Hari itu, matahari sudah tinggi ketika Nadia berjalan keluar dari rumah sakit, mencoba menarik napas panjang untuk meredakan kekalutan dalam pikirannya. Tawaran pernikahan dari Indra masih terngiang di telinganya, mengguncang perasaannya dari dalam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menggantung di pundaknya.
Nadia ingin lari, melarikan diri dari semua yang terjadi, tapi kenyataan memaksanya tetap berdiri tegak. Keluarganya sedang dalam kondisi yang teramat sulit, dan masa depan mereka kini berada di tangannya. Keputusan yang harus diambilnya bukan lagi hanya soal dirinya sendiri—ada ibunya, ada ayahnya, dan mungkin juga kelangsungan hidup keluarganya yang dipertaruhkan.
Saat tiba di luar, dia mendapati sepupunya, Dini, sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Dini sudah menunggu dengan wajah penuh simpati. Mereka memang tidak terlalu dekat selama ini, tetapi dalam masa-masa sulit seperti sekarang, Dini adalah satu-satunya tempat Nadia bisa berbicara dengan bebas.
“Nadia, kamu baik-baik saja?” tanya Dini, suaranya lembut namun penuh perhatian.
Nadia tersenyum lemah dan duduk di sampingnya. "Aku... aku tidak tahu, Din. Semua ini terasa terlalu berat."
Dini menatap Nadia dengan penuh pengertian. Dia sudah mendengar semua tentang tawaran pernikahan itu, dan meski dia sendiri merasa skeptis, Dini tahu situasi ini bukan hal yang mudah untuk sepupunya. “Aku tahu ini pasti berat. Tapi, apa kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang? Apa yang akan terjadi kalau kamu menolak?”
Nadia terdiam, menunduk memandangi kakinya yang bergetar kecil. Itulah masalahnya—dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia menolak. Dia hanya tahu bahwa hidup mereka akan semakin sulit, dengan tumpukan tagihan rumah sakit dan ayah yang masih belum sadarkan diri.
“Indra... Dia bilang keluarganya bisa menanggung biaya rumah sakit Ayah. Dan aku tahu kita tidak punya cukup uang lagi,” kata Nadia pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara langkah kaki orang-orang yang lalu-lalang. “Tapi, menikah dengan dia? Aku bahkan tidak mencintainya, Din.”
Dini menghela napas panjang, menatap jauh ke depan sambil mengelus lengan Nadia. “Kadang-kadang hidup memang membawa kita ke jalan yang tidak kita duga. Tapi, kalau ini soal keselamatan keluarga kamu, mungkin... mungkin kamu harus mempertimbangkannya dengan hati-hati.”
“Menikah karena terpaksa?” Nadia berbisik, hampir tak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. "Apa itu benar? Apa itu sesuatu yang akan membuatku bahagia?"
Dini tak segera menjawab. Dia memahami perasaan Nadia, tapi dia juga tahu situasi mereka yang serba terbatas. Apa yang bisa dilakukan ketika semua jalan tampak buntu?
“Tentu, kamu harus menikah dengan seseorang yang kamu cintai, itu idealnya,” Dini akhirnya berkata, “Tapi, hidup kadang tidak ideal. Dan apa yang bisa kamu lakukan sekarang adalah memilih keputusan yang paling baik untuk keluarga kamu.”
Nadia mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. Mungkin ini bukan soal memilih antara cinta dan tanggung jawab, tetapi soal bertahan dalam situasi yang tidak ideal. Hidup memang tidak selalu memberi pilihan yang mudah, dan mungkin inilah kenyataan pahit yang harus dia hadapi.
Malamnya, di rumah sakit, suasana semakin sepi. Nadia duduk sendirian di kamar ayahnya, melihat monitor yang terus berdenyut, seolah-olah memberikan harapan palsu. Ayahnya masih belum sadar, dan setiap detik yang berlalu hanya semakin menambah beban pikiran Nadia.
Seketika, pintu terbuka pelan. Indra muncul, wajahnya terlihat lebih tegas dari sebelumnya. Dia membawa beberapa dokumen dan duduk di sebelah Nadia dengan tatapan serius.
“Nadia, aku tidak ingin memaksa,” Indra memulai dengan hati-hati, “Tapi kita harus membuat keputusan. Ayahmu masih membutuhkan perawatan yang intensif, dan waktu kita tidak banyak.”
Nadia menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tahu apa yang akan diucapkan Indra, tapi mendengarnya langsung membuatnya merasa semakin terpojok.
"Aku sudah bicara dengan ibuku," Indra melanjutkan. "Mereka setuju untuk menanggung semua biaya. Kita bisa menyelesaikan semuanya tanpa masalah. Tapi syaratnya... kita harus menikah."
Jantung Nadia berdetak kencang. Kata-kata itu seperti pukulan berat di dadanya. Menikah... dengan Indra. Seorang pria yang dia hampir tidak kenal, seorang pria yang hanya beberapa hari lalu adalah orang asing baginya.
“Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah,” Indra berkata lagi, suaranya sedikit lebih lembut kali ini. “Tapi aku tidak punya pilihan lain. Jika aku tidak bertanggung jawab sekarang, keluargamu akan berada dalam masalah yang jauh lebih besar. Aku... aku ingin membantu.”
Nadia menghela napas panjang. Ini seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Indra mungkin benar—dia memang berusaha bertanggung jawab. Tapi, apakah tanggung jawab itu bisa dijadikan alasan untuk menikah? Nadia merasa dadanya semakin sesak dengan berbagai pikiran yang berkecamuk.
“Mungkin kita bisa bicarakan ini lebih lanjut besok,” kata Indra akhirnya, ketika dia melihat ekspresi bingung Nadia. "Aku tidak ingin mendesakmu. Kamu bisa berpikir dengan tenang. Tapi kita harus segera mengambil keputusan."
Setelah beberapa detik, Nadia hanya bisa mengangguk pelan. Pikiran dan hatinya terasa penuh, begitu sesak hingga dia tak mampu berkata-kata lagi. Saat Indra bangkit untuk pergi, dia memberikan sebuah senyuman kecil—senyuman yang tampaknya lebih penuh rasa bersalah daripada ketulusan.
"Selamat malam, Nadia," katanya lembut sebelum meninggalkan ruangan.
Nadia terpuruk di kursinya, menatap langit-langit kamar rumah sakit. Malam yang semakin larut tidak membawa ketenangan seperti yang dia harapkan. Justru semakin gelap, semakin banyak kekhawatiran yang menumpuk di pikirannya. Pernikahan ini bisa menyelamatkan keluarganya, tapi apakah itu juga akan menghancurkan hidupnya?
Pertanyaan itu terus menggema dalam pikirannya saat dia mencoba menutup mata, berharap tidur bisa membawa sedikit kedamaian. Tapi pikiran tentang masa depannya yang kini tergantung pada satu keputusan terus menghantuinya. Dan Nadia tahu, saat matahari terbit esok hari, dia harus memberikan jawabannya.
Nadia semakin mendekati titik di mana keputusan besar harus diambil. Apakah dia akan menerima tawaran pernikahan demi keluarganya, atau memilih jalan yang bisa membuat hidupnya jauh lebih sulit?Pagi itu, suasana di rumah Nadia terasa tegang. Bu Ningsih berusaha sibuk dengan rutinitasnya, menyiapkan sarapan sederhana, namun jelas terlihat bahwa pikirannya tidak fokus. Sejak berita kecelakaan suaminya dan tawaran pernikahan dari Indra disampaikan, hari-hari mereka dipenuhi kecemasan. Ayah Nadia masih terbaring di rumah sakit, kondisinya belum membaik, dan tagihan biaya rumah sakit semakin menumpuk.Nadia duduk di ruang makan, diam. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin tetap tak tersentuh. Wajahnya menampakkan kelelahan emosional yang selama ini coba disembunyikannya. Tawaran pernikahan dari Indra, sebuah solusi untuk masalah keluarganya, terasa bagai beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tahu keputusan besar harus segera diambil."Nadia, makan dulu. Ibu tahu kamu tidak lapar, tapi kamu harus tetap kuat, Nak," kata Bu Ningsih lembut, mencoba memecah suasana yang sunyi itu.Nadia hanya menggelengkan kepala pelan, masih menatap kosong ke arah piring di depannya. "Aku
Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi."Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbic
Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia mer
Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku."Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini."Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsi
Setelah prosesi pernikahan selesai, Nadia dan Indra diantar ke rumah baru mereka. Rumah megah itu terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta. Ketika mobil berhenti di depan gerbang tinggi yang terbuat dari besi, Nadia merasakan desakan rasa gugup yang semakin besar. Ini adalah awal dari kehidupan barunya—pernikahan yang dimulai dengan janji, namun tidak ada cinta yang menyertainya."Selamat, Nadia. Semoga kalian berdua bahagia," kata salah satu tamu keluarga saat mengantar mereka sampai ke pintu.Nadia hanya tersenyum tipis, mencoba membalas kebaikan tamu tersebut. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Tidak ada perasaan sukacita seperti yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengantin baru. Indra, yang berjalan di sampingnya, tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan senyum di bibirnya hanya formalitas belaka. Seolah-olah pernikahan ini hanyalah sebuah tanggung jawab yang telah ia lunasi.Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, luas dan berkil
Setelah malam pertama yang penuh keheningan, kehidupan Nadia dan Indra berlanjut dengan rutinitas harian yang monoton. Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka tinggal di rumah yang megah, Nadia merasa terkurung dalam keheningan yang mencekik. Indra kembali ke pekerjaannya, menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah daripada di dalam.Nadia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Ia mulai menjelajahi rumah besar itu, mencoba menemukan sudut-sudut nyaman di dalamnya. Suatu hari, saat ia duduk di teras belakang, memandangi taman yang luas dan indah, Bu Yuni, ibu Indra, datang menghampiri."Nadia," panggil Bu Yuni dengan nada tegas. "Bagaimana kabar? Apakah kamu sudah memikirkan untuk memiliki anak?"Pertanyaan itu membuat Nadia terkejut. "Anak?" ulangnya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. "Kami baru saja menikah, Bu. Mungkin terlalu cepat untuk memikirkan hal itu.""Justru itu, Nadia. Indra sudah menikah. Sekarang saatnya kamu memikirkan masa depan kita sebagai
Setelah malam penuh ketegangan itu, Nadia duduk sendirian di kamar, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan taman rumah besar milik keluarga Indra. Cahaya bulan menerobos masuk, menyinari wajahnya yang tampak sendu. Di dalam hatinya, ada secercah harapan yang tak ingin ia lepaskan. Mungkin, pikirnya, kehadiran anak ini akan memperbaiki keadaan. Mungkin dengan menjadi orang tua, ia dan Indra bisa menjadi pasangan yang lebih baik—menjadi keluarga yang utuh.Nadia mencoba meyakinkan dirinya bahwa situasi ini bisa berubah. Kehamilannya bisa menjadi titik balik, awal dari kehidupan baru yang lebih bahagia. Anak mereka bisa membawa perubahan positif, bahkan mungkin menghangatkan hati Indra yang selama ini terasa dingin dan jauh.Pagi berikutnya, ketika Nadia duduk di meja makan, Bu Yuni mendekat dengan ekspresi ceria yang seolah tidak menyadari ketegangan antara Nadia dan Indra. "Nadia, sayang, kau harus menjaga dirimu baik-baik.
Hari yang dinanti tiba lebih cepat dari yang Nadia duga. Di suatu pagi yang tenang, ketika matahari baru saja terbit, Nadia merasakan kontraksi pertama yang membuat tubuhnya menegang. Sakit itu merambat dari perutnya ke seluruh tubuh, membuatnya terhuyung-huyung mencari pegangan di tepi ranjang. Ia tahu, waktunya hampir tiba. Bayi yang telah ia kandung selama sembilan bulan akan segera melihat dunia.Dengan tergesa-gesa, Nadia memanggil Indra, yang saat itu baru saja bersiap untuk berangkat ke kantor. "Indra, aku rasa... waktunya sudah dekat," ujar Nadia dengan suara serak, menahan sakit yang semakin intens.Indra, yang selama ini lebih banyak acuh pada kehamilannya, tiba-tiba tampak panik. Wajahnya berubah tegang, dan ia segera membantu Nadia ke mobil tanpa banyak berkata-kata. Dalam diam, mereka berdua menuju rumah sakit, dengan perasaan bercampur aduk. Di dalam hatinya, Nadia berharap bahwa momen ini akan membawa mereka lebih dekat,