Share

Bab 6: Pertemuan Keluarga yang Penuh Tekanan

Pagi itu, suasana di rumah Nadia terasa tegang. Bu Ningsih berusaha sibuk dengan rutinitasnya, menyiapkan sarapan sederhana, namun jelas terlihat bahwa pikirannya tidak fokus. Sejak berita kecelakaan suaminya dan tawaran pernikahan dari Indra disampaikan, hari-hari mereka dipenuhi kecemasan. Ayah Nadia masih terbaring di rumah sakit, kondisinya belum membaik, dan tagihan biaya rumah sakit semakin menumpuk.

Nadia duduk di ruang makan, diam. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin tetap tak tersentuh. Wajahnya menampakkan kelelahan emosional yang selama ini coba disembunyikannya. Tawaran pernikahan dari Indra, sebuah solusi untuk masalah keluarganya, terasa bagai beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tahu keputusan besar harus segera diambil.

"Nadia, makan dulu. Ibu tahu kamu tidak lapar, tapi kamu harus tetap kuat, Nak," kata Bu Ningsih lembut, mencoba memecah suasana yang sunyi itu.

Nadia hanya menggelengkan kepala pelan, masih menatap kosong ke arah piring di depannya. "Aku tidak bisa memikirkan apa-apa sekarang, Bu. Apa kita tidak punya cara lain?" tanyanya, suaranya terdengar berat dan nyaris pecah. Hati kecilnya menolak untuk menyerahkan hidupnya dalam pernikahan yang didasari oleh tanggung jawab dan bukan cinta.

Bu Ningsih, yang sudah beberapa malam tidak bisa tidur dengan tenang, mendekati putrinya. Matanya berkaca-kaca, merasa terjebak dalam situasi yang tak diinginkan. "Ibu tahu ini sulit, Nak. Tapi keadaan ayahmu semakin buruk, dan kita tak punya cukup uang untuk membayar biaya perawatan rumah sakit. Kalau kita menolak tawaran Indra... Ibu tak tahu apa yang akan terjadi dengan keluarga kita."

Nadia menatap wajah ibunya yang sudah mulai menua. Ada kepedihan dalam sorot matanya, menyadari bahwa ibunya tak punya pilihan lain. Situasi keluarga mereka semakin terjepit, dan tawaran Indra, meskipun tidak diinginkannya, tampak seperti satu-satunya jalan keluar.

Siang harinya, Bu Ningsih memanggil Nadia ke ruang tamu. Mereka harus membuat keputusan secepatnya. Nadia duduk dengan tubuh tegak, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang melanda dirinya. “Pamanmu, Pak Rizal, juga mengatakan bahwa pernikahan ini mungkin solusi terbaik untuk kita,” Bu Ningsih memulai percakapan, mencoba memberikan landasan rasional pada keputusan mereka.

Nadia menggigit bibirnya, menghadapi realitas yang pahit. Pamannya, yang tinggal jauh dari Jakarta, selalu dianggap sebagai tokoh bijak dalam keluarga mereka. Jika dia pun menyarankan pernikahan ini sebagai solusi, maka Nadia merasa semakin terpojok. Pernikahan dengan Indra, yang bukan dilandasi cinta, melainkan tanggung jawab dan kondisi keluarga, terasa semakin nyata dan tak terhindarkan.

“Bu, tapi apa ini benar-benar satu-satunya jalan?” tanya Nadia pelan, menahan air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. “Aku belum siap. Aku bahkan hampir tidak mengenalnya.”

Bu Ningsih menunduk, tak sanggup menatap putrinya. Beban emosional semakin menekan dirinya. “Ibu tahu ini bukan pernikahan yang kamu impikan, Nak. Tapi kita tak punya banyak pilihan. Indra sudah menawarkan bantuannya, dan ini bisa menyelamatkan kita... menyelamatkan ayahmu.”

Di sore hari, Indra dan ibunya, Bu Yuni, datang berkunjung ke rumah mereka. Ruang tamu yang kecil itu terasa semakin sempit oleh kehadiran dua tamu dari keluarga kaya. Bu Yuni menatap sekeliling dengan pandangan dingin, mencerminkan sikap angkuhnya. Nadia merasa tidak nyaman sejak pertama kali melihat calon ibu mertuanya, yang jelas tidak menyukai kesederhanaan keluarga Nadia.

Indra, meskipun lebih tenang, juga tak banyak bicara. Sikapnya kaku, dan dia tampak tidak terlalu tertarik dengan apa yang terjadi. Bu Yuni-lah yang memimpin percakapan, dengan nada dingin dan formal. "Jadi, ini Nadia?" katanya saat matanya menelusuri wajah putri sulung Bu Ningsih. “Aku harap kamu tahu bahwa pernikahan ini adalah kesempatan besar untuk keluargamu. Jangan sampai kamu mengecewakan.”

Nadia menahan napas, merasakan ketidaknyamanan yang menusuk di hatinya. Kata-kata Bu Yuni seakan meremehkan keadaan keluarganya yang tengah terpuruk. Namun, dia tidak bisa membalas—situasinya tak memungkinkan. Dia hanya bisa menunduk dan mencoba menyembunyikan rasa tersinggung yang mulai merayap dalam dirinya.

Indra menatap Nadia sesaat, lalu berkata dengan nada rendah, “Nadia, aku tahu ini berat buatmu. Tapi aku ingin kita bisa saling menghargai. Aku hanya ingin menyelesaikan tanggung jawabku.”

Kata-kata Indra terdengar tenang, namun Nadia tak bisa membaca isi hatinya. Apakah dia tulus dalam tanggung jawab ini, ataukah hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh keluarganya? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tanpa jawaban.

Ketika pertemuan selesai, Bu Yuni menegaskan bahwa pernikahan harus dilaksanakan secepatnya. “Keluarga kami akan mengurus semuanya,” katanya tegas. “Kami tidak ingin menunda lebih lama lagi. Nadia, keluargamu hanya perlu bersiap-siap. Jangan khawatir soal biaya atau persiapan lainnya.”

Nadia merasa jantungnya berdebar kencang. Pernikahan itu terasa seperti hukuman yang harus ia terima, meskipun dia tidak menginginkannya. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, dia mengangguk pelan. “Jika ini yang terbaik untuk keluarga saya... saya setuju.”

Nadia telah menerima keputusan untuk menikah dengan Indra, namun hatinya masih penuh keraguan. Apakah pernikahan ini akan membawanya pada kebahagiaan, atau justru semakin memperburuk hidupnya? Bagaimana dengan sikap dingin Indra dan ibunya yang angkuh? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui Nadia saat hari pernikahannya semakin dekat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status