Share

Bab 7: Keputusan yang Berat

Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.

Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi.

"Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.

Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbicara dengan suara pelan melalui telepon. "Ya, Pak Rizal, Nadia sudah setuju. Kami akan mulai persiapan secepatnya," suaranya terdengar sedikit lega, tapi tetap ada kekhawatiran yang terselip. Setelah menutup telepon, dia mendekati kamar Nadia.

Bu Ningsih masuk ke kamar Nadia dengan langkah pelan. Saat itu, Nadia masih duduk di sudut tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Bu Ningsih, yang bisa merasakan kepedihan putrinya, duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya.

“Nak, ibu tahu ini semua tidak mudah,” kata Bu Ningsih lembut. “Tapi Ibu yakin kamu akan bisa melewatinya.”

Nadia menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak tahu, Bu... Aku merasa seperti menyerahkan hidupku begitu saja. Apa benar ini satu-satunya jalan?"

Bu Ningsih memeluk Nadia dengan erat, menenangkannya. "Ibu tahu, Nak. Tapi lihat kondisi ayahmu. Kita tak punya banyak pilihan. Ibu yakin, meskipun sekarang berat, kamu pasti bisa menyesuaikan diri. Indra bukan orang yang jahat. Mungkin... dengan waktu, kamu bisa belajar menerimanya."

Nadia menarik napas panjang. Kata-kata ibunya adalah penghiburan, tapi hatinya tetap meragukan apakah ia benar-benar bisa menjalani kehidupan pernikahan yang tak diinginkannya. Di balik ketenangan yang coba ia tunjukkan, hatinya dipenuhi dengan ketakutan akan masa depan yang belum jelas.

Beberapa hari kemudian, persiapan pernikahan dimulai. Indra, dengan pengaruh dan kekayaannya, langsung mengambil alih semua persiapan. Tim wedding organizer terbaik di Jakarta dikerahkan, memastikan segala detail tersusun rapi. Meskipun begitu, Nadia merasa semakin terasing dalam proses ini. Semua keputusan diambil tanpa berkonsultasi padanya. Mulai dari dekorasi, gaun, hingga tamu undangan. Semua sudah diputuskan oleh Indra dan keluarganya.

"Kamu hanya perlu datang di hari pernikahan, Nadia. Biarkan kami yang mengurus semuanya," kata Bu Yuni saat mereka bertemu di rumah mewah keluarga Pratama. Senyumannya penuh kesombongan, seolah menegaskan bahwa keluarga Nadia hanya tamu dalam urusan ini.

Nadia menunduk, mencoba menahan rasa tidak enak yang kembali muncul. Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu repot mengurus pernikahannya sendiri. Namun di sisi lain, ia merasa seperti tamu di hari pernikahannya sendiri. Tak ada satupun elemen dari pernikahan ini yang mencerminkan kepribadiannya atau keluarganya. Semua adalah cerminan keangkuhan keluarga Pratama, terutama Bu Yuni.

Indra tampak jarang hadir dalam proses ini. Sesekali ia muncul, hanya untuk memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Tak ada percakapan mendalam antara dirinya dan Nadia, tak ada upaya untuk lebih mengenal satu sama lain. Semua berjalan seperti sebuah transaksi formal, dan semakin lama, Nadia semakin merasa pernikahan ini hanyalah formalitas tanpa makna.

Pada suatu malam, ketika Nadia dan Bu Ningsih duduk bersama di ruang keluarga, suara dering telepon memecah keheningan. Bu Ningsih mengangkat telepon dan suaranya langsung berubah serius.

"Ada apa, Pak Dokter?" tanyanya. Raut wajahnya berubah, matanya melebar seiring dengan informasi yang ia terima. Ayah Nadia mengalami komplikasi serius di rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, mereka segera bergegas menuju rumah sakit.

Di rumah sakit, Nadia melihat tubuh ayahnya yang lemah terbaring dengan berbagai alat bantu medis. Wajahnya pucat, napasnya terengah-engah. Dokter menyarankan operasi segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, biayanya sangat besar.

Nadia merasa dunia seakan runtuh. Pilihan itu kini nyata di depannya. Pernikahan dengan Indra, yang selama ini terasa seperti beban, kini menjadi satu-satunya harapan untuk menyelamatkan ayahnya. Air mata tak bisa ia tahan lagi.

"Ibu... kita harus menyelamatkan ayah," bisiknya. "Aku akan melakukannya. Aku akan menikah dengan Indra. Tak ada jalan lain."

Nadia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pernikahan demi menyelamatkan nyawa ayahnya. Namun, keputusan ini menambah beban emosional yang semakin berat. Apakah pernikahan ini benar-benar solusi, ataukah hanya akan memperburuk hidupnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status