Share

Bab 9: Pernikahan Tanpa Cinta

Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku.

"Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.

Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini.

"Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsih terasa hampa di telinga Nadia. Ia tahu ibunya ingin menenangkan hatinya, tetapi kenyataannya terlalu berat untuk dihadapi.

Sementara itu, di sisi lain rumah, Indra berdiri di depan cermin dengan sikap santai. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah-olah hari ini hanyalah hari biasa. Bahkan saat mengenakan setelan jas hitam yang elegan, ia tidak tampak antusias seperti pengantin pria pada umumnya. Di dalam hatinya, pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas—tanggung jawab yang harus ia jalani untuk membersihkan namanya setelah insiden kecelakaan yang melibatkan ayah Nadia.

Indra melirik dirinya di cermin, lalu menghela napas. "Aku benar-benar terjebak dalam permainan ini," gumamnya. Hatinya tak pernah benar-benar terhubung dengan Nadia, seorang gadis muda yang bahkan hampir tidak ia kenal sebelum kecelakaan itu terjadi. Semua yang ia lakukan hanyalah karena tekanan keluarga, hukum, dan kewajiban.

"Sudah siap, Nak?" tanya Bu Yuni, yang tiba-tiba muncul di belakangnya dengan senyum kecil di wajahnya.

Indra menoleh, tersenyum tipis. "Ya, Bu."

Bu Yuni mendekat dan membenarkan dasi Indra dengan lembut. "Kau melakukan hal yang benar. Setelah ini, semua masalah akan selesai, dan kau bisa melanjutkan hidupmu dengan tenang."

Kata-kata ibunya membuat hati Indra semakin dingin. Pernikahan ini bukan tentang cinta atau komitmen, melainkan tentang menyelamatkan muka dan reputasi. Tidak ada cinta, tidak ada kegembiraan—hanya beban yang harus ia pikul demi keluarganya.

Di ruang tamu, tamu-tamu mulai berdatangan, memperhatikan segala dekorasi megah dan atmosfer formal yang menyelimuti acara. Keluarga besar Pratama sibuk menyambut para tamu, sementara Nadia duduk sendiri di ruangan kecil. Jantungnya berdebar kencang, tetapi bukan karena kegembiraan.

"Ini bukan pernikahan yang pernah aku impikan," batinnya. Nadia membayangkan bagaimana pernikahannya seharusnya, penuh dengan kebahagiaan dan cinta. Namun, hari ini terasa seperti peristiwa yang terjadi di luar kendalinya, seolah-olah ia hanya menjadi penonton dalam hidupnya sendiri.

Suara langkah kaki terdengar di luar ruangan, lalu Bu Ningsih masuk dengan wajah cemas. "Sudah saatnya, Nad. Semuanya sudah siap."

Nadia berdiri, merapikan gaunnya dengan tangan gemetar. Langkah-langkah kecilnya terasa berat saat ia berjalan keluar menuju halaman belakang yang telah diubah menjadi tempat pernikahan yang mewah. Setiap langkahnya diiringi tatapan dari para tamu, seolah-olah semua orang mengamati setiap gerakannya. Nadia bisa merasakan tatapan penuh rasa ingin tahu dari para tamu, tetapi tidak ada satu pun yang memahami betapa besar pergulatan batinnya saat ini.

Saat Nadia mendekati altar, Indra sudah berdiri di sana. Wajahnya tampak tenang, tetapi tidak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Nadia memandang Indra sekilas—pria yang akan menjadi suaminya—tetapi tidak ada koneksi, tidak ada kehangatan di antara mereka. Indra menatapnya dengan ekspresi datar, seolah-olah ini hanyalah sebuah tugas yang harus ia selesaikan.

Imam pernikahan mulai membaca doa-doa suci, dan Nadia hanya bisa mendengarkan dengan pikiran yang melayang. Ia merasa seperti berada di luar tubuhnya sendiri, seolah-olah semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun kenyataan yang pahit adalah, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah pernikahan yang tanpa cinta, tanpa kebahagiaan, hanya kewajiban yang harus ia jalani.

Saat ijab kabul dimulai, suara Indra terdengar jelas dan tegas. "Saya terima nikahnya Nadia Putri binti Agus dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Kata-kata itu meluncur dengan mudah dari bibirnya, tetapi bagi Nadia, kata-kata itu terdengar kosong, tak memiliki makna apa pun.

"Alhamdulillah, sah," suara imam menutup prosesi itu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu, tetapi di hati Nadia, hanya ada keheningan. Ia resmi menjadi istri Indra, namun hatinya terasa semakin jauh dari kebahagiaan.

Nadia kini resmi menjadi istri Indra, tetapi saat ia memandang suaminya, ia hanya merasakan kekosongan. Apakah ini hanya permulaan dari penderitaan yang lebih panjang? Dengan hati yang berat, ia menyadari bahwa takdirnya kini terikat pada pria yang bahkan tak mencintainya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status