Kemudian, Emran pun bercerita. Lidahnya mulai mengeluarka suara. Sebuah cerita yang mengalir, dimulai ketika Husein diangkat menjadi CEO di perusahaan, mengendalikan dan memimpin Fanbe Farma, sebuah perusahaan biasa yang tiba- tiba menjadi perusahaan raksasa setelah dipimpin oleh Husein.Perusahaan ini menjadi trending topik di semua kalangan, menyingkirkan perusahaan- perusahaan lain secara tidak langsung. Sampai pada akhirnya nama perusahaan ini menjadi popular dan produknya digemari dan laris manis. Salah satu perusahaan merasa tersingkir, PT. Ozefo. Ini adalah perusahaan milik Mario, ayahnya Emran sampai frustasi memikirkan omzet perusahaannya yang menurun drastis. Dia hampir gila. Mario tidak menyangka akan kalah dalam persaingan bisnis.“Papa, jangan begini! bangkitlah! Perjalanan kita masih panjang!” Emran membujuk Mario, papanya yang hampir bunuh diri. Perusahaannya jatuh, pendapatan menurun drastis, membuat Mario tak mampu menahan beban mentalnya.Terjadi banyak pengurangan
Sejak pengakuan Inez, Mario dan Emran pun mendesak Cindy supaya terus mendekati Husein, lalu mengambil hati pria itu. “Memangnya kenapa papa memaksa aku harus mendekati bosku sendiri?” tanya Cindy yang tak tahu apa- apa. Sebab Mario dan Emran sama sekali tidak memberitahukan rencana mereka kepada Cindy.“Intinya, papa dan ppanya Husein sudah sepakat untuk menjodohkanmu dengan Husein. Kalian serasi. Kami ingin kalian menikah,” sahut Mario lugas. “Itulah sebabnya papa mengirimmu ke sana, supaya kau bisa mengambil hati Husein. Setlah kalian jatuh cinta, mka mudah saja bagi kalian untuk mengarungi rumah tangga. Apa kau tidak punya rasa pada bosmu yang sempurna itu?”Muka Cindy langsung merah merona. Dia memang menyukai Husein. Tapi sebaliknya, hati Husein sulit diruntuhkan.Ditengah usaha Cindy yang terus mendekati Husein, Emran melakukan penculikan terhadap Habiba. Dia berusaha membunuh wanita itu, supaya bisa menjadikan Cindy sebagai bagian dari keluarga Husein.Jika salah satu
Inez mengangkat alis dan kemudian tersenyum. "Baiklah, tidak masalah jika papamu tidak mau memberikan peluang usaha kepadamu, aku akan minta supaya papa memberikan lowongan kepadamu.""Aku makin sayang kepadamu." Emran mencium singkat kening Inez. Inilah peluang besar untuk Emran menyempurnakan rencananya. Dengan dia masuk di perusahaan milik Alka, maka dia bisa melakukan apa pun pada perusahaan itu. Apa lagi Husein sudah dipecat, maka dia dengan mudah menggencarkan rencananya."Tapi syaratnya, kita menikah dulu, baru kamu bisa kerja di perusahaan papa," sambung Inez membuat Emran memasang wajah tegang."Loh, kok tegang begitu? Ini syarat bagus kan?" imbuh Inez."Kita ini masih terlalu muda, bagaimana akan menikah di usia muda begini?" Inez langsung cemberut. "Kita menjalin hubungan sudah sangat lama. Kau dijamin punya pekerjaan mapan, uang banyak, lalu apa lagi? Kalau kau tidak mau menkahiku, ya sudah kita akhiri saja." Inez ngambek.Dan ancaman Inez berhasil membuat Emran gentar. T
Sebenarnya Husein tidak perlu melakukan klarifikasi atau pun pengumuman seperti yang sekarang dia lakukan. Dia bukan artis, dia bukan publik figur, dia juga bukan penguasa negeri ini, tapi desakan netizen dan suara heboh di sosial media yang menggiring opini tentangnya membuat Alka menuntut Husein untuk melakukan hal itu. Kasus yang mencuat ke publik tentang sosok CEO yang menghamili pembantu membuat wajah Husein wara wiri di sosial media. Semua orang membicarakannya.Tidak ada lagi perasaan yang dijaga oleh Husein, maka dia dengan mudah melakukan pengumuman itu tanpa merasa canggung. Para wartawan kemudian menyerbu dengan berbagai pertanyaan, namun Husein memilih untuk menyudahi pertemuan. Dia bangkit dari kursi bersama dengan Cindy yang mengiringinya. Mereka terlihat sebagai pasangan yang sangat romantis.Husein membawa Cindy langsung menemui Alka yang juga berada di hotel yang sama, Alka menunggu di sebuah ruangan khusus.Alka senang sekali melihat kedatangan Husein bersama deng
Husein menelepon Habiba. Telepon tersambung. Beberapa detik nada dering berjalan, Habiba belum juga menjawab telepon.“Ayolah! Apa yang kau lakukan malam- malam begini? kau sedang bercinta dengan suamimu itu, hm?” bisik Husein bicara sendiri.Tak lama kemudian, akhirnya Habiba menjawab telepon.“Halo, Husein!” gumam Habiba terdengar mengantuk sekali.“Keadaan urgent, cepat kembali ke rumah sakit. Emran dalam masalah. Dia hampir mati.”“Ya Tuhan!”“No coment. Cepat ke kamar Emran. Sekarang!” titah Husein.“Baiklah.” Setelah itu, Husein memasang kaos tangan. Lalu ia menyambar pisau, membuat napas Emran terengah- engah melihat pisau yang mengkilap terarah kepadanya.“Tidak. Jangan lakukan kepadaku! Jangan!” Emran ketakutan. Nyawanya ada di tangan Husein, dia bisa mati kapan saja saat Husein menyerangnya. Tidak ada yang bisa menjamin keselamatannya. Husein bisa melakukan apa saja saat dia sedang dalam keadaan emosi. Jika dia khilaf, maka selsailah semuanya.“Husein, aku
Penanganan terhadap Emran cukup menyita waktu dan tenaga Habiba. Siang hari, Habiba baru selesai dengan pekerjaannya itu. Meski tidak ada yang membantunya, dia berhasil menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Dia menjahit luka sobekan di perut, paha, dada, dan lengan. Meski kesulitan dan terkendala karena melakukannya tanpa bantuan siapa pun, namun semuanya bisa dia lakukan dengan baik. Emran kini dalam keadaan diinfus, tak sadarkan diri.Habiba keluar dari ruangan itu setelah memastikan Emran dalam kondisi stabil. Lelah sekali rasanya. Dia melepas seragam scrub, lalu mengatur napas, berdiri di depan cermin wastafel. Dia lihat wajah di pantulan cermin itu lelah sekali. Matanya sayu. Habiba melepas napas. Mengusap kening. Lalu melirik pintu utama yang masih dalam keadaan tertutup. Haruskah ia menelepon Husein untuk bisa keluar dari sana?Selain lelah, mengantuk, Habiba juga merasa lapar sekali. Tunggu dulu, Habiba mencium aroma makanan lezat yang mengundang nafsu makan. Dari mana
Habiba masih terpejam, sama sekali tak bergerak. "Habiba! Sadarlah!" Husein menepuk pipi Habiba namun tetap saja tak membuahkan hasil apa- apa. Habiba tetap terpejam lemas. Sekilas pandangan Husein mengedar pada bungkusan nasi dan jus yang sudah habis. Apakah mungkin Habiba keracunan? Ataukah tadi sempat terjadi sesuatu yang tidak diketahui oleh Husein? Tidak ada tanda- tanda keracunan. Tapi kenapa Habiba tak sadarkan diri."Habiba, sadarlah!" Husein mengguncang bahu Habiba, tetap saja tak membuahkan hasil apa pun. Perasaan Husein mulai tak tenang. Segala pemikiran tak menyenangkan menyerangnya, dan ia menduga- duga sesuatu yang buruk terjadi pada Habiba."Habiba, jangan tinggalkan aku. Aku tidak mau kehilanganmu!" Segera Husein menggendong tubuh Habiba.Tepat saat itulah Habiba terjaga, wanita itu membuka mata."Bau apa ini?" lirih Habiba dengan mata yang masih sayu akibat kantuk.“Bau?” Tanpa sadar Husein mengendus aroma badannya. Dia mendekatkan hidungnya ke ketiak. Tidak ad
Segera Habiba bangkit berdiri. Untuk sesaat tubuhnya masih terhuyung, namun ia masih bisa menyeimbangkan tubuh hingga drama ambruk itu tidak terjadi lagi. Inilah efek kelelahan dan mengantuk, tubuhnya tidak seimbang.Muka Habiba masih memanas mengenang perkataan Husein. Sutil? Kenapa istilahnya jelek sekali? Apakah tidak ada kiasan lain selain sutil? Bukankah sutil itu panjang dan lebar. Ah…“Berhati- hatilah! Jangan ceroboh! Baru saja aku memuji pekerjaanmu, kau sudah melakukan keteledoran begini!” kesal Husein.“Maaf. ini karena aku kelelahan dan mengantuk sekali. Nanti aku akan minum vitamin untuk menjaga kesehatan supaya aku bisa bekerja di jam dinas.”“Tidak perlu bekerja lagi. Kau bisa ambil istirahat khusus hari ini.”“Oh, benarkah? Terima kasih.”“Gunakan waktumu untuk beristirahat hari ini supaya kau tetap fit. Pasienku membutuhkanmu.”“Ya, aku mengerti.” Habiba mengangguk lega.“Tugasmu hari ini ada digantikan oleh Ezra.”Habiba mengangguk lagi. Ini sungguh m
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu