Setelah beberapa hari yang penuh ketidakpastian, Nadia merasa seperti hidupnya berada di atas tebing yang rapuh. Setiap langkah bisa membuatnya jatuh ke dalam jurang yang dalam. Ayahnya masih berada dalam kondisi kritis di ruang ICU, dan tidak banyak yang bisa dilakukan selain menunggu perkembangan dari dokter. Sementara itu, sosok Indra Pratama terus hadir di rumah sakit, mengawasi dari jauh dengan wajah penuh rasa bersalah.
Nadia tidak bisa menghindari pria itu. Setiap kali melihat Indra, hatinya terbakar amarah, tetapi juga terselip rasa kebingungan. Indra memang telah mengakibatkan kecelakaan yang merenggut kesejahteraan keluarganya, namun ia juga satu-satunya yang sekarang berdiri di sisi mereka, mencoba memperbaiki kesalahannya. Apapun yang dia rasakan, Nadia tahu bahwa Indra juga membawa beban yang besar atas apa yang terjadi.
Suatu siang, ketika suasana rumah sakit sedikit lengang, Indra menghampiri Nadia yang sedang duduk di samping ibunya di ruang tunggu. Kali ini, ekspresi wajah Indra tampak lebih serius dan tertekan. Nadia, yang sudah terlalu lelah secara emosional, hanya bisa menatap pria itu tanpa tenaga.
“Bu Ningsih, Nadia,” Indra membuka percakapan dengan suara pelan namun terdengar sangat serius, “Saya ingin bicara dengan kalian berdua.”
Bu Ningsih, yang wajahnya terlihat semakin letih akibat terlalu lama berjaga, menoleh dengan tatapan datar. “Ada apa lagi, Nak?” tanyanya lemah. Suara ibunya membuat Nadia merasa semakin cemas.
Indra menelan ludah sebelum melanjutkan. “Saya sudah berpikir panjang, dan saya tahu ini tidak akan mudah bagi kalian... atau bagi saya sendiri.” Dia berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan. “Saya tahu, tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Tapi saya ingin bertanggung jawab, dan satu-satunya cara yang saya lihat... adalah dengan menikahi Nadia.”
Kalimat itu meluncur seperti petir di siang bolong. Nadia terhenyak, tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Menikah? Tawaran yang tidak pernah ia bayangkan tiba-tiba disodorkan begitu saja. Dalam sekejap, pikiran Nadia melayang, berusaha memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Saya akan bertanggung jawab atas semuanya. Biaya rumah sakit, perawatan Pak Amir, masa depan keluarga ini... saya akan bantu sebisa saya,” Indra melanjutkan, sementara Nadia masih terdiam. “Dan untuk itu, saya ingin Nadia menjadi istri saya. Ini bukan soal perasaan, tapi soal tanggung jawab. Saya sadar bahwa kecelakaan ini mengubah hidup kalian, dan saya ingin melakukan yang terbaik untuk memperbaikinya.”
Bu Ningsih tersentak, matanya membesar seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Namun, berbeda dengan reaksi yang mungkin diharapkan Nadia, air mata mulai mengalir di pipi ibunya. Bukan tangisan duka seperti sebelumnya, tetapi tangisan lega—sebuah harapan baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
“Nak Indra... kamu benar-benar bersedia melakukan ini? Menikahi anak saya dan bertanggung jawab atas keluarga kami?” Bu Ningsih bertanya dengan suara yang terdengar seperti campuran antara kegembiraan dan keputusasaan.
Indra mengangguk tegas. “Saya tidak punya pilihan lain. Ini kesalahan saya, dan saya ingin memperbaikinya. Saya ingin Nadia menjadi istri saya.”
Nadia terdiam kaku di kursinya. Rasanya seperti semua kekuatan di tubuhnya lenyap mendengar kalimat itu. Menikah dengan pria yang tidak ia kenal? Seorang pria yang meskipun tampak bertanggung jawab, namun menjadi penyebab runtuhnya kebahagiaan keluarganya? Hati Nadia bergemuruh hebat. Ini bukan solusi yang ia bayangkan, tetapi dalam keadaan terjepit seperti sekarang, Nadia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan.
“Kenapa kamu menawarkan ini?” akhirnya Nadia bertanya, suaranya terdengar pelan namun penuh beban. Matanya menatap Indra lurus, ingin mencari kebenaran di balik tatapan pria itu.
Indra menghela napas panjang. “Karena ini tanggung jawab saya. Aku sudah menyebabkan terlalu banyak penderitaan pada keluarga kalian. Menikah denganmu adalah cara agar aku bisa menebus kesalahan itu dan memastikan bahwa kalian akan mendapat kehidupan yang layak. Aku tahu ini bukan hal yang mudah, terutama bagimu, Nadia. Tapi aku benar-benar ingin melakukan ini dengan tulus.”
Kata-kata itu menggema di kepala Nadia, namun tak ada yang terasa nyata. Baginya, hidupnya telah terbalik dalam hitungan hari. Dari seorang gadis biasa yang baru saja lulus SMA, kini dia berada di ambang keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Menikah dengan Indra, pria yang bertanggung jawab atas kecelakaan ayahnya—rasanya seperti mimpi buruk yang tidak pernah dia bayangkan.
“Nadia, Ma... saya tidak meminta jawaban sekarang. Saya tahu kalian butuh waktu untuk berpikir,” kata Indra lagi, seolah membaca kebingungan yang jelas terlihat di wajah Nadia. “Tapi tolong, pikirkan ini sebagai solusi terbaik bagi semua pihak.”
Setelah itu, Indra beranjak pergi, meninggalkan Nadia dan Bu Ningsih dalam keheningan. Hati Nadia bergemuruh hebat, dan pikirannya kacau balau. Ibunya masih terisak pelan, tetapi ada sesuatu dalam tangisan itu—sebuah rasa lega, sebuah harapan yang tidak pernah ada sebelumnya. Namun bagi Nadia, tawaran itu terasa seperti menelan pil pahit yang tak bisa ditolak.
Sepanjang sore itu, pikirannya tak pernah berhenti memikirkan tawaran pernikahan yang disodorkan Indra. Ia tahu bahwa ini bukanlah pernikahan yang diimpikannya. Namun, dengan ayahnya yang masih dalam kondisi kritis dan keluarga yang tak memiliki banyak pilihan, mungkin pernikahan ini adalah satu-satunya jalan keluar.
Saat malam semakin larut, Nadia hanya bisa menatap langit-langit ruangan rumah sakit yang suram. Dalam diam, ia berdoa agar keputusan yang akan diambilnya nanti adalah keputusan yang benar—meskipun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa apapun yang ia putuskan, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Tawaran Indra untuk menikah dengan Nadia menggantung, meninggalkan Nadia dalam dilema besar.Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati Nadia yang masih kalut. Duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, dia memandangi ayahnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Mesin-mesin di sekitar ranjangnya berdetak pelan, seakan-akan setiap bunyi adalah peringatan bahwa hidupnya bisa berubah dalam sekejap.Semalaman Nadia tak bisa tidur. Tawaran Indra terus menghantuinya, berputar dalam pikirannya seperti lingkaran yang tak kunjung usai. Apakah ini benar-benar satu-satunya jalan keluar? Menikah dengan pria yang hampir tak dikenalnya, hanya karena kesalahan tragis yang telah ia buat? Nadia meremas-remas jemarinya, menahan kegelisahan yang semakin memburuk.Di sisi lain, ibunya tampak lebih tenang pagi ini. Bu Ningsih duduk di sebelah ranjang suaminya, memegang tangan suaminya yang lemah. Meski kelelahan terlihat jelas di wajahnya, ada semacam kelegaan yang samar-samar mulai muncul. Mungkin bagi Bu Ningsih, tawaran Indra bukan hanya soal tanggung jawab, ta
Hari itu, matahari sudah tinggi ketika Nadia berjalan keluar dari rumah sakit, mencoba menarik napas panjang untuk meredakan kekalutan dalam pikirannya. Tawaran pernikahan dari Indra masih terngiang di telinganya, mengguncang perasaannya dari dalam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menggantung di pundaknya.Nadia ingin lari, melarikan diri dari semua yang terjadi, tapi kenyataan memaksanya tetap berdiri tegak. Keluarganya sedang dalam kondisi yang teramat sulit, dan masa depan mereka kini berada di tangannya. Keputusan yang harus diambilnya bukan lagi hanya soal dirinya sendiri—ada ibunya, ada ayahnya, dan mungkin juga kelangsungan hidup keluarganya yang dipertaruhkan.Saat tiba di luar, dia mendapati sepupunya, Dini, sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Dini sudah menunggu dengan wajah penuh simpati. Mereka memang tidak terlalu dekat selama ini, tetapi dalam masa-masa sulit seperti sekarang, Dini adalah satu-satunya tempat Nadia bisa berbicara dengan b
Pagi itu, suasana di rumah Nadia terasa tegang. Bu Ningsih berusaha sibuk dengan rutinitasnya, menyiapkan sarapan sederhana, namun jelas terlihat bahwa pikirannya tidak fokus. Sejak berita kecelakaan suaminya dan tawaran pernikahan dari Indra disampaikan, hari-hari mereka dipenuhi kecemasan. Ayah Nadia masih terbaring di rumah sakit, kondisinya belum membaik, dan tagihan biaya rumah sakit semakin menumpuk.Nadia duduk di ruang makan, diam. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin tetap tak tersentuh. Wajahnya menampakkan kelelahan emosional yang selama ini coba disembunyikannya. Tawaran pernikahan dari Indra, sebuah solusi untuk masalah keluarganya, terasa bagai beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tahu keputusan besar harus segera diambil."Nadia, makan dulu. Ibu tahu kamu tidak lapar, tapi kamu harus tetap kuat, Nak," kata Bu Ningsih lembut, mencoba memecah suasana yang sunyi itu.Nadia hanya menggelengkan kepala pelan, masih menatap kosong ke arah piring di depannya. "Aku
Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi."Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbic
Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia mer
Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku."Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini."Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsi
Setelah prosesi pernikahan selesai, Nadia dan Indra diantar ke rumah baru mereka. Rumah megah itu terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta. Ketika mobil berhenti di depan gerbang tinggi yang terbuat dari besi, Nadia merasakan desakan rasa gugup yang semakin besar. Ini adalah awal dari kehidupan barunya—pernikahan yang dimulai dengan janji, namun tidak ada cinta yang menyertainya."Selamat, Nadia. Semoga kalian berdua bahagia," kata salah satu tamu keluarga saat mengantar mereka sampai ke pintu.Nadia hanya tersenyum tipis, mencoba membalas kebaikan tamu tersebut. Di dalam dirinya, ia merasa kosong. Tidak ada perasaan sukacita seperti yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengantin baru. Indra, yang berjalan di sampingnya, tampak tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, dan senyum di bibirnya hanya formalitas belaka. Seolah-olah pernikahan ini hanyalah sebuah tanggung jawab yang telah ia lunasi.Mereka berdua memasuki rumah mewah itu, luas dan berkil
Setelah malam pertama yang penuh keheningan, kehidupan Nadia dan Indra berlanjut dengan rutinitas harian yang monoton. Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka tinggal di rumah yang megah, Nadia merasa terkurung dalam keheningan yang mencekik. Indra kembali ke pekerjaannya, menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah daripada di dalam.Nadia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Ia mulai menjelajahi rumah besar itu, mencoba menemukan sudut-sudut nyaman di dalamnya. Suatu hari, saat ia duduk di teras belakang, memandangi taman yang luas dan indah, Bu Yuni, ibu Indra, datang menghampiri."Nadia," panggil Bu Yuni dengan nada tegas. "Bagaimana kabar? Apakah kamu sudah memikirkan untuk memiliki anak?"Pertanyaan itu membuat Nadia terkejut. "Anak?" ulangnya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. "Kami baru saja menikah, Bu. Mungkin terlalu cepat untuk memikirkan hal itu.""Justru itu, Nadia. Indra sudah menikah. Sekarang saatnya kamu memikirkan masa depan kita sebagai