Sesampainya di sana, Elsa dengan penuh keceriaan mengantar mereka ke salah satu kamar yang sudah dia pesan khusus untuk keduanya. Dia dengan teliti mempersiapkan segala hal demi membuat Nathan merasa nyaman dan segera dapat memiliki anak.
"Semoga kamu suka dengan kamarnya, Sil. Begitu pun dengan Mas Nathan," ucap Elsa dengan penuh harap dan kehangatan dalam suaranya, sambil tersenyum lembut membukakan pintu untuk mereka masuk.Kamar hotel khusus untuk pengantin baru itu terlihat begitu indah dan romantis. Silla merasakan getaran kebahagiaan dan haru melihat dekorasinya yang menakjubkan. Dia bisa merasakan betapa Elsa telah berusaha keras untuk menciptakan momen untuknya, supaya segera memberikannya anak.Tempat tidur yang besar dan nyaman, dekorasi dengan bunga-bunga segar, lukisan-lukisan indah, dan balkon pribadi menghadap pemandangan kota. Semua detail dirancang dengan cermat untuk menciptakan pengalaman yang aman dan nyaman."Kita keluar dulu sebentar yuk, Mas," ajak Elsa menarik suaminya untuk keluar dari kamar, membiarkan Silla mencermati ruangan itu sendirian. "Ambil ini dan jangan lupa diminum sebelum mandi. Mas pasti habis ini mau mandi, kan?""Apa ini, Sayang?" Nathan mengambil sebuah botol obat polosan berwarna putih, yang baru saja diberikan Elsa. Terlihat dia bingung karena memang tidak tahu apa itu."Ini cara yang aku katakan itu lho, Mas. Mas harus minum ini, satu kapsul saja. Biar nanti Mas bisa menyentuh Silla tanpa rasa benci.""Jangan bilang ini obat per*ngsang, Yang?" tebak Nathan, lalu menggeleng cepat. "Ah enggak, Yang! Aku nggak mau minum obat beginian!" tolaknya cepat dan memberikan benda itu kembali ke tangan Elsa. Tetapi, perempuan itu menolak."Dih, Mas. Cuma cara ini lho yang bisa membuat kamu menyentuh Silla. Kan katanya kamu nggak sudi menyentuhnya.""Iya, aku memang nggak sudi, Yang. Tapi ya nggak perlu pakai cara ini juga kali. Aku nggak mau!"Degh!Silla tak sengaja mendengar percakapan mereka, dan dia merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu terdengar menyakitkan, tapi seharusnya, Silla tak perlu merasa sesakit ini.'Wajar juga kalau Kak Nathan nggak mau menyentuhku, karena dia pasti sangat mencintai dan menghargai Elsa. Tapi memangnya harus, ya, sampai dengan kata nggak sudi seperti itu?' batin Silla penuh tanya. Sampai detik ini, pertanyaan dalam benaknya tentang Nathan tetap sama, yakni. 'Sebenarnya apa sih yang membuat Kak Nathan membenciku selama ini?'"Nggak ada cara lain, Mas. Cuma ini." Elsa terdengar berusaha untuk merayu suaminya, bahkan kini memberikannya sebuah kecupan mesra dibibir demi bisa meluluhkan hatinya. "Kalau kamu sudah menyentuh Silla, peluang untuk kita segera punya anak akan cepat terlaksana. Dan kamu juga bisa segera bercerai dengannya.""Tapi—""Sstttt ...." Jari telunjuk Elsa mendarat ke bibir Nathan. Menghalanginya untuk bicara. "Mas nurut aja sama aku. Ini buat kebaikan bersama. Mas mencintaiku, kan?"Nathan mengangguk, lalu menarik tangan Elsa dari bibirnya lalu kecupan bibir itu kembali terjadi. "Tentu saja, aku mencintaimu. Bahkan sangat mencintaimu.""Ya udah, mangkanya nurut. Sekarang aku pulang ya, Mas. Kamu masuk, baju ganti untuk kalian biar kukirim nyusul.""Lho, kok kamu pulang? Kenapa nggak ikut menginap juga?" Nathan menarik tangan Elsa, menghalanginya yang hendak melangkah pergi. Ada perasaan berat ditinggalkan, Nathan tak ingin jauh darinya."Mas ini gimana? Masa iya aku ikut menginap bareng kalian? Yang ada ganggu dong." Elsa tertawa."Enggak lah. Mana ada kamu ganggu." Nathan mengeratkan tangannya, tak ingin membiarkan perempuan itu pergi."Tetap saja aku nggak mau, Mas." Elsa menggeleng, lalu perlahan menarik tangan sang suami. "Nggak etis juga kali, Mas. Ya udah, ya, aku pamit pulang. Assalamualaikum." Kembali Elsa mengecup bibir Nathan, selanjutnya dia melangkah cepat pergi darinya."Akh kamu ini!!" kesal Nathan, tapi segera dia lambaian tangan, menatap sang istri yang sudah masuk ke dalam lift. "Hati-hati dijalan, Sayang!"Walau begitu berat, tapi pada akhirnya Nathan harus rela ditinggal Elsa.Setelah pintu lift itu tertutup, dia menghela napasnya dengan panjang dan berat. Nathan juga menyentuh dadanya yang terasa sesak.Meskipun istrinya terus menampilkan wajah senang dan penuh kebahagiaan, tapi Nathan yakin—jika dihati perempuan itu tersimpan banyak sekali luka yang mendalam.'Aku akan terus mencintaimu sampai kapan pun. Dan nggak akan ada perempuan mana pun yang bisa menggantikan posisimu, Elsa,' batin Nathan penuh tekad.Cukup lama dia berdiri di sana, sampai akhirnya dengan langkah berat dia masuk ke dalam kamar hotel yang sedari tadi pintunya terbuka, lalu menutup pintu.Terdengar suara gemericik air di dalam kamar mandi, dan tak lama setelah mati pintunya pun perlahan dibuka.Silla keluar dari kamar mandi itu dengan menggenakan handuk kimono dan menatap sang suami. Rambutnya terlihat basah dan berantakan.Sesegera mungkin Nathan mengalihkan pandangan. Membuang muka ke arah lain."Maaf, Kak. Tapi tadi Elsa sempat menitipkan baju ganti nggak, ya? Soalnya aku lupa nggak bawa baju ganti," tanya Silla dengan lembut dan hati-hati.Namun, bukannya menjawab, pria itu justru berlalu begitu saja dengan wajah dingin, masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa handuk yang dia ambil dalam lemari.Brak!!Sebuah pintu langsung dia tutup secara paksa, hingga suara sontak mengagetkan Silla. Perempuan itu sampai terjingkat dan menyentuh dada."Astaghfirullah ... apa aku salah bicara? Kenapa dia justru terlihat marah?" gumam Silla, dan tak lama kemudian terdengar suara bel yang kembali mengagetkannya.Ting, Tong!Ting, Tong!"Oh ya, tunggu sebentar!!" seru Silla, lalu cepat-cepat membuka pintu kamar.Seorang petugas hotel berdiri di depan pintu, sembari memegang sebuah koper besar di tangannya. "Selamat malam, Nona. Saya diminta oleh Nona Elsa untuk mengirimkan koper ini.""Oh, selamat malam juga, Pak. Terima kasih, ya?" Silla langsung menarik benda itu kepadanya."Sama-sama, Nona. Kalau begitu saya permisi.""Iya." Silla mengangguk, lalu menutup pintu dan mendorong koper itu membawanya masuk. Silla berpikir bahwa koper itu pasti berisi baju ganti untuknya dan Nathan, jadi segera dia membukanya.Ternyata benar, itu baju ganti untuk dan Nathan. Hanya saja yang membuat Silla heran, mengapa tak ada baju tidur untuknya. Tapi banyak sekali lingerie."Apa-apaan ini Elsa? Kenapa dia mengirimku baju ganti sama semua dan kurang bahan? Apa dia sengaja?"Ingin rasanya Silla bertanya kepada Elsa, tapi sayang dia lupa tak membawa ponsel. Alhasil, mau tidak mau Silla memakai salah satunya dan segera naik ke atas kasur menyelimuti tubuh lantaran malu sendiri.Tak lama kemudian, Nathan keluar dari kamar mandi dengan menggenakan handuk kimono. Seluruh wajahnya dan rambutnya tampak basah."Kak, itu baju gantinya dikoper. Tadi Elsa mengirimkannya menyuruh petugas hotel," ucap Silla memberitahu, meski pria itu tak bertanya. Sebab terlihat dia seperti orang kebingungan.Tanpa menjawab lagi, Nathan langsung menuju koper yang Silla tunjukkan lalu mengambil baju ganti untuknya dan menggantinya di dalam kamar mandi.**Sampai larut malam, Nathan sama sekali tak berbicara. Dia sejak selesai mandi langsung duduk di sofa dan bermain ponsel.Ruangan itu terasa sunyi meskipun ada dua orang di dalamnya. Silla merasa canggung untuk mengajaknya berbicara, khawatir bahwa tidak akan ada tanggapan."Eemm, Kak. Aku tidur duluan deh kalau begitu. Maaf kalau aku ada salah. Selamat malam." Silla mencoba mencairkan suasana dengan mengajukan permintaan maaf dan memberikan salam selamat malam. Dia merasa lebih baik tidur daripada menunggu Nathan untuk memulai percakapan yang mungkin tidak akan terjadi."CK!" Nathan menghela nafas dengan sinis, masih terpaku pada layar ponselnya. 'Tidur tinggal tidur, ngapain pakai izin segala. Nggak penting banget!' batinnya sebal.Namun, beberapa saat kemudian, Nathan teringat dengan obat yang Elsa berikan. Tanpa ragu, dia mengambil obat tersebut dari kantong celananya.'Apa aku harus meminumnya sekarang? Lalu menyentuh Silla?' pikir Nathan penuh tanda tanya. Dia melihat ke arah Silla yang sudah terlelap di tempat tidur."Ah enggak, enggak! Aku nggak mau!" Nathan menggeleng cepat, berusaha menolak keras apa yang ada dalam benaknya.Meskipun hal itu untuk kebaikan, tapi tetap saja Nathan tidak bisa. Menyetujui permintaan Elsa untuk menikah lagi saja itu sudah salah, apalagi sampai menyentuh perempuan lain selain dirinya.Nathan berpikir, mungkin saja diluar sana Elsa sedang menangis. Karena membayangkan suaminya tengah memadu kasih dengan madunya."Enggak, sampai kapan pun aku nggak akan menyentuh Silla! Biarkan saja kalau aku dan Elsa nggak punya anak selamanya, yang terpenting aku nggak bersentuhan dengan perempuan yang sok kecantikan macam Silla!" serunya dengan tekad yang kuat.***Keesokan harinya.Dengan berat, mata Silla terbuka dan sontak dia terkejut melihat Nathan berdiri di hadapannya sambil menatapnya dengan dingin."Eh, Kak. Selamat pagi. Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan canggung, Silla mengalihkan pandangannya ke meja nakas, melihat jam weker di sana yang menunjukkan pukul 6. "Astagh
Lima belas menit menunggu di mobil, akhirnya Nathan melihat Silla datang dengan susah payah mendorong kopernya.Namun, melihat penampilan Silla yang mengenakan kaos pendek serta celana kolor yang dia yakini miliknya, membuat dia terkejut sendiri."Heh! Aku baru tadi ngomong supaya kamu itu tau diri, ya! Kenapa kamu belum paham juga sampai sekarang??" geram Nathan berteriak, setelah jendela mobilnya dia buka."Maksud Kakak apa? Memangnya apa yang salah?" tanya Elsa bingung."Pakai nanya, itu yang kau pakai apa, hah?" Nathan menunjuk tubuh Silla. "Itu pakaianku, kan?""Oohh ini?" Silla mencubit kecil ujung bajunya, lalu menatap sang suami. "Maaf, Kak. Aku pinjam dulu ya, baju Kakak. Nanti sampai rumah langsung aku cuci dan balikin.""Enak saja pinjam-pinjam, nggak! Nggak boleh!" tegasnya melarang. "Sekarang lepas! Ayok lepas, Silla!" desaknya memaksa."Ya Allah Kakak, aku hanya—""LEPASS!!!" pekik Nathan dengan suara menggelegar. Dia merasa tidak ikhlas, jika pakaian yang sering dia pak
"Ya ini aku barusan habis ngambil mobilku di bengkel, Mas. Terus sengaja balik lagi ke sini karena aku khawatir kamu sudah keburu sampai di rumah Daddy," jelas Elsa dengan suara lembut, namun terdengar penuh perhatian. Nathan menatap Elsa dengan ekspresi bingung yang tak dapat disembunyikan. "Kenapa harus khawatir? Memangnya kenapa kalau aku sudah keburu ada di rumah Daddy?!" tanyanya, mencoba mencari pemahaman dari penjelasan Elsa. "Ooohh ... itu, jadi maksudnya ...." Elsa terlihat sedikit gugup, matanya berbinar-binar namun mulutnya terhenti sejenak. Setelah beberapa detik berlalu, dia akhirnya melanjutkan, "Ya aku cuma nggak mau kamu nunggu aku kelamaan, kamu 'kan pasti capek, Mas." "Capek?!" Nathan mengernyitkan dahi, mencoba memahami alasan di balik kata-kata Elsa. "Capek kenapa, coba, Yang? Masa nungguin istri sendiri capek. Lagian kamu juga, kan aku udah bilang kita bareng aja sekalian ngambil mobilmu. Jadi nggak perlu kamu sendirian 'kan nggak bolak balik." "Enggak apa-
"Ooh, ini 'kan Mas yang ngecup kemarin," jawab Elsa cepat. Dia juga mencoba menyembunyikan kegugupan yang kembali melanda. "Kemarin?! Kemarin kapan, Yang?" Nathan menatap bingung. "Kemarin malam maksudnya, Mas. Memangnya Mas nggak ingat, ya, kalau pagi sebelum menikah dengan Silla ... malamnya kita sempat bercinta?" "Oohhh iya juga, sih, Yang." Nathan mengangguk, saat teringat hal itu. "Tapi, kok dari kemarin aku nggak sadar, ya, Yang? Aku baru nyadar ya sekarang. Padahal warnanya terang begitu." "Ya mungkin karena kemarin Mas sibuk berdebat denganku tentang Silla. Jadi wajar, Mas." Elsa menjelaskan dengan santai. "Iya kali ya, Yang. Maaf deh ... kalau aku lupa, aku malah sempat berpikir yang enggak-enggak." Nathan tersenyum dengan wajah bersalah. Hampir saja dia berpikiran jauh tentang Elsa, meskipun sejujurnya dia sendiri yakin, hal seperti yang dia pikirkan itu tidak mungkin terjadi. Dia yakin Elsa adalah perempuan yang sangat set
"Aku dan Kak Nathan nggak perlu pergi bulan madu, Pa," jawab Silla sambil tersenyum, lalu menyentuh perutnya. "Insya Allah ... kalau Allah sudah berkehendak, aku bisa segera hamil." "Aminnn ... Papa akan ikut do'akan yang terbaik untukmu," sahut Haikal yang ikut menyentuh perut Silla. "Tapi, Sil, si Nathan dan Elsa ada di mana kira-kira? Kok Papa dari awal sampai nggak ngelihat mereka, ya?" tanyanya yang baru menyadari ketidak hadiran anak dan menantunya itu. "Mereka nggak ada di rumah, Pa. Tadi sih aku nggak sengaja dengar pas Kak Nathan telepon Elsa, kalau Elsa dari semalam menginap di rumah Daddy-nya Kak Nathan. Terus, Kak Nathan pergi jemput Elsa," ucap Silla menjelaskan. "Lho, ngapain si Elsa menginap di rumah mertuanya??" Haikal tampak bingung, dahinya berkerut. "Aku nggak tau, Pa." Silla menggeleng. "Mungkin karena Elsa kesepian di rumah, kasihan juga sebenarnya aku sama Elsa. Pasti dia sedih banget ditinggal Kak Nathan." "Ya itu udah resikonya, siapa suruh memintamu u
Setelah setengah jam kepergian Haikal dan asistennya, Elsa dan Nathan tiba di rumah tersebut sambil saling bergandengan tangan. "Eh, Bi, di mana Silla?" tanya Elsa, memperhatikan Bibi pembantu turun dari tangga. "Ibu sudah pulang? Selamat siang, Bu," sapa Bibi dengan sopan. "Nona Silla ada di kamarnya, sedang istirahat." "Sejak kapan aku memberikan kamar untuknya di sini??" tanya Nathan dengan nada marah dan sorot mata tajam kepada Bibi. "Maafkan Bibi, Pak. Kalau Bibi belum meminta izin sebelumnya kepada Bapak dan Ibu. Tadi Nona Silla sempat bilang ingin istirahat, jadi Bibi mengajaknya masuk ke kamar tamu," jelas Bibi dengan penuh ketakutan. "Kamar tamu di mana, Silla, Bi?" tanya Elsa. Berbeda dengan reaksi marah Nathan, Elsa tetap tenang. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan Bibi. "Pas di sebelah kamar utama, Bu. Kamar Ibu dan Pak Nathan," jawab Bibi sambil menundukkan wajahnya. "Lain kali, Bibi harus konfirmasi dulu kepadaku atau Elsa sebelum bertindak. Jang
"Enggak mungkinlah Pak Nathan marah, Nona." Bibi menggeleng tidak percaya. "Bibi saja di rumah ini, sering makan lebih dulu sebelum Pak Nathan maupun Bu Elsa. Tapi mereka nggak marah sama sekali." "Aku sama Bibi beda." "Beda apanya, Nona?" Bibi tampak mengerutkan dahinya, bingung dengan jawaban Silla. "Oohh, karena Bibi itu pembantu kali, ya?" "Bukan, Bi. Ini bukan masalah pekerjaan." Silla menggeleng, dia tak mau nantinya Bibi tersinggung karena memang maksudnya bukan itu. "Terus apa, Nona dong, Nona?" "Ya karena intinya kita beda aja, Bi. Ditambah aku juga orang baru di rumah ini," jawab Silla mencari alasan. Tidak mungkin juga dia bercerita sebenarnya, kalau Nathan membencinya. Lagian, Bibi juga tidak memiliki urusan dalam hal itu. "Udah ... mending Nona makan dulu, daripada nanti sakit perut, kena magh. Bibi bisa-bisa disalahkan." Bibi langsung mengambil piring lalu menuangkan nasi dan lauk di atas piring untuk Silla, lalu menarik kursi untuknya. "Siapa yang bakal menyalahka
"Nona ... maafin Bibi, ya?" ucap Bibi pembantu yang datang menghampiri Silla, ketika baru saja Silla menyelesaikan makan malamnya.Ekspresi wajah Bibi dipenuhi dengan penyesalan yang mendalam, akibat kejadian yang menimpa Silla tadi.Dia juga tak menyangka, jika Nathan mampu memperlakukan Silla seperti itu, padahal jelas Silla adalah istrinya juga.Apalagi dia adalah istri muda, yang biasanya orang-orang selalu lebih mengutamakannya ketimbang istri tua. Namun, kenyataannya kali ini sungguh berbeda."Eh, Bi." Silla langsung menoleh, raut wajahnya tampak bingung. Dia tak memahami maksud Bibi meminta maaf. "Kenapa Bibi minta maaf? Bibi salah apa?""Gara-gara Bibi, Nona jadi dimarahi Pak Nathan. Sumpah ... Bibi nggak tau kalau akhirnya akan seperti ini, Bibi minta maaf, Nona," sesal Bibi dengan sepenuh hati, sambil menangkup kedua tangannya di bawah dagu."Ya ampun Bibi, nggak usah berlebihan begitu ah." Silla justru tertawa, dia berpikir tingkah Bibi terlalu berlebihan padanya. "Santai a
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut
"Permisi, Pak Satpam. Aku ingin bertemu Pak Dayat, Kepala Sekolah. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?" Nathan bertanya dengan sopan kepada satpam yang berjaga di depan gerbang. Pak Dayat adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.Satpam mengamati Nathan dengan seksama. "Ada, Pak. Tapi, saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya. Ada keperluan apa, Pak?" Dia menatap asing pada Nathan."Aku salah satu mantan murid sekolah ini, Pak. Dan kedatanganku karena ada keperluan dengan Pak Dayat.""Oh, begitu. Baiklah, mari saya antar." Satpam itu tersenyum ramah, lalu mengarahkan Nathan menuju ruang kepala sekolah.Tok... tok... tok...Satpam mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan tiga ketukan yang teratur. "Permisi, Pak Dayat. Ada yang ingin bertemu Bapak.""Siapa?" Suara Pak Dayat terdengar dari dalam."Beliau mengaku sebagai mantan murid di sekolah ini, Pak, dan kedatangannya karena ada keperluan dengan Bapak.""Suruh masuk.""Baik, Pak." Satpam membuka pintu perlahan, mempers
"Entah mengapa... aku masih penasaran dan tidak puas dengan jawaban Elsa waktu itu. Apa aku perlu mencari tau lebih lanjut?" Silla duduk termenung di kamarnya, memikirkan masalah surat yang belum terpecahkan. Kedua tangannya terlihat gemetar memegang gelas yang berisi susu ibu hamil buatan Herlin. Kegelisahan tampak jelas terpancar dari raut wajahnya. "Buku diary itu... Apakah buku itu masih ada??" Silla tampak berpikir sejenak, lalu menenggakkan susu ibu hamil hingga habis. Dia berdiri dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas. Sebuah tekad mulai terpatri di matanya. "Mungkin saja masih ada di gudang, aku coba cari saja deh. Buat memastikan kemiripan kertas itu. Dan aku juga mau tau ... apa alasan dibalik orang yang dengan sengaja membuat aku dan Kak Nathan salah paham." Tekad bulat telah terpatri di hatinya. Silla bergegas menuju gudang yang terletak di samping dapur. Dia berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Gudang itu penuh sesak deng
"Mommy mengatakan hal itu karena Mommy merasa ada yang tidak beres dengan Daddy. Mommy yakin Daddy memiliki perempuan lain," jelas Dahlia, suaranya bergetar menahan air mata.Nathan mengerutkan dahi, ketidakpercayaan masih tergambar jelas di wajahnya. "Apa yang membuat Mommy curiga? Apakah Mommy pernah memergoki Daddy bersama perempuan lain?""Tidak memergoki, tapi Mommy pernah menemukan bekas lipstik di kemeja Daddy. Dan Mommy ingin meminta bantuanmu, Tan. Hanya kamu yang bisa membantu Mommy." Air mata Dahlia mulai menetes."Apa yang harus kulakukan, Mom?" tanya Nathan, hatinya teriris melihat kesedihan Mommy-nya."Kamu 'kan laki-laki ... pasti punya banyak kenalan. Carikan seseorang yang mau dibayar untuk membuntuti Daddy sampai menemukan bukti perselingkuhannya." Suaranya terdengar putus asa.Nathan terdiam. Bukannya dia tak mau membantu, tentu saja dia akan menjadi benteng terdepan untuk melindungi Mommy yang terluka. Namun, bukankah lebih baik Mommy berbicara langsung kepada D