Share

Bab 10: Malam yang Hening

Setelah prosesi pernikahan selesai, Nadia dan Indra diantar ke rumah baru mereka. Rumah megah itu terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta. Ketika mobil berhenti di depan gerbang tinggi yang terbuat dari besi, Nadia merasakan desakan rasa gugup yang semakin besar. Ini adalah awal dari kehidupan barunya—pernikahan yang dimulai dengan janji, namun tidak ada cinta yang menyertainya.

"Selamat, Nadia. Semoga kalian berdua bahagia," kata salah satu tamu keluarga saat mengantar mereka sampai ke pintu.

Nadia hanya tersenyum tipis, mencoba membalas kebaikan tamu tersebut. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Tidak ada perasaan sukacita seperti yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengantin baru. Indra, yang berjalan di sampingnya, tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan senyum di bibirnya hanya formalitas belaka. Seolah-olah pernikahan ini hanyalah sebuah tanggung jawab yang telah ia lunasi.

Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, luas dan berkilauan dengan hiasan modern di setiap sudut. Nadia memandang sekeliling, merasa kecil di antara kemewahan yang mengelilinginya. "Rumah yang indah," pikirnya, tetapi hati kecilnya tahu, rumah ini tidak akan terasa seperti rumah. Bukan rumah yang dibangun dengan cinta dan kasih sayang, melainkan sekadar gedung megah yang berdiri kosong.

Indra melangkah lebih dulu menuju ruang tamu, lalu melepaskan dasinya. "Kamu mau istirahat?" tanyanya singkat, tanpa banyak menatap wajah Nadia.

"Iya, mungkin sebaiknya kita istirahat," jawab Nadia dengan suara pelan. Ia tahu bahwa meski mereka kini telah resmi menikah, jarak di antara mereka terasa begitu jauh. Mereka bukan pasangan yang dipersatukan oleh cinta, melainkan oleh kewajiban. Setiap kata yang keluar dari mulut Indra terasa dingin dan hambar.

Indra mengangguk tanpa bicara lagi, lalu berjalan menuju kamar utama. Nadia mengikuti di belakangnya, masih merasa canggung. Rumah ini begitu besar, tetapi terasa dingin—bukan karena suhu udara, melainkan suasana yang menyelimuti mereka.

Sesampainya di kamar utama, ruangan itu benar-benar luas, dengan ranjang king-size di tengahnya dan jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Nadia berdiri di depan cermin besar di sudut ruangan, memandang bayangannya sendiri yang masih mengenakan gaun pengantin. Ia tampak cantik dari luar, tetapi matanya tidak bersinar. Tidak ada kebahagiaan yang tergambar di wajahnya. "Inikah hidup yang harus aku jalani?" batinnya penuh keraguan.

Indra sudah mengganti pakaiannya dengan setelan kasual, lalu berbaring di sisi ranjang. Ia tampak lelah, bukan karena fisik, tetapi lebih pada beban mental yang dirasakannya sejak hari itu. Pernikahan ini, baginya, adalah cara untuk menenangkan masalah yang menimpa dirinya, namun sekarang, setelah semuanya selesai, ia merasa semakin terjebak dalam kehidupan yang tidak ia inginkan.

"Besok aku harus kembali bekerja," ujar Indra tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya datar, seolah-olah ia hanya memberi informasi tanpa mengharapkan tanggapan dari Nadia.

"Oh, baiklah," jawab Nadia singkat, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa aneh, seperti berada dalam rumah orang lain, bukan rumah suaminya sendiri. Malam pernikahan yang seharusnya dipenuhi kehangatan terasa begitu dingin dan jauh dari impiannya. Tidak ada sentuhan kasih, tidak ada percakapan mendalam—hanya dua orang yang kini terikat dalam sebuah ikatan hukum tanpa perasaan.

Malam semakin larut, dan Nadia memutuskan untuk berganti pakaian. Ia melangkah menuju kamar mandi, melepas gaun pengantinnya perlahan, dan berganti dengan pakaian tidur yang lebih nyaman. Di cermin kamar mandi, ia melihat pantulan dirinya—seorang wanita muda yang kini resmi menjadi istri. Tapi anehnya, ia merasa seperti orang asing di dalam tubuhnya sendiri.

Saat keluar dari kamar mandi, Indra sudah tertidur. Ia terbaring diam, seolah tidak terganggu dengan apa yang terjadi hari itu. Nadia duduk di tepi ranjang, memandang suaminya dalam hening. "Mungkin dia juga merasa terjebak," pikir Nadia. Tidak ada cinta di antara mereka, hanya kewajiban dan janji yang diucapkan tanpa perasaan.

Nadia menarik selimutnya pelan dan berbaring di sisi lain ranjang. Udara di kamar terasa dingin, meskipun cuaca di luar tidak terlalu buruk. Mungkin itu karena jarak yang begitu besar antara dirinya dan Indra. Mereka berada di tempat yang sama, di ranjang yang sama, namun hati mereka terasa jauh dan asing.

Malam pertama sebagai suami-istri berlalu dalam keheningan. Nadia tidak bisa memejamkan matanya, pikirannya penuh dengan bayangan masa depan yang kini terasa tak pasti. Akankah ini terus berlanjut seperti ini? Apakah pernikahan ini akan selamanya hampa dan dingin?

Di tengah keheningan itu, Nadia memutar kenangan hidupnya sebelum semua ini terjadi. Ia merindukan masa-masa saat segala sesuatu terasa sederhana. Ia hanya seorang gadis biasa, tanpa beban tanggung jawab yang sebesar ini. Sekarang, hidupnya berubah selamanya. Ia terikat dalam sebuah pernikahan yang tanpa cinta, tanpa harapan.

Malam pertama Nadia sebagai istri Indra berlalu dengan hening dan tanpa percakapan. Ia mulai merasakan kehampaan yang semakin besar dalam hidup barunya, tanpa cinta dan tanpa kehangatan. Apa yang akan terjadi pada pernikahan ini? Akankah kehampaan ini semakin memburuk, atau ada harapan untuk sebuah perubahan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status