Beranda / Pernikahan / Menjadi Istri yang Dilupakan / Bab 5: Tekanan yang Kian Membesar

Share

Bab 5: Tekanan yang Kian Membesar

Hari itu, matahari sudah tinggi ketika Nadia berjalan keluar dari rumah sakit, mencoba menarik napas panjang untuk meredakan kekalutan dalam pikirannya. Tawaran pernikahan dari Indra masih terngiang di telinganya, mengguncang perasaannya dari dalam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menggantung di pundaknya.

Nadia ingin lari, melarikan diri dari semua yang terjadi, tapi kenyataan memaksanya tetap berdiri tegak. Keluarganya sedang dalam kondisi yang teramat sulit, dan masa depan mereka kini berada di tangannya. Keputusan yang harus diambilnya bukan lagi hanya soal dirinya sendiri—ada ibunya, ada ayahnya, dan mungkin juga kelangsungan hidup keluarganya yang dipertaruhkan.

Saat tiba di luar, dia mendapati sepupunya, Dini, sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Dini sudah menunggu dengan wajah penuh simpati. Mereka memang tidak terlalu dekat selama ini, tetapi dalam masa-masa sulit seperti sekarang, Dini adalah satu-satunya tempat Nadia bisa berbicara dengan bebas.

“Nadia, kamu baik-baik saja?” tanya Dini, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Nadia tersenyum lemah dan duduk di sampingnya. "Aku... aku tidak tahu, Din. Semua ini terasa terlalu berat."

Dini menatap Nadia dengan penuh pengertian. Dia sudah mendengar semua tentang tawaran pernikahan itu, dan meski dia sendiri merasa skeptis, Dini tahu situasi ini bukan hal yang mudah untuk sepupunya. “Aku tahu ini pasti berat. Tapi, apa kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang? Apa yang akan terjadi kalau kamu menolak?”

Nadia terdiam, menunduk memandangi kakinya yang bergetar kecil. Itulah masalahnya—dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia menolak. Dia hanya tahu bahwa hidup mereka akan semakin sulit, dengan tumpukan tagihan rumah sakit dan ayah yang masih belum sadarkan diri.

“Indra... Dia bilang keluarganya bisa menanggung biaya rumah sakit Ayah. Dan aku tahu kita tidak punya cukup uang lagi,” kata Nadia pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara langkah kaki orang-orang yang lalu-lalang. “Tapi, menikah dengan dia? Aku bahkan tidak mencintainya, Din.”

Dini menghela napas panjang, menatap jauh ke depan sambil mengelus lengan Nadia. “Kadang-kadang hidup memang membawa kita ke jalan yang tidak kita duga. Tapi, kalau ini soal keselamatan keluarga kamu, mungkin... mungkin kamu harus mempertimbangkannya dengan hati-hati.”

“Menikah karena terpaksa?” Nadia berbisik, hampir tak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. "Apa itu benar? Apa itu sesuatu yang akan membuatku bahagia?"

Dini tak segera menjawab. Dia memahami perasaan Nadia, tapi dia juga tahu situasi mereka yang serba terbatas. Apa yang bisa dilakukan ketika semua jalan tampak buntu?

“Tentu, kamu harus menikah dengan seseorang yang kamu cintai, itu idealnya,” Dini akhirnya berkata, “Tapi, hidup kadang tidak ideal. Dan apa yang bisa kamu lakukan sekarang adalah memilih keputusan yang paling baik untuk keluarga kamu.”

Nadia mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. Mungkin ini bukan soal memilih antara cinta dan tanggung jawab, tetapi soal bertahan dalam situasi yang tidak ideal. Hidup memang tidak selalu memberi pilihan yang mudah, dan mungkin inilah kenyataan pahit yang harus dia hadapi.

Malamnya, di rumah sakit, suasana semakin sepi. Nadia duduk sendirian di kamar ayahnya, melihat monitor yang terus berdenyut, seolah-olah memberikan harapan palsu. Ayahnya masih belum sadar, dan setiap detik yang berlalu hanya semakin menambah beban pikiran Nadia.

Seketika, pintu terbuka pelan. Indra muncul, wajahnya terlihat lebih tegas dari sebelumnya. Dia membawa beberapa dokumen dan duduk di sebelah Nadia dengan tatapan serius.

“Nadia, aku tidak ingin memaksa,” Indra memulai dengan hati-hati, “Tapi kita harus membuat keputusan. Ayahmu masih membutuhkan perawatan yang intensif, dan waktu kita tidak banyak.”

Nadia menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tahu apa yang akan diucapkan Indra, tapi mendengarnya langsung membuatnya merasa semakin terpojok.

"Aku sudah bicara dengan ibuku," Indra melanjutkan. "Mereka setuju untuk menanggung semua biaya. Kita bisa menyelesaikan semuanya tanpa masalah. Tapi syaratnya... kita harus menikah."

Jantung Nadia berdetak kencang. Kata-kata itu seperti pukulan berat di dadanya. Menikah... dengan Indra. Seorang pria yang dia hampir tidak kenal, seorang pria yang hanya beberapa hari lalu adalah orang asing baginya.

“Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah,” Indra berkata lagi, suaranya sedikit lebih lembut kali ini. “Tapi aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak bertanggung jawab sekarang, keluargamu akan berada dalam masalah yang jauh lebih besar. Aku... aku ingin membantu.”

Nadia menghela napas panjang. Ini seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Indra mungkin benar—dia memang berusaha bertanggung jawab. Tapi, apakah tanggung jawab itu bisa dijadikan alasan untuk menikah? Nadia merasa dadanya semakin sesak dengan berbagai pikiran yang berkecamuk.

“Mungkin kita bisa bicarakan ini lebih lanjut besok,” kata Indra akhirnya, ketika dia melihat ekspresi bingung Nadia. "Aku tidak ingin mendesakmu. Kamu bisa berpikir dengan tenang. Tapi kita harus segera mengambil keputusan."

Setelah beberapa detik, Nadia hanya bisa mengangguk pelan. Pikiran dan hatinya terasa penuh, begitu sesak hingga dia tak mampu berkata-kata lagi. Saat Indra bangkit untuk pergi, dia memberikan sebuah senyuman kecil—senyuman yang tampaknya lebih penuh rasa bersalah daripada ketulusan.

"Selamat malam, Nadia," katanya lembut sebelum meninggalkan ruangan.

Nadia terpuruk di kursinya, menatap langit-langit kamar rumah sakit. Malam yang semakin larut tidak membawa ketenangan seperti yang dia harapkan. Justru semakin gelap, semakin banyak kekhawatiran yang menumpuk di pikirannya. Pernikahan ini bisa menyelamatkan keluarganya, tapi apakah itu juga akan menghancurkan hidupnya?

Pertanyaan itu terus menggema dalam pikirannya saat dia mencoba menutup mata, berharap tidur bisa membawa sedikit kedamaian. Tapi pikiran tentang masa depannya yang kini tergantung pada satu keputusan terus menghantuinya. Dan Nadia tahu, saat matahari terbit esok hari, dia harus memberikan jawabannya.

Nadia semakin mendekati titik di mana keputusan besar harus diambil. Apakah dia akan menerima tawaran pernikahan demi keluarganya, atau memilih jalan yang bisa membuat hidupnya jauh lebih sulit?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status