"Mas kok belain Silla, sih?" tanya Elsa dengan ketus. Tidak suka dengan apa yang didengarnya barusan. Nada suaranya tajam."Bukan aku membelanya, tapi memang itu salahku." Nathan berusaha menjelaskan dengan tenang, meskipun hatinya juga tak kalah panas mendengar nada bicara Elsa.Alasan Nathan berkata demikian, karena dia sendiri sudah menelepon Yasir untuk mengkonfirmasi apakah benar dengan yang dikatakan Silla, bahwa kemarin dia mabuk? Dan memang masuk akal juga jika Nathan mabuk parah hingga tak sadarkan diri, karena yang dilakukannya bersama Silla sudah diluar batas."Jadi Mas kemarin benar-benar melakukan dengan Silla atas dasar Mas pengen, begitu?" Mata Elsa terlihat memerah, emosinya dapat Nathan rasakan. Suara Elsa bergetar, menahan amarah yang hampir meledak."Yang terjadi hanya kecelakaan. Aku tidak ingat, karena aku sendiri mabuk," jelas Nathan."Mabuk?? Jadi Mas mabuk, pulang dari pesta? Tapi kenapa harus mabuk sih, Mas?" Elsa masih belum bisa menerima penjelasan Nathan."
Ting!Suara notifikasi dari ponsel Nathan memecah keheningan di kantornya, tepat saat dia baru saja tiba.Dengan cepat, dia melangkah masuk ke ruang kerjanya dan membuka chat yang masuk. Ternyata, itu adalah sebuah video yang dikirim oleh Nuri, rekaman dari kamera CCTV di toko bunga Elsa. Nathan pun memastikan Nuri mendapatkan imbalan yang layak atas bantuannya."Semoga saja apa yang dikatakan Elsa benar. Dia tidak membohongiku." Dengan tangan bergetar, Nathan mulai menekan tombol putar. Jantungnya berdebar kencang, ketakutan menyelimuti pikirannya jika ternyata Elsa berbohong. Di lubuk hatinya yang terdalam, dia sangat berharap itu tidak terjadi.Beberapa menit berlalu, bahkan hingga satu jam, Nathan mempercepat rekaman tersebut hingga selesai. Namun, betapa hancurnya hatinya saat menyadari bahwa Elsa sama sekali tidak ada di sana. Malam itu, Elsa tidak pergi ke toko bunga, apalagi menginap. Ini berarti dia benar-benar berbohong."Tega kamu, Sa, sama aku!" teriak Nathan, mengepalkan
"Terus, hubunganmu dengan Silla sendiri bagaimana? Apa benar yang dikatakan Elsa, kalau kalian itu menjadi sangat dekat sekarang? Bisa jadi... apa yang Elsa lakukan dipengaruhi oleh apa yang kamu lakukan, Tan."Nathan menggeleng, raut wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan yang dalam. "Aku sama Silla biasa saja, Dad. Nggak dekat sama sekali. Mungkin hanya perasaan Elsa saja, tapi bukan berarti dia berhak mengkhianatiku, kan? Aku menikah lagi demi dia juga. Seharusnya dia tidak perlu berprasangka buruk tentang hubunganku dengan Silla." Suaranya terdengar sedikit getir.Darwin mengangguk, memahami namun turut merasa berat. "Iya, Tan, Daddy mengerti. Tapi Daddy berharap... hubunganmu dengan Elsa bisa kembali harmonis seperti dulu. Semoga ada jalan keluar untuk masalah kalian. Ingat, di hatimu hanya ada dia. Jangan terlalu keras padanya. Jangan terus bertengkar." Nada suaranya lembut, penuh kasih sayang namun juga sedikit cemas.Nathan terdiam, pandangannya kosong."Ya sudah, kalau begitu D
Herlin melangkah cepat menuju toilet wanita, hatinya berdebar-debar. "Silla ... Sayang." Dia memeriksa satu per satu kabin toilet, memanggil nama Silla dengan suara lembut namun penuh harap. Namun, tidak ada jawaban dan ruangannya juga kosong. "Ke mana si Silla?" Herlin menoleh ke kanan dan kiri, matanya tertuju pada satu kabin toilet yang tertutup rapat. Itu adalah kabin terakhir toilet wanita yang belum dia buka, berharap Silla ada di sana. Dia melangkah mendekat. "Silla? Kamu di dalam?" Tok! Tok! Tok! Herlin mengetuk pintu. Sayang, tidak ada jawaban. Herlin mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Silla, buka pintunya! Mama khawatir!" Hening. Herlin pun mulai panik. Dia mencoba membuka pintu toilet, namun terkunci dari dalam. "Silla, apa kamu baik-baik saja?" Suaranya bergetar. Dia terus memutar handle pintu, berusaha untuk bisa membukanya. "Silla!!" "Ada apa, Bu?" Tiba-tiba, seorang cleaning service muncul dari balik sudut toilet. Dia membawa alat pel. "Kok Ibu teriak-teri
Silla membuka mata perlahan, pandangannya masih kabur. Ruangan putih rumah sakit memenuhi penglihatannya. Dahi berkerut, kepalanya terasa berat, ingatannya buram. "Di mana aku? Apakah ini rumah sakit?" Seingat Silla, dia berada di toilet. Mual yang tak tertahankan menyerangnya. Isi perutnya tumpah tak terkendali, gelombang demi gelombang. Sakit kepala yang menusuk, pandangannya menggelap... lalu, tubuhnya oleng. "Silla... Sayang." Suara lembut Herlin memecah kesunyian. Wanita itu berdiri di samping tempat tidurnya, bersama Haikal. Wajah Herlin dihiasi senyum simpatik, namun sorot matanya penuh kebahagiaan ."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah masih mual, Sayang?" Silla mengerang pelan. "Kepalaku masih berat, Ma. Tapi sudah tidak terlalu mual." Suaranya lemah, namun lega karena rasa mual yang menyiksa sedikit mereda. "Oh ya, kok aku bisa ada di rumah sakit, Ma?" tanyanya, kebingungan masih membayangi. "Kamu pingsan di toilet, Sayang," jawab Haikal lembut, jari-jarinya membelai ra
Nanti baca ulang bab 30 ya, guys. Ada kesalahan isi bab soalnya. setelah itu lanjut ke bab ini.***"Ngapain juga harus melihatnya secara langsung sih, Mas? Nggak penting banget. Yang penting 'kan Dokter udah ngomong dia dalam keadaan baik-baik saja." Elsa merengut kesal, tampak tidak senang mendengar jawaban Nathan.Pria itu hanya menghela napas dengan berat, memutuskan untuk mengakhiri obrolan tentang Silla."Udah... mending sekarang kita tidur, Mas," ajak Elsa. Tangannya menarik lengan Nathan, mengajaknya berbaring bersama di atas kasur yang nyaman.Selimut tebal membungkus tubuh mereka. Elsa, dengan tenang, langsung terlelap dalam pelukan Nathan. Namun, tidur tak kunjung datang bagi Nathan. Bayangan wajah Silla, pucat dan lemah, menghantui pikirannya.'Apa aku coba video call Silla saja, ya? Untuk memastikan keadaannya?'Pikiran itu muncul, menawarkan secercah harapan. Nathan meraih ponselnya di atas nakas. Namun, kenyataan pahit menerjangnya—dia baru menyadari bahwa tak me
"Iya ... Pak Haikal memberitahu bahwa Nona masuk rumah sakit. Jadi aku datang untuk menjenguk." Shaka menarik kursi kecil di dekat ranjang Silla. Dia meletakkan parsel buah yang dibawanya, lalu memberikan sebuket bunga pada saat Silla bangkit untuk duduk. "Apa aku mengganggu waktu istirahat Nona?""Enggak kok, Kak." Silla menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk kantong infusan yang menggantung, tampak tersisa sedikit lagi. "Lagian setelah kantong infusan ini habis ... dokter sudah mengizinkanku pulang, Kak."Senyum Shaka merekah, hangat dan tulus. "Syukurlah. Artinya Nona sudah jauh lebih baik? Oh ya, aku lupa mengucapkan selamat atas kehamilan Nona.""Terima kasih, Kak," jawab Silla, suaranya masih sedikit lemah."Kalau semisalnya Nona membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk bicara padaku, ya! Perempuan hamil, terutama di awal kehamilan, seringkali memiliki keinginan yang aneh-aneh. Bawaan bayi, katanya." Shaka berucap dengan penuh perhatian. "Dan kalau tidak bisa dituruti, katan
"Tadi 'kan aku membuangnya, jadi aku ganti. Kamu bisa mengambilnya dan memakan buah yang dari aku, bukan dari Shaka," jelas Nathan lembut, jemarinya menghapus air mata yang membasahi pipi Silla. Silla tersentak. Wajahnya bersemu merah. 'Kak Nathan menghapus air mataku? Ini nyata? Atau mimpi?' Jantung Silla berdegup kencang, dipenuhi rasa bahagia yang tak terkira. Sentuhan Nathan, lembut dan hangat, membuatnya melayang. Aneh, tapi menyenangkan. Sikap Nathan yang berbeda dari biasanya membuat Silla semakin bertanya-tanya, semakin tenggelam dalam kebingungan yang manis. Nathan menarik kursi bekas Shaka, lalu duduk di sana sambil bersedekap. Tatapannya terpaku pada Silla, mengamati setiap detail wajah dan tubuhnya.Bukan sekadar melihat, tapi seakan ingin membaca jiwanya. Ada rasa ingin tahu yang membara di matanya, bercampur dengan keraguan yang mengusik. Silla merasakan tatapan itu seperti sentuhan lembut yang membakar pipinya. Detak ja
Beberapa menit setelah kepergian Haikal dan Herlin, keheningan menyelimuti ruangan. Silla mengamati Nathan dengan seksama. Kegelisahan yang disembunyikannya tampak jelas bagi Silla, terlihat dari raut wajahnya yang tegang dan tangannya yang sesekali mengepal. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Nathan. "Kakak kenapa? Dari tadi aku perhatikan... Kakak seperti gelisah. Ada masalah?" tanya Silla dengan lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Dia meraih tangan Nathan, sentuhannya lembut namun penuh perhatian. Nathan menggeleng cepat, namun gerakannya terlihat kaku dan terburu-buru. Dia mencoba untuk menutupi kegelisahannya, tak ingin membuat Silla sedih dan khawatir. Perempuan itu terlihat sangat lelah setelah melahirkan. "Tidak kok," jawabnya, suaranya sedikit serak. "Sekarang kamu istirahat saja, ya? Kamu pasti capek. Atau... kamu lapar? Sebelum melahirkan kamu 'kan belum sempat makan siang." Dia berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kegelisahannya masih terlihat jelas.
"Tapi, Pa—" "Papa baik-baik saja, Ma," potong Haikal meyakinkan. Nathan menghela napas panjang, berat. "Alasannya, aku sendiri belum tau, Ma, Pa. Tapi tentang Elsa... dia sekarang di Bandung, bersama Daddy." Mata Herlin membulat tak percaya. "Bandung? Tadi pagi bukannya di berita, ada gempa di sana, kan?" Suaranya bergetar, khawatir. "Iya, Ma. Benar." Nathan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Lalu, bagaimana keadaan Elsa? Dia tidak apa-apa, kan?" Herlin tampak sangat cemas. "Elsa—" Nathan terhenti. Suara tangis bayi memenuhi ruangan, tangis yang begitu nyaring, menandakan awal kehidupan yang baru. "Ooeee ... Ooeee ... Ooee ...." "Alhamdulillah... Itu anakku, Pa, Ma. Dia sudah lahir," bisik Nathan, suaranya bergetar menahan haru. Dia langsung sujud syukur, air matanya mengalir deras. "Alhamdulillah ya, Allah." Herlin dan Haikal berucap bersama, air mata mereka juga menetes. Seorang dokter wanita dengan seragam operasi keluar. "Selamat, Pak Nathan. Anda telah menjadi ayah
"Sudah apa?" "Daddy-mu sudah meninggal, Tan." Suara Dahlia makin terisak. "Dan pihak polisi meminta tanda tangan Mommy, supaya mereka bisa mengantarkan jenazah Daddy pulang ke Jakarta." "A-apa?! M-meninggal?!" Mata Nathan melebar sempurna. Jantungnya berdebar-debar hebat, tubuhnya menegang kaku. Meskipun kebencian masih membara di hatinya, air mata tak terbendung. Dia menangis pilu, meratapi kepergian ayahnya yang begitu mendadak. "Oh ya, dan satu lagi. Katanya korban perempuan yang ada di sana adalah Elsa, Tan." "Elsa??" Suara Nathan terdengar serak. "Iya." "Elsa sendiri, bagaimana? Apakah dia—" Pertanyaan itu terhenti, digantikan oleh firasat buruk yang semakin kuat. "Elsa juga meninggal. Dia ikut tertimpa reruntuhan bangunan." "APA??" * * *
'Maafkan Daddy, Sayang. Untuk hal ini... Daddy tidak bisa mengabulkan permintaanmu.Bukan apa-apa. Jika itu terjadi, dan Silla meninggal, Daddy bisa di penjara, dan kamu... kamu akan kembali bersama Nathan. Itulah yang Daddy takutkan.'Darwin tersenyum getir, lalu mereka duduk di sofa untuk melaksanakan ijab kabul. Karena Darwin ingin segera menikahi Elsa, pernikahan mereka pun dilakukan secara siri."Saya terima nikah dan kawinnya, Elsa Alfian binti Haikal Alfian, dengan mas kawin ...."Ijab kabul itu diucapkan, menggema khidmat di ruangan. Para saksi yang hadir langsung bersorak gembira."Sah!! Sah!!"Mereka resmi menjadi suami istri.Tiba-tiba, goncangan dahsyat mengguncang seisi ruangan. Bumi bergetar hebat, seakan-akan hendak retak."Dad!! Ada apa ini?? Kenapa semuanya berguncang?" jerit Elsa, panik dan ketakutan. Darwin segera berdiri, meraih tangan Elsa erat, berusaha membawanya keluar."Se
Beberapa bulan kemudian...Tok! Tok! Tok!!Bunyi ketukan palu hakim memecah kesunyian ruang sidang, menandai berakhirnya babak panjang dalam hidup Nathan.Perceraiannya dengan Elsa telah resmi diputuskan. Ironisnya, dari sidang pertama hingga putusan akhir, Elsa tak pernah hadir. Begitu pula Darwin, yang seolah menghilang ditelan bumi. Ketiadaan mereka seakan menjadi saksi bisu atas berakhirnya sebuah ikatan."Kak ... ke mana ya, Elsa? Sejak awal hingga akhir sidang, dia tak pernah datang. Apakah dia baik-baik saja?" tanya Silla, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Dia setia menemani Nathan, meski memilih menunggu di mobil sesuai permintaan suaminya.Nathan menghela napas panjang. "Aku tak tau, Sayang. Papa dan Mama sudah mencoba menghubunginya, tapi... sudahlah. Biarkan saja. Yang terpenting, aku dan Elsa sudah resmi bercerai."Silla mengangguk pelan. "Iya, Kak.""Baiklah... sekarang kita makan, ya? Setelah itu, kit
"Alhamdulillah... akhirnya Papa sudah bangun."Herlin tersenyum haru, melihat sang suami baru saja siuman. Haikal menatapnya dengan tersenyum tipis, manik matanya berkeliling menatap sekitar."Bagaimana keadaan Papa sekarang? Apa yang Papa rasakan? Apa dada Papa masih sakit?" Masih dengan raut kecemasan, Herlin menyentuh lembut dada suaminya."Enggak. Papa baik-baik saja." Haikal menjawab dengan lirih, menggeleng pelan. "Silla dan Nathan ke mana, Ma? Dan Papa sakit apa?""Mereka ada di sana, Pa." Herlin menunjuk ke arah lantai, dekat ranjang. Di sana ada Silla dan Nathan yang tengah tertidur dengan balutan satu selimut beralaskan kasur lantai. "Dan Papa sempat kena serangan jantung kata Dokter. Tapi sekarang Papa pasti akan segera sembuh, Papa jangan memikirkan hal yang berat-berat dulu, ya?"Mata Haikal berkaca, linangan air matanya perlahan membasahi pipi. "Bagaimana Papa tidak memikirkannya, sementara Elsa selalu membuat ulah. Masalah dengan Silla saja belum selesai, sekarang ada l
"Tentu saja, Sayang. Daddy tidak berbohong," bisik Darwin, senyumnya manis namun terasa hampa bagi Elsa. "Karena itu, lepaskan Nathan. Daddy jauh lebih baik darinya, Sayang." Kalimat Darwin terasa seperti sebilah pisau yang menusuk hati Elsa. Dilema menghimpitnya. Benar, kepercayaan Nathan telah hilang, hubungannya dengan Silla semakin erat, apalagi Silla kini mengandung. Nathan pasti lebih memihak Silla. Tapi… merelakan Nathan? Mustahil. Hati Elsa menolak. Air mata mengancam membasahi pipinya. 'Kenapa… kenapa lagi-lagi aku yang sial? Silla selalu bahagia. Ketidakadilan ini… aku tak sanggup!' Rasa iri dan sakit hati membakar jiwanya. Darwin menunggu, sabar namun penuh tekanan. "Bagaimana? Apa kau setuju?" tanyanya akhirnya. Elsa menarik napas panjang, dadanya sesak. "Baiklah .…" suaranya tercekat. "Aku akan bersama Daddy. Tapi… aku minta satu hal." "Apa itu, Sayang? Katakan." Keheningan mencekam. Tangan Elsa mengepal erat, urat-uratnya menegang. "Aku ingin… Daddy melenyapkan Si
"Keterlaluan sekali Elsa!!" Dia berdiri, tubuhnya menegang, urat-urat di tangannya menegang, mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Bukan hanya amarah, tetapi juga rasa sakit, kecewa, dan hancur yang terpancar dari sorot matanya. "Bagaimana bisa dia melakukan tindakan sebodoh ini? Dan untuk apa dia berselingkuh??" Suaranya bergetar, diselingi napas yang tersengal-sengal, menunjukkan betapa hancurnya hatinya.Herlin, dengan raut wajah yang dipenuhi kekhawatiran, bertanya, "Dengan siapa, Elsa berselingkuh, Tan?" Suaranya terdengar ragu, seperti meraba-raba kebenaran yang menyakitkan."Daddy," jawab Nathan lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun mampu menembus keheningan yang mencekam. Kata itu, "Daddy", menimbulkan bayangan gelap yang mengerikan.Herlin mengerutkan dahi, kebingungan. "Daddy? Daddy siapa?""Daddy Darwin, Ma. Daddy-ku." Jawaban Nathan itu bagai bom yang meledak di tengah ruangan."APA?!" Haikal menjerit, suaranya penuh keputusasaan.
"Daddy minta maaf, atas semua yang Daddy lakukan padamu dan Mommy. Daddy tahu itu salah dan sangat menyakitkan. Tapi Daddy mohon... Jangan hukum Elsa.""Hukum??" Nathan menatap bingung. Ucapan Darwin membuatnya terhenyak, amarah mulai membuncah. "Apa maksudmu—""Daddy tau, kamu pasti akan bercerai dengan Elsa. Begitu juga dengan apa yang Mommy lakukan. Tapi ... jangan ceritakan alasan sebenarnya kepada orang tua Elsa, tentang perselingkuhan Daddy dan dia.""Kenapa?" Nathan mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang."Karena orang tua Elsa pasti akan sangat marah dan kecewa. Elsa sudah cukup menderita, harus berbagi kasih sayang orang tuanya dengan Silla. Jangan sampai karena ini, kasih sayang yang baru dia dapatkan sepenuhnya, akan hilang seketika."Nathan terkekeh getir, menggelengkan kepala. "Apa Daddy pikir, aku sendiri tidak menderita saat tahu kalian bermain api? Bagaimana dengan Mommy? Kenapa yang Daddy pikirkan hanya Elsa, sementara Daddy tak memikirkan betapa hancu