"Ya sudah... kalau begitu aku pamit ke mejaku ya, Tan. Takutnya gebetanku sudah sampai. Nggak enak kalau dia menunggu lama, ini 'kan kencan pertama kami." Yasir berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan tergesa-gesa, debaran jantungnya terasa begitu cepat."Iya. Semoga berhasil, ya, kali ini, Sir," kata Nathan, menyemangati sahabatnya. Dia tentu akan sangat senang jika melihat Yasir akhirnya tak lagi menjomblo."Aminnn."Yasir melangkah cepat meninggalkan Nathan, langkah kakinya terasa lebih ringan dari biasanya. Meja pesanannya berada di lantai dua, namun langkahnya terasa begitu cepat, seakan tak sabar untuk bertemu.Beberapa menit setelah kepergian Yasir, Shaka tiba. Dia tampak sangat rapi dalam balutan stelan jas biru navy, aura ketampanannya memancar."Selamat malam, Pak Nathan. Mohon maaf bila saya terlambat, tadi terjebak kemacetan," katanya dengan sopan, membungkukkan badan sedikit."Nggak apa-apa, lagipula aku juga baru sampai," jawab Nathan santai, namun sorot matanya m
"Aku?!" Nathan menunjuk wajahnya sendiri, panik. Kepalanya menggeleng cepat. "Tentu saja tidak! Lagipula, untuk apa aku menyatakan cinta padanya? Yang kucintai hanya istriku, Elsa. Silla hanyalah istri kedua." Nathan berusaha mengelak, rasa malu membanjiri wajahnya.Shaka mengerutkan dahi, bingung. "Tapi, Bapak tadi bilang ini tidak adil. Maksud Bapak apa?" Dia mengingat ucapan Nathan sebelumnya.Nathan berpura-pura tidak mengerti, namun ekspresinya mengkhianatinya. "Kapan aku mengatakan itu?" Suaranya terdengar tegang. "Lupakan saja! Sepertinya aku salah bicara. Tapi, makan malam kita sudah selesai. Kamu boleh pulang sekarang."Shaka tersenyum tipis, sedikit kecewa karena merasa Nathan menyembunyikan sesuatu. Dia lantas berdiri, "Baiklah, Pak. Terima kasih atas makan malamnya. Saya permisi.""Sama-sama," jawab Nathan singkat, mengibaskan tangannya acuh tak acuh. Dia menatap kepergian Shaka.***"Papa meminta Mas mengunjungi Silla tiga kali seminggu, jadi aku mengizinka
"30 menit?" Dahi Nathan berkerut semakin dalam. "Sedang apa mereka?" Sebuah rasa tidak enak mulai menggerogoti hatinya. Namun, dia mencoba untuk menepisnya."Berpikir apa aku ini?" Nathan geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya aku berpikir yang tidak-tidak tentang mereka berdua. Pasti Elsa hanya curhat sama Daddy, perihal aku harus membagi waktu. Iya ... pasti hanya karena itu."[Tapi maaf ya, Pak. Saya sama sekali tidak bisa mendengar dan melihat, saat mereka berada di dalam mobil. Karena memang tidak terdengar dan terlihat apa-apa.] Mata-mata itu mengirim balasan.[Tidak perlu dipikirkan, itu tidak masalah. Lagian dia adalah Daddy-ku.] Nathan mengetik.***Keesokan harinya."Silla... kamu mau ke mana?" tanya Herlin, suaranya terdengar cemas saat melihat Silla keluar kamar dengan tas di tangan, pakaiannya rapi."Aku mau pergi ke tempat kerja, Ma." Jawab Silla lirih.Herlin melangkah cepat, wajahnya dikerutkan oleh kekhawatiran. "Ke tempat kerja? Kan Mama sudah bilang, kamu harus berh
"Bu Herlin ... di depan ada Bu Dahlia dan Pak Darwin," lapor Bibi Pembantu, menghampiri Herlin yang berada di dapur, tengah membuatkan susu ibu hamil untuk Silla.Sembari menunggu Nathan datang, Herlin meminta agar Silla berada di kamarnya untuk beristirahat."Suruh masuk aja, Bi," jawab Herlin."Baik, Bu." Bibi mengangguk, kemudian berlalu pergi.Herlin menuju kamar Silla sambil membawa segelas susu ibu hamil, tapi dia juga meminta Silla untuk turun bersamanya menemui mertuanya."Memangnya, orang tua Kak Nathan datang mau apa, Ma? Aku merasa tidak enak, haruskah aku ikut?" tanya Silla, suaranya terdengar ragu saat Herlin menggenggam tangannya. Wajahnya tampak sedikit cemas. Dia memang tak begitu dekat dengan orang tua Nathan, pertemuan terakhir hanya saat pernikahannya dulu."Mereka ingin bertemu denganmu, Sayang. Bu Dahlia sudah memberitahu Mama sebelumnya." Herlin berusaha menenangkan putrinya dengan senyum lembut."Bertemu denganku?" Silla mengerutkan kening, kebingungan tergamb
"Tapi aku tidak pernah menerima surat dari Kakak, bagaimana mungkin aku membalas surat itu, Kak?" Silla bertanya, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. Matanya berkaca-kaca, menunjukkan betapa seriusnya dia menanggapi pertanyaan itu.Namun, Silla ingat betul bahwa sejak dulu Nathan tak pernah memberikannya surat."Jangan bercanda kamu, Sil. Ini nggak lucu!" Nathan geleng-geleng kepala, merasa tidak habis pikir. Nada suaranya meninggi, menunjukkan rasa frustrasinya. Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, mencoba meredakan kekesalan yang mulai menguasainya."Aku serius, Kak. Memangnya apa yang Kakak kirim? Sampai aku menolak Kakak? Apakah itu surat cinta? Surat cinta untukku?" Silla bertanya lagi, suaranya bergetar, menunjukkan betapa terguncangnya dia. Pertanyaan itu terlontar bukan sebagai tuduhan, melainkan sebagai ungkapan kebingungan yang mendalam."Tentu saja. Memang apalagi?" Nathan menjawab, suaranya sedikit melembut, mencoba memahami kebingungan Silla. D
Herlin mengerutkan dahi, melihat Silla yang tengah bergelut dengan panci dan wajan di dapur. Uap panas mengepul dari panci berisi kuah kuning keemasan, memenuhi ruangan dengan aroma rempah-rempah yang menyengat, harum dan sedikit pedas. Cahaya senja menyinari punggung Silla yang sedikit membungkuk, memperlihatkan kelelahan di bahunya."Sayang ... Kamu ngapain? Kan Mama udah bilang, kamu nggak boleh capek-capek selama hamil." Suaranya terdengar khawatir, bercampur sedikit kesal.Silla menoleh, senyumnya sedikit gugup. "Aku cuma mau masak buat Kak Nathan, Ma. Dia bilang ... pulangnya ke sini, dan aku pengen bikin dia senang." Matanya berkaca-kaca, bayangan wajah Nathan terpatri di benaknya, mengingatkannya pada kenangan masa SMA yang penuh tawa dan cerita. "Aku lagi belajar bikin opor ayam, resepnya dari internet. Dia suka banget opor ayam, Ma." Dia mengaduk kuah opor dengan hati-hati, gerakannya perlahan namun penuh perhatian.Herlin menghela napas panjang. Melihat kesungguha
"Tapi kenapa, Sil?" tanya Nathan, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang dalam. Dia merasakan ada yang tak beres, sesuatu yang jauh lebih pelik daripada sekadar penolakan surat cinta. Sebuah firasat buruk mulai menggelitik hatinya."Kertas ini... aku sangat ingat, Kak. Mirip sekali dengan kertas di buku diary milik Elsa dulu." Silla menjawab, suaranya sedikit gemetar.Mata Nathan membulat sempurna, mencerminkan keterkejutannya. "Buku diary Elsa?!" serunya, tak percaya. "Tapi tidak mungkin, kan, kalau yang menulis itu Elsa, yang berpura-pura menjadi kamu?"Silla menggeleng pelan, kepalanya terasa berat. "Tidak, Kak. Elsa tidak mungkin melakukan itu." Nada suaranya tegas, penuh keyakinan. "Untuk apa dia melakukan hal seperti itu?"Nathan merenung sejenak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk nakas. "Ya, aku juga tidak percaya kalau Elsa yang melakukannya. Tapi... sepertinya kita harus bertemu Elsa bertiga besok. Kita harus menanyakan semua ini padanya.""Aku setuju, Kak." Silla mengangguk
"Apa aku dan Silla harus... ?" Pikirannya melayang, bayangan-bayangan liar memenuhi kepalanya. Dia terjebak dalam pergulatan batin, di antara keinginan dan rasa ragu."Ah mikir apa aku ini!" Nathan menggelengkan kepala, lalu memejamkan mata dengan paksa. "Lebih baik aku tidur, daripada dihantui pikiran-pikiran aneh ini."Dia mencoba mengusir bayang-bayang yang mengganggu pikirannya. Berusaha memejamkan mata dan terlelap dalam tidur.Namun, semakin dia mencoba melupakannya, keinginan itu justru membakar jiwanya, semakin tak terkendali."Sial! Aku akan gila jika terus begini!" Nathan membuka matanya dan bangkit, napasnya tersengal. Pandangannya kembali tertuju pada Silla, cukup lama dia memandangi perempuan itu hingga tubuhnya bergerak mendekat, lalu mencium bibir Silla.Perempuan itu tersentak. Sentuhan lembut Nathan membuatnya terbangun. Mata Silla terbuka lebar, menangkap bayangan samar di atasnya. Detak jantungnya berpacu liar.'Kak Nathan… menciumku?' Pikiran itu menusuk benakn
Beberapa menit setelah kepergian Haikal dan Herlin, keheningan menyelimuti ruangan. Silla mengamati Nathan dengan seksama. Kegelisahan yang disembunyikannya tampak jelas bagi Silla, terlihat dari raut wajahnya yang tegang dan tangannya yang sesekali mengepal. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Nathan. "Kakak kenapa? Dari tadi aku perhatikan... Kakak seperti gelisah. Ada masalah?" tanya Silla dengan lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia meraih tangan Nathan, sentuhannya lembut namun penuh perhatian. Nathan menggeleng cepat, namun gerakannya terlihat kaku dan terburu-buru. Dia mencoba untuk menutupi kegelisahannya, tak ingin membuat Silla sedih dan khawatir. Perempuan itu terlihat sangat lelah setelah melahirkan. "Tidak kok," jawabnya, suaranya sedikit serak. "Sekarang kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek. Atau... kamu lapar? Sebelum melahirkan kamu 'kan belum sempat makan siang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kegelisahannya masih terlihat jelas.
"Tapi, Pa—" "Papa baik-baik saja, Ma," potong Haikal meyakinkan. Nathan menghela napas panjang, berat. "Alasannya, aku sendiri belum tau, Ma, Pa. Tapi tentang Elsa... dia sekarang di Bandung, bersama Daddy." Mata Herlin membulat tak percaya. "Bandung? Tadi pagi bukannya di berita, ada gempa di sana, kan?" Suaranya bergetar, khawatir. "Iya, Ma. Benar." Nathan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu, bagaimana keadaan Elsa? Dia tidak apa-apa, kan?" Herlin tampak sangat cemas. "Elsa—" Nathan terhenti. Suara tangis bayi memenuhi ruangan, tangis yang begitu nyaring, menandakan awal kehidupan yang baru. "Ooeee ... Ooeee ... Ooee ...." "Alhamdulillah... Itu anakku, Pa, Ma. Dia sudah lahir," bisik Nathan, suaranya bergetar menahan haru. Dia langsung sujud syukur, air matanya mengalir deras. "Alhamdulillah ya, Allah." Herlin dan Haikal berucap bersama, air mata mereka juga menetes. Seorang dokter wanita dengan seragam operasi keluar. "Selamat, Pak Nathan. Anda telah menjadi ayah
"Sudah apa?" "Daddy-mu sudah meninggal, Tan." Suara Dahlia makin terisak. "Dan pihak polisi meminta tanda tangan Mommy, supaya mereka bisa mengantarkan jenazah Daddy pulang ke Jakarta." "A-apa?! M-meninggal?!" Mata Nathan melebar sempurna. Jantungnya berdebar-debar hebat, tubuhnya menegang kaku. Meskipun kebencian masih membara di hatinya, air mata tak terbendung. Dia menangis pilu, meratapi kepergian ayahnya yang begitu mendadak. "Oh ya, dan satu lagi. Katanya korban perempuan yang ada di sana adalah Elsa, Tan." "Elsa??" Suara Nathan terdengar serak. "Iya." "Elsa sendiri, bagaimana? Apakah dia—" Pertanyaan itu terhenti, digantikan oleh firasat buruk yang semakin kuat. "Elsa juga meninggal. Dia ikut tertimpa reruntuhan bangunan." "APA??" * * *
'Maafkan Daddy, Sayang. Untuk hal ini... Daddy tidak bisa mengabulkan permintaanmu.Bukan apa-apa. Jika itu terjadi, dan Silla meninggal, Daddy bisa di penjara, dan kamu... kamu akan kembali bersama Nathan. Itulah yang Daddy takutkan.'Darwin tersenyum getir, lalu mereka duduk di sofa untuk melaksanakan ijab kabul. Karena Darwin ingin segera menikahi Elsa, pernikahan mereka pun dilakukan secara siri."Saya terima nikah dan kawinnya, Elsa Alfian binti Haikal Alfian, dengan mas kawin ...."Ijab kabul itu diucapkan, menggema khidmat di ruangan. Para saksi yang hadir langsung bersorak gembira."Sah!! Sah!!"Mereka resmi menjadi suami istri.Tiba-tiba, goncangan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Bumi bergetar hebat, seakan-akan hendak retak."Dad!! Ada apa ini?? Kenapa semuanya berguncang?" jerit Elsa, panik dan ketakutan. Darwin segera berdiri, meraih tangan Elsa erat, berusaha membawanya keluar."Se
Beberapa bulan kemudian...Tok! Tok! Tok!!Bunyi ketukan palu hakim memecah kesunyian ruang sidang, menandai berakhirnya babak panjang dalam hidup Nathan.Perceraiannya dengan Elsa telah resmi diputuskan. Ironisnya, dari sidang pertama hingga putusan akhir, Elsa tak pernah hadir. Begitu pula Darwin, yang seolah menghilang ditelan bumi. Ketiadaan mereka seakan menjadi saksi bisu atas berakhirnya sebuah ikatan."Kak ... ke mana ya, Elsa? Sejak awal hingga akhir sidang, dia tak pernah datang. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Silla, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia setia menemani Nathan, meski memilih menunggu di mobil sesuai permintaan suaminya.Nathan menghela napas panjang. "Aku tak tau, Sayang. Papa dan Mama sudah mencoba menghubunginya, tapi... sudahlah. Biarkan saja. Yang terpenting, aku dan Elsa sudah resmi bercerai."Silla mengangguk pelan. "Iya, Kak.""Baiklah... sekarang kita makan, ya? Setelah itu, kit
"Alhamdulillah... akhirnya Papa sudah bangun."Herlin tersenyum haru, melihat sang suami baru saja siuman. Haikal menatapnya dengan tersenyum tipis, manik matanya berkeliling menatap sekitar."Bagaimana keadaan Papa sekarang? Apa yang Papa rasakan? Apa dada Papa masih sakit?" Masih dengan raut kecemasan, Herlin menyentuh lembut dada suaminya."Enggak. Papa baik-baik saja." Haikal menjawab dengan lirih, menggeleng pelan. "Silla dan Nathan ke mana, Ma? Dan Papa sakit apa?""Mereka ada di sana, Pa." Herlin menunjuk ke arah lantai, dekat ranjang. Di sana ada Silla dan Nathan yang tengah tertidur dengan balutan satu selimut beralaskan kasur lantai. "Dan Papa sempat kena serangan jantung kata Dokter. Tapi sekarang Papa pasti akan segera sembuh, Papa jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu, ya?"Mata Haikal berkaca, linangan air matanya perlahan membasahi pipi. "Bagaimana Papa tidak memikirkannya, sementara Elsa selalu membuat ulah. Masalah dengan Silla saja belum selesai, sekarang ada l
"Tentu saja, Sayang. Daddy tidak berbohong," bisik Darwin, senyumnya manis namun terasa hampa bagi Elsa. "Karena itu, lepaskan Nathan. Daddy jauh lebih baik darinya, Sayang." Kalimat Darwin terasa seperti sebilah pisau yang menusuk hati Elsa. Dilema menghimpitnya. Benar, kepercayaan Nathan telah hilang, hubungannya dengan Silla semakin erat, apalagi Silla kini mengandung. Nathan pasti lebih memihak Silla. Tapi… merelakan Nathan? Mustahil. Hati Elsa menolak. Air mata mengancam membasahi pipinya. 'Kenapa… kenapa lagi-lagi aku yang sial? Silla selalu bahagia. Ketidakadilan ini… aku tak sanggup!' Rasa iri dan sakit hati membakar jiwanya. Darwin menunggu, sabar namun penuh tekanan. "Bagaimana? Apa kau setuju?" tanyanya akhirnya. Elsa menarik napas panjang, dadanya sesak. "Baiklah .…" suaranya tercekat. "Aku akan bersama Daddy. Tapi… aku minta satu hal." "Apa itu, Sayang? Katakan." Keheningan mencekam. Tangan Elsa mengepal erat, urat-uratnya menegang. "Aku ingin… Daddy melenyapkan Si
"Keterlaluan sekali Elsa!!" Dia berdiri, tubuhnya menegang, urat-urat di tangannya menegang, mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Bukan hanya amarah, tetapi juga rasa sakit, kecewa, dan hancur yang terpancar dari sorot matanya. "Bagaimana bisa dia melakukan tindakan sebodoh ini? Dan untuk apa dia berselingkuh??" Suaranya bergetar, diselingi napas yang tersengal-sengal, menunjukkan betapa hancurnya hatinya.Herlin, dengan raut wajah yang dipenuhi kekhawatiran, bertanya, "Dengan siapa, Elsa berselingkuh, Tan?" Suaranya terdengar ragu, seperti meraba-raba kebenaran yang menyakitkan."Daddy," jawab Nathan lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun mampu menembus keheningan yang mencekam. Kata itu, "Daddy", menimbulkan bayangan gelap yang mengerikan.Herlin mengerutkan dahi, kebingungan. "Daddy? Daddy siapa?""Daddy Darwin, Ma. Daddy-ku." Jawaban Nathan itu bagai bom yang meledak di tengah ruangan."APA?!" Haikal menjerit, suaranya penuh keputusasaan.
"Daddy minta maaf, atas semua yang Daddy lakukan padamu dan Mommy. Daddy tahu itu salah dan sangat menyakitkan. Tapi Daddy mohon... Jangan hukum Elsa.""Hukum??" Nathan menatap bingung. Ucapan Darwin membuatnya terhenyak, amarah mulai membuncah. "Apa maksudmu—""Daddy tau, kamu pasti akan bercerai dengan Elsa. Begitu juga dengan apa yang Mommy lakukan. Tapi ... jangan ceritakan alasan sebenarnya kepada orang tua Elsa, tentang perselingkuhan Daddy dan dia.""Kenapa?" Nathan mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang."Karena orang tua Elsa pasti akan sangat marah dan kecewa. Elsa sudah cukup menderita, harus berbagi kasih sayang orang tuanya dengan Silla. Jangan sampai karena ini, kasih sayang yang baru dia dapatkan sepenuhnya, akan hilang seketika."Nathan terkekeh getir, menggelengkan kepala. "Apa Daddy pikir, aku sendiri tidak menderita saat tahu kalian bermain api? Bagaimana dengan Mommy? Kenapa yang Daddy pikirkan hanya Elsa, sementara Daddy tak memikirkan betapa hancu