tangan Silla yang hendak mencari botol. Bayangannya saja sudah membuatnya merasa malu."Tadi Kakak bilang kepalanya sakit," Silla mengingatkan dengan nada lembut, namun tetap bersikeras."Memang sakit. Tapi tidak perlu sampai kencing di botol juga, Sil." Wajah Nathan memerah menahan malu. "Tolong bantu aku saja, antar ke kamar mandi." Suaranya terdengar lir
"Karena aku men …," ujar Nathan, suaranya terputus. Rasa malu membanjiri dirinya, dua pipinya memerah padam.Silla mengamati wajah Nathan yang memerah. "Lho, Kakak demam lagi?" tanyanya, jari-jari lentiknya menyentuh dahi sang suami. Kulit Nathan memang terasa panas, namun ini bukan karena demam. "Sebentar, aku panggil dokter, ya, Kak. Tunggu—"Silla berdiri, hendak melangkah pergi, namun Nathan menahan lengannya."Tidak usah, ini bukan demam. Aku baik-baik saja.""Tapi badan Kakak panas," Silla menyentuh leher Nathan, sentuhannya membuat jantung Nathan berdebar-debar semakin kencang. Wajahnya memerah semakin dalam."Iya, tidak apa-apa. Nanti juga hilang sendiri. Duduklah lagi.""Eemmm… baiklah," Silla duduk kembali, raut wajahnya masih dipenuhi keraguan. "Jadi, alasan Kakak tidak mau cerai denganku apa?"Nathan menarik napas dalam-dalam. "Tidak ada alasan. Intinya, aku ingin terus bersamamu.""Elsa? Bagaimana dengan Elsa?" Silla mengerutkan dahi, kebingungan mencengk