Keesokan harinya, Nathan perlahan membuka mata, kepalanya terasa berat."Aduhh ... sakit sekali," lirihnya. Pandangannya jatuh pada Silla yang tertidur di sampingnya. Wajahnya tampak lelah, namun saat Nathan melihat lebih dekat, jantungnya berdebar kencang. "Ya Allah, apa yang terjadi? Kenapa aku dan Silla..." Nathan terkesiap, apalagi saat menyadari mereka berdua berada di bawah satu selimut, tanpa busana.Silla mengerang pelan, matanya perlahan terbuka dan bertemu dengan tatapan panik Nathan. "Hmm... Kakak kena—""Kenapa kamu ada di kamarku?¡" tanya Nathan, suaranya sedikit meninggi. Dia buru-buru bangkit dari tempat tidur, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai.Nathan merasa malu dan canggung. Dia memakai salah satu kain untuk menutupi tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Silla masih terdiam di tempat tidur, matanya menatap Nathan dengan ekspresi bingung."Ada apa dengan Kak Nathan? Kenapa dia pergi ke kamar mandi? Dan tadi, dia juga kenapa bertanya aku ada di kama
"Aku ... aku kan udah ngirim chat, ya, sama Mas ... kalau aku pergi ke toko karena ada pesanan? Apa Mas lupa, nggak ngecek hape?" Elsa menjawab, suaranya sedikit gemetar.Nathan buru-buru merogoh kantong celananya, mencari ponselnya. Benarkah Elsa sudah mengirim pesan?Dan benar saja, di sana tertera pesan dari Elsa yang meminta izin untuk pergi ke toko bunga karena ada pesanan mendadak dan banyak. Pesanan yang tak bisa ditunda hingga besok. Namun, Nathan bingung. Kenapa Elsa baru pulang pagi?"Tapi kenapa kamu pulang pagi? Apa kamu nginep di sana? Atau kamu pergi ke tempat lain?" Tatapan Nathan menusuk, sorot matanya penuh curiga. Ingatannya melayang ke ucapan teman-temannya semalam saat pesta. Mereka mengatakan sering melihat Elsa pergi ke hotel bersama seorang pria. Ditambah lagi, pernyataan Nuri yang meragukan semua penjelasan Elsa kemarin."Aku ketiduran di toko, Mas. Biasa, kan," jawab Elsa santai, lalu matanya melotot tajam ke arah Silla yang hendak beranjak dari tempat tidur.
"Mas kok belain Silla, sih?" tanya Elsa dengan ketus. Tidak suka dengan apa yang didengarnya barusan. Nada suaranya tajam."Bukan aku membelanya, tapi memang itu salahku." Nathan berusaha menjelaskan dengan tenang, meskipun hatinya juga tak kalah panas mendengar nada bicara Elsa.Alasan Nathan berkata demikian, karena dia sendiri sudah menelepon Yasir untuk mengkonfirmasi apakah benar dengan yang dikatakan Silla, bahwa kemarin dia mabuk? Dan memang masuk akal juga jika Nathan mabuk parah hingga tak sadarkan diri, karena yang dilakukannya bersama Silla sudah diluar batas."Jadi Mas kemarin benar-benar melakukan dengan Silla atas dasar Mas pengen, begitu?" Mata Elsa terlihat memerah, emosinya dapat Nathan rasakan. Suara Elsa bergetar, menahan amarah yang hampir meledak."Yang terjadi hanya kecelakaan. Aku tidak ingat, karena aku sendiri mabuk," jelas Nathan."Mabuk?? Jadi Mas mabuk, pulang dari pesta? Tapi kenapa harus mabuk sih, Mas?" Elsa masih belum bisa menerima penjelasan Nathan."
Ting!Suara notifikasi dari ponsel Nathan memecah keheningan di kantornya, tepat saat dia baru saja tiba.Dengan cepat, dia melangkah masuk ke ruang kerjanya dan membuka chat yang masuk. Ternyata, itu adalah sebuah video yang dikirim oleh Nuri, rekaman dari kamera CCTV di toko bunga Elsa. Nathan pun memastikan Nuri mendapatkan imbalan yang layak atas bantuannya."Semoga saja apa yang dikatakan Elsa benar. Dia tidak membohongiku." Dengan tangan bergetar, Nathan mulai menekan tombol putar. Jantungnya berdebar kencang, ketakutan menyelimuti pikirannya jika ternyata Elsa berbohong. Di lubuk hatinya yang terdalam, dia sangat berharap itu tidak terjadi.Beberapa menit berlalu, bahkan hingga satu jam, Nathan mempercepat rekaman tersebut hingga selesai. Namun, betapa hancurnya hatinya saat menyadari bahwa Elsa sama sekali tidak ada di sana. Malam itu, Elsa tidak pergi ke toko bunga, apalagi menginap. Ini berarti dia benar-benar berbohong."Tega kamu, Sa, sama aku!" teriak Nathan, mengepalkan
"Terus, hubunganmu dengan Silla sendiri bagaimana? Apa benar yang dikatakan Elsa, kalau kalian itu menjadi sangat dekat sekarang? Bisa jadi... apa yang Elsa lakukan dipengaruhi oleh apa yang kamu lakukan, Tan."Nathan menggeleng, raut wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan yang dalam. "Aku sama Silla biasa saja, Dad. Nggak dekat sama sekali. Mungkin hanya perasaan Elsa saja, tapi bukan berarti dia berhak mengkhianatiku, kan? Aku menikah lagi demi dia juga. Seharusnya dia tidak perlu berprasangka buruk tentang hubunganku dengan Silla." Suaranya terdengar sedikit getir.Darwin mengangguk, memahami namun turut merasa berat. "Iya, Tan, Daddy mengerti. Tapi Daddy berharap... hubunganmu dengan Elsa bisa kembali harmonis seperti dulu. Semoga ada jalan keluar untuk masalah kalian. Ingat, di hatimu hanya ada dia. Jangan terlalu keras padanya. Jangan terus bertengkar." Nada suaranya lembut, penuh kasih sayang namun juga sedikit cemas.Nathan terdiam, pandangannya kosong."Ya sudah, kalau begitu D
Herlin melangkah cepat menuju toilet wanita, hatinya berdebar-debar. "Silla ... Sayang." Dia memeriksa satu per satu kabin toilet, memanggil nama Silla dengan suara lembut namun penuh harap. Namun, tidak ada jawaban dan ruangannya juga kosong. "Ke mana si Silla?" Herlin menoleh ke kanan dan kiri, matanya tertuju pada satu kabin toilet yang tertutup rapat. Itu adalah kabin terakhir toilet wanita yang belum dia buka, berharap Silla ada di sana. Dia melangkah mendekat. "Silla? Kamu di dalam?" Tok! Tok! Tok! Herlin mengetuk pintu. Sayang, tidak ada jawaban. Herlin mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Silla, buka pintunya! Mama khawatir!" Hening. Herlin pun mulai panik. Dia mencoba membuka pintu toilet, namun terkunci dari dalam. "Silla, apa kamu baik-baik saja?" Suaranya bergetar. Dia terus memutar handle pintu, berusaha untuk bisa membukanya. "Silla!!" "Ada apa, Bu?" Tiba-tiba, seorang cleaning service muncul dari balik sudut toilet. Dia membawa alat pel. "Kok Ibu teriak-teri
Silla membuka mata perlahan, pandangannya masih kabur. Ruangan putih rumah sakit memenuhi penglihatannya. Dahi berkerut, kepalanya terasa berat, ingatannya buram. "Di mana aku? Apakah ini rumah sakit?" Seingat Silla, dia berada di toilet. Mual yang tak tertahankan menyerangnya. Isi perutnya tumpah tak terkendali, gelombang demi gelombang. Sakit kepala yang menusuk, pandangannya menggelap... lalu, tubuhnya oleng. "Silla... Sayang." Suara lembut Herlin memecah kesunyian. Wanita itu berdiri di samping tempat tidurnya, bersama Haikal. Wajah Herlin dihiasi senyum simpatik, namun sorot matanya penuh kebahagiaan ."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah masih mual, Sayang?" Silla mengerang pelan. "Kepalaku masih berat, Ma. Tapi sudah tidak terlalu mual." Suaranya lemah, namun lega karena rasa mual yang menyiksa sedikit mereda. "Oh ya, kok aku bisa ada di rumah sakit, Ma?" tanyanya, kebingungan masih membayangi. "Kamu pingsan di toilet, Sayang," jawab Haikal lembut, jari-jarinya membelai ra
Nanti baca ulang bab 30 ya, guys. Ada kesalahan isi bab soalnya. setelah itu lanjut ke bab ini.***"Ngapain juga harus melihatnya secara langsung sih, Mas? Nggak penting banget. Yang penting 'kan Dokter udah ngomong dia dalam keadaan baik-baik saja." Elsa merengut kesal, tampak tidak senang mendengar jawaban Nathan.Pria itu hanya menghela napas dengan berat, memutuskan untuk mengakhiri obrolan tentang Silla."Udah... mending sekarang kita tidur, Mas," ajak Elsa. Tangannya menarik lengan Nathan, mengajaknya berbaring bersama di atas kasur yang nyaman.Selimut tebal membungkus tubuh mereka. Elsa, dengan tenang, langsung terlelap dalam pelukan Nathan. Namun, tidur tak kunjung datang bagi Nathan. Bayangan wajah Silla, pucat dan lemah, menghantui pikirannya.'Apa aku coba video call Silla saja, ya? Untuk memastikan keadaannya?'Pikiran itu muncul, menawarkan secercah harapan. Nathan meraih ponselnya di atas nakas. Namun, kenyataan pahit menerjangnya—dia baru menyadari bahwa tak me
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut
"Permisi, Pak Satpam. Aku ingin bertemu Pak Dayat, Kepala Sekolah. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?" Nathan bertanya dengan sopan kepada satpam yang berjaga di depan gerbang. Pak Dayat adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.Satpam mengamati Nathan dengan seksama. "Ada, Pak. Tapi, saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya. Ada keperluan apa, Pak?" Dia menatap asing pada Nathan."Aku salah satu mantan murid sekolah ini, Pak. Dan kedatanganku karena ada keperluan dengan Pak Dayat.""Oh, begitu. Baiklah, mari saya antar." Satpam itu tersenyum ramah, lalu mengarahkan Nathan menuju ruang kepala sekolah.Tok... tok... tok...Satpam mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan tiga ketukan yang teratur. "Permisi, Pak Dayat. Ada yang ingin bertemu Bapak.""Siapa?" Suara Pak Dayat terdengar dari dalam."Beliau mengaku sebagai mantan murid di sekolah ini, Pak, dan kedatangannya karena ada keperluan dengan Bapak.""Suruh masuk.""Baik, Pak." Satpam membuka pintu perlahan, mempers
"Entah mengapa... aku masih penasaran dan tidak puas dengan jawaban Elsa waktu itu. Apa aku perlu mencari tau lebih lanjut?" Silla duduk termenung di kamarnya, memikirkan masalah surat yang belum terpecahkan. Kedua tangannya terlihat gemetar memegang gelas yang berisi susu ibu hamil buatan Herlin. Kegelisahan tampak jelas terpancar dari raut wajahnya. "Buku diary itu... Apakah buku itu masih ada??" Silla tampak berpikir sejenak, lalu menenggakkan susu ibu hamil hingga habis. Dia berdiri dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas. Sebuah tekad mulai terpatri di matanya. "Mungkin saja masih ada di gudang, aku coba cari saja deh. Buat memastikan kemiripan kertas itu. Dan aku juga mau tau ... apa alasan dibalik orang yang dengan sengaja membuat aku dan Kak Nathan salah paham." Tekad bulat telah terpatri di hatinya. Silla bergegas menuju gudang yang terletak di samping dapur. Dia berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Gudang itu penuh sesak deng
"Mommy mengatakan hal itu karena Mommy merasa ada yang tidak beres dengan Daddy. Mommy yakin Daddy memiliki perempuan lain," jelas Dahlia, suaranya bergetar menahan air mata.Nathan mengerutkan dahi, ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang membuat Mommy curiga? Apakah Mommy pernah memergoki Daddy bersama perempuan lain?""Tidak memergoki, tapi Mommy pernah menemukan bekas lipstik di kemeja Daddy. Dan Mommy ingin meminta bantuanmu, Tan. Hanya kamu yang bisa membantu Mommy." Air mata Dahlia mulai menetes."Apa yang harus kulakukan, Mom?" tanya Nathan, hatinya teriris melihat kesedihan Mommy-nya."Kamu 'kan laki-laki ... pasti punya banyak kenalan. Carikan seseorang yang mau dibayar untuk membuntuti Daddy sampai menemukan bukti perselingkuhannya." Suaranya terdengar putus asa.Nathan terdiam. Bukannya dia tak mau membantu, tentu saja dia akan menjadi benteng terdepan untuk melindungi Mommy yang terluka. Namun, bukankah lebih baik Mommy berbicara langsung kepada D