"Ooh, ini 'kan Mas yang ngecup kemarin," jawab Elsa cepat. Dia juga mencoba menyembunyikan kegugupan yang kembali melanda.
"Kemarin?! Kemarin kapan, Yang?" Nathan menatap bingung. "Kemarin malam maksudnya, Mas. Memangnya Mas nggak ingat, ya, kalau pagi sebelum menikah dengan Silla ... malamnya kita sempat bercinta?" "Oohhh iya juga, sih, Yang." Nathan mengangguk, saat teringat hal itu. "Tapi, kok dari kemarin aku nggak sadar, ya, Yang? Aku baru nyadar ya sekarang. Padahal warnanya terang begitu." "Ya mungkin karena kemarin Mas sibuk berdebat denganku tentang Silla. Jadi wajar, Mas." Elsa menjelaskan dengan santai. "Iya kali ya, Yang. Maaf deh ... kalau aku lupa, aku malah sempat berpikir yang enggak-enggak." Nathan tersenyum dengan wajah bersalah. Hampir saja dia berpikiran jauh tentang Elsa, meskipun sejujurnya dia sendiri yakin, hal seperti yang dia pikirkan itu tidak mungkin terjadi. Dia yakin Elsa adalah perempuan yang sangat setia. "Enggak-enggak gimana, Mas? Maksudnya, Mas ngira aku selingkuh?" "Enggak kok." Nathan menggeleng cepat, menepis semua kecurigaannya tadi. "Aku percaya kamu setia, Sayang. Maafkan aku kalau ada ucapanku menyinggungmu." "Aku sama sekali nggak tersinggung, Mas. Karena aku memang nggak ngerasa melakukan hal seperti itu. Lagian, perselingkuhan itu adalah tindakan yang menjijikkan. Perempuan terhormat sepertiku nggak mungkin melakukannya." "Itu benar, Sayang." Nathan mengangguk cepat, lalu mengecup kening Elsa dengan penuh cinta. *** Sementara itu, Bibi pembantu di rumah Nathan terlihat bingung menentukan tempat untuk barang-barang milik Silla. Meskipun Silla telah menjadi istri Nathan, namun tidaklah masuk akal jika dia harus berbagi kamar dengan Elsa. "Bibi nggak usah bingung, biar aku nempatin kamar tamu saja. Di sini ada kamar tamu, kan?" ucap Silla dengan ramah, mencoba menenangkan Bibi yang terlihat kebingungan. "Ada banyak kamar tamu di sini, Nona. Tapi masalahnya ... Bu Elsa nggak ngomong apa-apa ke Bibi, kalau Nona akan tinggal di kamar mana," jawab Bibi dengan ekspresi bingung. Dia ingin memastikan bahwa keputusannya tidak akan menimbulkan masalah dengan Elsa. "Oohh gitu. Elsa juga nggak ngomong sih, Bi, sama aku. Kalau aku akan menempati kamar yang mana. Tapi pastinya aku yakin ya dikamar tamu, nggak mungkin juga 'kan dikamar suaminya?" lanjut Silla dengan logika yang masuk akal. "Iya, sih, Nona." Bibi mengangguk paham. 'Ya udah ... mari saya antar Nona ke kamar tamu yang berada tepat di sebelah kamar Pak Nathan dan Bu Elsa," ajak Bibi, sambil membawa koper Silla dan melangkah menuju ke lantai atas. Silla mengikuti Bibi dari belakang, menyusul dengan langkah ringan. Namun, tiba-tiba ada yang memanggilnya dari lantai bawah dan membuat langkahnya seketika terhenti. "Silla, Sayang ... kamu kok udah pulang??" Silla langsung menoleh, dan ternyata orang yang memanggilnya itu adalah Haikal—Papanya Elsa. Pria paruh baya itu terlihat datang bersama asistennya yang berdiri di belakang dengan dua koper besar. "E-eh, Papa!" Silla terkejut karena senang. Segera dia pun turun dan berlari menghampirinya. Pria itu langsung memeluk tubuh Silla dengan penuh kasih sayang. Dia memang menyayangi Silla seperti layaknya dia menyayangi Elsa. Panggilan 'papa' yang Silla ungkapkan juga karena diawal Haikal lah yang memintanya. Bahkan istrinya saja—yang bernama Herlin, meminta Silla untuk juga memanggil sebagai 'mama' Kedua orang tua Elsa begitu hangat dan penyayang pada Silla, terutama karena perempuan itu cenderung lebih patuh dibandingkan Elsa yang sulit diatur. "Papa kok ke sini? Oohh pasti mau ketemu Elsa, ya? Tapi Elsa belum pulang, Pa." "Papa ke sini bukan ingin bertemu Elsa." Haikal menggeleng, lalu melepaskan pelukannya. "Tapi membawa beberapa pakaian dan barang-barangmu. Tadi Elsa sempat telepon Papa, minta sebagian barang-barangmu diantar ke sini." Lalu dia menunjuk ke arah dua koper di samping kanan kiri Shaka—asistennya. "Oohh gitu. Terima kasih, Pa. Tapi harusnya Papa nggak perlu repot-repot. Aku juga bisa ngambil sendiri kok, memang rencananya sih habis zuhur mau ke rumah Papa." "Enggak masalah, Sayang. Papa sama sekali nggak repot kok." Haikal tersenyum dengan hangat, memerhatikan Silla. Namun, fokusnya langsung teralihkan karena pakaian yang dipakai oleh anak angkatnya itu. "Ngomong-ngomong, kamu pakai baju siapa ini, Sil? Kok kayak baju cowok? Mana gede banget lagi." "Oh ini baju Kak Nathan, Pa." Silla langsung menatap tubuhnya sendiri dengan apa yang dia pakai saat ini. "Tadi pas mau pulang, aku nggak ada baju ganti. Jadi pinjam bajunya Kak Nathan." "Salah Elsa juga, ya, karena nggak sempat ngomong dari kemarin. Kalau kamu dan Nathan itu ada rencana menginap di hotel. Kalau tau gitu 'kan Papa pasti akan menyuruh Shaka untuk membawakan bajumu." "Enggak kok, Pa. Elsa sama sekali nggak salah." Silla menggeleng. "Dia malah baik banget, sempat bawakan baju ganti untukku. Cuma ya bajunya nggak ada yang cocok aja sama aku, mangkanya aku terpaksa pinjam baju Kak Nathan." Silla mencoba menjelaskan, dia selalu ingin Elsa terlihat baik oleh siapa pun dan dimana pun itu. "Ooohh jadi gitu." Haikal pun mengangguk paham, lalu dia menoleh ke arah Shaka. "Ya udah, Shaka, tolong sekalian angkat aja kopernya. Pasti Silla juga mau ganti baju." "Iya, Pak." Shaka mengangguk. Kemudian mengikuti Haikal yang lebih dulu melangkah bersama Silla. Silla mengajak mereka masuk ke dalam kamar tamu, karena kebetulan Bibi juga masih berada di sana. Baru selesai menata pakaian Silla di dalam lemari. "Eh, ada Pak Haikal. Selamat pagi, Pak," sapa Bibi dengan ramah, melihat kedatangan mertua bosnya. "Ini sudah siang, Bi. Eh tapi, kenapa Silla justru tinggal di kamar tamu?" tanya Haikal bingung, sorot matanya langsung menatap sekeliling ruangan itu. "Papa ini aneh, ya aku tinggal dimana lagi coba, Pa?" Silla tertawa, merasa lucu dengan pertanyaan Papanya. "Ya Papa kira kamu akan tinggal di kamar Nathan untuk beberapa hari, apalagi kalian ini 'kan masih pengantin baru. Ya harusnya sih mending bulan madu aja, karena 'kan tujuan awal Elsa kepengen kamu cepat hamil. Iya, kan?" Kalau boleh jujur, diawal Haikal sama sekali tidak setuju dengan permintaan konyol dari anak semata wayangnya itu—Elsa. Namun, karena dia memaksa dan memang sulit diberitahu, sementara Silla sendiri sudah setuju, akhirnya mau tidak mau Haikal dan Herlin menyetujui walau itu sangat berat, karena sama saja seperti mengorbankan masa depan Silla. Namun, baik Haikal atau Herlin, mereka berdua sama sekali tidak tahu bagaimana rencana Elsa sebenarnya. Yang hanya meminta Silla mengandung dan melahirkan, lalu setelah itu berpisah dengan Nathan. Elsa sengaja menutupi, karena sejujurnya, kedua orang tuanya akan sangat menentang. Dia tahu, mereka sangat menyayanginya. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa kedua orang tuanya juga sangat menyayangi Silla. Mau tidak mau, rencana itu harus ditutupi."Aku dan Kak Nathan nggak perlu pergi bulan madu, Pa," jawab Silla sambil tersenyum, lalu menyentuh perutnya. "Insya Allah ... kalau Allah sudah berkehendak, aku bisa segera hamil." "Aminnn ... Papa akan ikut do'akan yang terbaik untukmu," sahut Haikal yang ikut menyentuh perut Silla. "Tapi, Sil, si Nathan dan Elsa ada di mana kira-kira? Kok Papa dari awal sampai nggak ngelihat mereka, ya?" tanyanya yang baru menyadari ketidak hadiran anak dan menantunya itu. "Mereka nggak ada di rumah, Pa. Tadi sih aku nggak sengaja dengar pas Kak Nathan telepon Elsa, kalau Elsa dari semalam menginap di rumah Daddy-nya Kak Nathan. Terus, Kak Nathan pergi jemput Elsa," ucap Silla menjelaskan. "Lho, ngapain si Elsa menginap di rumah mertuanya??" Haikal tampak bingung, dahinya berkerut. "Aku nggak tau, Pa." Silla menggeleng. "Mungkin karena Elsa kesepian di rumah, kasihan juga sebenarnya aku sama Elsa. Pasti dia sedih banget ditinggal Kak Nathan." "Ya itu udah resikonya, siapa suruh memintamu u
Setelah setengah jam kepergian Haikal dan asistennya, Elsa dan Nathan tiba di rumah tersebut sambil saling bergandengan tangan. "Eh, Bi, di mana Silla?" tanya Elsa, memperhatikan Bibi pembantu turun dari tangga. "Ibu sudah pulang? Selamat siang, Bu," sapa Bibi dengan sopan. "Nona Silla ada di kamarnya, sedang istirahat." "Sejak kapan aku memberikan kamar untuknya di sini??" tanya Nathan dengan nada marah dan sorot mata tajam kepada Bibi. "Maafkan Bibi, Pak. Kalau Bibi belum meminta izin sebelumnya kepada Bapak dan Ibu. Tadi Nona Silla sempat bilang ingin istirahat, jadi Bibi mengajaknya masuk ke kamar tamu," jelas Bibi dengan penuh ketakutan. "Kamar tamu di mana, Silla, Bi?" tanya Elsa. Berbeda dengan reaksi marah Nathan, Elsa tetap tenang. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan Bibi. "Pas di sebelah kamar utama, Bu. Kamar Ibu dan Pak Nathan," jawab Bibi sambil menundukkan wajahnya. "Lain kali, Bibi harus konfirmasi dulu kepadaku atau Elsa sebelum bertindak. Jang
"Enggak mungkinlah Pak Nathan marah, Nona." Bibi menggeleng tidak percaya. "Bibi saja di rumah ini, sering makan lebih dulu sebelum Pak Nathan maupun Bu Elsa. Tapi mereka nggak marah sama sekali." "Aku sama Bibi beda." "Beda apanya, Nona?" Bibi tampak mengerutkan dahinya, bingung dengan jawaban Silla. "Oohh, karena Bibi itu pembantu kali, ya?" "Bukan, Bi. Ini bukan masalah pekerjaan." Silla menggeleng, dia tak mau nantinya Bibi tersinggung karena memang maksudnya bukan itu. "Terus apa, Nona dong, Nona?" "Ya karena intinya kita beda aja, Bi. Ditambah aku juga orang baru di rumah ini," jawab Silla mencari alasan. Tidak mungkin juga dia bercerita sebenarnya, kalau Nathan membencinya. Lagian, Bibi juga tidak memiliki urusan dalam hal itu. "Udah ... mending Nona makan dulu, daripada nanti sakit perut, kena magh. Bibi bisa-bisa disalahkan." Bibi langsung mengambil piring lalu menuangkan nasi dan lauk di atas piring untuk Silla, lalu menarik kursi untuknya. "Siapa yang bakal menyalahka
"Nona ... maafin Bibi, ya?" ucap Bibi pembantu yang datang menghampiri Silla, ketika baru saja Silla menyelesaikan makan malamnya.Ekspresi wajah Bibi dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam, akibat kejadian yang menimpa Silla tadi.Dia juga tak menyangka, jika Nathan mampu memperlakukan Silla seperti itu, padahal jelas Silla adalah istrinya juga.Apalagi dia adalah istri muda, yang biasanya orang-orang selalu lebih mengutamakannya ketimbang istri tua. Namun, kenyataannya kali ini sungguh berbeda."Eh, Bi." Silla langsung menoleh, raut wajahnya tampak bingung. Dia tak memahami maksud Bibi meminta maaf. "Kenapa Bibi minta maaf? Bibi salah apa?""Gara-gara Bibi, Nona jadi dimarahi Pak Nathan. Sumpah ... Bibi nggak tau kalau akhirnya akan seperti ini, Bibi minta maaf, Nona," sesal Bibi dengan sepenuh hati, sambil menangkup kedua tangannya di bawah dagu."Ya ampun Bibi, nggak usah berlebihan begitu ah." Silla justru tertawa, dia berpikir tingkah Bibi terlalu berlebihan padanya. "Santai a
[Bicara tentang apa, ya, Kak?] Silla membalas dan selang beberapa detik pun Shaka membalasnya lagi. [Besok aku kasih tau. Nona Silla sendiri besok kerja, nggak?] [Kerja, Kak.] [Ya sudah, sampai ketemu besok. Nona segera tidur, jangan begadang. Karena itu nggak baik.] [Iya, Kak.] Balasan dari Silla mengakhiri chattingan mereka. Segera, Silla menaruh kembali ponselnya di atas nakas kemudian mulai memejamkan mata. *** Keesokan harinya. Silla sudah rapih dan bersiap untuk pergi bekerja. Dia memakai baju bebas sekarang, karena seragam pelayan biasa dipakai saat sudah berada di restoran dan siap bekerja. Langkah Silla terhenti saat memasuki ruang makan. Nathan dan Elsa sudah ada di sana, sedang sarapan bersama. Nathan terlihat rapi dan tampan dalam stelan jasnya, namun tatapannya menusuk ke arah Silla. "Selamat pagi, Kak Nathan, Elsa," sapa Silla dengan senyum di bibirnya. Meskipun sambutannya mungkin akan diabaikan oleh Nathan, Silla tetap ramah. "Selamat pagi, Silla.
Sebelumnya.... Setelah mencuci piring, Silla melangkah keluar dari restoran melalui pintu belakang, berniat untuk membuang sampah bekas sisa makanan para pengunjung. Tong sampah terletak dekat area parkiran, tidak jauh dari pintu belakang restoran. "Silla! Sil!" seru seseorang saat Silla hendak membuang kantong plastik ke dalam tong sampah. Silla menoleh dan tersenyum saat melihat bahwa yang memanggilnya adalah Rival, pemilik restoran, yang berarti bosnya.. "Pak Rival, apa ada sesuatu?" tanya Silla sopan sambil sedikit menundukkan pandangannya. "Aku punya sesuatu untukmu, Sil. Mohon di terima, ya!"ujar Rival sambil merogoh saku jas abu-abunya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin yang indah. Silla terkejut melihat cincin berlian yang cantik di dalam kotak tersebut. Meskipun terkesan, Silla merasa heran dengan tindakan tiba-tiba Rival memberikannya cincin tersebut. Rival dikenal sebagai bos yang baik oleh Silla, terutama jika dibandingkan dengan pengalaman Silla dengan bos-
"Dia suami sahabatku, Pak," jawab Silla dengan cepat, suaranya penuh keyakinan. "Dia orang baik, bukan maling."'Cih ... apa yang dia katakan? Pasti si Silla sengaja, mengatakan aku suami sahabatnya karena di depan si Rival-Rival ini,' batin Nathan dengan perasaan sebal. Kendati demikian, Silla sebenarnya tak salah di sini, karena memang benar Nathan adalah suami sahabatnya juga."Aahh terserah. Mau dia suami sahabatmu kek, suamimu kek, aku nggak peduli!! Intinya dia harus dibawa ke kantor polisi!!" tegas pria berkepala plontos yang seolah memaksa, tetap kekeh ingin membawa Nathan pergi.Rival segera ikut campur untuk membela Nathan. "Tunggu sebentar, Pak!" kata Rival sambil menghalangi pria berkepala plontos untuk menutup pintu mobil. Rival ingin membantu Nathan, terutama setelah mengetahui bahwa Silla mengenalnya. "Bagaimana jika kita memeriksa rekaman CCTV terlebih dahulu, Pak. Dengan begitu, kita bisa memastikan apakah benar atau tidak bahwa dia adalah maling. Beruntungnya, ada CC
"Aku kurang tau, Kak." Silla menggeleng bingung dan mencoba untuk menebak-nebak. "Apa mungkin sama Kak Nathan kali, ya? Atau sama Papa Haikal.""Pak Haikal kebetulan lembur, Nona, dia masih ada di kantor.""Oohh berarti sama Kak Nathan kali," sahut Silla lalu menoleh ke arah Shaka. "Oh ya, Kak. Pas dichat semalam katanya Kakak mau bicara. Bicara apa kira-kira?""Kita bicara di cafe saja, ya, Nona. Sekalian ngopi. Biar enak.""Oke." Silla mengangguk setuju.**Di sebuah cafe yang dikenal dengan kehangatan dan aroma kopi yang menggoda, Shaka dan Silla duduk bersama di meja kecil. Suasana seakan terhenti sejenak ketika Shaka memesan secangkir kopi hitam untuknya dan sepiring cappuccino untuk Silla.Dengan tatapan penuh kekhawatiran, Shaka memulai percakapan yang penuh makna, "Maaf, Nona, jika pertanyaanku mengarah ke arah pribadi. Tapi sebagai seorang pria yang selama ini mencintai Nona, rasanya aku benar-benar nggak percaya dengan tindakan yang Nona lakukan," kata Shaka yang memulai ob
Keesokan harinya, suasana rumah masih diliputi kesedihan. Herlin menatap punggung suaminya yang tengah bersiap, setelan jas abu tua itu seakan menggambarkan beratnya beban yang dipikul Haikal."Papa ... Papa hari ini langsung mencari Silla lagi, atau ke kantor dulu?" tanyanya lirih, suaranya terdengar khawatir.Haikal berbalik, matanya lelah. "Sebenarnya, Papa mau langsung mencari Silla. Tapi Papa ada rapat penting yang sudah berkali-kali diundur dan tak bisa ditunda lagi." Suaranya terdengar lesu, penuh penyesalan.Herlin mengusap lembut lengan suaminya. "Biarkan Shaka yang mencari Silla, Pa. Nathan juga pasti ikut, kan?"Haikal menggeleng pelan. "Nathan tidak perlu ikut, Ma. Nanti Mama hubungi Nathan saja, suruh dia menghabiskan waktu seharian dengan Elsa. Kasihan Elsa, dia pasti merasa terabaikan karena kita sibuk mencari Silla."Rasa bersalah terpancar dari sorot matanya. Haikal telah berjanji akan lebih memperhatikan Elsa, anak kandungnya yang selama ini mungkin merasa kura
Sementara Nathan terpaku di sofa, seakan membeku oleh beban suasana."Elsa, jawab pertanyaan Mommy!" desis Dahlia, tak sabar menunggu penjelasan dari menantunya. Suaranya bergetar, menahan amarah yang membuncah.Air mata Elsa berlinang. Suaranya terbata-bata, "Aku... aku minta maaf, Mom. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Daddy. Semuanya... semuanya terjadi karena Daddy yang memaksaku."Dahlia mengerutkan dahi, tak percaya. "Memaksa? Rekaman itu tidak menunjukkan hal itu, Elsa. Sudahlah, berhenti berkelit. Lebih baik jujur saja."Tangis Elsa semakin menjadi. "Aku sudah jujur, Mom! Tapi bagaimana caranya agar Mommy dan Mas Nathan percaya? Dad ...." Pandangannya mencari Darwin yang sedari tadi hanya diam. "Dad, tolong bicaralah. Katakan pada Mommy dan Mas Nathan bahwa semuanya tidak benar. Daddy yang memaksaku, kan?"Semua mata tertuju pada Darwin. Keheningan mencekam ruangan.Pria itu menarik napas panjang, berat. "Elsa, ku sangka."Mata Elsa melebar, bingung. "Salah san
Dahlia menatap Elsa, matanya berkaca-kaca, menahan gelombang emosi yang hampir membanjiri dirinya. Dia berusaha keras memberikan ruang bagi Elsa untuk berbicara, untuk menjelaskan, meskipun hatinya remuk berkeping-keping."Bukti yang Mommy maksud... rekaman yang Nathan lihat," suara Dahlia bergetar, jari-jarinya gemetar saat dia membuka laptop dan memutar rekaman itu kembali. Adegan ciuman Elsa dan Darwin terputar di layar, menusuk jantungnya seperti sebilah pisau. Dia sengaja memutarnya lagi, agar tak ada yang bisa mengelak, tak ada yang bisa bersembunyi di balik kebohongan."Apa... apa ini?!" Elsa tersentak, matanya melebar tak percaya. Dia buru-buru menutup laptop, mencoba menghentikan tayangan yang begitu memalukan."Harusnya Mommy yang bertanya begitu." Suara Dahlia tercekat, suaranya bercampur amarah dan kepedihan. "Apa yang membuat kalian tega melakukan ini pada kami? Kenapa kalian begitu kejam?" Air matanya jatuh membasahi pipinya. Tatapannya tajam, menusuk ke dalam jiwa Elsa
Rekaman video itu menampilkan kamar Nathan. Elsa terbaring di tempat tidur, namun yang membuat jantung Nathan berdebar kencang adalah pakaiannya.Elsa mengenakan lingerie sutra berwarna merah marun, sejenis lingerie yang belum pernah dilihat Nathan sebelumnya. Sepertinya lingerie baru. Nathan terpaku. Untuk apa Elsa mengenakan pakaian seperti itu di rumah orang tuanya? Pertanyaan itu menusuk-nusuk pikirannya.Pikiran Nathan melayang. Saat Elsa berada di sana... bukankah itu saat Nathan seharusnya bersama Silla? Kecurigaan itu mulai mengakar kuat dalam benaknya, semakin menguat saat sosok Darwin muncul dari balik pintu.'Daddy?? Kenapa Daddy masuk ke kamarku, dan Elsa...?' Batin Nathan. Matanya membulat sempurna saat menyaksikan adegan yang tak terbayangkan: Darwin mencium bibir Elsa dengan penuh g*irah, dan Elsa menyambutnya dengan sebuah pelukan yang erat.Sebuah amarah membara membakar seluruh tubuh Nathan. "Brengsek!!" teriaknya, suara itu pecah dan penuh kepedihan. Rek
"Bagaimana, Pa? Apa kabar dari polisi? Sudah ada kabar tentang Nathan dan Silla?" tanya Herlin, suaranya dipenuhi kecemasan. Sinar matahari siang yang terik menyinari halaman rumah, namun tak mampu menghangatkan hati yang dipenuhi kekhawatiran.Haikal baru saja menutup telepon dengan petugas kepolisian yang ditugaskan mencari Nathan. Sejak petir menyambar dan memisahkan mereka dari menantunya di tengah guyuran hujan kemarin, Haikal belum berhasil menemukan Nathan. Hanya mobilnya yang tertinggal di tempat kejadian."Belum ada, Ma," jawab Haikal, menggelengkan kepala frustasi. Keringat membasahi dahinya, meski udara terasa panas."Sebaiknya kita beri tahu orang tua Nathan, Pa?" usul Herlin, suaranya sedikit gemetar. Dia tampak lelah, namun tetap tegar."Tunggu dulu, Ma. Kita usahakan dulu hari ini. Kalau sampai sore belum ada kabar… baru kita hubungi mereka." Haikal tak ingin menambah beban kekhawatiran orang tua Nathan, apalagi dengan kabar keberadaan Silla yang belum menemukan titi
Beberapa detik Silla membiarkan bibirnya menyatu dengan bibir Nathan, sebelum akhirnya membalas kecupan itu dengan penuh perasaan. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara dengkuran halus yang keluar dari bibir Nathan. Pria itu tertidur begitu cepat, tanpa diduga.'Tidak mungkin, Kak Nathan tidur secepat ini? Baru saja dia menciumku. Kukira tadi dia benar-benar ingin berciuman,' batin Silla, rasa kecewa menusuk hatinya. Namun, melihat Nathan tidur dengan tenang dan tanpa beban, sebuah rasa lega dan bahagia pun menyusup hatinya.'Ya sudahlah, tak apa. Anggap saja tadi adalah kecupan perpisahan kita. Karena besok, jika Kak Nathan sudah diizinkan pulang dari rumah sakit... otomatis dia akan pulang ke rumah dan tidak akan bertemu denganku lagi,' batin Silla pilu. Kepalanya bersandar di dada Nathan, air mata mulai membasahi pipinya.***Seperti yang Silla duga semalam, pagi ini dokter mengizinkan Nathan pulang. Kabar itu membawanya pada kelegaan yang begitu dalam, sebuah beban se
"E-eh!! Eemm ... Terima kasih, Kak." Wajah Silla memerah, malu-malu. Pandangannya tertunduk.Nathan berusaha bangun dari ranjang, ingin menuju kamar mandi. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat."Aaww!!" ringis Nathan, menahan rasa sakit yang menusuk."Kakak kenapa? Kenapa bangun?" Silla dengan sigap mengulurkan tangan, menyentuh dahi Nathan saat pria itu memegangi kepalanya."Aku mau kencing, Sil. Tapi kepalaku sangat sakit." Suaranya terdengar lemah."Kencing di sini saja, Kak. Sebentar ... aku carikan botol." Silla menawarkan solusi yang spontan, tanpa berpikir panjang."Jangan, Sil! Masa pakai botol?" Nathan menahan tangan Silla yang hendak mencari botol. Bayangannya saja sudah membuatnya merasa malu."Tadi Kakak bilang kepalanya sakit," Silla mengingatkan dengan nada lembut, namun tetap bersikeras."Memang sakit. Tapi tidak perlu sampai kencing di botol juga, Sil." Wajah Nathan memerah menahan malu. "Tolong bantu aku saja, antar ke kamar mandi." Suaranya terdengar lir
"Karena aku men …," ujar Nathan, suaranya terputus. Rasa malu membanjiri dirinya, dua pipinya memerah padam.Silla mengamati wajah Nathan yang memerah. "Lho, Kakak demam lagi?" tanyanya, jari-jari lentiknya menyentuh dahi sang suami. Kulit Nathan memang terasa panas, namun ini bukan karena demam. "Sebentar, aku panggil dokter, ya, Kak. Tunggu—"Silla berdiri, hendak melangkah pergi, namun Nathan menahan lengannya."Tidak usah, ini bukan demam. Aku baik-baik saja.""Tapi badan Kakak panas," Silla menyentuh leher Nathan, sentuhannya membuat jantung Nathan berdebar-debar semakin kencang. Wajahnya memerah semakin dalam."Iya, tidak apa-apa. Nanti juga hilang sendiri. Duduklah lagi.""Eemmm… baiklah," Silla duduk kembali, raut wajahnya masih dipenuhi keraguan. "Jadi, alasan Kakak tidak mau cerai denganku apa?"Nathan menarik napas dalam-dalam. "Tidak ada alasan. Intinya, aku ingin terus bersamamu.""Elsa? Bagaimana dengan Elsa?" Silla mengerutkan dahi, kebingungan mencengk
"Ma ... sampai kapan Mas Nathan dan Papa nggak pulang? Sudah tiga hari, sejak kepergian Silla." Suara Elsa bergetar, khawatir menggerogoti hatinya. Bukan hanya soal kabar mereka, tapi juga hatinya sendiri yang terasa tercabik-cabik.Kepergian Nathan mencari Silla membuatnya takut jika Nathan kembali terbelenggu oleh cinta masa lalunya. Elsa tak siap, tak akan pernah rela, jika harus berbagi cinta dengan siapa pun. Cinta Nathan sepenuhnya miliknya."Sabar, Sayang. Mama terus mencoba menghubungi Papa, tapi nomornya tak aktif sejak kemarin. Kamu coba telepon Nathan lagi." Herlin tampak frustasi, jemarinya masih sibuk dengan ponselnya. Upayanya menghubungi suami tercinta tak membuahkan hasil."Semalam aku sudah mencoba, Ma. Aku minta dia pulang, tapi dia menolak," isak Elsa, air matanya mulai menetes. Penolakan Nathan bagai sebilah pisau yang menusuk hatinya.***Di tempat yang berbeda, aroma obat menyengat dihidung Nathan saat dia membuka mata. Satu jam telah berlalu sejak pertol