Share

Bab 8: Langkah Awal Menuju Keterikatan

Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.

“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.

Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia merasa semakin berat untuk kembali ke rumah dan menghadapi kenyataan bahwa hari pernikahannya semakin dekat.

“Bapak ingin melihat kamu bahagia, Nad,” kata Bu Ningsih suatu malam saat mereka berdua duduk di samping tempat tidur suaminya. “Bapak pasti akan merasa tenang kalau tahu kamu sudah menikah dan hidupmu baik-baik saja.” Meskipun ucapannya terdengar menenangkan, rasa bersalah merambat di hati Nadia. Apakah dia benar-benar bisa bahagia dengan pernikahan yang penuh keterpaksaan ini?

Hari itu, Nadia dipanggil ke rumah keluarga Pratama untuk mencoba gaun pengantinnya. Gaun putih berenda itu sangat indah, mewah, dan tentunya mahal. Di saat seharusnya ia merasa bahagia mengenakan gaun pengantin untuk pertama kalinya, hatinya malah semakin hampa. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Wajahnya tampak tegang, matanya sayu. Tidak ada sedikit pun kilau kebahagiaan di sana.

"Bagus," ujar Bu Yuni singkat, sambil melirik Nadia dari sudut ruangan. "Ini yang terbaik dari koleksi desainer ternama. Kau harus bersyukur kami memilihkan yang terbaik untukmu."

Nadia hanya menunduk, tak ingin beradu tatap dengan wanita dingin itu. Setiap kali Bu Yuni berbicara, Nadia merasakan jarak yang begitu jauh antara dirinya dan keluarga suaminya yang akan datang. Mereka tidak pernah memperlakukannya seperti keluarga, melainkan seperti orang asing yang tak diharapkan kehadirannya. Kata-kata Bu Yuni selalu diiringi dengan nada merendahkan, membuat Nadia semakin merasa kecil dan tidak berharga.

“Apakah Indra akan datang?” tanya Nadia pelan. Harapannya tipis, tapi ia masih berharap Indra bisa sedikit melibatkan dirinya dalam proses ini.

"Indra sibuk," jawab Bu Yuni singkat. "Dia mempercayakan semua ini pada Ibu. Lagi pula, yang penting baginya adalah kau hadir di hari pernikahan. Hal-hal kecil seperti ini tak perlu membuatnya terganggu."

Jawaban itu membuat hati Nadia semakin tersayat. Indra, yang seharusnya menjadi pasangan hidupnya, sepertinya tak peduli sama sekali. Pernikahan ini hanyalah sebuah kewajiban yang harus dilalui. Tidak ada cinta, tidak ada kehangatan, hanya formalitas belaka.

Malam sebelum pernikahan, Nadia terbaring di tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran yang tak menentu. Masa kecilnya, impian-impian sederhananya, hingga rencana-rencana yang dulu ia buat untuk masa depan, semua terasa jauh dan tak terjangkau lagi. Kini, yang ada di depannya adalah sebuah kenyataan pahit yang harus ia hadapi.

"Besok aku akan menikah," pikirnya. Kata-kata itu terdengar begitu asing dan menakutkan. Seharusnya pernikahan menjadi momen paling bahagia dalam hidup seseorang, namun baginya, pernikahan ini seperti memasuki dunia yang penuh ketidakpastian. Ia bahkan tidak mengenal Indra dengan baik.

"Apakah aku bisa hidup dengannya?" pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Nadia tahu, pernikahan ini bukan sekadar keputusan pribadi. Ini adalah keputusan yang menyangkut kehidupan ayahnya, kesejahteraan keluarganya, dan tanggung jawab yang harus ia pikul.

Namun di balik semua itu, ada ketakutan mendalam yang tak bisa ia ungkapkan pada siapa pun. Takut akan hidup dengan seseorang yang tak mencintainya, takut akan masa depan yang penuh dengan kekecewaan.

Pagi itu, udara dingin menyelimuti suasana di rumah Nadia. Segalanya terasa hening, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Nadia menatap gaun pengantinnya yang tergantung rapi di sudut kamar. Pagi ini, semuanya akan berubah. Hari ini, ia akan meninggalkan masa remajanya dan melangkah ke dunia yang baru, dunia yang tidak ia pilih, tetapi ia terima demi orang-orang yang ia cintai.

"Nadia, sudah siap?" suara lembut Bu Ningsih terdengar dari balik pintu. Nadia mengangguk, meskipun ibunya tidak bisa melihat.

Dengan berat hati, Nadia melangkah keluar dari kamar, mengenakan gaun pengantin yang terasa berat di tubuhnya. Gaun itu indah, namun terasa seperti beban yang menghimpit dada. Di setiap langkah yang ia ambil menuju altar, Nadia merasa hatinya semakin hampa.

Nadia berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pengantin yang mewah, namun hatinya dipenuhi kekosongan. Apakah keputusan ini akan membawa kebahagiaan, ataukah hanya menjadi awal dari penderitaan yang lebih dalam? Dengan perasaan yang terombang-ambing, ia melangkah menuju altar, siap menghadapi apa pun yang menantinya di ujung perjalanan ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status