Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.
Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi.
"Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.
Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbicara dengan suara pelan melalui telepon. "Ya, Pak Rizal, Nadia sudah setuju. Kami akan mulai persiapan secepatnya," suaranya terdengar sedikit lega, tapi tetap ada kekhawatiran yang terselip. Setelah menutup telepon, dia mendekati kamar Nadia.
Bu Ningsih masuk ke kamar Nadia dengan langkah pelan. Saat itu, Nadia masih duduk di sudut tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Bu Ningsih, yang bisa merasakan kepedihan putrinya, duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya.
“Nak, ibu tahu ini semua tidak mudah,” kata Bu Ningsih lembut. “Tapi Ibu yakin kamu akan bisa melewatinya.”
Nadia menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak tahu, Bu... Aku merasa seperti menyerahkan hidupku begitu saja. Apa benar ini satu-satunya jalan?"
Bu Ningsih memeluk Nadia dengan erat, menenangkannya. "Ibu tahu, Nak. Tapi lihat kondisi ayahmu. Kita tak punya banyak pilihan. Ibu yakin, meskipun sekarang berat, kamu pasti bisa menyesuaikan diri. Indra bukan orang yang jahat. Mungkin... dengan waktu, kamu bisa belajar menerimanya."
Nadia menarik napas panjang. Kata-kata ibunya adalah penghiburan, tapi hatinya tetap meragukan apakah ia benar-benar bisa menjalani kehidupan pernikahan yang tak diinginkannya. Di balik ketenangan yang coba ia tunjukkan, hatinya dipenuhi dengan ketakutan akan masa depan yang belum jelas.
Beberapa hari kemudian, persiapan pernikahan dimulai. Indra, dengan pengaruh dan kekayaannya, langsung mengambil alih semua persiapan. Tim wedding organizer terbaik di Jakarta dikerahkan, memastikan segala detail tersusun rapi. Meskipun begitu, Nadia merasa semakin terasing dalam proses ini. Semua keputusan diambil tanpa berkonsultasi padanya. Mulai dari dekorasi, gaun, hingga tamu undangan. Semua sudah diputuskan oleh Indra dan keluarganya.
"Kamu hanya perlu datang di hari pernikahan, Nadia. Biarkan kami yang mengurus semuanya," kata Bu Yuni saat mereka bertemu di rumah mewah keluarga Pratama. Senyumannya penuh kesombongan, seolah menegaskan bahwa keluarga Nadia hanya tamu dalam urusan ini.
Nadia menunduk, mencoba menahan rasa tidak enak yang kembali muncul. Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu repot mengurus pernikahannya sendiri. Namun di sisi lain, ia merasa seperti tamu di hari pernikahannya sendiri. Tak ada satupun elemen dari pernikahan ini yang mencerminkan kepribadiannya atau keluarganya. Semua adalah cerminan keangkuhan keluarga Pratama, terutama Bu Yuni.
Indra tampak jarang hadir dalam proses ini. Sesekali ia muncul, hanya untuk memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Tak ada percakapan mendalam antara dirinya dan Nadia, tak ada upaya untuk lebih mengenal satu sama lain. Semua berjalan seperti sebuah transaksi formal, dan semakin lama, Nadia semakin merasa pernikahan ini hanyalah formalitas tanpa makna.
Pada suatu malam, ketika Nadia dan Bu Ningsih duduk bersama di ruang keluarga, suara dering telepon memecah keheningan. Bu Ningsih mengangkat telepon dan suaranya langsung berubah serius.
"Ada apa, Pak Dokter?" tanyanya. Raut wajahnya berubah, matanya melebar seiring dengan informasi yang ia terima. Ayah Nadia mengalami komplikasi serius di rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, mereka segera bergegas menuju rumah sakit.
Di rumah sakit, Nadia melihat tubuh ayahnya yang lemah terbaring dengan berbagai alat bantu medis. Wajahnya pucat, napasnya terengah-engah. Dokter menyarankan operasi segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, biayanya sangat besar.
Nadia merasa dunia seakan runtuh. Pilihan itu kini nyata di depannya. Pernikahan dengan Indra, yang selama ini terasa seperti beban, kini menjadi satu-satunya harapan untuk menyelamatkan ayahnya. Air mata tak bisa ia tahan lagi.
"Ibu... kita harus menyelamatkan ayah," bisiknya. "Aku akan melakukannya. Aku akan menikah dengan Indra. Tak ada jalan lain."
Nadia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pernikahan demi menyelamatkan nyawa ayahnya. Namun, keputusan ini menambah beban emosional yang semakin berat. Apakah pernikahan ini benar-benar solusi, ataukah hanya akan memperburuk hidupnya?Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia mer
Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku."Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini."Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsi
Setelah prosesi pernikahan selesai, Nadia dan Indra diantar ke rumah baru mereka. Rumah megah itu terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta. Ketika mobil berhenti di depan gerbang tinggi yang terbuat dari besi, Nadia merasakan desakan rasa gugup yang semakin besar. Ini adalah awal dari kehidupan barunya—pernikahan yang dimulai dengan janji, namun tidak ada cinta yang menyertainya."Selamat, Nadia. Semoga kalian berdua bahagia," kata salah satu tamu keluarga saat mengantar mereka sampai ke pintu.Nadia hanya tersenyum tipis, mencoba membalas kebaikan tamu tersebut. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Tidak ada perasaan sukacita seperti yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengantin baru. Indra, yang berjalan di sampingnya, tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan senyum di bibirnya hanya formalitas belaka. Seolah-olah pernikahan ini hanyalah sebuah tanggung jawab yang telah ia lunasi.Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, luas dan berkil
Setelah malam pertama yang penuh keheningan, kehidupan Nadia dan Indra berlanjut dengan rutinitas harian yang monoton. Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka tinggal di rumah yang megah, Nadia merasa terkurung dalam keheningan yang mencekik. Indra kembali ke pekerjaannya, menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah daripada di dalam.Nadia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Ia mulai menjelajahi rumah besar itu, mencoba menemukan sudut-sudut nyaman di dalamnya. Suatu hari, saat ia duduk di teras belakang, memandangi taman yang luas dan indah, Bu Yuni, ibu Indra, datang menghampiri."Nadia," panggil Bu Yuni dengan nada tegas. "Bagaimana kabar? Apakah kamu sudah memikirkan untuk memiliki anak?"Pertanyaan itu membuat Nadia terkejut. "Anak?" ulangnya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. "Kami baru saja menikah, Bu. Mungkin terlalu cepat untuk memikirkan hal itu.""Justru itu, Nadia. Indra sudah menikah. Sekarang saatnya kamu memikirkan masa depan kita sebagai
Setelah malam penuh ketegangan itu, Nadia duduk sendirian di kamar, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan taman rumah besar milik keluarga Indra. Cahaya bulan menerobos masuk, menyinari wajahnya yang tampak sendu. Di dalam hatinya, ada secercah harapan yang tak ingin ia lepaskan. Mungkin, pikirnya, kehadiran anak ini akan memperbaiki keadaan. Mungkin dengan menjadi orang tua, ia dan Indra bisa menjadi pasangan yang lebih baik—menjadi keluarga yang utuh.Nadia mencoba meyakinkan dirinya bahwa situasi ini bisa berubah. Kehamilannya bisa menjadi titik balik, awal dari kehidupan baru yang lebih bahagia. Anak mereka bisa membawa perubahan positif, bahkan mungkin menghangatkan hati Indra yang selama ini terasa dingin dan jauh.Pagi berikutnya, ketika Nadia duduk di meja makan, Bu Yuni mendekat dengan ekspresi ceria yang seolah tidak menyadari ketegangan antara Nadia dan Indra. "Nadia, sayang, kau harus menjaga dirimu baik-baik.
Hari yang dinanti tiba lebih cepat dari yang Nadia duga. Di suatu pagi yang tenang, ketika matahari baru saja terbit, Nadia merasakan kontraksi pertama yang membuat tubuhnya menegang. Sakit itu merambat dari perutnya ke seluruh tubuh, membuatnya terhuyung-huyung mencari pegangan di tepi ranjang. Ia tahu, waktunya hampir tiba. Bayi yang telah ia kandung selama sembilan bulan akan segera melihat dunia.Dengan tergesa-gesa, Nadia memanggil Indra, yang saat itu baru saja bersiap untuk berangkat ke kantor. "Indra, aku rasa... waktunya sudah dekat," ujar Nadia dengan suara serak, menahan sakit yang semakin intens.Indra, yang selama ini lebih banyak acuh pada kehamilannya, tiba-tiba tampak panik. Wajahnya berubah tegang, dan ia segera membantu Nadia ke mobil tanpa banyak berkata-kata. Dalam diam, mereka berdua menuju rumah sakit, dengan perasaan bercampur aduk. Di dalam hatinya, Nadia berharap bahwa momen ini akan membawa mereka lebih dekat,
Kehadiran Reza di dunia membawa perubahan yang tak disangka dalam hati Indra. Setiap kali ia memandang anaknya, ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh—sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Indra, yang selama ini merasa terjebak dalam pernikahannya dengan Nadia, kini melihat harapan baru. Mungkin, dengan menjadi ayah, hidupnya bisa berubah.Pagi hari setelah kelahiran Reza, Nadia masih dalam masa pemulihan di rumah sakit. Indra berdiri di dekat jendela, matanya menatap keluar, tetapi pikirannya sibuk mencerna banyak hal. Sejak kemarin, saat ia melihat Nadia berjuang keras melahirkan anak mereka, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Rasa kagum dan hormat pada Nadia mulai timbul, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti bagaimana perasaan itu tumbuh begitu saja.Sementara itu, Reza tidur dengan tenang di inkubator, membuat Indra semakin tersentuh setiap kali ia melihat bayi mungil itu. Reza adalah darah dagingnya, buah cin
Setelah malam yang panjang dan penuh kegelisahan, pagi datang dengan sunyi. Nadia terbangun dengan kantung mata yang berat, menandakan kurang tidur semalaman. Saat membuka matanya, ia menoleh ke samping tempat tidur. Kosong. Indra tak ada di sana.Nadia mendesah pelan, perasaannya bercampur aduk. Ia berusaha menenangkan diri, berharap Indra pulang lebih awal, tapi rasa khawatirnya tak bisa disembunyikan. Selama beberapa minggu terakhir, Indra memang terlihat lebih dekat dengan keluarga. Namun, satu panggilan telepon sudah cukup membuatnya khawatir, mengingatkan Nadia pada kebiasaan lama Indra yang selalu mengutamakan pekerjaan di atas segalanya.Setelah memastikan Reza tidur dengan tenang, Nadia keluar dari kamar dan menuju dapur. Ketika ia sampai di ruang makan, pintu depan terdengar terbuka perlahan. Indra masuk dengan langkah berat. Pakaian kantornya masih lengkap, namun wajahnya tampak kelelahan.“Kamu baru pulang?” tanya Nadia d
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be