Silla membuka mata perlahan, pandangannya masih kabur. Ruangan putih rumah sakit memenuhi penglihatannya. Dahi berkerut, kepalanya terasa berat, ingatannya buram. "Di mana aku? Apakah ini rumah sakit?" Seingat Silla, dia berada di toilet. Mual yang tak tertahankan menyerangnya. Isi perutnya tumpah tak terkendali, gelombang demi gelombang. Sakit kepala yang menusuk, pandangannya menggelap... lalu, tubuhnya oleng. "Silla... Sayang." Suara lembut Herlin memecah kesunyian. Wanita itu berdiri di samping tempat tidurnya, bersama Haikal. Wajah Herlin dihiasi senyum simpatik, namun sorot matanya penuh kebahagiaan ."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah masih mual, Sayang?" Silla mengerang pelan. "Kepalaku masih berat, Ma. Tapi sudah tidak terlalu mual." Suaranya lemah, namun lega karena rasa mual yang menyiksa sedikit mereda. "Oh ya, kok aku bisa ada di rumah sakit, Ma?" tanyanya, kebingungan masih membayangi. "Kamu pingsan di toilet, Sayang," jawab Haikal lembut, jari-jarinya membelai ra
Nanti baca ulang bab 30 ya, guys. Ada kesalahan isi bab soalnya. setelah itu lanjut ke bab ini.***"Ngapain juga harus melihatnya secara langsung sih, Mas? Nggak penting banget. Yang penting 'kan Dokter udah ngomong dia dalam keadaan baik-baik saja." Elsa merengut kesal, tampak tidak senang mendengar jawaban Nathan.Pria itu hanya menghela napas dengan berat, memutuskan untuk mengakhiri obrolan tentang Silla."Udah... mending sekarang kita tidur, Mas," ajak Elsa. Tangannya menarik lengan Nathan, mengajaknya berbaring bersama di atas kasur yang nyaman.Selimut tebal membungkus tubuh mereka. Elsa, dengan tenang, langsung terlelap dalam pelukan Nathan. Namun, tidur tak kunjung datang bagi Nathan. Bayangan wajah Silla, pucat dan lemah, menghantui pikirannya.'Apa aku coba video call Silla saja, ya? Untuk memastikan keadaannya?'Pikiran itu muncul, menawarkan secercah harapan. Nathan meraih ponselnya di atas nakas. Namun, kenyataan pahit menerjangnya—dia baru menyadari bahwa tak me
"Iya ... Pak Haikal memberitahu bahwa Nona masuk rumah sakit. Jadi aku datang untuk menjenguk." Shaka menarik kursi kecil di dekat ranjang Silla. Dia meletakkan parsel buah yang dibawanya, lalu memberikan sebuket bunga pada saat Silla bangkit untuk duduk. "Apa aku mengganggu waktu istirahat Nona?""Enggak kok, Kak." Silla menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk kantong infusan yang menggantung, tampak tersisa sedikit lagi. "Lagian setelah kantong infusan ini habis ... dokter sudah mengizinkanku pulang, Kak."Senyum Shaka merekah, hangat dan tulus. "Syukurlah. Artinya Nona sudah jauh lebih baik? Oh ya, aku lupa mengucapkan selamat atas kehamilan Nona.""Terima kasih, Kak," jawab Silla, suaranya masih sedikit lemah."Kalau semisalnya Nona membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk bicara padaku, ya! Perempuan hamil, terutama di awal kehamilan, seringkali memiliki keinginan yang aneh-aneh. Bawaan bayi, katanya." Shaka berucap dengan penuh perhatian. "Dan kalau tidak bisa dituruti, katan
"Tadi 'kan aku membuangnya, jadi aku ganti. Kamu bisa mengambilnya dan memakan buah yang dari aku, bukan dari Shaka," jelas Nathan lembut, jemarinya menghapus air mata yang membasahi pipi Silla. Silla tersentak. Wajahnya bersemu merah. 'Kak Nathan menghapus air mataku? Ini nyata? Atau mimpi?' Jantung Silla berdegup kencang, dipenuhi rasa bahagia yang tak terkira. Sentuhan Nathan, lembut dan hangat, membuatnya melayang. Aneh, tapi menyenangkan. Sikap Nathan yang berbeda dari biasanya membuat Silla semakin bertanya-tanya, semakin tenggelam dalam kebingungan yang manis. Nathan menarik kursi bekas Shaka, lalu duduk di sana sambil bersedekap. Tatapannya terpaku pada Silla, mengamati setiap detail wajah dan tubuhnya.Bukan sekadar melihat, tapi seakan ingin membaca jiwanya. Ada rasa ingin tahu yang membara di matanya, bercampur dengan keraguan yang mengusik. Silla merasakan tatapan itu seperti sentuhan lembut yang membakar pipinya. Detak ja
"Mama dan Papa ingin memantau perkembangan kehamilan Silla. Selain itu, Mama berpikir akan lebih baik jika Silla dan Elsa tidak tinggal serumah untuk sementara," ujar Herlin lembut, tatapannya penuh makna tertuju pada Nathan. "Kamu mengerti maksud Mama 'kan, Nathan? Mama hanya tidak ingin hubungan Silla dan Elsa semakin renggang. Mungkin jika mereka berjauhan... keduanya bisa saling merindukan." Nathan mengangguk, memahami maksud mertuanya. "Aku mengerti, Ma." "Tapi, kamu harus adil, ya? Kunjungi Silla setidaknya tiga kali dalam seminggu. Dan jangan lupa memberikannya nafkah lahir dan batin." Nathan tertegun. "Nafkah lahir batin???" Dia baru tersadar, selama ini dia belum pernah benar-benar memberikan nafkah lahir pada Silla. Nafkah batin pun hanya sekali, dan itu pun saat dia mabuk. Silla tiba-tiba bersuara, "Seminggu sekali saja, Ma, Kak Nathan mengunjungiku. Tidak perlu tiga hari sekali. Dia "kan sibuk bekerja." Herlin bersikeras, "Nathan bisa mengunjungimu sepulang kerja, Sill
"Mulai sekarang, kamu bisa mengatur jadwal hari dimana Nathan bersama Silla dan Nathan bersamamu. Dan ingat, itu harus 3 hari dalam seminggu, supaya adil." Haikal perlahan berdiri dari duduknya, makan siangnya pun sudah habis, dan urusannya dengan Elsa sudah selesai. "Kalau begitu Papa pamit balik ke kantor, ya? Istirahat Papa sudah habis. Papa juga ada meeting." Dia tersenyum tipis, mencoba untuk bersikap biasa saja, tapi Elsa bisa merasakan ketegasan di balik senyum itu.Elsa tampak terdiam, wajahnya memendam rasa kesal yang membara pada jiwanya. Dia merasa seperti boneka yang bisa diatur oleh orang tuanya."Papa hanya ingin kamu menjadi anak yang penurut, Papa menyayangimu, Sa." Haikal mendekat, lalu mencium kening Elsa. Setelah itu dia melangkah pergi dari restoran, meninggalkan Elsa yang masih terpaku di tempat duduknya."Tidak ... Papa tidak pernah menyayangiku. Yang Papa sayangi hanya Silla, hanya dia!" Elsa mencengkram kursi, mengamati kepergian Haikal. "B
Kejutan usulan Darwin membuat Elsa tersentak. Namun, bukan ketakutan yang langsung muncul, melainkan kebingungan. Gelengan kepala yang dia lakukan tampak ragu-ragu, bukan penolakan mutlak."Tapi aku nggak yakin, Dad," bisiknya, suara sedikit gemetar."Nggak yakin kenapa?" tanya Darwin, suaranya lembut, menenangkan. Bukan tekanan yang terasa, melainkan perhatian yang tulus, atau setidaknya begitulah yang dirasakan Elsa."Takutnya kita ketahuan. Bisa habislah aku sama Mas Nathan. Aku takut ... aku takut dia menceraikanku, Dad," ucap Elsa. Ketakutan masih ada, bayangan hukuman dari Nathan masih menghantuinya. Elsa bahkan masih mengingat kata-kata Nathan yang tidak akan memaafkannya jika dia ketahuan telah berkhianat. Lantas, apa yang terjadi jika Nathan tahu bahwa selama ini dia ternyata telah main serong dengan Darwin? Tidak bisa dibayangkan betapa murkanya Nathan nanti.Darwin, dengan gerakan lembut, merangkul bahu Elsa, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan menenangkan. Sentuha
"Ya sudah... kalau begitu aku pamit ke mejaku ya, Tan. Takutnya gebetanku sudah sampai. Nggak enak kalau dia menunggu lama, ini 'kan kencan pertama kami." Yasir berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan tergesa-gesa, debaran jantungnya terasa begitu cepat."Iya. Semoga berhasil, ya, kali ini, Sir," kata Nathan, menyemangati sahabatnya. Dia tentu akan sangat senang jika melihat Yasir akhirnya tak lagi menjomblo."Aminnn."Yasir melangkah cepat meninggalkan Nathan, langkah kakinya terasa lebih ringan dari biasanya. Meja pesanannya berada di lantai dua, namun langkahnya terasa begitu cepat, seakan tak sabar untuk bertemu.Beberapa menit setelah kepergian Yasir, Shaka tiba. Dia tampak sangat rapi dalam balutan stelan jas biru navy, aura ketampanannya memancar."Selamat malam, Pak Nathan. Mohon maaf bila saya terlambat, tadi terjebak kemacetan," katanya dengan sopan, membungkukkan badan sedikit."Nggak apa-apa, lagipula aku juga baru sampai," jawab Nathan santai, namun sorot matanya m
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut
"Permisi, Pak Satpam. Aku ingin bertemu Pak Dayat, Kepala Sekolah. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?" Nathan bertanya dengan sopan kepada satpam yang berjaga di depan gerbang. Pak Dayat adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.Satpam mengamati Nathan dengan seksama. "Ada, Pak. Tapi, saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya. Ada keperluan apa, Pak?" Dia menatap asing pada Nathan."Aku salah satu mantan murid sekolah ini, Pak. Dan kedatanganku karena ada keperluan dengan Pak Dayat.""Oh, begitu. Baiklah, mari saya antar." Satpam itu tersenyum ramah, lalu mengarahkan Nathan menuju ruang kepala sekolah.Tok... tok... tok...Satpam mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan tiga ketukan yang teratur. "Permisi, Pak Dayat. Ada yang ingin bertemu Bapak.""Siapa?" Suara Pak Dayat terdengar dari dalam."Beliau mengaku sebagai mantan murid di sekolah ini, Pak, dan kedatangannya karena ada keperluan dengan Bapak.""Suruh masuk.""Baik, Pak." Satpam membuka pintu perlahan, mempers
"Entah mengapa... aku masih penasaran dan tidak puas dengan jawaban Elsa waktu itu. Apa aku perlu mencari tau lebih lanjut?" Silla duduk termenung di kamarnya, memikirkan masalah surat yang belum terpecahkan. Kedua tangannya terlihat gemetar memegang gelas yang berisi susu ibu hamil buatan Herlin. Kegelisahan tampak jelas terpancar dari raut wajahnya. "Buku diary itu... Apakah buku itu masih ada??" Silla tampak berpikir sejenak, lalu menenggakkan susu ibu hamil hingga habis. Dia berdiri dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas. Sebuah tekad mulai terpatri di matanya. "Mungkin saja masih ada di gudang, aku coba cari saja deh. Buat memastikan kemiripan kertas itu. Dan aku juga mau tau ... apa alasan dibalik orang yang dengan sengaja membuat aku dan Kak Nathan salah paham." Tekad bulat telah terpatri di hatinya. Silla bergegas menuju gudang yang terletak di samping dapur. Dia berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Gudang itu penuh sesak deng
"Mommy mengatakan hal itu karena Mommy merasa ada yang tidak beres dengan Daddy. Mommy yakin Daddy memiliki perempuan lain," jelas Dahlia, suaranya bergetar menahan air mata.Nathan mengerutkan dahi, ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang membuat Mommy curiga? Apakah Mommy pernah memergoki Daddy bersama perempuan lain?""Tidak memergoki, tapi Mommy pernah menemukan bekas lipstik di kemeja Daddy. Dan Mommy ingin meminta bantuanmu, Tan. Hanya kamu yang bisa membantu Mommy." Air mata Dahlia mulai menetes."Apa yang harus kulakukan, Mom?" tanya Nathan, hatinya teriris melihat kesedihan Mommy-nya."Kamu 'kan laki-laki ... pasti punya banyak kenalan. Carikan seseorang yang mau dibayar untuk membuntuti Daddy sampai menemukan bukti perselingkuhannya." Suaranya terdengar putus asa.Nathan terdiam. Bukannya dia tak mau membantu, tentu saja dia akan menjadi benteng terdepan untuk melindungi Mommy yang terluka. Namun, bukankah lebih baik Mommy berbicara langsung kepada D