Udara di rumah sakit terasa pengap bagi Nadia, meskipun AC berhembus lembut di sudut ruangan. Suara mesin medis yang berdengung seolah membekukan waktu. Jantung Nadia berdebar kencang, tangannya masih gemetar setelah mendengar pengakuan pria yang berdiri di hadapannya. Indra Pratama, nama itu terdengar asing, tapi rasa penyesalan yang terpancar dari sorot matanya membuat Nadia tak bisa segera mengeluarkan kata-kata. Yang ada di pikirannya hanyalah ayahnya—Pak Amir—sedang terbaring tak berdaya, melawan maut di dalam ruang ICU.
Bu Ningsih, yang berdiri di samping Nadia, tak kuasa menahan tangisnya. Sesekali isakannya terdengar di antara keheningan. Nadia mencoba menenangkan ibunya, meski dalam dirinya sendiri rasa cemas dan takut seakan menghimpit. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bereaksi. Semua terjadi begitu cepat.
Indra, yang terlihat tak kalah tegang, berusaha menyampaikan lebih banyak. "Saya... tidak sengaja. Mobil saya lepas kendali saat menghindari motor yang tiba-tiba berbelok. Ayah Anda sedang menyeberang dan... saya benar-benar minta maaf."
Nadia menatap pria di hadapannya. Postur tubuhnya tinggi dengan raut wajah yang terpahat tegas, tapi di balik itu ada rasa bersalah yang jelas terlihat. Nadia merasakan campuran amarah dan kebingungan. Amarah karena insiden ini, namun bingung karena pria itu tampaknya tulus dalam permintaan maafnya.
"Maaf? Apa dengan maaf saja semuanya bisa selesai?" gumam Nadia dalam hati. Dia menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagaimana mungkin hidup seseorang berubah drastis dalam hitungan detik? pikirnya.
"Dokter bilang apa?" tanya Nadia akhirnya, suaranya sedikit serak.
Indra menunduk sejenak, seolah merasa bersalah untuk mengucapkannya. "Dokter bilang kondisinya kritis... mereka sedang berusaha yang terbaik."
Kata-kata itu menusuk jantung Nadia. Rasanya seperti tubuhnya terhuyung ke dalam jurang ketidakpastian. Kritis. Kata itu terus berulang-ulang di pikirannya, mencengkeram setiap harapan yang ia coba pertahankan. Nadia menoleh ke arah pintu ruang ICU yang tertutup rapat, membayangkan ayahnya yang dulu selalu tersenyum lembut padanya, kini terbaring di ranjang rumah sakit dengan alat bantu di sekelilingnya.
"Ya Tuhan..." bisik Bu Ningsih di sampingnya, tubuhnya hampir rubuh jika Nadia tidak segera menopangnya.
"Ma, sabar ya..." Nadia memeluk ibunya, mencoba memberikan kekuatan meskipun dirinya pun hampir runtuh. Ayah tidak boleh pergi sekarang. Hanya itu yang ada di pikiran Nadia. Ia harus bertahan, meski dalam hatinya rasa takut mulai merambat ke seluruh dirinya.
Indra tampak semakin gelisah. Ia mendekati mereka, mencoba berbicara lagi. "Saya akan bertanggung jawab... apa pun yang dibutuhkan, saya akan bantu. Saya sudah berbicara dengan dokter dan memastikan semua biaya pengobatan akan saya tanggung."
Nadia menatapnya tajam. Uang mungkin bisa membantu dalam hal perawatan, tapi itu tak akan bisa menghapus rasa sakit yang saat ini menghantam keluarganya. Namun, di balik tatapannya yang marah, Nadia tahu bahwa bantuan ini mungkin satu-satunya hal yang bisa mereka andalkan saat ini.
Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. "Yang penting sekarang adalah Ayah selamat... bukan soal uang atau apa pun." Suaranya tegas, meski hatinya bergetar hebat.
Indra mengangguk dengan cepat. "Tentu... saya benar-benar menyesal atas apa yang terjadi."
Situasi di rumah sakit itu terasa semakin mencekam seiring berjalannya waktu. Setiap detik berlalu dengan perlahan, seolah waktu menahan napas bersama mereka. Sesekali, suara langkah perawat yang bergegas atau suara monitor di ruang ICU terdengar, tapi tak ada satu pun kabar baik yang datang.
Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan. Nadia segera menghampiri, napasnya tertahan.
"Bagaimana kondisi Ayah saya, Dok?" Nadia bertanya dengan suara gemetar, berusaha bersikap tegar di depan ibunya yang sudah terlihat begitu rapuh.
Dokter itu menghela napas panjang, kemudian berbicara dengan nada hati-hati. "Kondisinya masih sangat kritis, namun kami sudah melakukan yang terbaik. Sekarang kita hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana tubuhnya merespon perawatan ini. Saya sarankan kalian berdoa dan tetap berharap."
Kalimat itu seolah menjadi akhir dari semua harapan yang tersisa bagi Nadia. "Menunggu dan melihat" bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Namun, dia hanya bisa mengangguk lemah. Tidak ada pilihan lain selain berdoa.
Setelah dokter pergi, Nadia mengajak ibunya duduk di ruang tunggu. Sementara itu, Indra berdiri di kejauhan, tampak bingung harus bagaimana. Ia melihat keluarga itu berusaha menahan diri di tengah cobaan berat, dan rasa bersalah semakin menghimpitnya. Ini bukan sekadar kecelakaan bagi Nadia dan keluarganya. Ini adalah bencana yang bisa menghancurkan hidup mereka.
Beberapa jam berlalu. Malam mulai turun, dan rumah sakit yang tadinya sibuk kini terasa lebih sunyi. Nadia tak bisa menahan kantuknya lagi, kepalanya terasa berat setelah sekian lama berjaga. Matanya nyaris terpejam ketika tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat membuka mata, ia melihat Indra berdiri di depannya lagi.
"Nadia," panggilnya pelan, seolah ragu untuk mengganggu.
Nadia menoleh dengan tatapan lelah. "Apa lagi yang mau kamu katakan?"
Indra tampak ragu sesaat, tapi kemudian berkata, "Saya... saya ingin memastikan semuanya akan baik-baik saja. Jika ada apa-apa, tolong kabari saya. Ini semua tanggung jawab saya."
Nadia menatapnya lama, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa. Baginya, tidak ada yang bisa diucapkan lagi sekarang. Semua kata seakan kehilangan makna di tengah situasi yang begitu berat ini.
Kabar tentang kondisi ayah Nadia masih menggantung, sementara Indra mulai menunjukkan keseriusan untuk bertanggung jawab.Setelah beberapa hari yang penuh ketidakpastian, Nadia merasa seperti hidupnya berada di atas tebing yang rapuh. Setiap langkah bisa membuatnya jatuh ke dalam jurang yang dalam. Ayahnya masih berada dalam kondisi kritis di ruang ICU, dan tidak banyak yang bisa dilakukan selain menunggu perkembangan dari dokter. Sementara itu, sosok Indra Pratama terus hadir di rumah sakit, mengawasi dari jauh dengan wajah penuh rasa bersalah.Nadia tidak bisa menghindari pria itu. Setiap kali melihat Indra, hatinya terbakar amarah, tetapi juga terselip rasa kebingungan. Indra memang telah mengakibatkan kecelakaan yang merenggut kesejahteraan keluarganya, namun ia juga satu-satunya yang sekarang berdiri di sisi mereka, mencoba memperbaiki kesalahannya. Apapun yang dia rasakan, Nadia tahu bahwa Indra juga membawa beban yang besar atas apa yang terjadi.Suatu siang, ketika suasana rumah sakit sedikit lengang, Indra menghampiri Nadia yang sedang duduk di samping ibunya di ruang tunggu. Kali ini, ekspresi
Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati Nadia yang masih kalut. Duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, dia memandangi ayahnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Mesin-mesin di sekitar ranjangnya berdetak pelan, seakan-akan setiap bunyi adalah peringatan bahwa hidupnya bisa berubah dalam sekejap.Semalaman Nadia tak bisa tidur. Tawaran Indra terus menghantuinya, berputar dalam pikirannya seperti lingkaran yang tak kunjung usai. Apakah ini benar-benar satu-satunya jalan keluar? Menikah dengan pria yang hampir tak dikenalnya, hanya karena kesalahan tragis yang telah ia buat? Nadia meremas-remas jemarinya, menahan kegelisahan yang semakin memburuk.Di sisi lain, ibunya tampak lebih tenang pagi ini. Bu Ningsih duduk di sebelah ranjang suaminya, memegang tangan suaminya yang lemah. Meski kelelahan terlihat jelas di wajahnya, ada semacam kelegaan yang samar-samar mulai muncul. Mungkin bagi Bu Ningsih, tawaran Indra bukan hanya soal tanggung jawab, ta
Hari itu, matahari sudah tinggi ketika Nadia berjalan keluar dari rumah sakit, mencoba menarik napas panjang untuk meredakan kekalutan dalam pikirannya. Tawaran pernikahan dari Indra masih terngiang di telinganya, mengguncang perasaannya dari dalam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menggantung di pundaknya.Nadia ingin lari, melarikan diri dari semua yang terjadi, tapi kenyataan memaksanya tetap berdiri tegak. Keluarganya sedang dalam kondisi yang teramat sulit, dan masa depan mereka kini berada di tangannya. Keputusan yang harus diambilnya bukan lagi hanya soal dirinya sendiri—ada ibunya, ada ayahnya, dan mungkin juga kelangsungan hidup keluarganya yang dipertaruhkan.Saat tiba di luar, dia mendapati sepupunya, Dini, sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Dini sudah menunggu dengan wajah penuh simpati. Mereka memang tidak terlalu dekat selama ini, tetapi dalam masa-masa sulit seperti sekarang, Dini adalah satu-satunya tempat Nadia bisa berbicara dengan b
Pagi itu, suasana di rumah Nadia terasa tegang. Bu Ningsih berusaha sibuk dengan rutinitasnya, menyiapkan sarapan sederhana, namun jelas terlihat bahwa pikirannya tidak fokus. Sejak berita kecelakaan suaminya dan tawaran pernikahan dari Indra disampaikan, hari-hari mereka dipenuhi kecemasan. Ayah Nadia masih terbaring di rumah sakit, kondisinya belum membaik, dan tagihan biaya rumah sakit semakin menumpuk.Nadia duduk di ruang makan, diam. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin tetap tak tersentuh. Wajahnya menampakkan kelelahan emosional yang selama ini coba disembunyikannya. Tawaran pernikahan dari Indra, sebuah solusi untuk masalah keluarganya, terasa bagai beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tahu keputusan besar harus segera diambil."Nadia, makan dulu. Ibu tahu kamu tidak lapar, tapi kamu harus tetap kuat, Nak," kata Bu Ningsih lembut, mencoba memecah suasana yang sunyi itu.Nadia hanya menggelengkan kepala pelan, masih menatap kosong ke arah piring di depannya. "Aku
Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi."Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbic
Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia mer
Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku."Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini."Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsi
Setelah prosesi pernikahan selesai, Nadia dan Indra diantar ke rumah baru mereka. Rumah megah itu terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta. Ketika mobil berhenti di depan gerbang tinggi yang terbuat dari besi, Nadia merasakan desakan rasa gugup yang semakin besar. Ini adalah awal dari kehidupan barunya—pernikahan yang dimulai dengan janji, namun tidak ada cinta yang menyertainya."Selamat, Nadia. Semoga kalian berdua bahagia," kata salah satu tamu keluarga saat mengantar mereka sampai ke pintu.Nadia hanya tersenyum tipis, mencoba membalas kebaikan tamu tersebut. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Tidak ada perasaan sukacita seperti yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengantin baru. Indra, yang berjalan di sampingnya, tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan senyum di bibirnya hanya formalitas belaka. Seolah-olah pernikahan ini hanyalah sebuah tanggung jawab yang telah ia lunasi.Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, luas dan berkil