Home / Pernikahan / Menjadi Istri Ke Empat CEO / Bab 9. Kenyataan Pahit

Share

Bab 9. Kenyataan Pahit

Sungguh di luar kemampuan Wiliam untuk bisa mengubah jalan pikiran Vea yang selalu menganggapnya jahat ataupun penipu, Wiliam melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu.

"Maafkan aku, Vea. Rasanya aku tidak kuat apabila mendengar kamu kecewa jika mendapat kenyataan yang tidak kamu inginkan lagi, setidaknya aku tidak melihatnya sekarang."

Wiliam pergi dari rumah untuk memastikan sendiri apa yang dia dapatkan dari orang suruhannya, sedangkan Vea masih terus berada di dalam kamar yang terkunci, dan jendela sudah ditutup rapat agar wanita itu tidak bisa kabur lagi. Hari berlalu dan tiba di mana ada awak media yang datang ke kediaman Wiliam.

Tepat pukul sembilan pagi Wiliam dan keempat istrinya sudah berada di ruangan khusus untuk pertemuan semacam ini, mereka semua meliput begitu juga banyak sekali kamera wartawan yang terus menyilaukan mata kelimanya.

"Saya Wiliam telah menikah lagi dengan wanita bernama Vea, dia adalah pekerja di sebuah pusat perbelanjaan, dan sekarang menjadi salah satu ratuku yang akan mewariskan segalanya jika dia memiliki seorang anak, bersama ketiga istriku yang lain, kami akan hidup bahagia dan saling memahami serta menerima."

Dengan lantangnya Wiliam mengatakan itu tanpa berpikir jika mereka semua akan berasumsi yang buruk terhadapnya, bagi Wiliam itu tidak menjadi masalah. Saat mereka sudah membuat berita secara langsung bersama Wiliam, begitu antusias mengikuti perkembangan berita pengusaha yang satu ini karena terus melonjak menjadi pebisnis yang hebat.

"Kamu sudah lihat kan, aku telah mengakui keberadaan kamu, beberapa hari lagi kita akan mengadakan resepsi pernikahan, mungkin kamu akan menolaknya, tapi aku sudah mempersiapkan segalanya, jadi jangan kecewakan aku."

Rupanya Wiliam masih terus menunda niatnya untuk mempertemukan Vea dengan kedua orang tuanya, ketika para wartawan berpamitan undur diri dari sana, Vea merasakan kakinya sangat pegal harus menggunakan heels yang cukup tinggi walaupun dirinya hanya banyak duduk di samping Wiliam.

"Terserah kamu saja! Aku mau melepaskan sepatuku ini, kalian memaksaku untuk menggunakan sepatu artis yang tidak bisa aku gunakan sebelumnya. Berikan aku sandal jepit yang nyaman."

Permintaan Vea membuat Wiliam harus menghentikan Silvi yang geram pada wanitanya yang cukup menyita waktu mereka, dengan sabar Wiliam segera memerintah asisten rumah tangganya untuk membawakan sandal jepit sesuai permintaan Vea.

"Berikan yang dia mau, pastikan ukurannya pas di kakinya, kalau bisa beli yang banyak agar dia bisa bergonta-ganti," perintahnya.

Asisten rumah itu pergi dan segera membeli permintaan tuannya, sekarang giliran Ria yang rasanya ingin bicara berdua dengan Vea, dia hanya ingin menasehati wanita itu agar tidak keras terhadap suaminya. Tepat di depan kamar Vea, Ria mengikuti tanpa diketahui Silvi ataupun Silvi, begitu juga Wiliam yang masih duduk di tempat ruangan tadi.

"Vea, aku minta kamu cukup bertingkah di rumah ini, biarkan Mas Wiliam mengatur segalanya dan kamu hanya perlu mengikutinya, hidup kamu tidak lagi susah seperti dulu, tapi kamu juga harus ingat, Mas Wiliam bukan pembantu kamu yang kamu minta harus dituruti."

Seperti menegur lembut Ria pada Vea saling berhadapan, Ria hanya mau semua yang ada di rumah bersikap lembut pada suaminya yang selama ini baik dan merubah hidupnya menjadi wanita yang berkelas.

"Astaga, kamu ini memerintah aku atau kamu tidak terima kalau Wiliam lebih peduli padaku daripada sama kamu? Lembut padanya hanya membuang waktuku, lagipula aku bukan kamu yang menginginkan kedudukannya, uang Wiliam pun tidak pernah aku dambakan."

Bertambah marah Ria mendengar jawaban Vea, datang Silvi yang mencegah Ria untuk tidak ikut campur mengenai Vea yang bersikap bagaimanapun pada Wiliam.

"Cukup Ria, kamu harus sadar Mas Wiliam masih ada di rumah, kita bisa dimarahi hanya karena kebodohan kamu, biarkan dia sesuka hati mendapatkan perhatian Mas Wiliam, Vea juga istrinya, apa salah dengan semua itu? Vea hanya butuh waktu agar terbiasa seperti kita."

Apa yang dikatakan Silvi masuk dalam pikirannya, Ria hampir akan membuat perang Dunia Kedua pada rumah yang selama ini tentram tanpa pertengkaran.

"Baiklah, aku akan membiarkannya, aku ada acara sendiri, tolong beritahu Mas Wiliam kalau aku akan pulang cukup malam," pamit Ria.

Silvi paham dengan kegiatan Ria yang menjadi koki terkenal pada sebuah restoran terbesar di Jakarta. Sekarang Silvi meninggalkan Vea sendiri untuk beristirahat di dalam kamar, pintu sudah tidak dikunci lagi, Vea dengan bebas bisa keluar masuk ruangan di rumah Wiliam.

"Resepsi? Orang tuaku saja belum ditemukan, mau mengadakan resepsi. Wiliam tidak serius mempertemukan aku dengan mereka, aku harus bicara lagi padanya."

Dengan cepat Vea kembali ke ruangan di mana tadi ada banyak wartawan, ternyata benar jika Wiliam masih terus duduk di sana memikirkan sesuatu yang berat dan tidak bisa diungkapkan kepada siapapun.

"Wiliam, aku boleh bicara empat mata denganmu?"

Vea duduk di samping Wiliam yang memberikan kode dengan tangannya agar wanita itu duduk di sana.

"Ada apa? Mereka akan membawakan sandal jepit yang kamu mau, tunggu di kamar saja."

Mengira ini masih tentang sandal jepit, padahal Vea sekarang berjalan tanpa alas kaki, dia begitu nyaman berjalan.

"Bukan tentang sandal, tapi tentang kedua orang tuaku, apa kamu mau sekarang mempertemukan aku dengan mereka? Aku mau mereka hadir dalam resepsi yang akan kamu buat itu, apa kamu bisa memenuhi permintaan aku?"

Tatapan penuh harap Vea menjadikan Wiliam teriris. Namun, Vea berhak mendapatkan informasi yang ditutupinya seharian ini.

"Vea, mereka tidak menginginkan kehadiran kamu lagi, kedua orang tuamu membuang kamu karena menganggap kamu sebagai anak pembawa sial, mereka kini sudah memiliki anak laki-laki yang membawa keberuntungan," kata Wiliam membeberkannya.

Bagaikan tersambar petir mendengar apa yang dikatakan Wiliam, semua tidak mungkin terjadi, tidak ada orang tua yang memiliki pikiran yang diucapkan Wiliam. Otaknya menolak keras!

"Bohong! Kamu pasti sedang berbohong padaku Wiliam. Kamu berkata seperti tadi hanya karena aku tidak boleh pergi dari kehidupan kamu 'kan? Ini tidak boleh Wiliam, kamu jangan memisahkan aku dengan kedua orang tuaku sendiri."

Dengan begitu saja butiran berwarna putih mengalir di pipi cantik Vea, rupanya Vea merasakan sakit yang luar biasa, karena mungkin yang dikatakan Wiliam ada benarnya, buktinya Vea dibuang ke panti asuhan.

"Tenanglah Vea, aku bicara sesuai fakta yang ada, ini yang aku takuti dari kemarin, orang suruhanku telah mendapatkan alamat lengkap mereka berdua dan mendapatkan pula kenyataan mereka tidak menginginkan kehadiran kamu lagi."

Tubuh Vea mematung dengan cepat Wiliam berada di sana memeluk wanitanya yang sedang menangis. Tidak ada yang bisa menjelaskan perasaan seorang anak yang tidak diinginkan lagi oleh kedua orang tua, mereka sendiri yang menghadirkan dirinya lahir ke dunia ini, tetapi mereka menolaknya mentah-mentah.

"Hiks ... Hiks ..."

"Menangislah Vea, menangis sepuasnya," ucapnya menepuk-nepuk lembut bagian belakang Vea.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status