Kejutan usulan Darwin membuat Elsa tersentak. Namun, bukan ketakutan yang langsung muncul, melainkan kebingungan. Gelengan kepala yang dia lakukan tampak ragu-ragu, bukan penolakan mutlak."Tapi aku nggak yakin, Dad," bisiknya, suara sedikit gemetar."Nggak yakin kenapa?" tanya Darwin, suaranya lembut, menenangkan. Bukan tekanan yang terasa, melainkan perhatian yang tulus, atau setidaknya begitulah yang dirasakan Elsa."Takutnya kita ketahuan. Bisa habislah aku sama Mas Nathan. Aku takut ... aku takut dia menceraikanku, Dad," ucap Elsa. Ketakutan masih ada, bayangan hukuman dari Nathan masih menghantuinya. Elsa bahkan masih mengingat kata-kata Nathan yang tidak akan memaafkannya jika dia ketahuan telah berkhianat. Lantas, apa yang terjadi jika Nathan tahu bahwa selama ini dia ternyata telah main serong dengan Darwin? Tidak bisa dibayangkan betapa murkanya Nathan nanti.Darwin, dengan gerakan lembut, merangkul bahu Elsa, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan menenangkan. Sentuha
"Ya sudah... kalau begitu aku pamit ke mejaku ya, Tan. Takutnya gebetanku sudah sampai. Nggak enak kalau dia menunggu lama, ini 'kan kencan pertama kami." Yasir berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan tergesa-gesa, debaran jantungnya terasa begitu cepat."Iya. Semoga berhasil, ya, kali ini, Sir," kata Nathan, menyemangati sahabatnya. Dia tentu akan sangat senang jika melihat Yasir akhirnya tak lagi menjomblo."Aminnn."Yasir melangkah cepat meninggalkan Nathan, langkah kakinya terasa lebih ringan dari biasanya. Meja pesanannya berada di lantai dua, namun langkahnya terasa begitu cepat, seakan tak sabar untuk bertemu.Beberapa menit setelah kepergian Yasir, Shaka tiba. Dia tampak sangat rapi dalam balutan stelan jas biru navy, aura ketampanannya memancar."Selamat malam, Pak Nathan. Mohon maaf bila saya terlambat, tadi terjebak kemacetan," katanya dengan sopan, membungkukkan badan sedikit."Nggak apa-apa, lagipula aku juga baru sampai," jawab Nathan santai, namun sorot matanya m
"Aku?!" Nathan menunjuk wajahnya sendiri, panik. Kepalanya menggeleng cepat. "Tentu saja tidak! Lagipula, untuk apa aku menyatakan cinta padanya? Yang kucintai hanya istriku, Elsa. Silla hanyalah istri kedua." Nathan berusaha mengelak, rasa malu membanjiri wajahnya.Shaka mengerutkan dahi, bingung. "Tapi, Bapak tadi bilang ini tidak adil. Maksud Bapak apa?" Dia mengingat ucapan Nathan sebelumnya.Nathan berpura-pura tidak mengerti, namun ekspresinya mengkhianatinya. "Kapan aku mengatakan itu?" Suaranya terdengar tegang. "Lupakan saja! Sepertinya aku salah bicara. Tapi, makan malam kita sudah selesai. Kamu boleh pulang sekarang."Shaka tersenyum tipis, sedikit kecewa karena merasa Nathan menyembunyikan sesuatu. Dia lantas berdiri, "Baiklah, Pak. Terima kasih atas makan malamnya. Saya permisi.""Sama-sama," jawab Nathan singkat, mengibaskan tangannya acuh tak acuh. Dia menatap kepergian Shaka.***"Papa meminta Mas mengunjungi Silla tiga kali seminggu, jadi aku mengizinka
"30 menit?" Dahi Nathan berkerut semakin dalam. "Sedang apa mereka?" Sebuah rasa tidak enak mulai menggerogoti hatinya. Namun, dia mencoba untuk menepisnya."Berpikir apa aku ini?" Nathan geleng-geleng kepala. "Bisa-bisanya aku berpikir yang tidak-tidak tentang mereka berdua. Pasti Elsa hanya curhat sama Daddy, perihal aku harus membagi waktu. Iya ... pasti hanya karena itu."[Tapi maaf ya, Pak. Saya sama sekali tidak bisa mendengar dan melihat, saat mereka berada di dalam mobil. Karena memang tidak terdengar dan terlihat apa-apa.] Mata-mata itu mengirim balasan.[Tidak perlu dipikirkan, itu tidak masalah. Lagian dia adalah Daddy-ku.] Nathan mengetik.***Keesokan harinya."Silla... kamu mau ke mana?" tanya Herlin, suaranya terdengar cemas saat melihat Silla keluar kamar dengan tas di tangan, pakaiannya rapi."Aku mau pergi ke tempat kerja, Ma." Jawab Silla lirih.Herlin melangkah cepat, wajahnya dikerutkan oleh kekhawatiran. "Ke tempat kerja? Kan Mama sudah bilang, kamu harus berh
"Bu Herlin ... di depan ada Bu Dahlia dan Pak Darwin," lapor Bibi Pembantu, menghampiri Herlin yang berada di dapur, tengah membuatkan susu ibu hamil untuk Silla.Sembari menunggu Nathan datang, Herlin meminta agar Silla berada di kamarnya untuk beristirahat."Suruh masuk aja, Bi," jawab Herlin."Baik, Bu." Bibi mengangguk, kemudian berlalu pergi.Herlin menuju kamar Silla sambil membawa segelas susu ibu hamil, tapi dia juga meminta Silla untuk turun bersamanya menemui mertuanya."Memangnya, orang tua Kak Nathan datang mau apa, Ma? Aku merasa tidak enak, haruskah aku ikut?" tanya Silla, suaranya terdengar ragu saat Herlin menggenggam tangannya. Wajahnya tampak sedikit cemas. Dia memang tak begitu dekat dengan orang tua Nathan, pertemuan terakhir hanya saat pernikahannya dulu."Mereka ingin bertemu denganmu, Sayang. Bu Dahlia sudah memberitahu Mama sebelumnya." Herlin berusaha menenangkan putrinya dengan senyum lembut."Bertemu denganku?" Silla mengerutkan kening, kebingungan tergamb
"Tapi aku tidak pernah menerima surat dari Kakak, bagaimana mungkin aku membalas surat itu, Kak?" Silla bertanya, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. Matanya berkaca-kaca, menunjukkan betapa seriusnya dia menanggapi pertanyaan itu.Namun, Silla ingat betul bahwa sejak dulu Nathan tak pernah memberikannya surat."Jangan bercanda kamu, Sil. Ini nggak lucu!" Nathan geleng-geleng kepala, merasa tidak habis pikir. Nada suaranya meninggi, menunjukkan rasa frustrasinya. Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, mencoba meredakan kekesalan yang mulai menguasainya."Aku serius, Kak. Memangnya apa yang Kakak kirim? Sampai aku menolak Kakak? Apakah itu surat cinta? Surat cinta untukku?" Silla bertanya lagi, suaranya bergetar, menunjukkan betapa terguncangnya dia. Pertanyaan itu terlontar bukan sebagai tuduhan, melainkan sebagai ungkapan kebingungan yang mendalam."Tentu saja. Memang apalagi?" Nathan menjawab, suaranya sedikit melembut, mencoba memahami kebingungan Silla. D
Herlin mengerutkan dahi, melihat Silla yang tengah bergelut dengan panci dan wajan di dapur. Uap panas mengepul dari panci berisi kuah kuning keemasan, memenuhi ruangan dengan aroma rempah-rempah yang menyengat, harum dan sedikit pedas. Cahaya senja menyinari punggung Silla yang sedikit membungkuk, memperlihatkan kelelahan di bahunya."Sayang ... Kamu ngapain? Kan Mama udah bilang, kamu nggak boleh capek-capek selama hamil." Suaranya terdengar khawatir, bercampur sedikit kesal.Silla menoleh, senyumnya sedikit gugup. "Aku cuma mau masak buat Kak Nathan, Ma. Dia bilang ... pulangnya ke sini, dan aku pengen bikin dia senang." Matanya berkaca-kaca, bayangan wajah Nathan terpatri di benaknya, mengingatkannya pada kenangan masa SMA yang penuh tawa dan cerita. "Aku lagi belajar bikin opor ayam, resepnya dari internet. Dia suka banget opor ayam, Ma." Dia mengaduk kuah opor dengan hati-hati, gerakannya perlahan namun penuh perhatian.Herlin menghela napas panjang. Melihat kesungguha
"Tapi kenapa, Sil?" tanya Nathan, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu yang dalam. Dia merasakan ada yang tak beres, sesuatu yang jauh lebih pelik daripada sekadar penolakan surat cinta. Sebuah firasat buruk mulai menggelitik hatinya."Kertas ini... aku sangat ingat, Kak. Mirip sekali dengan kertas di buku diary milik Elsa dulu." Silla menjawab, suaranya sedikit gemetar.Mata Nathan membulat sempurna, mencerminkan keterkejutannya. "Buku diary Elsa?!" serunya, tak percaya. "Tapi tidak mungkin, kan, kalau yang menulis itu Elsa, yang berpura-pura menjadi kamu?"Silla menggeleng pelan, kepalanya terasa berat. "Tidak, Kak. Elsa tidak mungkin melakukan itu." Nada suaranya tegas, penuh keyakinan. "Untuk apa dia melakukan hal seperti itu?"Nathan merenung sejenak, jari-jarinya mengetuk-ngetuk nakas. "Ya, aku juga tidak percaya kalau Elsa yang melakukannya. Tapi... sepertinya kita harus bertemu Elsa bertiga besok. Kita harus menanyakan semua ini padanya.""Aku setuju, Kak." Silla mengangguk
"Tapi, Kak ... kenapa Elsa bisa berselingkuh, apalagi dengan Daddy? Apa alasannya?" tanya Silla, suaranya bergetar, terbebani oleh keterkejutan yang baru saja dialaminya setelah menonton video syur tersebut.Nathan menjawab dengan suara berat, meskipun raut wajahnya berusaha tegar. Kekecewaan dan luka terpancar dari sorot matanya. "Aku tidak tau alasannya, tapi aku sendiri tidak peduli. Karena apapun alasannya ... intinya dia adalah perempuan yang tidak setia. Aku kecewa, Sil." Kata-katanya tegas, namun di baliknya tersimpan kesedihan yang dalam.Dahlia menarik napas panjang, suaranya teredam oleh rasa getir yang membanjiri hatinya. "Sudahlah, Tan. Tidak perlu membahas masalah Elsa lagi. Mommy muak rasanya." Matanya berkaca-kaca, menahan beban emosi yang begitu berat. "Seperti yang kamu katakan, kita fokus pada perceraian saja, ya, Tan?" Harapannya terpancar dalam tatapannya yang lelah.Nathan mengangguk pelan, sentuhan lembutnya di punggung tangan Dahlia seakan ingin meringanka
Keesokan harinya, suasana rumah masih diliputi kesedihan. Herlin menatap punggung suaminya yang tengah bersiap, setelan jas abu tua itu seakan menggambarkan beratnya beban yang dipikul Haikal."Papa ... Papa hari ini langsung mencari Silla lagi, atau ke kantor dulu?" tanyanya lirih, suaranya terdengar khawatir.Haikal berbalik, matanya lelah. "Sebenarnya, Papa mau langsung mencari Silla. Tapi Papa ada rapat penting yang sudah berkali-kali diundur dan tak bisa ditunda lagi." Suaranya terdengar lesu, penuh penyesalan.Herlin mengusap lembut lengan suaminya. "Biarkan Shaka yang mencari Silla, Pa. Nathan juga pasti ikut, kan?"Haikal menggeleng pelan. "Nathan tidak perlu ikut, Ma. Nanti Mama hubungi Nathan saja, suruh dia menghabiskan waktu seharian dengan Elsa. Kasihan Elsa, dia pasti merasa terabaikan karena kita sibuk mencari Silla."Rasa bersalah terpancar dari sorot matanya. Haikal telah berjanji akan lebih memperhatikan Elsa, anak kandungnya yang selama ini mungkin merasa kura
Sementara Nathan terpaku di sofa, seakan membeku oleh beban suasana."Elsa, jawab pertanyaan Mommy!" desis Dahlia, tak sabar menunggu penjelasan dari menantunya. Suaranya bergetar, menahan amarah yang membuncah.Air mata Elsa berlinang. Suaranya terbata-bata, "Aku... aku minta maaf, Mom. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Daddy. Semuanya... semuanya terjadi karena Daddy yang memaksaku."Dahlia mengerutkan dahi, tak percaya. "Memaksa? Rekaman itu tidak menunjukkan hal itu, Elsa. Sudahlah, berhenti berkelit. Lebih baik jujur saja."Tangis Elsa semakin menjadi. "Aku sudah jujur, Mom! Tapi bagaimana caranya agar Mommy dan Mas Nathan percaya? Dad ...." Pandangannya mencari Darwin yang sedari tadi hanya diam. "Dad, tolong bicaralah. Katakan pada Mommy dan Mas Nathan bahwa semuanya tidak benar. Daddy yang memaksaku, kan?"Semua mata tertuju pada Darwin. Keheningan mencekam ruangan.Pria itu menarik napas panjang, berat. "Elsa, ku sangka."Mata Elsa melebar, bingung. "Salah san
Dahlia menatap Elsa, matanya berkaca-kaca, menahan gelombang emosi yang hampir membanjiri dirinya. Dia berusaha keras memberikan ruang bagi Elsa untuk berbicara, untuk menjelaskan, meskipun hatinya remuk berkeping-keping."Bukti yang Mommy maksud... rekaman yang Nathan lihat," suara Dahlia bergetar, jari-jarinya gemetar saat dia membuka laptop dan memutar rekaman itu kembali. Adegan ciuman Elsa dan Darwin terputar di layar, menusuk jantungnya seperti sebilah pisau. Dia sengaja memutarnya lagi, agar tak ada yang bisa mengelak, tak ada yang bisa bersembunyi di balik kebohongan."Apa... apa ini?!" Elsa tersentak, matanya melebar tak percaya. Dia buru-buru menutup laptop, mencoba menghentikan tayangan yang begitu memalukan."Harusnya Mommy yang bertanya begitu." Suara Dahlia tercekat, suaranya bercampur amarah dan kepedihan. "Apa yang membuat kalian tega melakukan ini pada kami? Kenapa kalian begitu kejam?" Air matanya jatuh membasahi pipinya. Tatapannya tajam, menusuk ke dalam jiwa Elsa
Rekaman video itu menampilkan kamar Nathan. Elsa terbaring di tempat tidur, namun yang membuat jantung Nathan berdebar kencang adalah pakaiannya.Elsa mengenakan lingerie sutra berwarna merah marun, sejenis lingerie yang belum pernah dilihat Nathan sebelumnya. Sepertinya lingerie baru. Nathan terpaku. Untuk apa Elsa mengenakan pakaian seperti itu di rumah orang tuanya? Pertanyaan itu menusuk-nusuk pikirannya.Pikiran Nathan melayang. Saat Elsa berada di sana... bukankah itu saat Nathan seharusnya bersama Silla? Kecurigaan itu mulai mengakar kuat dalam benaknya, semakin menguat saat sosok Darwin muncul dari balik pintu.'Daddy?? Kenapa Daddy masuk ke kamarku, dan Elsa...?' Batin Nathan. Matanya membulat sempurna saat menyaksikan adegan yang tak terbayangkan: Darwin mencium bibir Elsa dengan penuh g*irah, dan Elsa menyambutnya dengan sebuah pelukan yang erat.Sebuah amarah membara membakar seluruh tubuh Nathan. "Brengsek!!" teriaknya, suara itu pecah dan penuh kepedihan. Rek
"Bagaimana, Pa? Apa kabar dari polisi? Sudah ada kabar tentang Nathan dan Silla?" tanya Herlin, suaranya dipenuhi kecemasan. Sinar matahari siang yang terik menyinari halaman rumah, namun tak mampu menghangatkan hati yang dipenuhi kekhawatiran.Haikal baru saja menutup telepon dengan petugas kepolisian yang ditugaskan mencari Nathan. Sejak petir menyambar dan memisahkan mereka dari menantunya di tengah guyuran hujan kemarin, Haikal belum berhasil menemukan Nathan. Hanya mobilnya yang tertinggal di tempat kejadian."Belum ada, Ma," jawab Haikal, menggelengkan kepala frustasi. Keringat membasahi dahinya, meski udara terasa panas."Sebaiknya kita beri tahu orang tua Nathan, Pa?" usul Herlin, suaranya sedikit gemetar. Dia tampak lelah, namun tetap tegar."Tunggu dulu, Ma. Kita usahakan dulu hari ini. Kalau sampai sore belum ada kabar… baru kita hubungi mereka." Haikal tak ingin menambah beban kekhawatiran orang tua Nathan, apalagi dengan kabar keberadaan Silla yang belum menemukan titi
Beberapa detik Silla membiarkan bibirnya menyatu dengan bibir Nathan, sebelum akhirnya membalas kecupan itu dengan penuh perasaan. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara dengkuran halus yang keluar dari bibir Nathan. Pria itu tertidur begitu cepat, tanpa diduga.'Tidak mungkin, Kak Nathan tidur secepat ini? Baru saja dia menciumku. Kukira tadi dia benar-benar ingin berciuman,' batin Silla, rasa kecewa menusuk hatinya. Namun, melihat Nathan tidur dengan tenang dan tanpa beban, sebuah rasa lega dan bahagia pun menyusup hatinya.'Ya sudahlah, tak apa. Anggap saja tadi adalah kecupan perpisahan kita. Karena besok, jika Kak Nathan sudah diizinkan pulang dari rumah sakit... otomatis dia akan pulang ke rumah dan tidak akan bertemu denganku lagi,' batin Silla pilu. Kepalanya bersandar di dada Nathan, air mata mulai membasahi pipinya.***Seperti yang Silla duga semalam, pagi ini dokter mengizinkan Nathan pulang. Kabar itu membawanya pada kelegaan yang begitu dalam, sebuah beban se
"E-eh!! Eemm ... Terima kasih, Kak." Wajah Silla memerah, malu-malu. Pandangannya tertunduk.Nathan berusaha bangun dari ranjang, ingin menuju kamar mandi. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat."Aaww!!" ringis Nathan, menahan rasa sakit yang menusuk."Kakak kenapa? Kenapa bangun?" Silla dengan sigap mengulurkan tangan, menyentuh dahi Nathan saat pria itu memegangi kepalanya."Aku mau kencing, Sil. Tapi kepalaku sangat sakit." Suaranya terdengar lemah."Kencing di sini saja, Kak. Sebentar ... aku carikan botol." Silla menawarkan solusi yang spontan, tanpa berpikir panjang."Jangan, Sil! Masa pakai botol?" Nathan menahan tangan Silla yang hendak mencari botol. Bayangannya saja sudah membuatnya merasa malu."Tadi Kakak bilang kepalanya sakit," Silla mengingatkan dengan nada lembut, namun tetap bersikeras."Memang sakit. Tapi tidak perlu sampai kencing di botol juga, Sil." Wajah Nathan memerah menahan malu. "Tolong bantu aku saja, antar ke kamar mandi." Suaranya terdengar lir
"Karena aku men …," ujar Nathan, suaranya terputus. Rasa malu membanjiri dirinya, dua pipinya memerah padam.Silla mengamati wajah Nathan yang memerah. "Lho, Kakak demam lagi?" tanyanya, jari-jari lentiknya menyentuh dahi sang suami. Kulit Nathan memang terasa panas, namun ini bukan karena demam. "Sebentar, aku panggil dokter, ya, Kak. Tunggu—"Silla berdiri, hendak melangkah pergi, namun Nathan menahan lengannya."Tidak usah, ini bukan demam. Aku baik-baik saja.""Tapi badan Kakak panas," Silla menyentuh leher Nathan, sentuhannya membuat jantung Nathan berdebar-debar semakin kencang. Wajahnya memerah semakin dalam."Iya, tidak apa-apa. Nanti juga hilang sendiri. Duduklah lagi.""Eemmm… baiklah," Silla duduk kembali, raut wajahnya masih dipenuhi keraguan. "Jadi, alasan Kakak tidak mau cerai denganku apa?"Nathan menarik napas dalam-dalam. "Tidak ada alasan. Intinya, aku ingin terus bersamamu.""Elsa? Bagaimana dengan Elsa?" Silla mengerutkan dahi, kebingungan mencengk