Tepat menjelang malam Vea telah di eksekusi oleh William, waktu sangat cepat berlalu membuat wanita itu akhirnya bisa menyatu dengan Wiliam, perasaan hancur, sedih, menyesal menjadi satu, Vea masih tidak percaya dirinya akan tidur dengan pria asing.
"Hiks, kamu sudah memperkosa aku, rasanya aku jijik melihatmu di dekatku, aku minta kamu keluar dari kamar ini, Wiliam! Keluar dan jangan tampakkan wajahmu di hadapan akan!" Saat Vea sudah sangat lemas dan nyeri diberbagai bagian tubuhnya, Wiliam tidak memperdulikan itu, tugasnya sudah selesai, dia juga mengambil kembali pakaian dan celananya yang ada di lantai, kesedihan Vea menyakitkan dadanya yang terasa sesak. "Tugasku selesai, istirahatlah jika kamu memang lelah, nanti malam aku mau kamu bisa makan malam denganku di sebuah restoran dekat dari sini, kamu pasti akan menyukainya," ujar Wiliam keluar dari sana. Tidak peduli dengan ucapan Wiliam, Vea masih meringkuk menangis tersedu-sedu tidak tertahan lagi, tentu apa yang dilakukan Wiliam padanya bukan hal yang mudah diterimanya, selama ini Vea selalu menjaga kehormatannya bagaimanapun caranya. Disamping kesedihannya belum juga mereda, Vea mengambil guci kecil hiasan bunga yang ada di atas lemari laci dekat tempat tidur. "Ini dia! Selamat tinggal duniaku yang sudah hancur, aku tidak mau menjalani semuanya sendiri lebih hancur daripada kehidupanku yang dulu, pria tua itu berhasil menghancurkan kesucianku, lebih baik aku mati," tuturnya sudah menodongkan guci yang sudah dibanting olehnya. Tidak ada yang mendengar suara pecahan itu dikarenakan Wiliam sedang mandi dengan shower, apalagi ketiga istrinya yang lain sedang bersiap untuk pergi ke tempat di mana Wiliam telah memesannya. Vea perlahan menutup matanya dengan tubuh dan pergelangan tangannya yang telah keluar darah cukup banyak. Pukul 19.00 "Oh, tidak! Tolong ...." "Astaga! Dia bunuh diri Kak Silvi, bagaimana kalau Mas Wiliam tau wanita ini nekat dan kita hanya memergoki sudah terjadi, suami kita pasti marah besar," kata Ria takut juga dengan kemarahan Wiliam. Silvi masih mematung karena dia sendiri yang pertama membuka pintu, Ria ada di belakangnya terus bicara tanpa memiliki inisiatif berteriak Wiliam datang. "Kak Ria, Kak Silvi, apa kalian membunuh Vea? Aku tidak menyangka kalau kalian tega membunuh madu kalian, baru aku tinggal untuk mengambil sepatuku, tapi kenapa ada acara bunuh membunuh di rumah ini," ucap Cici panik dengan apa yang dilihatnya. Ria tidak terima dituduh pembunuh oleh Cici, dia telat masuk kamar sebelum mereka berdua, makanya tidak tahu apa yang terjadi di sana, dirinya juga tidak mengerti kenapa pikiran Vea sangat dangkal melakukan bunuh diri dan menyakiti dirinya sendiri. "Jangan seenaknya ya, dia bunuh diri tau, kita berdua masuk, lihat Kak Silvi masih syok dengan apa yang dia lihat, aku juga tidak tau apa yang harus dilakukan, Mas Wiliam akan memarahi kita bertiga bukan? Aku juga takut dia mati karena ulahnya sendiri, tapi kita bertiga yang disalahkan," balas Ria menjelaskan pada Cici. Tidak lama setelah Ria selesai bicara, Wiliam masuk dengan pakaian rapihnya. Namun apa yang dia lihat di dalam kamar Vea, tentu mengejutkan untuknya, tiga orang istrinya berada di depan Vea yang sedang terbaring berlumuran darah. "Apa yang kalian lakukan padanya? Kalian tidak segera memanggilku, lihat darahnya mengalir terus menerus, ada apa dengan kamu Silvi, kenapa wajahmu terpaku seperti itu?" Tangannya mengangkat tubuh Vea lebih cepat, Wiliam mengenal betul ketiga istrinya, tidak mungkin mereka tega membunuh Vea, apalagi Vea memang memiliki riwayat yang kurang baik dalam hal mental, dikarenakan Vea selalu hidup sebatang kara. "Bodoh! Kenapa kamu melakukan hal bodoh seperti ini Vea? Aku minta maaf, aku tidak menuruti apa yang kamu mau sebelumnya, aku menyesal sudah memaksamu," ucapnya sudah memasuki mobil. Silvi, Ria dan Cici berada di mobil belakang, Cici yang mengendarai mobilnya, Wiliam teramat panik mengendarai mobilnya sendiri, Vea semakin pucat dan suhu tubuhnya begitu dingin. "Mas Wiliam pasti hancur, aku percaya Vea akan bisa diselamatkan, kita harus berdoa untuknya, walau bagaimana Vea adalah madu kita bertiga, kan? Aku harap tidak terjadi hal serius padanya," kata Silvi yang sudah mulai bersuara kembali. Pandangan Silvi terhadap pilihan Wiliam mengambil Vea menjadi istrinya sedikit menyulitkan, pasalnya Vea bukan tipe wanita yang gila akan uang dan kehidupan mewah seperti Cici dan Ria. "Aku rasa Vea akan kritis, kamu bisa lihat kan darah yang keluar dari tangannya sangat banyak. Aku khawatir Mas Wiliam akan menjadi gila kalau Vea kenapa-kenapa," cerocos Ria. Ria yang paling tidak bisa diam dari tadi, dia yang selalu dengan tabiatnya tukang masak alias koki terkenal itu memang tidak ada henti-hentinya bicara. Sudah tiba di rumah sakit, Wiliam telah bersama dengan dokter yang menangani Vea, ternyata kondisi wanita itu cukup parah, tetapi masih bisa diselamatkan karena Wiliam cepat membawanya ke rumah sakit. "Berapa lama Vea akan menjalani pengobatannya dokter? Apa secepatnya, karena dia sedang progam hamil anak kami, dia hanya sedang ceroboh dengan tindakan nekatnya, tapi dia pasti tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya pada dokter. Dokter sudah menduga Vea mendapatkan tekanan batin dari keluarganya, terlebih mengetahui itu adalah Wiliam pengusaha makanan dan minuman terkenal yang banyak dibicarakan orang dan awak media. "Kami akan melakukan yang terbaik agar pasien bisa secepatnya pulih, nanti kita bisa bicarakan kembali untuk beberapa hari ini melihat kondisi pasien seperti apa? Kita akan kabari secepatnya," balas dokter. Pria itu meremas tangan kirinya, kebiasaan dirinya sejak masih sekolah dasar ketika dirinya sedang merasakan kecemasan dan rasa takut kehilangan. "Baiklah dokter, tolong lakukan yang terbaik untuk istriku, aku mau dia normal kembali, tidak bisa dibayangkan kalau progam hamil kami akan gagal gara-gara ini." Dokter menggelengkan kepala, rupanya Wiliam termasuk orang yang pemaksa menginginkan segala sesuatu. Sedangkan Silvi, Ria dan Cici sudah ada di depan pintu ruangan rawat Vea, ternyata Vea memang cukup parah, mereka hanya diperbolehkan berada di luar ruangan sampai Vea dinyatakan sembuh dari masa kritisnya. "Lihat baik-baik perbuatan kamu Mas, kamu terlalu memaksanya, apa yang sudah kamu lakukan menekannya sampai berbuat yang seperti ini, kamu harus ingat kalau aku ini juga istrimu yang paling tertua, seharusnya kamu bisa bicara dulu sama aku," protes Silvi berani di depan Wiliam. Meringkuk tubuh Wiliam berada dalam dekapan Silvi, dia menangis menyesali apa yang dia lakukan pada Vea berakibat fatal, Cici dan Ria diberikan kode oleh Silvi untuk pulang lebih dulu dan membiarkannya berdua dengan Wiliam. "Aku salah, tapi aku hanya ingin segera diberikan keturunan, kamu tau kan berapa lama kita menikah dan aku juga menunggu dari Ria dan Cici, hasilnya tidak ada, sekarang aku menemukan orang yang tepat, aku sudah mencobanya tinggal tunggu hasil, tapi aku malah membuatnya bunuh diri," lirihnya mengeluarkan butiran-butiran air mata perlahan. Tangan Silvi menepuk-nepuk bahu suaminya, dalam dekapan itu dia juga menangis, semua terjadi atas dasar idenya agar suaminya memiliki istri lain apabila menginginkan keturunan. "Sudahlah Mas, jika kamu menyalahkan diri sendiri, kamu juga harus menyalahkan akarnya, yaitu aku yang menyuruh kamu menikah dan menikah lagi, aku yang salah Mas, aku sudah buat kamu berani seperti itu, kamu tau kan, aku cuma mau kamu bahagia." Dalam dekapan keduanya mengeluarkan segala kegundahannya, Wiliam tidak mengerti kenapa Silvi begitu sedih melebihi dirinya. "Tapi aku belum bahagia kalau Vea masih tidak bisa memberikan aku anak seperti kamu sayang, kamu tau kan aku membutuhkan keturunan untuk masa depan perusahaan aku, aku capek harus menunggu terus," keluhnya. Masih Wiliam membahas yang namanya keturunan, padahal Silvi tengah mencoba meredakan kesedihannya, seolah-olah Wiliam juga menyudutkannya sebagai wanita mandul. "Cukup Mas Wiliam! Kamu terus bicara mengenai anak dan anak! Seolah dunia akan berhenti kalau belum ada anak!" hardiknya geram pada suaminya, Silvi pergi dengan tatapan tak menyukai sikap Wiliam.Tentu Wiliam sekarang kepikiran Silvi berani marah padanya, tetapi masih dalam otaknya menginginkan seorang anak yang bisa membantunya kelak dalam mengelola apa yang sudah dibangunnya selama ini. "Apa yang salah dariku? Silvi sensitif sekali, padahal dia sendiri yang mau aku menikah dan menikah lagi, kalau saja mereka bertiga tidak mandul, kejadian ini tidak akan terjadi, aku harus pastikan Vea bisa pulang dengan cepat," ucap Wiliam tanpa penyesalan. Hati Silvi rasanya sakit juga sedih melihat sikap suaminya tidak terkontrol lagi atas keinginannya. Belum lama Wiliam menikah dengan Cici tetapi hasilnya tetap sama Wiliam belum juga mendapatkan keturunan yang dia mau. Setelah kejadian itu, tiga hari kemudian dokter mengizinkan Vea pulang dari rumah sakit atas permintaan Wiliam sendiri. "Kita pulang ke hotel sebagai bulan madu yang sempat tertunda saat wanita ini ada di rumah sakit, pastinya di sini jauh lebih nyaman karena tidak ada Silvi, Ria dan Cici." Dibenak Wiliam hanya ma
Mereka bertiga saling pandang atas permintaan Vea, tidak mungkin membantu Vea pergi dari Wiliam, mereka pastinya akan membantu suaminya untuk mendapatkan Vea. "Tenanglah Vea, kamu tidak perlu memikirkan Mas Wiliam seberat itu, kamu tau kan ini masih pagi, kamu tidak mau berangkat kerja di tempatmu?" tanya Silvi menyadarkan Vea. Wanita itu segera beranjak dari sana dan kembali berjalan keluar dari kamar hotel tanpa berkata-kata pada mereka bertiga, memang pekerjaannya jauh lebih penting dari segalanya. "Gawat, aku bisa dipecat beberapa hari ini tidak masuk kerja tanpa izin, Wiliam benar-benar memuakkan, aku tidak akan terima jika pekerjaanku akan berhenti gara-gara dia." Saat perjalanan menuju tempat kerja yang ada di Twenty XXII. Tepatnya ada di Jakarta Barat dekat sekali dengan kampus. Vea sudah lama bekerja di sana hampir dua tahun lamanya, dia tidak mau kehilangannya hanya karena pernikahan bodohnya. Dengan cepat Silvi menghubungi Wiliam yang berada di dalam mobil menu
"Wiliam! Keluar dari sini atau aku akan berteriak untuk mengusir kamu! Kamu sudah masuk tanpa izinku dan kamu membahas hal yang tidak pantas!" Seketika itu juga Wiliam bangun dan bertatapan langsung dengan Vea yang sedang marah besar, keempat bola mata bertemu, Wiliam seakan berkaca mata itu adalah dirinya sendiri. "Izin istri sendiri? Hal tidak pantas adalah kewajiban kamu sebagai seorang istri, apa aku salah? Rasanya aku hanya mengingatkan kamu untuk tidak menunda apa yang harus kamu berikan pada suamimu," tuturnya menambah kemarahan istrinya sendiri. Bersamaan mulut Wiliam yang tertutup, Vea menaikan tangannya untuk memukul wajah rupawan Wiliam, dia tidak tahan didesak dan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak mau dia lakukan. "Istri? Kewajiban? Aku tidak akan mau! Lebih baik kamu hilangkan niat kamu Wiliam! Aku tidak akan sudi tidur denganmu dan aku minta segera lepaskan aku dari jerat pernikahan ini. Aku menolak menjadi istri keempat kamu! Aku muak melihat tingkah kamu sepe
"Berdirilah Wiliam! Kamu jangan seperti anak kecil yang terus merengek meminta keinginanmu bisa aku wujudkan, aku bukan orang yang tepat untuk memberikan kamu anak, percayalah aku bukan wanita yang kamu cari, segera ceraikan aku." Dengan cepat tangan Vea melepaskan tangan Wiliam yang terus menggenggamnya, tidak mau lagi berlama-lama berhadapan dengan pria tua yang membuat Vea rasanya ingin murka. "Vea, jika kamu menuruti aku, sesuatu sudah aku siapkan untukmu, aku mendapatkan informasi mengenai kedua orang tuamu, tentang keberadaan ayahmu Aziz, itu juga kalau kamu masih menganggapnya sebagai orang tuamu, ikutlah denganku." Mungkin dengan cara ini Vea akan mau diajaknya pulang, setidaknya wanita itu tidak menghindarinya. Informasi yang Wiliam dapatkan termasuk valid dan lengkap dibutuhkan oleh Vea selama ini. "Ayahku? Di mana dia? Apa kamu serius mengetahui keberadaan ayahku? Selama ini aku ingin bertemu dengannya dan bertanya banyak tentang, kenapa aku dibuang ke panti asuhan? A
Vea menundukkan kepala tidak mau Wiliam bertambah marah padanya. Mereka hampir sampai di rumah, tentu tidak akan jauh-jauh dari ketiga istri Wiliam yang selalu antusias menyambut wanita lain masuk ke dalam rumah. "Selamat datang di rumah kembali Vea dan Mas Wiliam." Silvi lebih dulu menyambut dengan membawakan kalung bunga-bunga yang segar, sedangkan Cici dan Ria menggandeng keduanya agar bisa lebih cepat masuk ke dalam rumah setelah keluar dari mobil. "Apa yang kalian lakukan lagi? Apa ini adalah penyambutan untuk madu kalian? Orang di rumah ini sangat aneh, aku baru bertemu dengan kalian semua. Tidakkah kalian bertiga merasakan cemburu?" Ucapannya dihiraukan oleh mereka. Hanya beberapa menit Vea dan Wiliam sudah ada di dalam rumah bersama Silvi, Ria dan Cici, mereka melihat ruangan telah banyak hiasan yang telah disiapkan ketiganya. Namun, tidak begitu membuat Vea merasakan kebahagiaan. "Aku mau istirahat, bisakah kamu biarkan aku istirahat hari ini sebelum kamu akan mempert
Sungguh di luar kemampuan Wiliam untuk bisa mengubah jalan pikiran Vea yang selalu menganggapnya jahat ataupun penipu, Wiliam melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu. "Maafkan aku, Vea. Rasanya aku tidak kuat apabila mendengar kamu kecewa jika mendapat kenyataan yang tidak kamu inginkan lagi, setidaknya aku tidak melihatnya sekarang." Wiliam pergi dari rumah untuk memastikan sendiri apa yang dia dapatkan dari orang suruhannya, sedangkan Vea masih terus berada di dalam kamar yang terkunci, dan jendela sudah ditutup rapat agar wanita itu tidak bisa kabur lagi. Hari berlalu dan tiba di mana ada awak media yang datang ke kediaman Wiliam. Tepat pukul sembilan pagi Wiliam dan keempat istrinya sudah berada di ruangan khusus untuk pertemuan semacam ini, mereka semua meliput begitu juga banyak sekali kamera wartawan yang terus menyilaukan mata kelimanya. "Saya Wiliam telah menikah lagi dengan wanita bernama Vea, dia adalah pekerja di sebuah pusat perbelanjaan, dan sekarang menjadi
"Ikut denganku jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan. Kita akan bertemu dengan kedua orang tuamu." Deg! Rasanya itu akan menyenangkan jika belum mengetahui informasi yang diberikan oleh William, tetapi sekarang Vea mengetahui keduanya tidak mau dia ada. "Aku belum siap Wiliam, bagaimana jika mereka mengusirku dan tidak mau mengakui aku sebagai anak?" Dengan cepat tangan Wiliam tetap menarik paksa wanitanya agar keluar dari rumah, mereka akan tetap pergi ke kediaman Aziz sebagai ayahnya Vea. Dalam perjalanan menuju ke sana, Vea terus menerus berusaha melupakan apa yang sudah dia ketahui. Namun, pikirannya tetap takut mereka akan mengatakan sesuatu yang menyakiti hati. Dua puluh menit dalam perjalanan, Wiliam menghentikan mobil tepat di depan rumah orang tua Vea yang sekarang menjadi kaya raya, mereka termasuk orang terpandang dan banyak sekali aset di mana-mana. "Turunlah Vea, kita sudah sampai di rumah orang tuamu, kamu harus kuat menerima kenyataan jika nanti akan men
"Kita pulang sekarang! Kamu tidak akan menginjakkan kaki lagi di rumah yang seharusnya aku runtuhkan, kita akan membalas dendam pada mereka yang telah menyakitimu." Baru Wiliam dan Vea ingin memasuki mobil, seketika itu tubuh Vea ambruk dalam dekapan suaminya sendiri. "Vea!" Segera Wiliam memasukkan Vea ke dalam mobil dan membawanya ke rumah, sudah pasti malam ini adalah hari terberatnya yang pernah dia dapatkan. "Sial! Mereka membuat wanitaku pingsan seperti ini, aku akan pastikan kalian hancur berkeping-keping," dengusnya. Tidak lama setelah sampai di rumah, hanya ada Cici yang terlihat tidak memiliki acara malam ini. Dia membantu Wiliam merawat Vea dikarenakan hari sudah cukup larut untuk dokter datang ke rumah. "Mas, apa sebaiknya Vea kita bawa ke rumah sakit? Aku takut dia jadi demam karena terlalu banyak pikiran." Wiliam masih mencemaskan kondisi Vea, dia masih terus memegangi tangan wanitanya sampai Cici memberinya saran tidak dihiraukan. "Mas?" "Diam! Keluar dari