Home / Pernikahan / Menjadi Istri yang Dilupakan / Bab 4: Keputusan yang Menghantui

Share

Bab 4: Keputusan yang Menghantui

Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati Nadia yang masih kalut. Duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, dia memandangi ayahnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Mesin-mesin di sekitar ranjangnya berdetak pelan, seakan-akan setiap bunyi adalah peringatan bahwa hidupnya bisa berubah dalam sekejap.

Semalaman Nadia tak bisa tidur. Tawaran Indra terus menghantuinya, berputar dalam pikirannya seperti lingkaran yang tak kunjung usai. Apakah ini benar-benar satu-satunya jalan keluar? Menikah dengan pria yang hampir tak dikenalnya, hanya karena kesalahan tragis yang telah ia buat? Nadia meremas-remas jemarinya, menahan kegelisahan yang semakin memburuk.

Di sisi lain, ibunya tampak lebih tenang pagi ini. Bu Ningsih duduk di sebelah ranjang suaminya, memegang tangan suaminya yang lemah. Meski kelelahan terlihat jelas di wajahnya, ada semacam kelegaan yang samar-samar mulai muncul. Mungkin bagi Bu Ningsih, tawaran Indra bukan hanya soal tanggung jawab, tapi juga soal keamanan keluarga. Indra menawarkan masa depan yang tak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya.

Nadia ingin berbicara dengan ibunya, tetapi keraguan terus membelenggu. Apakah ibunya sungguh-sungguh mendukung ide ini? Ataukah ia hanya terdesak oleh keadaan? Keduanya memang tahu bahwa biaya rumah sakit akan terus bertambah, dan semakin lama, semakin sulit bagi mereka untuk mengatasinya. Namun, menikah dengan Indra... Itu terasa seperti keputusan yang begitu besar dan menakutkan.

“Bu,” Nadia akhirnya memecah keheningan. Suaranya serak dan lemah, seolah setiap kata sulit dikeluarkan. “Apa Ibu setuju dengan tawaran Indra?”

Bu Ningsih menoleh perlahan, melihat putrinya dengan mata yang penuh kelelahan. Dia tidak langsung menjawab, malah menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Nadia... Ibu tidak tahu harus bilang apa. Tapi Ibu tahu, kita tidak punya banyak pilihan.”

Nadia terdiam, menelan kalimat ibunya dengan perasaan campur aduk. Ia mengerti maksud ibunya—dalam situasi yang sulit ini, mungkin pernikahan dengan Indra adalah satu-satunya jalan keluar yang masuk akal. Namun, hatinya berontak. Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan pria yang tidak dicintainya? Dengan seseorang yang begitu asing baginya?

“Ibu tidak memaksamu, Nak,” lanjut Bu Ningsih, suaranya pelan tapi jelas. “Tapi Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu dan keluarga kita. Indra menawarkan sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan kita semua.”

Nadia menggeleng pelan, menatap lantai dengan kosong. Rasanya seperti semua ini terjadi terlalu cepat, terlalu mendadak. Hanya beberapa hari lalu, hidupnya masih normal—ia masih seorang gadis muda yang baru lulus SMA, bermimpi tentang masa depan yang cerah. Namun sekarang, semua itu terasa jauh, seperti mimpi yang tak lagi mungkin terwujud.

“Apa Ayah akan setuju, Bu?” tanyanya akhirnya, meskipun ia tahu bahwa pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah bisa dijawab. Ayahnya masih terbaring koma, tidak sadar akan semua pergulatan batin yang mereka alami.

Bu Ningsih menghela napas berat. “Ibu tidak tahu, Nak. Tapi Ayahmu selalu ingin yang terbaik untuk kita. Mungkin... mungkin ini adalah yang terbaik.”

Keheningan kembali menyelimuti. Nadia tak tahu lagi harus berkata apa. Meski segala logika mungkin mendukung keputusan untuk menikah, hatinya belum bisa menerima itu begitu saja. Apa ini adalah hidup yang akan ia jalani? Menikah tanpa cinta, hanya demi tanggung jawab?


Hari itu berlalu dengan lambat, penuh dengan kecemasan yang semakin menumpuk di dada Nadia. Kabar kondisi ayahnya tak menunjukkan perkembangan signifikan, membuat perasaan cemas semakin membayangi setiap langkahnya. Indra pun tak terlihat sepanjang hari, memberi ruang bagi Nadia dan keluarganya untuk berpikir lebih jauh tentang tawaran yang ia ajukan.

Namun, saat sore tiba, Indra muncul kembali di rumah sakit, kali ini dengan wajah yang sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Ia mendekati Nadia dan ibunya di ruang tunggu, membawa sebuah amplop yang tampak tebal.

“Saya sudah bicara dengan pengacara keluarga,” katanya langsung tanpa basa-basi, “Ini kontrak pernikahan yang saya usulkan. Tentu, kalian bisa membacanya dulu, dan jika ada yang perlu diubah, kita bisa bicarakan lagi.”

Nadia mengerutkan kening, merasa dadanya semakin sesak. Kontrak pernikahan? Sejak kapan pernikahan menjadi sebuah kesepakatan bisnis seperti ini? Tapi di dalam situasi ini, ia tahu bahwa Indra hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk semua pihak. Meski begitu, sesuatu di dalam dirinya masih merasa aneh dengan semua ini.

“Kalau saya menolak?” Nadia bertanya tiba-tiba, suaranya penuh dengan ketegangan. Ia tak tahan lagi dengan semua formalitas ini. Dia ingin tahu apakah masih ada jalan lain, sebuah pilihan yang lebih baik daripada menikah dengan orang yang hampir tak dikenalnya.

Indra terdiam sejenak, lalu menatap Nadia dengan sorot mata yang serius. “Kalau kau menolak, itu adalah hakmu, Nadia. Saya tidak memaksamu. Tapi... saya takut kita akan menghadapi masalah hukum yang lebih besar. Keluarga kalian akan terjerat dengan masalah keuangan yang tak mudah diatasi. Dan saya... saya tak akan bisa menolong lebih jauh.”

Hati Nadia semakin diliputi kebimbangan. Ini bukan ancaman, tapi kenyataan yang harus dihadapi. Jika ia menolak, keluarganya mungkin akan tenggelam dalam masalah yang jauh lebih besar. Namun jika menerima, hidupnya akan berubah selamanya, dan ia tak yakin apakah ia siap untuk itu.

Bu Ningsih, yang duduk di samping Nadia, menggenggam tangan putrinya dengan erat. “Nadia... mungkin ini adalah jalan terbaik. Ibu tahu kamu takut, tapi kamu tidak sendiri. Kami akan selalu ada di sampingmu, apapun yang kamu putuskan.”

Nadia menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Apakah ini benar-benar jalan terbaik? Menikah demi tanggung jawab? Hidup tanpa cinta?

Ketika malam semakin larut, Nadia masih belum menemukan jawabannya. Namun satu hal yang pasti, tawaran Indra kini menggantung seperti bayangan gelap di atas hidupnya, dan waktu semakin mendesaknya untuk membuat keputusan.

Nadia masih terperangkap dalam dilema besar—apakah ia harus menerima tawaran pernikahan dari Indra demi menyelamatkan keluarganya, atau menolak dan menghadapi konsekuensi yang lebih berat?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status