"Bagus. Susu itu sehat," ucap Husein setelah beberapa detik terpaku."Jus juga sehat. Kak Sakha lebih suka jus dari pada susu," sahut Qansha."Pintar semua!" Husein mengangguk. "Baiklah, sekarang kalian harus segera berangkat ke sekolah."Husein membantu tubuh Sakha turun dari kursi yang cukup tinggi. Ia menghampiri Qansha yang juga sudah selesai makan dan menurunkan badan anak itu dari kursi. "Kalian berangkat sekolah bersama dengan papa," ucap Husein sambil melirik ke arah Habiba. Qansha menggeleng. "No. Aku tidak mau.""Mamamu belum mandi. Dia harus bersiap secepat kilat, setelah itu dia tidak punya waktu untuk mengantar kalian karena harus segera ke rumah sakit. Sebentar lagi mamamu akan telat," sahut Husein."Papa berkata benar, kalian pergilah bersama dengan papa. Mama tidak bisa antar pagi ini." Habiba langsung menghambur pergi begitu saja untuk segera mandi.Husein menatap satu per satu wajah anak- anaknya. Qansha tampak kecewa. Sakha cuek saja. Asik memainkan kencing bajun
Mereka kemudian berjalan beriringan di koridor. Habiba berjarak dengan Husein, ada dua pria asal Jepang yang menjadi pembatas diantara sepasang suami.istri yang dirahasiakan itu."Tuan Husein sudah lama menikah dengan Nyonya Cindy bukan? Seingat saya sudah beberapa tahun silam info seputar pernikahan bapak beredar di media. Berapa anak Tuan sekarang?" tanya Asahi mengajak Husein mengobrol rileks."Belum ada," jawab Husein. Serba salah. Mengaku punya anak juga itu adalah anaknya Habiba. Mengaku belum punya anak juga sudah ada dua. Beginilah nasib Habiba yang sejak dulu dijadikan istri rahasia. Bahkan sampai sekarang, disaat mereka sudah saling cinta, di depan umum pun masih harus menyembunyikan status pernikahan mereka. Sebab di depan umum, demi menjaga nama baik, maka Husein tetap harus berkomitmen bahwa istrinya adalah Cindy, satu- satunya istri. Pun itu adalah salah satu syarat yang diminta Cindy jika Husein mau kembali pada Habiba.Sebenarnya terbesit dalam benak Habiba, sampai
“No. Jadikan pekerjaan sebagai teman, termasuk bos. Saya juga mempekerjakan pegawai begitu. Tidak perlu ada kesenjangan antara bawahan dan atasan,” timpal Tuan Asahi. “Tuan Husein, bermitralah dengan pekerja Anda. Nyonya Habiba butuh rileks untuk menghadapi dunia. Biarkan saya yang menjadi calon suaminya. Saya jatuh cinta dan saya tidak mau menunda lagi untuk mengungkapkan ini.”Habiba makin membungkam. Ternyata segila ini lelaki yang berhadapan dengannya sekarang. Dia jelas seorang yang ambisius, tak mau menunda waktu untuk kemauannya. Tapi dia adalah lelaki yang bersungguh- sungguh.Meski gila, namun kesungguhannya tidak diragukan lagi.“Saya takut kesempatan ini tidak akan terulang lagi. Beginilah saya adanya, langsung pada topiknya tanpa harus mengulur waktu. Apa yang menjadi harapan saya, maka akan langsung saya sampaikan tanpa harus menunggu waktu,” ungkap Tuan Asahi penuh percaya diri.Jika dilihat dari cara bicaranya yang dipenuhi dengan kepercayadirian penuh, dia terbiasa deng
"Maaf," lembut Husein sambil meraih tangan Habiba dan menggenggamnya erat. Tatapannya lekat ke mata hitam Habiba. Yang ditatap merasa seperti terhunus sesuatu yang tajak hingga mengalihkan pandangan. Selalu saja Habiba kalah saat bersitatap dengan pria itu. "Aku telah membuatmu berada di posisi ini. Aku suamimu, tapi aku harus menyaksikanmu dilamar oleh pria lain di hadapanku. Sialnya, aku tidak bisa berbuat lebih." Husein mempererat genggamannya. Genggaman itu mengantarkan sesuatu yang hangat sampai ke jantung Habiba. Dan entah kenapa Habiba mampu memaklumi situasi itu. Hanya satu hal yang membuatnya bertahan, ia yakin suatu saat Tuhan akan memberikan jalan untuk Habiba lepas dari status istri rahasia. Disembunyikan itu tidak enak. Namun, ia saat ini menikmati keadaan itu. Ia menjalani dengan lapang hati selagi Husein berada di pihaknya.Tidak banyak tuntutan Habiba, cukup Tuhan menyatukan keluarga mereka seperti sekarang ini, meski ada Cindy diantara mereka."Kau harus mencari
Seharian, Habiba tidak melihat keberadaan Fatona setelah kemarahan ibunya itu beberapa waktu lalu. Bahkan tidak terlihat di sekitaran rumah. Apakah mungkin fatona berdiam di dalam kamar seharian?Tidak ada bekas piring kotor milik Fatona, tidak ada tanda- tanda Fatona melakukan aktifitas keseharian di rumah.Kemana Fatona?Habiba merindukan ibunya. Setidaknya sehari bertemu sekali saja. itu sudah cukup melepas rasa rindu.Bagi Habiba, sehari tidak melhat wajah ibunya, seperti ada yang kurang dalam hidupnya. Mungkin ini karena sudah menjadi kebiasaan dalam kesehariannya, selalu menatap wajah sang ibu meski hanya beberapa menit saja.Alangkah mengejutkan, Habiba bahkan tidak menemukan ibunya itu di kamar. Kamar dalam keadaan kosong. Loh, ibu kemana? Habiba mulai panik. Apakah sekesal itu Fatona terhadapnya sampai mendiamkannya begini?Habiba terduduk di sisi kasur. ‘Ibu… Aku masih bisa menahan jika suami, anak, kakak atau siapa pun marah kepadaku. Tapi jika ibu yang marah,
Habiba terdiam. Lidahnya kaku sekali, kelu rasanya untuk mengungkapkan kata sesuai permintaan Husein. Kenapa jadi drama begini? Padahal dulu ia mudah saja mengatakannya? Bahkan beberapa kali kata- kata itu meluncur keluar dari mulutnya, sekarang kenapa jadi sesulit ini?Apa dia malu?Iya, fix Habiba merasa canggung dan malu mengatakannya."Jadi tidak mau mengatakannya?" tanya Husein.Jantung Habiba seperti diremas merasakan mobil yang melaju kencang."Aku mencintaimu." Habiba berseru cepat.Husein tersenyum dan berangsur mengurangi kecepatan mobil. Sebab jika kecepatannya dikurangi secara mendadak, maka akibatnya Habiba bisa saja terantuk dashboard. Habiba menghela napas panjang. Sedikit gugup ia berkata, "Ternyata kamu masih bisa ngerjain aku disaat begini.""Supaya kau tidak begitu tegang, rileks sedikit." Suara bariton Husein terdengar sangat memanjakan. Sebelumnya pria ini tak pernah bersikap begini, tapi sekarang terlihat sangat berbeda."Tapi tetap saja bikin tegang, aku beras
"Bu!" Tangis Habiba pecah, ia menghambur dan bersimpuh di hadapan sang ibu. Ia menyentuh kaki Fatona dengan pundak yang bergetar hebat. Semarah itukah Fatona terhadapnya hingga kekesalannya meledak letup? Bahkan kata- kata yang menunjukkan kemurkaan itu sampai terucap dari lidahnya. "Ibu, maafkan aku!" Habiba terisak, ia bahkan tak sanggup lagi melanjutkan kata- katanya. Seharusnya ia mengucapkan kalimat yang lebih dari sekedar minta maaf, tapi isak tangis membuatnya tak sanggup melanjutkan kalimat.Fatona pun hanya diam. Wajahnya bahkan diangkat dengan ekspresi marah. Husein mendekat. Meraih pundak Habiba, mengangkatnya naik hingga kini berdiri. Husein merangkul pundak istrinya. Ia menatap Fatona lekat. Dengan suara tegas namun tetap pada konteks sopan, Husein berkata, "Ibu, di sini bukan Habiba yang salah. Tapi aku. Jangan hakimi Habiba. Hukumlah aku. Keadaan yang dialami Habiba saat ini, adalah aku penyebabnya. Tapi lihatlah bagaimana aku merangkul pundaknya, seperti inilah aku
Habiba menggeliat. Dan terkejut saat merasakan kepalan tangannya yang merentang itu mengenai sesuatu yang keras.Bukankah benda- benda di atas kasur mayoritas empuk semua? Mulai dari bantal, guling, kasur, selimut, semuanya empuk. Lalu apa yang keras- keras ini?Habiba masih terpejam, lalu ia kembali menonjok lagi, dan ternyata benda itu masih terasa. Artinya memang ada benda keras di atas kasurnya.Segera Habiba membuka mata. Loh, kok Husein ada di kasurnya? Bagaimana bisa pria itu ada di sana? Apakah Husein tidak pulang ke rumahnya untuk menemui Cindy? Sejak tadi, kepalan tinjunyabitu menonjok- nonjok dada bidang Husein yang tertidur miring menghadap ke arahnya. Untungnya Husein tidur lelap dan tidak terganggu oleh tonjokkan Habiba.Habiba langsung duduk. Dia tatap wajah Husein yang terlelap. Wajah tampan itu tetap menawan disaat tertidur pulas begini. Mulutnya tertutup rapat, aman. Tidak akan ada pulau yang membentang di bantal. Melihat Husien yang terbaring di sana, Habiba ja