Vea menundukkan kepala tidak mau Wiliam bertambah marah padanya. Mereka hampir sampai di rumah, tentu tidak akan jauh-jauh dari ketiga istri Wiliam yang selalu antusias menyambut wanita lain masuk ke dalam rumah.
"Selamat datang di rumah kembali Vea dan Mas Wiliam." Silvi lebih dulu menyambut dengan membawakan kalung bunga-bunga yang segar, sedangkan Cici dan Ria menggandeng keduanya agar bisa lebih cepat masuk ke dalam rumah setelah keluar dari mobil. "Apa yang kalian lakukan lagi? Apa ini adalah penyambutan untuk madu kalian? Orang di rumah ini sangat aneh, aku baru bertemu dengan kalian semua. Tidakkah kalian bertiga merasakan cemburu?" Ucapannya dihiraukan oleh mereka. Hanya beberapa menit Vea dan Wiliam sudah ada di dalam rumah bersama Silvi, Ria dan Cici, mereka melihat ruangan telah banyak hiasan yang telah disiapkan ketiganya. Namun, tidak begitu membuat Vea merasakan kebahagiaan. "Aku mau istirahat, bisakah kamu biarkan aku istirahat hari ini sebelum kamu akan mempertemukan dengan kedua orang tuaku?" Tentu Wiliam tidak akan memaksakan Vea bisa terus ada di acara penyambutan yang dibuat ketiga istrinya, segera Wiliam memberikan kode jika Vea bisa langsung menempatkan kamar yang pernah menjadi miliknya. "Mas, apa Vea akan setuju tentang pernikahan kalian tidak atas dasar cinta? Kamu kan janji akan memberikan kita bertiga anak dari rahimnya." Silvi memulai pembicaraan pada suaminya yang hampir terkena flu akibat pakaian yang basah tadi, tetapi Wiliam tidak bisa mengabaikan ketiganya hanya karena satu istrinya yang masih sulit di taklukkan. "Dia akan memberikan kita anak yang banyak, kalian tinggal tunggu waktunya, kamu tau dia sudah pulang ke rumah, itu artinya dia setuju dengan pernikahannya." Penuturan Wiliam membuat ketiganya saling adu pandang, seakan menyembunyikan sesuatu yang sangat rahasia. Namun, Silvi memegang lengan Wiliam. "Baguslah Mas, aku rasa rumah ini akan sangat ramai dengan kehadiran anak-anak, aku sudah tidak sabar menunggu semuanya terjadi, aku pun mau menjadi penjaga Vea ketika dia hamil nanti, yang penting anaknya akan memanggilku mama." Silvi bersikeras menginginkan panggilan mama, sedangkan kedua madunya hanya mendengarkan saja tanpa mengatakan apa-apa. "Tentu sayang, kamu akan dipanggil mama, aku akan dipanggil papa, dan Vea sendiri bisa dipanggil mami atau kita suruh dia melahirkan empat anak dan yang tiganya untuk kalian," balasnya. Impian yang dari dulu diinginkan Wiliam seluruh istrinya membawa anak masing-masing, Wiliam pun tidak peduli dari mana rahim yang akan melahirkan anaknya, yang terpenting itu adalah anak dari benihnya sendiri. "Apa itu tidak berat untuk Vea, Mas? Dia pasti tidak akan setuju kalau melahirkan empat anak dan menyerahkan pada kita bertiga yang mandul ini." Kembali Silvi mengkhawatirkan reaksi Vea di kemudian hari, mungkin akan keberatan dan menganggap semuanya tidak adil untuknya. "Sudahlah, dia pasti akan mengerti tentang semua ini, kalian juga berhak bahagia bersamaku, termasuk memiliki anak bersama-sama." Perbincangan mereka terdengar oleh Vea yang bersembunyi tidak jauh dari sana, sebelumnya Vea hanya ingin bicara pada Wiliam mengenai kunci kamarnya yang belum diberikannya, tetapi dia mendapati kenyataan yang tidak mengenakan. "Jadi begitu rupanya kalian memiliki tujuan terselubung padaku? Rahimku akan dimiliki kalian semua tanpa memikirkan nyawaku yang bisa meninggal saat proses persalinan? Kalian jahat!" Terpampang jelas muka Vea di depan keempatnya, termasuk Wiliam tercengang tidak percaya jika Vea mendengarkan sangat jelas obrolannya dengan ketiga istrinya. "Tunggu Vea, kamu salah paham, jangan berpikir kita tidak adil padamu, tapi kami semua hanya ingin berbagi kebahagiaan satu sama lain, kamu harus mengorbankan semua itu untuk kami." Tidak ada yang bisa memahami Vea sekarang, ketiga istrinya pun sekarang bisu tanpa suara setelah ketahuan oleh Vea. "Aku mau pergi dari sini! Aku mengira kamu pria yang cukup baik karena mau mengorbankan tubuhmu yang hujan-hujanan demi aku, tapi lihat niat busukmu bersama mereka? Nyatanya kalian mau memperdaya rahim yang aku miliki! Mana ada seorang ibu yang akan memberikan dengan mudah anaknya pada orang lain, tidak akan ada yang seperti itu, Wiliam!" Sungguh hati Vea sangat hancur menerima kenyataan jika keempat orang ini begitu berniat tidak baik padanya, dengan cepat Vea mengarah pada pintu depan untuk keluar dari rumah besar Wiliam. "Tunggu! Tunggu dulu Vea, kamu jangan pergi, kita bukan orang lain, mereka juga bukan orang lain lagi bagimu, tolong kami semua, berikan kami anak yang kami inginkan, kamu pasti akan jauh lebih bahagia bersama kami." Pencegahan Wiliam berhasil membuat Vea terhenti di depan pintu, Silvi, Ria dan Cici pun berdiri tepat di belakang mereka yang masih tidak mau membuka mulut. "Cukup Wiliam! Kamu tau niatku kembali ke sini karena janjimu yang mau mempertemukan aku dengan kedua orang tuaku, tapi kalian dan kamu mengecewakan aku sedalam ini." Berontak Vea melepaskan diri dari tangan Wiliam yang terus memegangnya erat, tidak ada pilihan lain untuk menunda kepergian Vea dari rumah. "Berikan semua itu, maka kamu akan bertemu dengan kedua orang tuamu, kamu tau kan semua yang ada di dunia ini tidak ada yang gratis, maka kamu harus memberikan anak pada kami semua." Vea menoleh ke arah Wiliam dengan penuh murka dan rasanya ingin mencabik pria yang sudah mengancamnya itu, termasuk pemaksaan dirinya yang harus melahirkan sampai empat kali hanya untuk kesenangan mereka berempat. "Cih! Rupanya ini yang dari tadi kamu mau Wiliam! Jadi kamu memanfaatkan kedua orang tuaku hanya untuk tujuanmu bersama ketiga istrimu itu 'kan? Aku tidak mau. Biarkan aku pergi dari sini!" Hampir tidak bisa lagi menahannya, kini Wiliam bergerak menggendong Vea untuk dibawanya ke dalam kamar, dengan berontak Vea terus memukulinya, tetapi Wiliam terus membawanya ke dalam kamar. "Lepaskan bodoh! Lepaskan pria tua yang tidak tau diri! Kamu penipu! Aku membencimu! Lepaskan aku Wiliam!" Teriakan Vea membuat Wiliam semakin marah dan akhirnya menurunkan Vea di atas tempat tidur yang telah di rapihkan kembali oleh para asisten rumah tangga sebelum mereka kembali ke rumah. "Diam! Jangan berisik dan jangan banyak tingkah! Sudah aku bilang semuanya akan berjalan sesuai yang aku mau termasuk kamu harus melahirkan empat anak, aku tidak akan mengingkari apa yang sudah menjadi janjiku padamu, kamu akan bertemu dengan kedua orang tuamu." Tiba-tiba setelah berucap keras pada Vea, Wiliam mendapatkan pesan masuk yang membuatnya merubah raut wajahnya seketika itu juga melihat ke arah Vea. "Pria sialan! Kamu terus mengubah takdir hidupku sesuai yang kamu mau. Aku muak! Aku mau pergi dari sini bodoh! Lepaskan aku dari ruangan terkutuk ini!" Tangannya memegang ponsel yang dari tadi mengetik, walaupun Vea terus berteriak padanya, Wiliam hanya terus melihat ke layar ponselnya, dengan berat hati Wiliam mengatakan pada Vea. "Lupakan saja kedua orang tuamu, biarkan takdirmu hanya untuk aku dan istri-istriku yang lain, aku tidak mau kamu dibawa kedua orang tuamu." Kata-kata Wiliam mendadak menyayat hati Vea, bagaimana bisa dirinya melupakan kedua orang tuanya? Ada apa dengan Wiliam yang tiba-tiba menyuruhnya melupakan mereka? "Tidak mau! Dasar kamu penipu! Bilang saja kamu memang tidak mau menepati janjimu untuk mempertemukan aku dengan mereka!"Sungguh di luar kemampuan Wiliam untuk bisa mengubah jalan pikiran Vea yang selalu menganggapnya jahat ataupun penipu, Wiliam melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu. "Maafkan aku, Vea. Rasanya aku tidak kuat apabila mendengar kamu kecewa jika mendapat kenyataan yang tidak kamu inginkan lagi, setidaknya aku tidak melihatnya sekarang." Wiliam pergi dari rumah untuk memastikan sendiri apa yang dia dapatkan dari orang suruhannya, sedangkan Vea masih terus berada di dalam kamar yang terkunci, dan jendela sudah ditutup rapat agar wanita itu tidak bisa kabur lagi. Hari berlalu dan tiba di mana ada awak media yang datang ke kediaman Wiliam. Tepat pukul sembilan pagi Wiliam dan keempat istrinya sudah berada di ruangan khusus untuk pertemuan semacam ini, mereka semua meliput begitu juga banyak sekali kamera wartawan yang terus menyilaukan mata kelimanya. "Saya Wiliam telah menikah lagi dengan wanita bernama Vea, dia adalah pekerja di sebuah pusat perbelanjaan, dan sekarang menjadi
"Ikut denganku jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan. Kita akan bertemu dengan kedua orang tuamu." Deg! Rasanya itu akan menyenangkan jika belum mengetahui informasi yang diberikan oleh William, tetapi sekarang Vea mengetahui keduanya tidak mau dia ada. "Aku belum siap Wiliam, bagaimana jika mereka mengusirku dan tidak mau mengakui aku sebagai anak?" Dengan cepat tangan Wiliam tetap menarik paksa wanitanya agar keluar dari rumah, mereka akan tetap pergi ke kediaman Aziz sebagai ayahnya Vea. Dalam perjalanan menuju ke sana, Vea terus menerus berusaha melupakan apa yang sudah dia ketahui. Namun, pikirannya tetap takut mereka akan mengatakan sesuatu yang menyakiti hati. Dua puluh menit dalam perjalanan, Wiliam menghentikan mobil tepat di depan rumah orang tua Vea yang sekarang menjadi kaya raya, mereka termasuk orang terpandang dan banyak sekali aset di mana-mana. "Turunlah Vea, kita sudah sampai di rumah orang tuamu, kamu harus kuat menerima kenyataan jika nanti akan men
"Kita pulang sekarang! Kamu tidak akan menginjakkan kaki lagi di rumah yang seharusnya aku runtuhkan, kita akan membalas dendam pada mereka yang telah menyakitimu." Baru Wiliam dan Vea ingin memasuki mobil, seketika itu tubuh Vea ambruk dalam dekapan suaminya sendiri. "Vea!" Segera Wiliam memasukkan Vea ke dalam mobil dan membawanya ke rumah, sudah pasti malam ini adalah hari terberatnya yang pernah dia dapatkan. "Sial! Mereka membuat wanitaku pingsan seperti ini, aku akan pastikan kalian hancur berkeping-keping," dengusnya. Tidak lama setelah sampai di rumah, hanya ada Cici yang terlihat tidak memiliki acara malam ini. Dia membantu Wiliam merawat Vea dikarenakan hari sudah cukup larut untuk dokter datang ke rumah. "Mas, apa sebaiknya Vea kita bawa ke rumah sakit? Aku takut dia jadi demam karena terlalu banyak pikiran." Wiliam masih mencemaskan kondisi Vea, dia masih terus memegangi tangan wanitanya sampai Cici memberinya saran tidak dihiraukan. "Mas?" "Diam! Keluar dari
Sorot mata yang begitu marah pada Vea tidak bisa dia keluarkan karena takut wanitanya akan bunuh diri lagi jika dikasari. "Baiklah, aku akan melepaskan kamu. Maafkan aku telah membuatmu se takut itu. Masalah ponsel tidak masalah, aku bisa langsung membelinya yang baru," ujar Wiliam sudah menjauh dari sana. Sekarang Vea bisa bernafas lega melihat suaminya pergi. Tidak ada yang membuatnya kecuali jauh dari pria tua yang sudah memaksanya. Segera Vea membersihkan segala bekas kecupan Wiliam yang sulit dihilangkan, setidaknya dia bisa menghilangkan bau pria tua itu dari tubuhnya. "Pria tua sialan! Awas kamu aku akan beri perhitungan. Lain kali mana mau aku ditindas semacam ini, lihat apa yang akan aku lakukan." Sesudah membersihkan tubuh. Vea keluar dari kamar yang membuatnya terus terbayang wajah Wiliam. Udara segar di luar rumah mungkin bisa menyejukkan pikirannya. "Di sini rupanya," kata seseorang yang ada di belakangnya. Vea melihat seseorang dengan badan yang cukup kurus
Membawa banyak barang yang baru dibelinya di sebuah mall terbesar yang selama ini menjadi pusat perhatian kalangan atas. Silvi menaruh di atas meja setelah dirinya duduk bersama ketiga madunya. "Kado ini hanya sebuah awal di mana aku sangat setuju kamu menikah dengan Mas Wiliam. Kamu tau sendiri kalau aku ini seorang wanita yang mandul, jadi kalian itu adalah harapan aku, setidaknya aku dan Mas Wiliam terus berusaha agar kami memiliki keturunan." Kata-kata Silvi membuat suasana hati ketiganya menjadi sedih. Vea pun mengerti bagaimana rasanya menjadi wanita yang tidak sempurna dimata suaminya sendiri. "Tolong jangan bicara begitu, aku bukan orang yang tepat di sini. Aku juga tidak bisa memastikan kalau bisa hamil anaknya, semua itu sudah digariskan." Gerakan tangan keragu-raguan memegang lengan Silvi untuk menguatkannya, begitu juga Ria dan Cici yang mulai berdiri berada di samping Silvi. "Vea betul Kak Silvi, kita berdoa agar kita semua diberikan anak dari benih Mas Wiliam. Ka
Dalam hitungan jam semuanya berlalu. Seketika mereka akhirnya tidur ke kamar masing-masing, tidak dengan Silvi yang berbicara sama Wiliam. "Mas, kamu bisa lihat apa yang aku bicarakan sama Vea. Dia telah setuju menerima kamu walaupun harus menunggu beberapa waktu untuk penyesuaiannya." Saat sedang meyakinkan, dengan begitu rasa hormatnya pada wanita yang sangat merelakan kebahagiaannya terbagi Wiliam sungguh begitu mencintai Silvi. "Aku mencintai kamu sayang, terima kasih atas pengorbanan kamu selama ini, aku tau berat untuk kamu bisa menerima mereka bertiga," ucap Wiliam memeluk mesra Silvi. Wanita yang pertama kali mengenal Wiliam sudah tahu betul suaminya sangat manja saat malam hari. "Sama-sama. Aku juga senang melihat kita semua bahagia termasuk kamu, Mas. Kamu harus tau setidaknya ada yang aku berikan selama menjadi istrimu walaupun bukan seorang anak," balas Silvi kembali membahas keturunan. Dikecupnya kepala Silvi dengan lembut. Wiliam mengerti jika Silvi mau diriny
Hari sudah malam. Mobil Wiliam sudah memasuki garasi rumah dan tepat di sampingnya sudah ada Silvi yang menyambut suaminya. "Malam, Mas Wiliam. Kamu mau langsung mandi atau ke kamar Ria?" Belum sempat menjawab pertanyaan Silvi, pria itu menyelonong masuk ke dalam rumah mencari sesuatu, terlihat jika Vea bersama Cici sedang membuat sesuatu di dapur. "Ria mana?" Wiliam bertanya pada Silvi yang berjalan cepat mengikuti ritme kakinya. Rupanya Ria sedang bersiap-siap di dalam kamar untuk menyambut suaminya masuk dan tidur dengannya. "Di kamar, Mas." Tetapi Wiliam justru datang menghampiri Cici dan Vea yang sedang membuat nasi goreng, harumnya membuat indra penciumannya tidak bisa berhenti ingin mendekati aroma masakan kedua istrinya itu. "Apa yang kalian buat?" Wiliam mengejutkan keduanya, Vea dan Cici menoleh ke belakang dan terlihat Wiliam sudah tidak rapih lagi menggunakan kemeja. "Nasi goreng Mas, aku baru belajar dari Vea, ternyata dia bisa masak juga dan rasanya sangat
Pagi hari di mana Silvi, Ria dan Cici dengan rutinitas mengurus suami yang mau berangkat kerja berbeda dengan Vea yang sudah lebih dulu bekerja di tempat kerjanya. "Di mana dia?" Mencari di mana salah satu istrinya yang tidak hadir ketika Wiliam mau masuk mobil, sudah pasti Vea yang selalu membuatnya bertanya-tanya, ada yang salah dengan Wiliam sampai wanita itu belum juga membuka hatinya? "Mas Wiliam. Vea sudah pergi kerja sejak subuh tadi aku melihatnya berangkat menggunakan taksi online. Sebaiknya biarkan dia menjalani aktivitas seperti biasanya daripada nanti semakin memberontak." Suara Silvi membuat Wiliam mengerutkan dahi. Dia tidak mungkin bisa membiarkan Vea bekerja di tempat yang kecil dan penuh persaingan orang-orang yang tidak disukainya waktu itu. "Aku berangkat dulu, kalian jaga diri di rumah ya, hubungi aku kalau ada apa-apa dengan kalian bertiga." Pamitnya Wiliam ditandai lambaian ketiga tangan istrinya yang telah berlalu saat mobil semakin meninggalkan garasi