"Aku kurang tau, Kak." Silla menggeleng bingung dan mencoba untuk menebak-nebak. "Apa mungkin sama Kak Nathan kali, ya? Atau sama Papa Haikal.""Pak Haikal kebetulan lembur, Nona, dia masih ada di kantor.""Oohh berarti sama Kak Nathan kali," sahut Silla lalu menoleh ke arah Shaka. "Oh ya, Kak. Pas dichat semalam katanya Kakak mau bicara. Bicara apa kira-kira?""Kita bicara di cafe saja, ya, Nona. Sekalian ngopi. Biar enak.""Oke." Silla mengangguk setuju.**Di sebuah cafe yang dikenal dengan kehangatan dan aroma kopi yang menggoda, Shaka dan Silla duduk bersama di meja kecil. Suasana seakan terhenti sejenak ketika Shaka memesan secangkir kopi hitam untuknya dan sepiring cappuccino untuk Silla.Dengan tatapan penuh kekhawatiran, Shaka memulai percakapan yang penuh makna, "Maaf, Nona, jika pertanyaanku mengarah ke arah pribadi. Tapi sebagai seorang pria yang selama ini mencintai Nona, rasanya aku benar-benar nggak percaya dengan tindakan yang Nona lakukan," kata Shaka yang memulai ob
"Aku ingin kamu menyiapkan air hangat untuk mandi," pinta Nathan dengan lembut, suaranya penuh harap."Air hangat?!" Silla terlihat sedikit bingung dengan permintaan Nathan, namun dengan penuh kehati-hatian dia mencoba untuk memahaminya. "Maksudnya, Kakak ingin berendam di dalam bathtub yang aku isi dengan air hangat?""Iya, masa begitu saja kamu nggak mengerti? Ayoklah," ajak Nathan, lalu melangkah lebih dulu menaiki anak tangga.Silla dengan langkah ragu menyusulnya dari belakang, hatinya dipenuhi keraguan saat Nathan membuka pintu kamarnya dengan lembut."Kenapa diam? Bukannya masuk." Nathan menyadari bahwa sang istri sejak tadi diam mematung di depan pintu. Padahal, dia sendiri sudah lebih dulu memasuki kamar."Aku nggak enak buat masuknya, Kak. Ini 'kan kamar Kakak sama Elsa." Silla menatap sekeliling kamar dengan raut bingung, ragu antara masuk atau tidak. Terutama karena Elsa tidak ada di rumah, Silla tidak ingin terjadi kesalahpahaman yang tidak diinginkan."Kenapa memangnya?"
"Oohh ini ... aku habis jatuh tadi, Sa, kepleset," jawab Silla yang terpaksa berbohong. Dia hanya tidak ingin nantinya Elsa berpikir yang tidak-tidak tentangnya terhadap Nathan.Elsa terlihat terkejut dan khawatir mendengar penjelasan Silla. Dia ikut menyentuh bokong Silla, mengekspresikan rasa simpati dan kekhawatirannya."Kok bisa, kamu kepleset?!" tanya Elsa, sambil tetap memperhatikan reaksi Silla dengan seksama. Kemudian, Elsa kembali bertanya dengan nada yang penuh curiga, "Tapi, ngapain kamu dari kamar Mas Nathan dan aku, Sil? Apa ada Mas Nathan juga, di dalam kamar?"Silla merasa tegang, namun dia mencoba menjelaskan dengan cepat, "Ada Kak Nathan di dalam. Tapi kamu jangan berpikir yang enggak-enggak, Sa." Silla menyilangkan kedua tangannya dengan cepat, berusaha menenangkan situasi yang semakin rumit. "Aku tadi masuk ke kamarmu karena diminta Kak Nathan untuk mengisi air pada bathub, katanya dia mau berendam."Elsa mulai meraba-raba, "Jadi kamu sekalian lihatin Mas Nathan ber
Cukup lama Nathan memandangi layar ponsel, menunggu balasan dari Darwin.Waktu terasa berjalan lambat, seperti detik-detik yang tak kunjung berlalu.Sampai akhirnya Elsa selesai mandi dan keluar dari kamar mandi melangkah menghampirinya. Langkahnya terdengar lembut di lantai keramik yang masih sedikit basah dari uap air mandi Elsa."Mas lagi ngapain? Kok lihatin hapeku terus?" tanyanya heran seraya meraih ponselnya, lalu terkejut saat melihat sebuah chat dari Darwin dan balasannya. Matanya membulat kaget, seolah menemukan sesuatu yang tak terduga. "Lho ... kok Mas tiba-tiba bales chatnya Daddy? Ini chat kapan?""Chat tadi. Iya maafin aku, Yang. Aku membalasnya karena penasaran aja," jawab Nathan dengan suara lembut yang penuh penyesalan, mencoba menjelaskan tanpa menyakiti perasaan Elsa."Penasaran gimana? Dan harusnya Mas izin dulu dong sama aku. Lagian hapeku 'kan tadinya ada di tas, kenapa main dikeluarin gitu aja?" Elsa terlihat kesal, segera dia mencabut charger ponsel meski bate
Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka perlahan. Silla muncul dengan langkah lemas, matanya masih terasa berat karena kantuk yang belum hilang."Ada apa, Kak? Kok malam-malam Kakak ke kamar—" Ucapan Silla terhenti tiba-tiba, saat Nathan menerobos masuk dan segera menutup pintu."Kamu jangan ge'er dulu, aku datang ke sini karena ingin bicara empat mata. Bukan hal lain!" Nathan menegaskan dengan ekspresi wajah serius, khawatir Silla salah mengartikan kedatangannya."Bicara empat mata tentang apa, Kak?" Silla mendekati Nathan yang kini sudah duduk di sofa pojok ruangan."Aku ingin kita secepatnya bercerai.""Bercerai?!" Silla terlihat sedikit terkejut, tapi lebih dominan bingung. "Tapi aku 'kan belum hamil dan melahirkan, Kak.""Kamu nggak perlu hamil apalagi sampai melahirkan. Aku sama sekali nggak butuh seorang anak, apalagi yang keluar dari rahimmu!" tegas Nathan dengan emosi yang sulit ditutupi. Sorot matanya terlihat tajam menatap ke arah Silla. "Nggak butuh! Lagian, aku juga me
Setelah memilih unit apartemen yang sesuai dari segi lokasi dan harga, Silla dengan tegas memberikan uang muka sebagai tanda jadi dan menandatangani kwitansi yang diserahkan oleh pemilik apartemen."Terima kasih, Nona. Saya akan segera mengurus surat kepemilikan agar selesai dengan cepat," ucap pria tersebut sambil berdiri."Iya, Pak." Silla mengangguk sambil tersenyum. "Kalau begitu saya pamit ya, Pak. Selamat—""Tunggu sebentar," potong pria itu dengan cepat, lalu mengambil sebuah kunci akses dari atas meja dan memberikannya kepada Silla. "Jangan lupa dengan kunci ini, Nona. Anda akan kesulitan masuk jika lupa membawanya," tambahnya sambil tersenyum."Oh iya, Pak. Terima kasih sudah mengingatkan." Silla segera mengambil kunci tersebut sambil tersenyum, kemudian meninggalkan ruangan dan bertemu kembali dengan Abang Ojol yang menunggu di luar."Tujuan kita selanjutnya ke mana, Nona?" tanya Abang Ojol ketika Silla baru saja duduk membonceng di belakang."Restoran, Bang. Sebentar ... ak
"Benerlah, Mas. Kan kemarin aku bilang kalau toko bunga lagi ramai," jawab Elsa dengan penuh keyakinan."Oohh gitu. Baiklah." Nathan mengangguk paham. Mungkin benar, Yasir hanya salah melihat dan dia sendiri seratus persen lebih percaya dengan ucapan Elsa, ketimbang orang lain."Kenapa memangnya, Mas? Mas nggak percaya, sama aku?" tanya Elsa penasaran."Percaya kok, Sayang," sahut Nathan dengan lembut. "Cuma tadi pas di kantor, selesai rapat dengan Yasir ... Yasir sempat ngomong, katanya dia ketemu kamu di hotel."Wajah Elsa langsung berubah pucat, tapi segera dia mengulas senyum sembari meraih kedua pipi Nathan dengan lembut. "Mas sendiri... lebih percaya aku apa Yasir?""Ya kamulah, Yang," jawab Nathan cepat. "Aku yakin kamu nggak mungkin berbohong. Mungkin ... Yasir hanya salah lihat.""Nahhh ... itu Mas tau sendiri jawabannya. Ya udah, sana berangkat. Nanti telat." Elsa berjinjit, lalu mengecup lembut bibir suaminya."Iya, Sayang."Mereka pun keluar bersama dari kamar, Elsa mengan
"Hanya sampai jam makan siang, Pak.""Jam makan siang?!" Mata Nathan seketika membulat sempurna. "Maksudmu, dia pergi dari toko pas jam makan siang?""Benar, Pak.""Sama siapa?""Sendiri.""Habis itu, apakah dia balik lagi? Ke toko bunga?""Enggak, Pak."'Jadi Elsa berbohong??' batin Nathan, merasa tercengang saat mengetahui apa yang baru saja didengarnya. 'Tapi kenapa dia berbohong? Dan kenapa juga Elsa ke hotel? Mau apa dan siapa pria yang bersamanya?'Rasa panas tiba-tiba menyambar dadanya, sebuah api cemburu dan kemarahan melintas dalam pikirannya."Maaf, tapi kenapa ya, Pak? Apa ada masalah?" tanya Nuri yang masih berada dalam sambungan telepon."Enggak kok, aku cuma tanya. Dan oh ya ... satu lagi.""Apa itu, Pak?""Apakah toko bunga hari ini sangat ramai?""Enggak, Pak. Justru sepi, hanya ada tiga pembeli."'Tiga pembeli??' Mata Nathan kembali membola. 'Elsa, kamu benar-benar tega. Kenapa kamu berbohong mengatakan ramai, tapi pada kenyataannya hanya ada tiga pembeli?? Apa maksud
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut
"Permisi, Pak Satpam. Aku ingin bertemu Pak Dayat, Kepala Sekolah. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?" Nathan bertanya dengan sopan kepada satpam yang berjaga di depan gerbang. Pak Dayat adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.Satpam mengamati Nathan dengan seksama. "Ada, Pak. Tapi, saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya. Ada keperluan apa, Pak?" Dia menatap asing pada Nathan."Aku salah satu mantan murid sekolah ini, Pak. Dan kedatanganku karena ada keperluan dengan Pak Dayat.""Oh, begitu. Baiklah, mari saya antar." Satpam itu tersenyum ramah, lalu mengarahkan Nathan menuju ruang kepala sekolah.Tok... tok... tok...Satpam mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan tiga ketukan yang teratur. "Permisi, Pak Dayat. Ada yang ingin bertemu Bapak.""Siapa?" Suara Pak Dayat terdengar dari dalam."Beliau mengaku sebagai mantan murid di sekolah ini, Pak, dan kedatangannya karena ada keperluan dengan Bapak.""Suruh masuk.""Baik, Pak." Satpam membuka pintu perlahan, mempers
"Entah mengapa... aku masih penasaran dan tidak puas dengan jawaban Elsa waktu itu. Apa aku perlu mencari tau lebih lanjut?" Silla duduk termenung di kamarnya, memikirkan masalah surat yang belum terpecahkan. Kedua tangannya terlihat gemetar memegang gelas yang berisi susu ibu hamil buatan Herlin. Kegelisahan tampak jelas terpancar dari raut wajahnya. "Buku diary itu... Apakah buku itu masih ada??" Silla tampak berpikir sejenak, lalu menenggakkan susu ibu hamil hingga habis. Dia berdiri dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas. Sebuah tekad mulai terpatri di matanya. "Mungkin saja masih ada di gudang, aku coba cari saja deh. Buat memastikan kemiripan kertas itu. Dan aku juga mau tau ... apa alasan dibalik orang yang dengan sengaja membuat aku dan Kak Nathan salah paham." Tekad bulat telah terpatri di hatinya. Silla bergegas menuju gudang yang terletak di samping dapur. Dia berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Gudang itu penuh sesak deng
"Mommy mengatakan hal itu karena Mommy merasa ada yang tidak beres dengan Daddy. Mommy yakin Daddy memiliki perempuan lain," jelas Dahlia, suaranya bergetar menahan air mata.Nathan mengerutkan dahi, ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang membuat Mommy curiga? Apakah Mommy pernah memergoki Daddy bersama perempuan lain?""Tidak memergoki, tapi Mommy pernah menemukan bekas lipstik di kemeja Daddy. Dan Mommy ingin meminta bantuanmu, Tan. Hanya kamu yang bisa membantu Mommy." Air mata Dahlia mulai menetes."Apa yang harus kulakukan, Mom?" tanya Nathan, hatinya teriris melihat kesedihan Mommy-nya."Kamu 'kan laki-laki ... pasti punya banyak kenalan. Carikan seseorang yang mau dibayar untuk membuntuti Daddy sampai menemukan bukti perselingkuhannya." Suaranya terdengar putus asa.Nathan terdiam. Bukannya dia tak mau membantu, tentu saja dia akan menjadi benteng terdepan untuk melindungi Mommy yang terluka. Namun, bukankah lebih baik Mommy berbicara langsung kepada D