Setelah prosesi pernikahan selesai, Nadia dan Indra diantar ke rumah baru mereka. Rumah megah itu terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta. Ketika mobil berhenti di depan gerbang tinggi yang terbuat dari besi, Nadia merasakan desakan rasa gugup yang semakin besar. Ini adalah awal dari kehidupan barunya—pernikahan yang dimulai dengan janji, namun tidak ada cinta yang menyertainya.
"Selamat, Nadia. Semoga kalian berdua bahagia," kata salah satu tamu keluarga saat mengantar mereka sampai ke pintu.
Nadia hanya tersenyum tipis, mencoba membalas kebaikan tamu tersebut. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Tidak ada perasaan sukacita seperti yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengantin baru. Indra, yang berjalan di sampingnya, tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan senyum di bibirnya hanya formalitas belaka. Seolah-olah pernikahan ini hanyalah sebuah tanggung jawab yang telah ia lunasi.
Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, luas dan berkilauan dengan hiasan modern di setiap sudut. Nadia memandang sekeliling, merasa kecil di antara kemewahan yang mengelilinginya. "Rumah yang indah," pikirnya, tetapi hati kecilnya tahu, rumah ini tidak akan terasa seperti rumah. Bukan rumah yang dibangun dengan cinta dan kasih sayang, melainkan sekadar gedung megah yang berdiri kosong.
Indra melangkah lebih dulu menuju ruang tamu, lalu melepaskan dasinya. "Kamu mau istirahat?" tanyanya singkat, tanpa banyak menatap wajah Nadia.
"Iya, mungkin sebaiknya kita istirahat," jawab Nadia dengan suara pelan. Ia tahu bahwa meski mereka kini telah resmi menikah, jarak di antara mereka terasa begitu jauh. Mereka bukan pasangan yang dipersatukan oleh cinta, melainkan oleh kewajiban. Setiap kata yang keluar dari mulut Indra terasa dingin dan hambar.
Indra mengangguk tanpa bicara lagi, lalu berjalan menuju kamar utama. Nadia mengikuti di belakangnya, masih merasa canggung. Rumah ini begitu besar, tetapi terasa dingin—bukan karena suhu udara, melainkan suasana yang menyelimuti mereka.
Sesampainya di kamar utama, ruangan itu benar-benar luas, dengan ranjang king-size di tengahnya dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Nadia berdiri di depan cermin besar di sudut ruangan, memandang bayangannya sendiri yang masih mengenakan gaun pengantin. Ia tampak cantik dari luar, tetapi matanya tidak bersinar. Tidak ada kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. "Inikah hidup yang harus aku jalani?" batinnya penuh keraguan.
Indra sudah mengganti pakaiannya dengan setelan kasual, lalu berbaring di sisi ranjang. Ia tampak lelah, bukan karena fisik, tetapi lebih pada beban mental yang dirasakannya sejak hari itu. Pernikahan ini, baginya, adalah cara untuk menenangkan masalah yang menimpa dirinya, namun sekarang, setelah semuanya selesai, ia merasa semakin terjebak dalam kehidupan yang tidak ia inginkan.
"Besok aku harus kembali bekerja," ujar Indra tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya datar, seolah-olah ia hanya memberi informasi tanpa mengharapkan tanggapan dari Nadia.
"Oh, baiklah," jawab Nadia singkat, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa aneh, seperti berada dalam rumah orang lain, bukan rumah suaminya sendiri. Malam pernikahan yang seharusnya dipenuhi kehangatan terasa begitu dingin dan jauh dari impiannya. Tidak ada sentuhan kasih, tidak ada percakapan mendalam—hanya dua orang yang kini terikat dalam sebuah ikatan hukum tanpa perasaan.
Malam semakin larut, dan Nadia memutuskan untuk berganti pakaian. Ia melangkah menuju kamar mandi, melepas gaun pengantinnya perlahan, dan berganti dengan pakaian tidur yang lebih nyaman. Di cermin kamar mandi, ia melihat pantulan dirinya—seorang wanita muda yang kini resmi menjadi istri. Tapi anehnya, ia merasa seperti orang asing di dalam tubuhnya sendiri.
Saat keluar dari kamar mandi, Indra sudah tertidur. Ia terbaring diam, seolah tidak terganggu dengan apa yang terjadi hari itu. Nadia duduk di tepi ranjang, memandang suaminya dalam hening. "Mungkin dia juga merasa terjebak," pikir Nadia. Tidak ada cinta di antara mereka, hanya kewajiban dan janji yang diucapkan tanpa perasaan.
Nadia menarik selimutnya pelan dan berbaring di sisi lain ranjang. Udara di kamar terasa dingin, meskipun cuaca di luar tidak terlalu buruk. Mungkin itu karena jarak yang begitu besar antara dirinya dan Indra. Mereka berada di tempat yang sama, di ranjang yang sama, namun hati mereka terasa jauh dan asing.
Malam pertama sebagai suami-istri berlalu dalam keheningan. Nadia tidak bisa memejamkan matanya, pikirannya penuh dengan bayangan masa depan yang kini terasa tak pasti. Akankah ini terus berlanjut seperti ini? Apakah pernikahan ini akan selamanya hampa dan dingin?
Di tengah keheningan itu, Nadia memutar kenangan hidupnya sebelum semua ini terjadi. Ia merindukan masa-masa saat segala sesuatu terasa sederhana. Ia hanya seorang gadis biasa, tanpa beban tanggung jawab yang sebesar ini. Sekarang, hidupnya berubah selamanya. Ia terikat dalam sebuah pernikahan yang tanpa cinta, tanpa harapan.
Malam pertama Nadia sebagai istri Indra berlalu dengan hening dan tanpa percakapan. Ia mulai merasakan kehampaan yang semakin besar dalam hidup barunya, tanpa cinta dan tanpa kehangatan. Apa yang akan terjadi pada pernikahan ini? Akankah kehampaan ini semakin memburuk, atau ada harapan untuk sebuah perubahan?
Setelah malam pertama yang penuh keheningan, kehidupan Nadia dan Indra berlanjut dengan rutinitas harian yang monoton. Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka tinggal di rumah yang megah, Nadia merasa terkurung dalam keheningan yang mencekik. Indra kembali ke pekerjaannya, menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah daripada di dalam.Nadia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Ia mulai menjelajahi rumah besar itu, mencoba menemukan sudut-sudut nyaman di dalamnya. Suatu hari, saat ia duduk di teras belakang, memandangi taman yang luas dan indah, Bu Yuni, ibu Indra, datang menghampiri."Nadia," panggil Bu Yuni dengan nada tegas. "Bagaimana kabar? Apakah kamu sudah memikirkan untuk memiliki anak?"Pertanyaan itu membuat Nadia terkejut. "Anak?" ulangnya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. "Kami baru saja menikah, Bu. Mungkin terlalu cepat untuk memikirkan hal itu.""Justru itu, Nadia. Indra sudah menikah. Sekarang saatnya kamu memikirkan masa depan kita sebagai
Setelah malam penuh ketegangan itu, Nadia duduk sendirian di kamar, menatap ke arah jendela yang memperlihatkan taman rumah besar milik keluarga Indra. Cahaya bulan menerobos masuk, menyinari wajahnya yang tampak sendu. Di dalam hatinya, ada secercah harapan yang tak ingin ia lepaskan. Mungkin, pikirnya, kehadiran anak ini akan memperbaiki keadaan. Mungkin dengan menjadi orang tua, ia dan Indra bisa menjadi pasangan yang lebih baik—menjadi keluarga yang utuh.Nadia mencoba meyakinkan dirinya bahwa situasi ini bisa berubah. Kehamilannya bisa menjadi titik balik, awal dari kehidupan baru yang lebih bahagia. Anak mereka bisa membawa perubahan positif, bahkan mungkin menghangatkan hati Indra yang selama ini terasa dingin dan jauh.Pagi berikutnya, ketika Nadia duduk di meja makan, Bu Yuni mendekat dengan ekspresi ceria yang seolah tidak menyadari ketegangan antara Nadia dan Indra. "Nadia, sayang, kau harus menjaga dirimu baik-baik.
Hari yang dinanti tiba lebih cepat dari yang Nadia duga. Di suatu pagi yang tenang, ketika matahari baru saja terbit, Nadia merasakan kontraksi pertama yang membuat tubuhnya menegang. Sakit itu merambat dari perutnya ke seluruh tubuh, membuatnya terhuyung-huyung mencari pegangan di tepi ranjang. Ia tahu, waktunya hampir tiba. Bayi yang telah ia kandung selama sembilan bulan akan segera melihat dunia.Dengan tergesa-gesa, Nadia memanggil Indra, yang saat itu baru saja bersiap untuk berangkat ke kantor. "Indra, aku rasa... waktunya sudah dekat," ujar Nadia dengan suara serak, menahan sakit yang semakin intens.Indra, yang selama ini lebih banyak acuh pada kehamilannya, tiba-tiba tampak panik. Wajahnya berubah tegang, dan ia segera membantu Nadia ke mobil tanpa banyak berkata-kata. Dalam diam, mereka berdua menuju rumah sakit, dengan perasaan bercampur aduk. Di dalam hatinya, Nadia berharap bahwa momen ini akan membawa mereka lebih dekat,
Kehadiran Reza di dunia membawa perubahan yang tak disangka dalam hati Indra. Setiap kali ia memandang anaknya, ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh—sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Indra, yang selama ini merasa terjebak dalam pernikahannya dengan Nadia, kini melihat harapan baru. Mungkin, dengan menjadi ayah, hidupnya bisa berubah.Pagi hari setelah kelahiran Reza, Nadia masih dalam masa pemulihan di rumah sakit. Indra berdiri di dekat jendela, matanya menatap keluar, tetapi pikirannya sibuk mencerna banyak hal. Sejak kemarin, saat ia melihat Nadia berjuang keras melahirkan anak mereka, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Rasa kagum dan hormat pada Nadia mulai timbul, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti bagaimana perasaan itu tumbuh begitu saja.Sementara itu, Reza tidur dengan tenang di inkubator, membuat Indra semakin tersentuh setiap kali ia melihat bayi mungil itu. Reza adalah darah dagingnya, buah cin
Setelah malam yang panjang dan penuh kegelisahan, pagi datang dengan sunyi. Nadia terbangun dengan kantung mata yang berat, menandakan kurang tidur semalaman. Saat membuka matanya, ia menoleh ke samping tempat tidur. Kosong. Indra tak ada di sana.Nadia mendesah pelan, perasaannya bercampur aduk. Ia berusaha menenangkan diri, berharap Indra pulang lebih awal, tapi rasa khawatirnya tak bisa disembunyikan. Selama beberapa minggu terakhir, Indra memang terlihat lebih dekat dengan keluarga. Namun, satu panggilan telepon sudah cukup membuatnya khawatir, mengingatkan Nadia pada kebiasaan lama Indra yang selalu mengutamakan pekerjaan di atas segalanya.Setelah memastikan Reza tidur dengan tenang, Nadia keluar dari kamar dan menuju dapur. Ketika ia sampai di ruang makan, pintu depan terdengar terbuka perlahan. Indra masuk dengan langkah berat. Pakaian kantornya masih lengkap, namun wajahnya tampak kelelahan.“Kamu baru pulang?” tanya Nadia d
Indra duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang masih mengepul di depannya. Pagi hari itu terasa lebih hening daripada biasanya. Nadia sedang menyuapi Reza di kursi bayi, dengan senyum lembut yang hanya tampak sesekali. Keadaan masih terasa canggung setelah percakapan mereka beberapa hari lalu. Nadia mengatakan bahwa ia butuh lebih dari sekadar kata-kata—ia butuh kehadiran Indra.Pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Indra, membuat ia sadar bahwa selama ini dia lebih sering terperangkap dalam pikirannya sendiri dan pekerjaan. Selama ini, Indra selalu mengira bahwa tanggung jawab utama seorang suami dan ayah adalah memberikan keamanan finansial. Namun, sekarang ia mulai menyadari bahwa itu hanyalah sebagian kecil dari gambaran besar.Nadia ingin kehadirannya. Reza pun membutuhkannya. Dan saat melihat putra kecilnya tersenyum di pelukan ibunya, hati Indra tersentuh dengan cara yang baru. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, ses
Pagi itu terasa lebih tenang dari biasanya. Nadia sedang duduk di ruang tamu bersama Reza, yang perlahan mulai menunjukkan perkembangannya sebagai bayi yang lincah. Senyum kecil selalu menghiasi wajah Reza setiap kali Nadia berbicara dengannya, membuat hati Nadia sedikit lebih ringan meskipun banyak hal masih membebani pikirannya. Kebahagiaan Reza adalah pelipur lara bagi hati Nadia, yang masih menyimpan keraguan dan kegelisahan akan rumah tangganya dengan Indra.Indra, di sisi lain, sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor. Dalam beberapa minggu terakhir, ia memang menunjukkan usahanya untuk memperbaiki hubungan mereka, tapi Nadia merasa ada sesuatu yang masih hilang. Perasaan aman dan nyaman yang dulu ia harapkan dari pernikahan ini masih belum sepenuhnya hadir. Setiap kali ia berpikir bahwa semuanya akan berjalan lebih baik, selalu ada momen di mana Indra tampak kembali terseret oleh pekerjaan atau hal-hal lain
Pagi itu, Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi ia sudah bangkit dari tempat tidur. Di sampingnya, Indra masih tertidur lelap dengan napas yang tenang. Nadia menatapnya sebentar sebelum perlahan turun dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkannya. Di dalam hati, ada perasaan lega dan cemas yang bercampur menjadi satu.Hubungannya dengan Indra memang menunjukkan perbaikan kecil, tapi Nadia tidak bisa menghilangkan rasa takut akan kerapuhan hubungan mereka. Setiap tindakan Indra untuk lebih dekat dengannya dan Reza membuat Nadia berharap, namun pada saat yang sama, ia khawatir jika semua hanya sementara.Nadia keluar dari kamar tidur dan menuju ke kamar bayi di sebelah, di mana Reza tidur dengan tenang di ranjang kecilnya. Senyumnya terbit ketika melihat anaknya, wajah mungil Reza tampak begitu damai. Bagi Nadia, Reza adalah pusat dari segala kebahagiaannya sekarang, d
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be