Share

Bab 2: Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Udara di rumah sakit terasa pengap bagi Nadia, meskipun AC berhembus lembut di sudut ruangan. Suara mesin medis yang berdengung seolah membekukan waktu. Jantung Nadia berdebar kencang, tangannya masih gemetar setelah mendengar pengakuan pria yang berdiri di hadapannya. Indra Pratama, nama itu terdengar asing, tapi rasa penyesalan yang terpancar dari sorot matanya membuat Nadia tak bisa segera mengeluarkan kata-kata. Yang ada di pikirannya hanyalah ayahnya—Pak Amir—sedang terbaring tak berdaya, melawan maut di dalam ruang ICU.

Bu Ningsih, yang berdiri di samping Nadia, tak kuasa menahan tangisnya. Sesekali isakannya terdengar di antara keheningan. Nadia mencoba menenangkan ibunya, meski dalam dirinya sendiri rasa cemas dan takut seakan menghimpit. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bereaksi. Semua terjadi begitu cepat.

Indra, yang terlihat tak kalah tegang, berusaha menyampaikan lebih banyak. "Saya... tidak sengaja. Mobil saya lepas kendali saat menghindari motor yang tiba-tiba berbelok. Ayah Anda sedang menyeberang dan... saya benar-benar minta maaf."

Nadia menatap pria di hadapannya. Postur tubuhnya tinggi dengan raut wajah yang terpahat tegas, tapi di balik itu ada rasa bersalah yang jelas terlihat. Nadia merasakan campuran amarah dan kebingungan. Amarah karena insiden ini, namun bingung karena pria itu tampaknya tulus dalam permintaan maafnya.

"Maaf? Apa dengan maaf saja semuanya bisa selesai?" gumam Nadia dalam hati. Dia menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Bagaimana mungkin hidup seseorang berubah drastis dalam hitungan detik? pikirnya.

"Dokter bilang apa?" tanya Nadia akhirnya, suaranya sedikit serak.

Indra menunduk sejenak, seolah merasa bersalah untuk mengucapkannya. "Dokter bilang kondisinya kritis... mereka sedang berusaha yang terbaik."

Kata-kata itu menusuk jantung Nadia. Rasanya seperti tubuhnya terhuyung ke dalam jurang ketidakpastian. Kritis. Kata itu terus berulang-ulang di pikirannya, mencengkeram setiap harapan yang ia coba pertahankan. Nadia menoleh ke arah pintu ruang ICU yang tertutup rapat, membayangkan ayahnya yang dulu selalu tersenyum lembut padanya, kini terbaring di ranjang rumah sakit dengan alat bantu di sekelilingnya.

"Ya Tuhan..." bisik Bu Ningsih di sampingnya, tubuhnya hampir rubuh jika Nadia tidak segera menopangnya.

"Ma, sabar ya..." Nadia memeluk ibunya, mencoba memberikan kekuatan meskipun dirinya pun hampir runtuh. Ayah tidak boleh pergi sekarang. Hanya itu yang ada di pikiran Nadia. Ia harus bertahan, meski dalam hatinya rasa takut mulai merambat ke seluruh dirinya.

Indra tampak semakin gelisah. Ia mendekati mereka, mencoba berbicara lagi. "Saya akan bertanggung jawab... apa pun yang dibutuhkan, saya akan bantu. Saya sudah berbicara dengan dokter dan memastikan semua biaya pengobatan akan saya tanggung."

Nadia menatapnya tajam. Uang mungkin bisa membantu dalam hal perawatan, tapi itu tak akan bisa menghapus rasa sakit yang saat ini menghantam keluarganya. Namun, di balik tatapannya yang marah, Nadia tahu bahwa bantuan ini mungkin satu-satunya hal yang bisa mereka andalkan saat ini.

Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. "Yang penting sekarang adalah Ayah selamat... bukan soal uang atau apa pun." Suaranya tegas, meski hatinya bergetar hebat.

Indra mengangguk dengan cepat. "Tentu... saya benar-benar menyesal atas apa yang terjadi."

Situasi di rumah sakit itu terasa semakin mencekam seiring berjalannya waktu. Setiap detik berlalu dengan perlahan, seolah waktu menahan napas bersama mereka. Sesekali, suara langkah perawat yang bergegas atau suara monitor di ruang ICU terdengar, tapi tak ada satu pun kabar baik yang datang.

Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh kelelahan. Nadia segera menghampiri, napasnya tertahan.

"Bagaimana kondisi Ayah saya, Dok?" Nadia bertanya dengan suara gemetar, berusaha bersikap tegar di depan ibunya yang sudah terlihat begitu rapuh.

Dokter itu menghela napas panjang, kemudian berbicara dengan nada hati-hati. "Kondisinya masih sangat kritis, namun kami sudah melakukan yang terbaik. Sekarang kita hanya bisa menunggu dan melihat bagaimana tubuhnya merespon perawatan ini. Saya sarankan kalian berdoa dan tetap berharap."

Kalimat itu seolah menjadi akhir dari semua harapan yang tersisa bagi Nadia. "Menunggu dan melihat" bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Namun, dia hanya bisa mengangguk lemah. Tidak ada pilihan lain selain berdoa.

Setelah dokter pergi, Nadia mengajak ibunya duduk di ruang tunggu. Sementara itu, Indra berdiri di kejauhan, tampak bingung harus bagaimana. Ia melihat keluarga itu berusaha menahan diri di tengah cobaan berat, dan rasa bersalah semakin menghimpitnya. Ini bukan sekadar kecelakaan bagi Nadia dan keluarganya. Ini adalah bencana yang bisa menghancurkan hidup mereka.

Beberapa jam berlalu. Malam mulai turun, dan rumah sakit yang tadinya sibuk kini terasa lebih sunyi. Nadia tak bisa menahan kantuknya lagi, kepalanya terasa berat setelah sekian lama berjaga. Matanya nyaris terpejam ketika tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat membuka mata, ia melihat Indra berdiri di depannya lagi.

"Nadia," panggilnya pelan, seolah ragu untuk mengganggu.

Nadia menoleh dengan tatapan lelah. "Apa lagi yang mau kamu katakan?"

Indra tampak ragu sesaat, tapi kemudian berkata, "Saya... saya ingin memastikan semuanya akan baik-baik saja. Jika ada apa-apa, tolong kabari saya. Ini semua tanggung jawab saya."

Nadia menatapnya lama, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa. Baginya, tidak ada yang bisa diucapkan lagi sekarang. Semua kata seakan kehilangan makna di tengah situasi yang begitu berat ini.

Kabar tentang kondisi ayah Nadia masih menggantung, sementara Indra mulai menunjukkan keseriusan untuk bertanggung jawab.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status