Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku.
"Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.
Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini.
"Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsih terasa hampa di telinga Nadia. Ia tahu ibunya ingin menenangkan hatinya, tetapi kenyataannya terlalu berat untuk dihadapi.
Sementara itu, di sisi lain rumah, Indra berdiri di depan cermin dengan sikap santai. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah-olah hari ini hanyalah hari biasa. Bahkan saat mengenakan setelan jas hitam yang elegan, ia tidak tampak antusias seperti pengantin pria pada umumnya. Di dalam hatinya, pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas—tanggung jawab yang harus ia jalani untuk membersihkan namanya setelah insiden kecelakaan yang melibatkan ayah Nadia.
Indra melirik dirinya di cermin, lalu menghela napas. "Aku benar-benar terjebak dalam permainan ini," gumamnya. Hatinya tak pernah benar-benar terhubung dengan Nadia, seorang gadis muda yang bahkan hampir tidak ia kenal sebelum kecelakaan itu terjadi. Semua yang ia lakukan hanyalah karena tekanan keluarga, hukum, dan kewajiban.
"Sudah siap, Nak?" tanya Bu Yuni, yang tiba-tiba muncul di belakangnya dengan senyum kecil di wajahnya.
Indra menoleh, tersenyum tipis. "Ya, Bu."
Bu Yuni mendekat dan membenarkan dasi Indra dengan lembut. "Kau melakukan hal yang benar. Setelah ini, semua masalah akan selesai, dan kau bisa melanjutkan hidupmu dengan tenang."
Kata-kata ibunya membuat hati Indra semakin dingin. Pernikahan ini bukan tentang cinta atau komitmen, melainkan tentang menyelamatkan muka dan reputasi. Tidak ada cinta, tidak ada kegembiraan—hanya beban yang harus ia pikul demi keluarganya.
Di ruang tamu, tamu-tamu mulai berdatangan, memperhatikan segala dekorasi megah dan atmosfer formal yang menyelimuti acara. Keluarga besar Pratama sibuk menyambut para tamu, sementara Nadia duduk sendiri di ruangan kecil. Jantungnya berdebar kencang, tetapi bukan karena kegembiraan.
"Ini bukan pernikahan yang pernah aku impikan," batinnya. Nadia membayangkan bagaimana pernikahannya seharusnya, penuh dengan kebahagiaan dan cinta. Namun, hari ini terasa seperti peristiwa yang terjadi di luar kendalinya, seolah-olah ia hanya menjadi penonton dalam hidupnya sendiri.
Suara langkah kaki terdengar di luar ruangan, lalu Bu Ningsih masuk dengan wajah cemas. "Sudah saatnya, Nad. Semuanya sudah siap."
Nadia berdiri, merapikan gaunnya dengan tangan gemetar. Langkah-langkah kecilnya terasa berat saat ia berjalan keluar menuju halaman belakang yang telah diubah menjadi tempat pernikahan yang mewah. Setiap langkahnya diiringi tatapan dari para tamu, seolah-olah semua orang mengamati setiap gerakannya. Nadia bisa merasakan tatapan penuh rasa ingin tahu dari para tamu, tetapi tidak ada satu pun yang memahami betapa besar pergulatan batinnya saat ini.
Saat Nadia mendekati altar, Indra sudah berdiri di sana. Wajahnya tampak tenang, tetapi tidak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Nadia memandang Indra sekilas—pria yang akan menjadi suaminya—tetapi tidak ada koneksi, tidak ada kehangatan di antara mereka. Indra menatapnya dengan ekspresi datar, seolah-olah ini hanyalah sebuah tugas yang harus ia selesaikan.
Imam pernikahan mulai membaca doa-doa suci, dan Nadia hanya bisa mendengarkan dengan pikiran yang melayang. Ia merasa seperti berada di luar tubuhnya sendiri, seolah-olah semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun kenyataan yang pahit adalah, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah pernikahan yang tanpa cinta, tanpa kebahagiaan, hanya kewajiban yang harus ia jalani.
Saat ijab kabul dimulai, suara Indra terdengar jelas dan tegas. "Saya terima nikahnya Nadia Putri binti Agus dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Kata-kata itu meluncur dengan mudah dari bibirnya, tetapi bagi Nadia, kata-kata itu terdengar kosong, tak memiliki makna apa pun.
"Alhamdulillah, sah," suara imam menutup prosesi itu. Tepuk tangan terdengar dari para tamu, tetapi di hati Nadia, hanya ada keheningan. Ia resmi menjadi istri Indra, namun hatinya terasa semakin jauh dari kebahagiaan.
Nadia kini resmi menjadi istri Indra, tetapi saat ia memandang suaminya, ia hanya merasakan kekosongan. Apakah ini hanya permulaan dari penderitaan yang lebih panjang? Dengan hati yang berat, ia menyadari bahwa takdirnya kini terikat pada pria yang bahkan tak mencintainya.Setelah prosesi pernikahan selesai, Nadia dan Indra diantar ke rumah baru mereka. Rumah megah itu terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta. Ketika mobil berhenti di depan gerbang tinggi yang terbuat dari besi, Nadia merasakan desakan rasa gugup yang semakin besar. Ini adalah awal dari kehidupan barunya—pernikahan yang dimulai dengan janji, namun tidak ada cinta yang menyertainya."Selamat, Nadia. Semoga kalian berdua bahagia," kata salah satu tamu keluarga saat mengantar mereka sampai ke pintu.Nadia hanya tersenyum tipis, mencoba membalas kebaikan tamu tersebut. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Tidak ada perasaan sukacita seperti yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengantin baru. Indra, yang berjalan di sampingnya, tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan senyum di bibirnya hanya formalitas belaka. Seolah-olah pernikahan ini hanyalah sebuah tanggung jawab yang telah ia lunasi.Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, luas dan berkil
Setelah malam pertama yang penuh keheningan, kehidupan Nadia dan Indra berlanjut dengan rutinitas harian yang monoton. Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka tinggal di rumah yang megah, Nadia merasa terkurung dalam keheningan yang mencekik. Indra kembali ke pekerjaannya, menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah daripada di dalam.Nadia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Ia mulai menjelajahi rumah besar itu, mencoba menemukan sudut-sudut nyaman di dalamnya. Suatu hari, saat ia duduk di teras belakang, memandangi taman yang luas dan indah, Bu Yuni, ibu Indra, datang menghampiri."Nadia," panggil Bu Yuni dengan nada tegas. "Bagaimana kabar? Apakah kamu sudah memikirkan untuk memiliki anak?"Pertanyaan itu membuat Nadia terkejut. "Anak?" ulangnya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. "Kami baru saja menikah, Bu. Mungkin terlalu cepat untuk memikirkan hal itu.""Justru itu, Nadia. Indra sudah menikah. Sekarang saatnya kamu memikirkan masa depan kita sebagai
Setelah malam penuh ketegangan itu, Nadia duduk sendirian di kamar, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan taman rumah besar milik keluarga Indra. Cahaya bulan menerobos masuk, menyinari wajahnya yang tampak sendu. Di dalam hatinya, ada secercah harapan yang tak ingin ia lepaskan. Mungkin, pikirnya, kehadiran anak ini akan memperbaiki keadaan. Mungkin dengan menjadi orang tua, ia dan Indra bisa menjadi pasangan yang lebih baik—menjadi keluarga yang utuh.Nadia mencoba meyakinkan dirinya bahwa situasi ini bisa berubah. Kehamilannya bisa menjadi titik balik, awal dari kehidupan baru yang lebih bahagia. Anak mereka bisa membawa perubahan positif, bahkan mungkin menghangatkan hati Indra yang selama ini terasa dingin dan jauh.Pagi berikutnya, ketika Nadia duduk di meja makan, Bu Yuni mendekat dengan ekspresi ceria yang seolah tidak menyadari ketegangan antara Nadia dan Indra. "Nadia, sayang, kau harus menjaga dirimu baik-baik.
Hari yang dinanti tiba lebih cepat dari yang Nadia duga. Di suatu pagi yang tenang, ketika matahari baru saja terbit, Nadia merasakan kontraksi pertama yang membuat tubuhnya menegang. Sakit itu merambat dari perutnya ke seluruh tubuh, membuatnya terhuyung-huyung mencari pegangan di tepi ranjang. Ia tahu, waktunya hampir tiba. Bayi yang telah ia kandung selama sembilan bulan akan segera melihat dunia.Dengan tergesa-gesa, Nadia memanggil Indra, yang saat itu baru saja bersiap untuk berangkat ke kantor. "Indra, aku rasa... waktunya sudah dekat," ujar Nadia dengan suara serak, menahan sakit yang semakin intens.Indra, yang selama ini lebih banyak acuh pada kehamilannya, tiba-tiba tampak panik. Wajahnya berubah tegang, dan ia segera membantu Nadia ke mobil tanpa banyak berkata-kata. Dalam diam, mereka berdua menuju rumah sakit, dengan perasaan bercampur aduk. Di dalam hatinya, Nadia berharap bahwa momen ini akan membawa mereka lebih dekat,
Kehadiran Reza di dunia membawa perubahan yang tak disangka dalam hati Indra. Setiap kali ia memandang anaknya, ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh—sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Indra, yang selama ini merasa terjebak dalam pernikahannya dengan Nadia, kini melihat harapan baru. Mungkin, dengan menjadi ayah, hidupnya bisa berubah.Pagi hari setelah kelahiran Reza, Nadia masih dalam masa pemulihan di rumah sakit. Indra berdiri di dekat jendela, matanya menatap keluar, tetapi pikirannya sibuk mencerna banyak hal. Sejak kemarin, saat ia melihat Nadia berjuang keras melahirkan anak mereka, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Rasa kagum dan hormat pada Nadia mulai timbul, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti bagaimana perasaan itu tumbuh begitu saja.Sementara itu, Reza tidur dengan tenang di inkubator, membuat Indra semakin tersentuh setiap kali ia melihat bayi mungil itu. Reza adalah darah dagingnya, buah cin
Setelah malam yang panjang dan penuh kegelisahan, pagi datang dengan sunyi. Nadia terbangun dengan kantung mata yang berat, menandakan kurang tidur semalaman. Saat membuka matanya, ia menoleh ke samping tempat tidur. Kosong. Indra tak ada di sana.Nadia mendesah pelan, perasaannya bercampur aduk. Ia berusaha menenangkan diri, berharap Indra pulang lebih awal, tapi rasa khawatirnya tak bisa disembunyikan. Selama beberapa minggu terakhir, Indra memang terlihat lebih dekat dengan keluarga. Namun, satu panggilan telepon sudah cukup membuatnya khawatir, mengingatkan Nadia pada kebiasaan lama Indra yang selalu mengutamakan pekerjaan di atas segalanya.Setelah memastikan Reza tidur dengan tenang, Nadia keluar dari kamar dan menuju dapur. Ketika ia sampai di ruang makan, pintu depan terdengar terbuka perlahan. Indra masuk dengan langkah berat. Pakaian kantornya masih lengkap, namun wajahnya tampak kelelahan.“Kamu baru pulang?” tanya Nadia d
Indra duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang masih mengepul di depannya. Pagi hari itu terasa lebih hening daripada biasanya. Nadia sedang menyuapi Reza di kursi bayi, dengan senyum lembut yang hanya tampak sesekali. Keadaan masih terasa canggung setelah percakapan mereka beberapa hari lalu. Nadia mengatakan bahwa ia butuh lebih dari sekadar kata-kata—ia butuh kehadiran Indra.Pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Indra, membuat ia sadar bahwa selama ini dia lebih sering terperangkap dalam pikirannya sendiri dan pekerjaan. Selama ini, Indra selalu mengira bahwa tanggung jawab utama seorang suami dan ayah adalah memberikan keamanan finansial. Namun, sekarang ia mulai menyadari bahwa itu hanyalah sebagian kecil dari gambaran besar.Nadia ingin kehadirannya. Reza pun membutuhkannya. Dan saat melihat putra kecilnya tersenyum di pelukan ibunya, hati Indra tersentuh dengan cara yang baru. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, ses
Pagi itu terasa lebih tenang dari biasanya. Nadia sedang duduk di ruang tamu bersama Reza, yang perlahan mulai menunjukkan perkembangannya sebagai bayi yang lincah. Senyum kecil selalu menghiasi wajah Reza setiap kali Nadia berbicara dengannya, membuat hati Nadia sedikit lebih ringan meskipun banyak hal masih membebani pikirannya. Kebahagiaan Reza adalah pelipur lara bagi hati Nadia, yang masih menyimpan keraguan dan kegelisahan akan rumah tangganya dengan Indra.Indra, di sisi lain, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor. Dalam beberapa minggu terakhir, ia memang menunjukkan usahanya untuk memperbaiki hubungan mereka, tapi Nadia merasa ada sesuatu yang masih hilang. Perasaan aman dan nyaman yang dulu ia harapkan dari pernikahan ini masih belum sepenuhnya hadir. Setiap kali ia berpikir bahwa semuanya akan berjalan lebih baik, selalu ada momen di mana Indra tampak kembali terseret oleh pekerjaan atau hal-hal lain