Share

Bab 3: Tawaran yang Mengubah Hidup

Setelah beberapa hari yang penuh ketidakpastian, Nadia merasa seperti hidupnya berada di atas tebing yang rapuh. Setiap langkah bisa membuatnya jatuh ke dalam jurang yang dalam. Ayahnya masih berada dalam kondisi kritis di ruang ICU, dan tidak banyak yang bisa dilakukan selain menunggu perkembangan dari dokter. Sementara itu, sosok Indra Pratama terus hadir di rumah sakit, mengawasi dari jauh dengan wajah penuh rasa bersalah.

Nadia tidak bisa menghindari pria itu. Setiap kali melihat Indra, hatinya terbakar amarah, tetapi juga terselip rasa kebingungan. Indra memang telah mengakibatkan kecelakaan yang merenggut kesejahteraan keluarganya, namun ia juga satu-satunya yang sekarang berdiri di sisi mereka, mencoba memperbaiki kesalahannya. Apapun yang dia rasakan, Nadia tahu bahwa Indra juga membawa beban yang besar atas apa yang terjadi.

Suatu siang, ketika suasana rumah sakit sedikit lengang, Indra menghampiri Nadia yang sedang duduk di samping ibunya di ruang tunggu. Kali ini, ekspresi wajah Indra tampak lebih serius dan tertekan. Nadia, yang sudah terlalu lelah secara emosional, hanya bisa menatap pria itu tanpa tenaga.

“Bu Ningsih, Nadia,” Indra membuka percakapan dengan suara pelan namun terdengar sangat serius, “Saya ingin bicara dengan kalian berdua.”

Bu Ningsih, yang wajahnya terlihat semakin letih akibat terlalu lama berjaga, menoleh dengan tatapan datar. “Ada apa lagi, Nak?” tanyanya lemah. Suara ibunya membuat Nadia merasa semakin cemas.

Indra menelan ludah sebelum melanjutkan. “Saya sudah berpikir panjang, dan saya tahu ini tidak akan mudah bagi kalian... atau bagi saya sendiri.” Dia berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan. “Saya tahu, tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Tapi saya ingin bertanggung jawab, dan satu-satunya cara yang saya lihat... adalah dengan menikahi Nadia.”

Kalimat itu meluncur seperti petir di siang bolong. Nadia terhenyak, tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Menikah? Tawaran yang tidak pernah ia bayangkan tiba-tiba disodorkan begitu saja. Dalam sekejap, pikiran Nadia melayang, berusaha memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Saya akan bertanggung jawab atas semuanya. Biaya rumah sakit, perawatan Pak Amir, masa depan keluarga ini... saya akan bantu sebisa saya,” Indra melanjutkan, sementara Nadia masih terdiam. “Dan untuk itu, saya ingin Nadia menjadi istri saya. Ini bukan soal perasaan, tapi soal tanggung jawab. Saya sadar bahwa kecelakaan ini mengubah hidup kalian, dan saya ingin melakukan yang terbaik untuk memperbaikinya.”

Bu Ningsih tersentak, matanya membesar seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Namun, berbeda dengan reaksi yang mungkin diharapkan Nadia, air mata mulai mengalir di pipi ibunya. Bukan tangisan duka seperti sebelumnya, tetapi tangisan lega—sebuah harapan baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

“Nak Indra... kamu benar-benar bersedia melakukan ini? Menikahi anak saya dan bertanggung jawab atas keluarga kami?” Bu Ningsih bertanya dengan suara yang terdengar seperti campuran antara kegembiraan dan keputusasaan.

Indra mengangguk tegas. “Saya tidak punya pilihan lain. Ini kesalahan saya, dan saya ingin memperbaikinya. Saya ingin Nadia menjadi istri saya.”

Nadia terdiam kaku di kursinya. Rasanya seperti semua kekuatan di tubuhnya lenyap mendengar kalimat itu. Menikah dengan pria yang tidak ia kenal? Seorang pria yang meskipun tampak bertanggung jawab, namun menjadi penyebab runtuhnya kebahagiaan keluarganya? Hati Nadia bergemuruh hebat. Ini bukan solusi yang ia bayangkan, tetapi dalam keadaan terjepit seperti sekarang, Nadia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan.

“Kenapa kamu menawarkan ini?” akhirnya Nadia bertanya, suaranya terdengar pelan namun penuh beban. Matanya menatap Indra lurus, ingin mencari kebenaran di balik tatapan pria itu.

Indra menghela napas panjang. “Karena ini tanggung jawab saya. Aku sudah menyebabkan terlalu banyak penderitaan pada keluarga kalian. Menikah denganmu adalah cara agar aku bisa menebus kesalahan itu dan memastikan bahwa kalian akan mendapat kehidupan yang layak. Aku tahu ini bukan hal yang mudah, terutama bagimu, Nadia. Tapi aku benar-benar ingin melakukan ini dengan tulus.”

Kata-kata itu menggema di kepala Nadia, namun tak ada yang terasa nyata. Baginya, hidupnya telah terbalik dalam hitungan hari. Dari seorang gadis biasa yang baru saja lulus SMA, kini dia berada di ambang keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Menikah dengan Indra, pria yang bertanggung jawab atas kecelakaan ayahnya—rasanya seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia bayangkan.

“Nadia, Ma... saya tidak meminta jawaban sekarang. Saya tahu kalian butuh waktu untuk berpikir,” kata Indra lagi, seolah membaca kebingungan yang jelas terlihat di wajah Nadia. “Tapi tolong, pikirkan ini sebagai solusi terbaik bagi semua pihak.”

Setelah itu, Indra beranjak pergi, meninggalkan Nadia dan Bu Ningsih dalam keheningan. Hati Nadia bergemuruh hebat, dan pikirannya kacau balau. Ibunya masih terisak pelan, tetapi ada sesuatu dalam tangisan itu—sebuah rasa lega, sebuah harapan yang tidak pernah ada sebelumnya. Namun bagi Nadia, tawaran itu terasa seperti menelan pil pahit yang tak bisa ditolak.

Sepanjang sore itu, pikirannya tak pernah berhenti memikirkan tawaran pernikahan yang disodorkan Indra. Ia tahu bahwa ini bukanlah pernikahan yang diimpikannya. Namun, dengan ayahnya yang masih dalam kondisi kritis dan keluarga yang tak memiliki banyak pilihan, mungkin pernikahan ini adalah satu-satunya jalan keluar.

Saat malam semakin larut, Nadia hanya bisa menatap langit-langit ruangan rumah sakit yang suram. Dalam diam, ia berdoa agar keputusan yang akan diambilnya nanti adalah keputusan yang benar—meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa apapun yang ia putuskan, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Tawaran Indra untuk menikah dengan Nadia menggantung, meninggalkan Nadia dalam dilema besar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status