Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.
Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi.
"Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.
Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbicara dengan suara pelan melalui telepon. "Ya, Pak Rizal, Nadia sudah setuju. Kami akan mulai persiapan secepatnya," suaranya terdengar sedikit lega, tapi tetap ada kekhawatiran yang terselip. Setelah menutup telepon, dia mendekati kamar Nadia.
Bu Ningsih masuk ke kamar Nadia dengan langkah pelan. Saat itu, Nadia masih duduk di sudut tempat tidurnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. Bu Ningsih, yang bisa merasakan kepedihan putrinya, duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya.
“Nak, ibu tahu ini semua tidak mudah,” kata Bu Ningsih lembut. “Tapi Ibu yakin kamu akan bisa melewatinya.”
Nadia menggigit bibirnya, menahan air mata yang sudah mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak tahu, Bu... Aku merasa seperti menyerahkan hidupku begitu saja. Apa benar ini satu-satunya jalan?"
Bu Ningsih memeluk Nadia dengan erat, menenangkannya. "Ibu tahu, Nak. Tapi lihat kondisi ayahmu. Kita tak punya banyak pilihan. Ibu yakin, meskipun sekarang berat, kamu pasti bisa menyesuaikan diri. Indra bukan orang yang jahat. Mungkin... dengan waktu, kamu bisa belajar menerimanya."
Nadia menarik napas panjang. Kata-kata ibunya adalah penghiburan, tapi hatinya tetap meragukan apakah ia benar-benar bisa menjalani kehidupan pernikahan yang tak diinginkannya. Di balik ketenangan yang coba ia tunjukkan, hatinya dipenuhi dengan ketakutan akan masa depan yang belum jelas.
Beberapa hari kemudian, persiapan pernikahan dimulai. Indra, dengan pengaruh dan kekayaannya, langsung mengambil alih semua persiapan. Tim wedding organizer terbaik di Jakarta dikerahkan, memastikan segala detail tersusun rapi. Meskipun begitu, Nadia merasa semakin terasing dalam proses ini. Semua keputusan diambil tanpa berkonsultasi padanya. Mulai dari dekorasi, gaun, hingga tamu undangan. Semua sudah diputuskan oleh Indra dan keluarganya.
"Kamu hanya perlu datang di hari pernikahan, Nadia. Biarkan kami yang mengurus semuanya," kata Bu Yuni saat mereka bertemu di rumah mewah keluarga Pratama. Senyumannya penuh kesombongan, seolah menegaskan bahwa keluarga Nadia hanya tamu dalam urusan ini.
Nadia menunduk, mencoba menahan rasa tidak enak yang kembali muncul. Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu repot mengurus pernikahannya sendiri. Namun di sisi lain, ia merasa seperti tamu di hari pernikahannya sendiri. Tak ada satupun elemen dari pernikahan ini yang mencerminkan kepribadiannya atau keluarganya. Semua adalah cerminan keangkuhan keluarga Pratama, terutama Bu Yuni.
Indra tampak jarang hadir dalam proses ini. Sesekali ia muncul, hanya untuk memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Tak ada percakapan mendalam antara dirinya dan Nadia, tak ada upaya untuk lebih mengenal satu sama lain. Semua berjalan seperti sebuah transaksi formal, dan semakin lama, Nadia semakin merasa pernikahan ini hanyalah formalitas tanpa makna.
Pada suatu malam, ketika Nadia dan Bu Ningsih duduk bersama di ruang keluarga, suara dering telepon memecah keheningan. Bu Ningsih mengangkat telepon dan suaranya langsung berubah serius.
"Ada apa, Pak Dokter?" tanyanya. Raut wajahnya berubah, matanya melebar seiring dengan informasi yang ia terima. Ayah Nadia mengalami komplikasi serius di rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, mereka segera bergegas menuju rumah sakit.
Di rumah sakit, Nadia melihat tubuh ayahnya yang lemah terbaring dengan berbagai alat bantu medis. Wajahnya pucat, napasnya terengah-engah. Dokter menyarankan operasi segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, biayanya sangat besar.
Nadia merasa dunia seakan runtuh. Pilihan itu kini nyata di depannya. Pernikahan dengan Indra, yang selama ini terasa seperti beban, kini menjadi satu-satunya harapan untuk menyelamatkan ayahnya. Air mata tak bisa ia tahan lagi.
"Ibu... kita harus menyelamatkan ayah," bisiknya. "Aku akan melakukannya. Aku akan menikah dengan Indra. Tak ada jalan lain."
Nadia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pernikahan demi menyelamatkan nyawa ayahnya. Namun, keputusan ini menambah beban emosional yang semakin berat. Apakah pernikahan ini benar-benar solusi, ataukah hanya akan memperburuk hidupnya?Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia mer
Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku."Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini."Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsi
Setelah prosesi pernikahan selesai, Nadia dan Indra diantar ke rumah baru mereka. Rumah megah itu terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta. Ketika mobil berhenti di depan gerbang tinggi yang terbuat dari besi, Nadia merasakan desakan rasa gugup yang semakin besar. Ini adalah awal dari kehidupan barunya—pernikahan yang dimulai dengan janji, namun tidak ada cinta yang menyertainya."Selamat, Nadia. Semoga kalian berdua bahagia," kata salah satu tamu keluarga saat mengantar mereka sampai ke pintu.Nadia hanya tersenyum tipis, mencoba membalas kebaikan tamu tersebut. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Tidak ada perasaan sukacita seperti yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengantin baru. Indra, yang berjalan di sampingnya, tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan senyum di bibirnya hanya formalitas belaka. Seolah-olah pernikahan ini hanyalah sebuah tanggung jawab yang telah ia lunasi.Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, luas dan berkil
Setelah malam pertama yang penuh keheningan, kehidupan Nadia dan Indra berlanjut dengan rutinitas harian yang monoton. Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka tinggal di rumah yang megah, Nadia merasa terkurung dalam keheningan yang mencekik. Indra kembali ke pekerjaannya, menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah daripada di dalam.Nadia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Ia mulai menjelajahi rumah besar itu, mencoba menemukan sudut-sudut nyaman di dalamnya. Suatu hari, saat ia duduk di teras belakang, memandangi taman yang luas dan indah, Bu Yuni, ibu Indra, datang menghampiri."Nadia," panggil Bu Yuni dengan nada tegas. "Bagaimana kabar? Apakah kamu sudah memikirkan untuk memiliki anak?"Pertanyaan itu membuat Nadia terkejut. "Anak?" ulangnya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. "Kami baru saja menikah, Bu. Mungkin terlalu cepat untuk memikirkan hal itu.""Justru itu, Nadia. Indra sudah menikah. Sekarang saatnya kamu memikirkan masa depan kita sebagai
Setelah malam penuh ketegangan itu, Nadia duduk sendirian di kamar, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan taman rumah besar milik keluarga Indra. Cahaya bulan menerobos masuk, menyinari wajahnya yang tampak sendu. Di dalam hatinya, ada secercah harapan yang tak ingin ia lepaskan. Mungkin, pikirnya, kehadiran anak ini akan memperbaiki keadaan. Mungkin dengan menjadi orang tua, ia dan Indra bisa menjadi pasangan yang lebih baik—menjadi keluarga yang utuh.Nadia mencoba meyakinkan dirinya bahwa situasi ini bisa berubah. Kehamilannya bisa menjadi titik balik, awal dari kehidupan baru yang lebih bahagia. Anak mereka bisa membawa perubahan positif, bahkan mungkin menghangatkan hati Indra yang selama ini terasa dingin dan jauh.Pagi berikutnya, ketika Nadia duduk di meja makan, Bu Yuni mendekat dengan ekspresi ceria yang seolah tidak menyadari ketegangan antara Nadia dan Indra. "Nadia, sayang, kau harus menjaga dirimu baik-baik.
Hari yang dinanti tiba lebih cepat dari yang Nadia duga. Di suatu pagi yang tenang, ketika matahari baru saja terbit, Nadia merasakan kontraksi pertama yang membuat tubuhnya menegang. Sakit itu merambat dari perutnya ke seluruh tubuh, membuatnya terhuyung-huyung mencari pegangan di tepi ranjang. Ia tahu, waktunya hampir tiba. Bayi yang telah ia kandung selama sembilan bulan akan segera melihat dunia.Dengan tergesa-gesa, Nadia memanggil Indra, yang saat itu baru saja bersiap untuk berangkat ke kantor. "Indra, aku rasa... waktunya sudah dekat," ujar Nadia dengan suara serak, menahan sakit yang semakin intens.Indra, yang selama ini lebih banyak acuh pada kehamilannya, tiba-tiba tampak panik. Wajahnya berubah tegang, dan ia segera membantu Nadia ke mobil tanpa banyak berkata-kata. Dalam diam, mereka berdua menuju rumah sakit, dengan perasaan bercampur aduk. Di dalam hatinya, Nadia berharap bahwa momen ini akan membawa mereka lebih dekat,
Kehadiran Reza di dunia membawa perubahan yang tak disangka dalam hati Indra. Setiap kali ia memandang anaknya, ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh—sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Indra, yang selama ini merasa terjebak dalam pernikahannya dengan Nadia, kini melihat harapan baru. Mungkin, dengan menjadi ayah, hidupnya bisa berubah.Pagi hari setelah kelahiran Reza, Nadia masih dalam masa pemulihan di rumah sakit. Indra berdiri di dekat jendela, matanya menatap keluar, tetapi pikirannya sibuk mencerna banyak hal. Sejak kemarin, saat ia melihat Nadia berjuang keras melahirkan anak mereka, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Rasa kagum dan hormat pada Nadia mulai timbul, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti bagaimana perasaan itu tumbuh begitu saja.Sementara itu, Reza tidur dengan tenang di inkubator, membuat Indra semakin tersentuh setiap kali ia melihat bayi mungil itu. Reza adalah darah dagingnya, buah cin
Setelah malam yang panjang dan penuh kegelisahan, pagi datang dengan sunyi. Nadia terbangun dengan kantung mata yang berat, menandakan kurang tidur semalaman. Saat membuka matanya, ia menoleh ke samping tempat tidur. Kosong. Indra tak ada di sana.Nadia mendesah pelan, perasaannya bercampur aduk. Ia berusaha menenangkan diri, berharap Indra pulang lebih awal, tapi rasa khawatirnya tak bisa disembunyikan. Selama beberapa minggu terakhir, Indra memang terlihat lebih dekat dengan keluarga. Namun, satu panggilan telepon sudah cukup membuatnya khawatir, mengingatkan Nadia pada kebiasaan lama Indra yang selalu mengutamakan pekerjaan di atas segalanya.Setelah memastikan Reza tidur dengan tenang, Nadia keluar dari kamar dan menuju dapur. Ketika ia sampai di ruang makan, pintu depan terdengar terbuka perlahan. Indra masuk dengan langkah berat. Pakaian kantornya masih lengkap, namun wajahnya tampak kelelahan.“Kamu baru pulang?” tanya Nadia d