Nadia Putri menatap papan tulis di depannya dengan tatapan hampa, meskipun di sana tertulis materi ujian akhir yang seharusnya menarik perhatiannya. Sekilas ia mendengar suara gurunya berbicara, namun pikirannya sudah jauh melayang, membayangkan hari besar yang tak lama lagi tiba. Kelulusan. Hanya tinggal beberapa hari, dan masa-masa SMA yang penuh dengan kenangan akan berakhir.
Di luar jendela, cahaya matahari pagi menembus daun-daun pohon mangga di halaman sekolah. Udara terasa lebih hangat dari biasanya, seakan menyambut masa depan yang sudah begitu dekat. Nadia tersenyum kecil, mencoba menenangkan dirinya dari rasa tegang akan ujian, dan mulai berkhayal tentang rencana-rencana sederhana yang telah ia susun.
"Kamu mau daftar ke universitas mana, Nad?" tanya Sarah, teman sebangkunya, yang tiba-tiba menyadarkan Nadia dari lamunannya.
Nadia menoleh sambil tersenyum lembut. "Aku mau coba di Universitas Jakarta, dekat rumah. Biar tetap bisa bantu Mama sama Ayah di rumah. Kamu?"
"Universitas Jakarta, ya? Lumayan sih, nggak jauh juga dari sini," sahut Sarah sambil mengangguk-angguk. "Aku juga mau daftar di sana, sih. Semoga kita bisa satu kampus!"
Nadia mengangguk, berharap hal itu benar-benar terjadi. Sarah sudah menjadi teman dekatnya sejak SMP, dan akan menyenangkan jika mereka tetap bersama di masa kuliah. Namun, jauh di dalam hatinya, Nadia tahu bahwa fokus utamanya adalah keluarganya, terutama ayahnya yang sudah semakin sering pulang larut malam karena bekerja keras.
Sejak kecil, Nadia selalu kagum dengan kerja keras ayahnya, Pak Amir. Meskipun hanya seorang supir angkot, Pak Amir tak pernah mengeluh. Setiap pagi ia bangun dini hari, mempersiapkan segala keperluannya dengan senyum yang selalu hangat, dan pulang larut malam dengan wajah lelah tapi penuh kepuasan. Nadia mengingat jelas kata-kata ayahnya suatu malam ketika mereka duduk bersama di teras rumah.
"Ayah nggak butuh kaya, Nad. Yang penting kamu sama Mama bisa hidup layak, nggak kekurangan. Itu sudah lebih dari cukup buat Ayah."
Kata-kata itu selalu membekas di hati Nadia. Ia tahu, di balik tubuh kekar ayahnya, tersembunyi keinginan besar untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya, meski dengan keterbatasan yang mereka miliki.
Hari itu, setelah jam sekolah berakhir, Nadia berjalan pulang dengan langkah ringan. Teman-temannya sudah mulai merencanakan pesta kelulusan, tapi pikiran Nadia sudah terfokus pada rumah. Setiap kali ia pulang, ia disambut dengan senyuman hangat ibunya, Bu Ningsih, yang selalu menyiapkan makanan di meja makan. Meskipun kehidupan mereka sederhana, Nadia tak pernah merasa kekurangan kasih sayang.
Namun, hari itu, suasana rumah terasa berbeda. Begitu Nadia membuka pintu rumah, ia langsung merasakan ada sesuatu yang salah. Ruang tamu yang biasanya dipenuhi dengan suara percakapan ibu dan tetangganya, sekarang sepi. Nadia mengernyit, memperhatikan keheningan itu sebelum akhirnya melihat sosok ibunya yang duduk di kursi, wajahnya pucat dan matanya sembab, seolah baru saja menangis.
"Ma... ada apa?" suara Nadia gemetar, jantungnya berdegup cepat.
Bu Ningsih menatap putrinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya berkaca-kaca, dan tangannya gemetar saat mencoba meraih sesuatu di saku bajunya. Nadia merasa seolah waktu berhenti sesaat ketika ibunya menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Ayahmu... kecelakaan..."
Dunia Nadia terasa runtuh dalam sekejap. Kata-kata ibunya seperti petir yang menyambar pikirannya. Tangannya gemetar, seakan tubuhnya tak mampu lagi menopang berat badannya. "Apa yang terjadi? Di mana Ayah sekarang?" Nadia mencoba untuk tetap tenang, meski dalam hatinya ketakutan itu semakin besar.
"Dia... di rumah sakit sekarang. Kondisinya kritis..." Suara Bu Ningsih bergetar, dan Nadia bisa melihat air mata yang jatuh dari sudut mata ibunya.
Tanpa berpikir panjang, Nadia segera meraih tasnya dan menarik tangan ibunya, "Ayo kita ke rumah sakit sekarang, Ma!"
Jalanan menuju rumah sakit terasa seperti perjalanan terpanjang dalam hidupnya. Nadia mencoba menghubungi ponsel ayahnya beberapa kali, tetapi tak ada jawaban. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan buruk, meskipun ia terus berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera akan berakhir.
Ketika mereka tiba di rumah sakit, Nadia berlari menuju ruang gawat darurat. Di depan ruangan itu, ia melihat beberapa orang yang tampak sibuk, namun yang paling menarik perhatiannya adalah seorang pria yang berdiri di sudut ruangan, mengenakan setelan jas hitam. Pria itu tampak tegang, memegangi ponselnya erat-erat. Sesaat, Nadia tak mengenalinya, tapi ketika pria itu menoleh dan mata mereka bertemu, Nadia merasa ada sesuatu yang salah.
Pria itu berjalan menghampiri mereka, dan tanpa menunggu pertanyaan dari Nadia, dia berbicara dengan nada penuh penyesalan. "Saya... Indra Pratama. Saya yang menyebabkan kecelakaan itu... saya sangat menyesal."
Udara di rumah sakit terasa pengap bagi Nadia, meskipun AC berhembus lembut di sudut ruangan. Suara mesin medis yang berdengung seolah membekukan waktu. Jantung Nadia berdebar kencang, tangannya masih gemetar setelah mendengar pengakuan pria yang berdiri di hadapannya. Indra Pratama, nama itu terdengar asing, tapi rasa penyesalan yang terpancar dari sorot matanya membuat Nadia tak bisa segera mengeluarkan kata-kata. Yang ada di pikirannya hanyalah ayahnya—Pak Amir—sedang terbaring tak berdaya, melawan maut di dalam ruang ICU.Bu Ningsih, yang berdiri di samping Nadia, tak kuasa menahan tangisnya. Sesekali isakannya terdengar di antara keheningan. Nadia mencoba menenangkan ibunya, meski dalam dirinya sendiri rasa cemas dan takut seakan menghimpit. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana harus bereaksi. Semua terjadi begitu cepat.Indra, yang terlihat tak kalah tegang, berusaha menyampaikan lebih banyak. "Saya... tidak sengaja. Mobil saya lepas kendali saat menghindari motor yan
Setelah beberapa hari yang penuh ketidakpastian, Nadia merasa seperti hidupnya berada di atas tebing yang rapuh. Setiap langkah bisa membuatnya jatuh ke dalam jurang yang dalam. Ayahnya masih berada dalam kondisi kritis di ruang ICU, dan tidak banyak yang bisa dilakukan selain menunggu perkembangan dari dokter. Sementara itu, sosok Indra Pratama terus hadir di rumah sakit, mengawasi dari jauh dengan wajah penuh rasa bersalah.Nadia tidak bisa menghindari pria itu. Setiap kali melihat Indra, hatinya terbakar amarah, tetapi juga terselip rasa kebingungan. Indra memang telah mengakibatkan kecelakaan yang merenggut kesejahteraan keluarganya, namun ia juga satu-satunya yang sekarang berdiri di sisi mereka, mencoba memperbaiki kesalahannya. Apapun yang dia rasakan, Nadia tahu bahwa Indra juga membawa beban yang besar atas apa yang terjadi.Suatu siang, ketika suasana rumah sakit sedikit lengang, Indra menghampiri Nadia yang sedang duduk di samping ibunya di ruang tunggu. Kali ini, ekspresi
Pagi itu, langit Jakarta berwarna abu-abu, seolah mencerminkan suasana hati Nadia yang masih kalut. Duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, dia memandangi ayahnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Mesin-mesin di sekitar ranjangnya berdetak pelan, seakan-akan setiap bunyi adalah peringatan bahwa hidupnya bisa berubah dalam sekejap.Semalaman Nadia tak bisa tidur. Tawaran Indra terus menghantuinya, berputar dalam pikirannya seperti lingkaran yang tak kunjung usai. Apakah ini benar-benar satu-satunya jalan keluar? Menikah dengan pria yang hampir tak dikenalnya, hanya karena kesalahan tragis yang telah ia buat? Nadia meremas-remas jemarinya, menahan kegelisahan yang semakin memburuk.Di sisi lain, ibunya tampak lebih tenang pagi ini. Bu Ningsih duduk di sebelah ranjang suaminya, memegang tangan suaminya yang lemah. Meski kelelahan terlihat jelas di wajahnya, ada semacam kelegaan yang samar-samar mulai muncul. Mungkin bagi Bu Ningsih, tawaran Indra bukan hanya soal tanggung jawab, ta
Hari itu, matahari sudah tinggi ketika Nadia berjalan keluar dari rumah sakit, mencoba menarik napas panjang untuk meredakan kekalutan dalam pikirannya. Tawaran pernikahan dari Indra masih terngiang di telinganya, mengguncang perasaannya dari dalam. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menggantung di pundaknya.Nadia ingin lari, melarikan diri dari semua yang terjadi, tapi kenyataan memaksanya tetap berdiri tegak. Keluarganya sedang dalam kondisi yang teramat sulit, dan masa depan mereka kini berada di tangannya. Keputusan yang harus diambilnya bukan lagi hanya soal dirinya sendiri—ada ibunya, ada ayahnya, dan mungkin juga kelangsungan hidup keluarganya yang dipertaruhkan.Saat tiba di luar, dia mendapati sepupunya, Dini, sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Dini sudah menunggu dengan wajah penuh simpati. Mereka memang tidak terlalu dekat selama ini, tetapi dalam masa-masa sulit seperti sekarang, Dini adalah satu-satunya tempat Nadia bisa berbicara dengan b
Pagi itu, suasana di rumah Nadia terasa tegang. Bu Ningsih berusaha sibuk dengan rutinitasnya, menyiapkan sarapan sederhana, namun jelas terlihat bahwa pikirannya tidak fokus. Sejak berita kecelakaan suaminya dan tawaran pernikahan dari Indra disampaikan, hari-hari mereka dipenuhi kecemasan. Ayah Nadia masih terbaring di rumah sakit, kondisinya belum membaik, dan tagihan biaya rumah sakit semakin menumpuk.Nadia duduk di ruang makan, diam. Di depannya, secangkir teh yang sudah dingin tetap tak tersentuh. Wajahnya menampakkan kelelahan emosional yang selama ini coba disembunyikannya. Tawaran pernikahan dari Indra, sebuah solusi untuk masalah keluarganya, terasa bagai beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tahu keputusan besar harus segera diambil."Nadia, makan dulu. Ibu tahu kamu tidak lapar, tapi kamu harus tetap kuat, Nak," kata Bu Ningsih lembut, mencoba memecah suasana yang sunyi itu.Nadia hanya menggelengkan kepala pelan, masih menatap kosong ke arah piring di depannya. "Aku
Setelah pertemuan itu berakhir, suasana rumah Nadia terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Bu Ningsih tampak berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya, meski sesekali ia terlihat menghela napas panjang di sudut dapur, memandang kosong ke arah jendela. Sementara itu, Nadia duduk di kamarnya, tatapannya kosong menatap dinding. Keputusan yang baru saja diambil terasa seperti beban yang menghimpit dadanya.Pikirannya tak henti-hentinya melayang kepada Indra. Pria yang akan menjadi suaminya dalam waktu dekat. Sejak pertemuan pertama di rumah sakit hingga saat ini, Nadia masih tidak sepenuhnya bisa memahami bagaimana perasaannya terhadap Indra. Dia tidak membencinya, namun juga tak bisa mengatakan bahwa dia menyukainya. Perasaan itu berada di tengah—begitu ambigu dan tak terdefinisi."Kenapa semua harus jadi seperti ini?" bisiknya pelan. Pernikahan yang semula dianggapnya sebagai impian indah, kini terasa seperti kurungan tanpa pintu keluar.Sementara itu, di ruangan lain, Bu Ningsih berbic
Hari pernikahan semakin dekat, dan persiapan terus berjalan tanpa henti. Setiap sudut rumah keluarga Pratama tampak sibuk, penuh dengan hiruk-pikuk orang-orang yang menyiapkan segala sesuatu sesuai keinginan Bu Yuni. Nadia, yang masih merasa terasing dalam kehidupannya sendiri, mulai pasrah pada kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan terbaik. Namun setiap kali keraguan itu muncul, ia teringat kembali pada kondisi ayahnya yang sedang kritis di rumah sakit. Setiap senyum lemah ayahnya, setiap helaan napas berat yang ia dengar ketika menengoknya, membuat Nadia menguatkan hatinya.“Ini semua demi Ayah,” gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun rasa gundah tak pernah benar-benar hilang.Di rumah sakit, ayahnya masih terbaring dengan berbagai alat medis yang menopang hidupnya. Wajahnya semakin pucat, dan suara desis alat pernapasan terdengar nyaring di ruangan itu. Setiap kali Nadia mengunjunginya, ia mer
Hari pernikahan tiba. Matahari bersinar cerah di langit Jakarta, tetapi hati Nadia terasa mendung. Segala persiapan sudah lengkap, dari dekorasi mewah di rumah keluarga Pratama hingga tamu-tamu penting yang datang dengan mobil-mobil mahal. Bagi banyak orang, ini adalah pernikahan impian, tetapi bagi Nadia, ini lebih seperti mimpi buruk yang harus ia jalani. Tatanan rambutnya rapi, gaun pengantinnya menjuntai dengan indah, tetapi hati Nadia terasa sepi dan kaku."Nadia, sudah siap?" tanya Bu Ningsih, yang datang menyusul putrinya di kamar kecil tempat Nadia menunggu sebelum berjalan menuju altar.Nadia hanya mengangguk pelan. Ia tahu, tidak ada jalan keluar dari pernikahan ini. Segala sesuatu sudah diatur; semuanya telah diputuskan tanpa melibatkan keinginannya. Demi ayahnya, demi keluarganya, dan demi harga diri yang sudah dipertaruhkan, Nadia harus melanjutkan ini."Indra pasti menunggu di sana. Kamu harus kuat, Nak. Bapak pasti bangga melihatmu menikah hari ini." Kata-kata Bu Ningsi