Beranda / Pernikahan / Menjadi Istri yang Dilupakan / Bab 1: Awal yang Sederhana

Share

Menjadi Istri yang Dilupakan
Menjadi Istri yang Dilupakan
Penulis: Le Vant

Bab 1: Awal yang Sederhana

Nadia Putri menatap papan tulis di depannya dengan tatapan hampa, meskipun di sana tertulis materi ujian akhir yang seharusnya menarik perhatiannya. Sekilas ia mendengar suara gurunya berbicara, namun pikirannya sudah jauh melayang, membayangkan hari besar yang tak lama lagi tiba. Kelulusan. Hanya tinggal beberapa hari, dan masa-masa SMA yang penuh dengan kenangan akan berakhir.

Di luar jendela, cahaya matahari pagi menembus daun-daun pohon mangga di halaman sekolah. Udara terasa lebih hangat dari biasanya, seakan menyambut masa depan yang sudah begitu dekat. Nadia tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya dari rasa tegang akan ujian, dan mulai berkhayal tentang rencana-rencana sederhana yang telah ia susun.

"Kamu mau daftar ke universitas mana, Nad?" tanya Sarah, teman sebangkunya, yang tiba-tiba menyadarkan Nadia dari lamunannya.

Nadia menoleh sambil tersenyum lembut. "Aku mau coba di Universitas Jakarta, dekat rumah. Biar tetap bisa bantu Mama sama Ayah di rumah. Kamu?"

"Universitas Jakarta, ya? Lumayan sih, nggak jauh juga dari sini," sahut Sarah sambil mengangguk-angguk. "Aku juga mau daftar di sana, sih. Semoga kita bisa satu kampus!"

Nadia mengangguk, berharap hal itu benar-benar terjadi. Sarah sudah menjadi teman dekatnya sejak SMP, dan akan menyenangkan jika mereka tetap bersama di masa kuliah. Namun, jauh di dalam hatinya, Nadia tahu bahwa fokus utamanya adalah keluarganya, terutama ayahnya yang sudah semakin sering pulang larut malam karena bekerja keras.

Sejak kecil, Nadia selalu kagum dengan kerja keras ayahnya, Pak Amir. Meskipun hanya seorang supir angkot, Pak Amir tak pernah mengeluh. Setiap pagi ia bangun dini hari, mempersiapkan segala keperluannya dengan senyum yang selalu hangat, dan pulang larut malam dengan wajah lelah tapi penuh kepuasan. Nadia mengingat jelas kata-kata ayahnya suatu malam ketika mereka duduk bersama di teras rumah.

"Ayah nggak butuh kaya, Nad. Yang penting kamu sama Mama bisa hidup layak, nggak kekurangan. Itu sudah lebih dari cukup buat Ayah."

Kata-kata itu selalu membekas di hati Nadia. Ia tahu, di balik tubuh kekar ayahnya, tersembunyi keinginan besar untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya, meski dengan keterbatasan yang mereka miliki.

Hari itu, setelah jam sekolah berakhir, Nadia berjalan pulang dengan langkah ringan. Teman-temannya sudah mulai merencanakan pesta kelulusan, tapi pikiran Nadia sudah terfokus pada rumah. Setiap kali ia pulang, ia disambut dengan senyuman hangat ibunya, Bu Ningsih, yang selalu menyiapkan makanan di meja makan. Meskipun kehidupan mereka sederhana, Nadia tak pernah merasa kekurangan kasih sayang.

Namun, hari itu, suasana rumah terasa berbeda. Begitu Nadia membuka pintu rumah, ia langsung merasakan ada sesuatu yang salah. Ruang tamu yang biasanya dipenuhi dengan suara percakapan ibu dan tetangganya, sekarang sepi. Nadia mengernyit, memperhatikan keheningan itu sebelum akhirnya melihat sosok ibunya yang duduk di kursi, wajahnya pucat dan matanya sembab, seolah baru saja menangis.

"Ma... ada apa?" suara Nadia gemetar, jantungnya berdegup cepat.

Bu Ningsih menatap putrinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya berkaca-kaca, dan tangannya gemetar saat mencoba meraih sesuatu di saku bajunya. Nadia merasa seolah waktu berhenti sesaat ketika ibunya menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Ayahmu... kecelakaan..."

Dunia Nadia terasa runtuh dalam sekejap. Kata-kata ibunya seperti petir yang menyambar pikirannya. Tangannya gemetar, seakan tubuhnya tak mampu lagi menopang berat badannya. "Apa yang terjadi? Di mana Ayah sekarang?" Nadia mencoba untuk tetap tenang, meski dalam hatinya ketakutan itu semakin besar.

"Dia... di rumah sakit sekarang. Kondisinya kritis..." Suara Bu Ningsih bergetar, dan Nadia bisa melihat air mata yang jatuh dari sudut mata ibunya.

Tanpa berpikir panjang, Nadia segera meraih tasnya dan menarik tangan ibunya, "Ayo kita ke rumah sakit sekarang, Ma!"

Jalanan menuju rumah sakit terasa seperti perjalanan terpanjang dalam hidupnya. Nadia mencoba menghubungi ponsel ayahnya beberapa kali, tetapi tak ada jawaban. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan buruk, meskipun ia terus berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera akan berakhir.

Ketika mereka tiba di rumah sakit, Nadia berlari menuju ruang gawat darurat. Di depan ruangan itu, ia melihat beberapa orang yang tampak sibuk, namun yang paling menarik perhatiannya adalah seorang pria yang berdiri di sudut ruangan, mengenakan setelan jas hitam. Pria itu tampak tegang, memegangi ponselnya erat-erat. Sesaat, Nadia tak mengenalinya, tapi ketika pria itu menoleh dan mata mereka bertemu, Nadia merasa ada sesuatu yang salah.

Pria itu berjalan menghampiri mereka, dan tanpa menunggu pertanyaan dari Nadia, dia berbicara dengan nada penuh penyesalan. "Saya... Indra Pratama. Saya yang menyebabkan kecelakaan itu... saya sangat menyesal."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status