Setelah memilih unit apartemen yang sesuai dari segi lokasi dan harga, Silla dengan tegas memberikan uang muka sebagai tanda jadi dan menandatangani kwitansi yang diserahkan oleh pemilik apartemen."Terima kasih, Nona. Saya akan segera mengurus surat kepemilikan agar selesai dengan cepat," ucap pria tersebut sambil berdiri."Iya, Pak." Silla mengangguk sambil tersenyum. "Kalau begitu saya pamit ya, Pak. Selamat—""Tunggu sebentar," potong pria itu dengan cepat, lalu mengambil sebuah kunci akses dari atas meja dan memberikannya kepada Silla. "Jangan lupa dengan kunci ini, Nona. Anda akan kesulitan masuk jika lupa membawanya," tambahnya sambil tersenyum."Oh iya, Pak. Terima kasih sudah mengingatkan." Silla segera mengambil kunci tersebut sambil tersenyum, kemudian meninggalkan ruangan dan bertemu kembali dengan Abang Ojol yang menunggu di luar."Tujuan kita selanjutnya ke mana, Nona?" tanya Abang Ojol ketika Silla baru saja duduk membonceng di belakang."Restoran, Bang. Sebentar ... ak
"Benerlah, Mas. Kan kemarin aku bilang kalau toko bunga lagi ramai," jawab Elsa dengan penuh keyakinan."Oohh gitu. Baiklah." Nathan mengangguk paham. Mungkin benar, Yasir hanya salah melihat dan dia sendiri seratus persen lebih percaya dengan ucapan Elsa, ketimbang orang lain."Kenapa memangnya, Mas? Mas nggak percaya, sama aku?" tanya Elsa penasaran."Percaya kok, Sayang," sahut Nathan dengan lembut. "Cuma tadi pas di kantor, selesai rapat dengan Yasir ... Yasir sempat ngomong, katanya dia ketemu kamu di hotel."Wajah Elsa langsung berubah pucat, tapi segera dia mengulas senyum sembari meraih kedua pipi Nathan dengan lembut. "Mas sendiri... lebih percaya aku apa Yasir?""Ya kamulah, Yang," jawab Nathan cepat. "Aku yakin kamu nggak mungkin berbohong. Mungkin ... Yasir hanya salah lihat.""Nahhh ... itu Mas tau sendiri jawabannya. Ya udah, sana berangkat. Nanti telat." Elsa berjinjit, lalu mengecup lembut bibir suaminya."Iya, Sayang."Mereka pun keluar bersama dari kamar, Elsa mengan
"Hanya sampai jam makan siang, Pak.""Jam makan siang?!" Mata Nathan seketika membulat sempurna. "Maksudmu, dia pergi dari toko pas jam makan siang?""Benar, Pak.""Sama siapa?""Sendiri.""Habis itu, apakah dia balik lagi? Ke toko bunga?""Enggak, Pak."'Jadi Elsa berbohong??' batin Nathan, merasa tercengang saat mengetahui apa yang baru saja didengarnya. 'Tapi kenapa dia berbohong? Dan kenapa juga Elsa ke hotel? Mau apa dan siapa pria yang bersamanya?'Rasa panas tiba-tiba menyambar dadanya, sebuah api cemburu dan kemarahan melintas dalam pikirannya."Maaf, tapi kenapa ya, Pak? Apa ada masalah?" tanya Nuri yang masih berada dalam sambungan telepon."Enggak kok, aku cuma tanya. Dan oh ya ... satu lagi.""Apa itu, Pak?""Apakah toko bunga hari ini sangat ramai?""Enggak, Pak. Justru sepi, hanya ada tiga pembeli."'Tiga pembeli??' Mata Nathan kembali membola. 'Elsa, kamu benar-benar tega. Kenapa kamu berbohong mengatakan ramai, tapi pada kenyataannya hanya ada tiga pembeli?? Apa maksud
"Kakak... aku—" Silla belum sempat menyelesaikan kalimatnya, bibir Nathan sudah menempel di bibirnya. Ciuman yang tiba-tiba dan tak terduga membuat Silla terkejut. Aroma alkohol yang kuat dari napas Nathan membuatnya sesak, tapi Nathan tak memberi kesempatan untuk menolak. Pria itu memeluk pinggang Silla, tubuhnya terasa panas dan kuat. Dia menggulingkan tubuh Silla, sehingga kini Nathan yang berada di atas. Silla berusaha mendorong dada Nathan, ingin melepaskan diri dari dekapannya. Namun, usahanya sia-sia. Kekuatan Nathan jauh lebih besar. Dia terjebak dalam pelukannya. "Kakak, kenapa—" "Sshh... jangan bergerak," bisik Nathan, suaranya serak dan menggoda. Sentuhannya semakin berani, menelusuri leher Silla dengan jemari yang kasar. Silla terdiam, matanya terpejam, merasakan sentuhan Nathan yang semakin dalam. 'Apa yang Kak Nathan lakukan? Kenapa dia melakukan ini semua?' batin Silla bingung. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk dalam dirinya. Tubuhnya semakin lama
Keesokan harinya, Nathan perlahan membuka mata, kepalanya terasa berat."Aduhh ... sakit sekali," lirihnya. Pandangannya jatuh pada Silla yang tertidur di sampingnya. Wajahnya tampak lelah, namun saat Nathan melihat lebih dekat, jantungnya berdebar kencang. "Ya Allah, apa yang terjadi? Kenapa aku dan Silla..." Nathan terkesiap, apalagi saat menyadari mereka berdua berada di bawah satu selimut, tanpa busana.Silla mengerang pelan, matanya perlahan terbuka dan bertemu dengan tatapan panik Nathan. "Hmm... Kakak kena—""Kenapa kamu ada di kamarku?¡" tanya Nathan, suaranya sedikit meninggi. Dia buru-buru bangkit dari tempat tidur, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai.Nathan merasa malu dan canggung. Dia memakai salah satu kain untuk menutupi tubuhnya, lalu bergegas menuju kamar mandi. Silla masih terdiam di tempat tidur, matanya menatap Nathan dengan ekspresi bingung."Ada apa dengan Kak Nathan? Kenapa dia pergi ke kamar mandi? Dan tadi, dia juga kenapa bertanya aku ada di kama
"Aku ... aku kan udah ngirim chat, ya, sama Mas ... kalau aku pergi ke toko karena ada pesanan? Apa Mas lupa, nggak ngecek hape?" Elsa menjawab, suaranya sedikit gemetar.Nathan buru-buru merogoh kantong celananya, mencari ponselnya. Benarkah Elsa sudah mengirim pesan?Dan benar saja, di sana tertera pesan dari Elsa yang meminta izin untuk pergi ke toko bunga karena ada pesanan mendadak dan banyak. Pesanan yang tak bisa ditunda hingga besok. Namun, Nathan bingung. Kenapa Elsa baru pulang pagi?"Tapi kenapa kamu pulang pagi? Apa kamu nginep di sana? Atau kamu pergi ke tempat lain?" Tatapan Nathan menusuk, sorot matanya penuh curiga. Ingatannya melayang ke ucapan teman-temannya semalam saat pesta. Mereka mengatakan sering melihat Elsa pergi ke hotel bersama seorang pria. Ditambah lagi, pernyataan Nuri yang meragukan semua penjelasan Elsa kemarin."Aku ketiduran di toko, Mas. Biasa, kan," jawab Elsa santai, lalu matanya melotot tajam ke arah Silla yang hendak beranjak dari tempat tidur.
"Mas kok belain Silla, sih?" tanya Elsa dengan ketus. Tidak suka dengan apa yang didengarnya barusan. Nada suaranya tajam."Bukan aku membelanya, tapi memang itu salahku." Nathan berusaha menjelaskan dengan tenang, meskipun hatinya juga tak kalah panas mendengar nada bicara Elsa.Alasan Nathan berkata demikian, karena dia sendiri sudah menelepon Yasir untuk mengkonfirmasi apakah benar dengan yang dikatakan Silla, bahwa kemarin dia mabuk? Dan memang masuk akal juga jika Nathan mabuk parah hingga tak sadarkan diri, karena yang dilakukannya bersama Silla sudah diluar batas."Jadi Mas kemarin benar-benar melakukan dengan Silla atas dasar Mas pengen, begitu?" Mata Elsa terlihat memerah, emosinya dapat Nathan rasakan. Suara Elsa bergetar, menahan amarah yang hampir meledak."Yang terjadi hanya kecelakaan. Aku tidak ingat, karena aku sendiri mabuk," jelas Nathan."Mabuk?? Jadi Mas mabuk, pulang dari pesta? Tapi kenapa harus mabuk sih, Mas?" Elsa masih belum bisa menerima penjelasan Nathan."
Ting!Suara notifikasi dari ponsel Nathan memecah keheningan di kantornya, tepat saat dia baru saja tiba.Dengan cepat, dia melangkah masuk ke ruang kerjanya dan membuka chat yang masuk. Ternyata, itu adalah sebuah video yang dikirim oleh Nuri, rekaman dari kamera CCTV di toko bunga Elsa. Nathan pun memastikan Nuri mendapatkan imbalan yang layak atas bantuannya."Semoga saja apa yang dikatakan Elsa benar. Dia tidak membohongiku." Dengan tangan bergetar, Nathan mulai menekan tombol putar. Jantungnya berdebar kencang, ketakutan menyelimuti pikirannya jika ternyata Elsa berbohong. Di lubuk hatinya yang terdalam, dia sangat berharap itu tidak terjadi.Beberapa menit berlalu, bahkan hingga satu jam, Nathan mempercepat rekaman tersebut hingga selesai. Namun, betapa hancurnya hatinya saat menyadari bahwa Elsa sama sekali tidak ada di sana. Malam itu, Elsa tidak pergi ke toko bunga, apalagi menginap. Ini berarti dia benar-benar berbohong."Tega kamu, Sa, sama aku!" teriak Nathan, mengepalkan
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut
"Permisi, Pak Satpam. Aku ingin bertemu Pak Dayat, Kepala Sekolah. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?" Nathan bertanya dengan sopan kepada satpam yang berjaga di depan gerbang. Pak Dayat adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.Satpam mengamati Nathan dengan seksama. "Ada, Pak. Tapi, saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya. Ada keperluan apa, Pak?" Dia menatap asing pada Nathan."Aku salah satu mantan murid sekolah ini, Pak. Dan kedatanganku karena ada keperluan dengan Pak Dayat.""Oh, begitu. Baiklah, mari saya antar." Satpam itu tersenyum ramah, lalu mengarahkan Nathan menuju ruang kepala sekolah.Tok... tok... tok...Satpam mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan tiga ketukan yang teratur. "Permisi, Pak Dayat. Ada yang ingin bertemu Bapak.""Siapa?" Suara Pak Dayat terdengar dari dalam."Beliau mengaku sebagai mantan murid di sekolah ini, Pak, dan kedatangannya karena ada keperluan dengan Bapak.""Suruh masuk.""Baik, Pak." Satpam membuka pintu perlahan, mempers
"Entah mengapa... aku masih penasaran dan tidak puas dengan jawaban Elsa waktu itu. Apa aku perlu mencari tau lebih lanjut?" Silla duduk termenung di kamarnya, memikirkan masalah surat yang belum terpecahkan. Kedua tangannya terlihat gemetar memegang gelas yang berisi susu ibu hamil buatan Herlin. Kegelisahan tampak jelas terpancar dari raut wajahnya. "Buku diary itu... Apakah buku itu masih ada??" Silla tampak berpikir sejenak, lalu menenggakkan susu ibu hamil hingga habis. Dia berdiri dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas. Sebuah tekad mulai terpatri di matanya. "Mungkin saja masih ada di gudang, aku coba cari saja deh. Buat memastikan kemiripan kertas itu. Dan aku juga mau tau ... apa alasan dibalik orang yang dengan sengaja membuat aku dan Kak Nathan salah paham." Tekad bulat telah terpatri di hatinya. Silla bergegas menuju gudang yang terletak di samping dapur. Dia berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Gudang itu penuh sesak deng
"Mommy mengatakan hal itu karena Mommy merasa ada yang tidak beres dengan Daddy. Mommy yakin Daddy memiliki perempuan lain," jelas Dahlia, suaranya bergetar menahan air mata.Nathan mengerutkan dahi, ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang membuat Mommy curiga? Apakah Mommy pernah memergoki Daddy bersama perempuan lain?""Tidak memergoki, tapi Mommy pernah menemukan bekas lipstik di kemeja Daddy. Dan Mommy ingin meminta bantuanmu, Tan. Hanya kamu yang bisa membantu Mommy." Air mata Dahlia mulai menetes."Apa yang harus kulakukan, Mom?" tanya Nathan, hatinya teriris melihat kesedihan Mommy-nya."Kamu 'kan laki-laki ... pasti punya banyak kenalan. Carikan seseorang yang mau dibayar untuk membuntuti Daddy sampai menemukan bukti perselingkuhannya." Suaranya terdengar putus asa.Nathan terdiam. Bukannya dia tak mau membantu, tentu saja dia akan menjadi benteng terdepan untuk melindungi Mommy yang terluka. Namun, bukankah lebih baik Mommy berbicara langsung kepada D