Sungguh di luar kemampuan Wiliam untuk bisa mengubah jalan pikiran Vea yang selalu menganggapnya jahat ataupun penipu, Wiliam melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu.
"Maafkan aku, Vea. Rasanya aku tidak kuat apabila mendengar kamu kecewa jika mendapat kenyataan yang tidak kamu inginkan lagi, setidaknya aku tidak melihatnya sekarang." Wiliam pergi dari rumah untuk memastikan sendiri apa yang dia dapatkan dari orang suruhannya, sedangkan Vea masih terus berada di dalam kamar yang terkunci, dan jendela sudah ditutup rapat agar wanita itu tidak bisa kabur lagi. Hari berlalu dan tiba di mana ada awak media yang datang ke kediaman Wiliam. Tepat pukul sembilan pagi Wiliam dan keempat istrinya sudah berada di ruangan khusus untuk pertemuan semacam ini, mereka semua meliput begitu juga banyak sekali kamera wartawan yang terus menyilaukan mata kelimanya. "Saya Wiliam telah menikah lagi dengan wanita bernama Vea, dia adalah pekerja di sebuah pusat perbelanjaan, dan sekarang menjadi salah satu ratuku yang akan mewariskan segalanya jika dia memiliki seorang anak, bersama ketiga istriku yang lain, kami akan hidup bahagia dan saling memahami serta menerima." Dengan lantangnya Wiliam mengatakan itu tanpa berpikir jika mereka semua akan berasumsi yang buruk terhadapnya, bagi Wiliam itu tidak menjadi masalah. Saat mereka sudah membuat berita secara langsung bersama Wiliam, begitu antusias mengikuti perkembangan berita pengusaha yang satu ini karena terus melonjak menjadi pebisnis yang hebat. "Kamu sudah lihat kan, aku telah mengakui keberadaan kamu, beberapa hari lagi kita akan mengadakan resepsi pernikahan, mungkin kamu akan menolaknya, tapi aku sudah mempersiapkan segalanya, jadi jangan kecewakan aku." Rupanya Wiliam masih terus menunda niatnya untuk mempertemukan Vea dengan kedua orang tuanya, ketika para wartawan berpamitan undur diri dari sana, Vea merasakan kakinya sangat pegal harus menggunakan heels yang cukup tinggi walaupun dirinya hanya banyak duduk di samping Wiliam. "Terserah kamu saja! Aku mau melepaskan sepatuku ini, kalian memaksaku untuk menggunakan sepatu artis yang tidak bisa aku gunakan sebelumnya. Berikan aku sandal jepit yang nyaman." Permintaan Vea membuat Wiliam harus menghentikan Silvi yang geram pada wanitanya yang cukup menyita waktu mereka, dengan sabar Wiliam segera memerintah asisten rumah tangganya untuk membawakan sandal jepit sesuai permintaan Vea. "Berikan yang dia mau, pastikan ukurannya pas di kakinya, kalau bisa beli yang banyak agar dia bisa bergonta-ganti," perintahnya. Asisten rumah itu pergi dan segera membeli permintaan tuannya, sekarang giliran Ria yang rasanya ingin bicara berdua dengan Vea, dia hanya ingin menasehati wanita itu agar tidak keras terhadap suaminya. Tepat di depan kamar Vea, Ria mengikuti tanpa diketahui Silvi ataupun Silvi, begitu juga Wiliam yang masih duduk di tempat ruangan tadi. "Vea, aku minta kamu cukup bertingkah di rumah ini, biarkan Mas Wiliam mengatur segalanya dan kamu hanya perlu mengikutinya, hidup kamu tidak lagi susah seperti dulu, tapi kamu juga harus ingat, Mas Wiliam bukan pembantu kamu yang kamu minta harus dituruti." Seperti menegur lembut Ria pada Vea saling berhadapan, Ria hanya mau semua yang ada di rumah bersikap lembut pada suaminya yang selama ini baik dan merubah hidupnya menjadi wanita yang berkelas. "Astaga, kamu ini memerintah aku atau kamu tidak terima kalau Wiliam lebih peduli padaku daripada sama kamu? Lembut padanya hanya membuang waktuku, lagipula aku bukan kamu yang menginginkan kedudukannya, uang Wiliam pun tidak pernah aku dambakan." Bertambah marah Ria mendengar jawaban Vea, datang Silvi yang mencegah Ria untuk tidak ikut campur mengenai Vea yang bersikap bagaimanapun pada Wiliam. "Cukup Ria, kamu harus sadar Mas Wiliam masih ada di rumah, kita bisa dimarahi hanya karena kebodohan kamu, biarkan dia sesuka hati mendapatkan perhatian Mas Wiliam, Vea juga istrinya, apa salah dengan semua itu? Vea hanya butuh waktu agar terbiasa seperti kita." Apa yang dikatakan Silvi masuk dalam pikirannya, Ria hampir akan membuat perang Dunia Kedua pada rumah yang selama ini tentram tanpa pertengkaran. "Baiklah, aku akan membiarkannya, aku ada acara sendiri, tolong beritahu Mas Wiliam kalau aku akan pulang cukup malam," pamit Ria. Silvi paham dengan kegiatan Ria yang menjadi koki terkenal pada sebuah restoran terbesar di Jakarta. Sekarang Silvi meninggalkan Vea sendiri untuk beristirahat di dalam kamar, pintu sudah tidak dikunci lagi, Vea dengan bebas bisa keluar masuk ruangan di rumah Wiliam. "Resepsi? Orang tuaku saja belum ditemukan, mau mengadakan resepsi. Wiliam tidak serius mempertemukan aku dengan mereka, aku harus bicara lagi padanya." Dengan cepat Vea kembali ke ruangan di mana tadi ada banyak wartawan, ternyata benar jika Wiliam masih terus duduk di sana memikirkan sesuatu yang berat dan tidak bisa diungkapkan kepada siapapun. "Wiliam, aku boleh bicara empat mata denganmu?" Vea duduk di samping Wiliam yang memberikan kode dengan tangannya agar wanita itu duduk di sana. "Ada apa? Mereka akan membawakan sandal jepit yang kamu mau, tunggu di kamar saja." Mengira ini masih tentang sandal jepit, padahal Vea sekarang berjalan tanpa alas kaki, dia begitu nyaman berjalan. "Bukan tentang sandal, tapi tentang kedua orang tuaku, apa kamu mau sekarang mempertemukan aku dengan mereka? Aku mau mereka hadir dalam resepsi yang akan kamu buat itu, apa kamu bisa memenuhi permintaan aku?" Tatapan penuh harap Vea menjadikan Wiliam teriris. Namun, Vea berhak mendapatkan informasi yang ditutupinya seharian ini. "Vea, mereka tidak menginginkan kehadiran kamu lagi, kedua orang tuamu membuang kamu karena menganggap kamu sebagai anak pembawa sial, mereka kini sudah memiliki anak laki-laki yang membawa keberuntungan," kata Wiliam membeberkannya. Bagaikan tersambar petir mendengar apa yang dikatakan Wiliam, semua tidak mungkin terjadi, tidak ada orang tua yang memiliki pikiran yang diucapkan Wiliam. Otaknya menolak keras! "Bohong! Kamu pasti sedang berbohong padaku Wiliam. Kamu berkata seperti tadi hanya karena aku tidak boleh pergi dari kehidupan kamu 'kan? Ini tidak boleh Wiliam, kamu jangan memisahkan aku dengan kedua orang tuaku sendiri." Dengan begitu saja butiran berwarna putih mengalir di pipi cantik Vea, rupanya Vea merasakan sakit yang luar biasa, karena mungkin yang dikatakan Wiliam ada benarnya, buktinya Vea dibuang ke panti asuhan. "Tenanglah Vea, aku bicara sesuai fakta yang ada, ini yang aku takuti dari kemarin, orang suruhanku telah mendapatkan alamat lengkap mereka berdua dan mendapatkan pula kenyataan mereka tidak menginginkan kehadiran kamu lagi." Tubuh Vea mematung dengan cepat Wiliam berada di sana memeluk wanitanya yang sedang menangis. Tidak ada yang bisa menjelaskan perasaan seorang anak yang tidak diinginkan lagi oleh kedua orang tua, mereka sendiri yang menghadirkan dirinya lahir ke dunia ini, tetapi mereka menolaknya mentah-mentah. "Hiks ... Hiks ..." "Menangislah Vea, menangis sepuasnya," ucapnya menepuk-nepuk lembut bagian belakang Vea."Ikut denganku jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan. Kita akan bertemu dengan kedua orang tuamu." Deg! Rasanya itu akan menyenangkan jika belum mengetahui informasi yang diberikan oleh William, tetapi sekarang Vea mengetahui keduanya tidak mau dia ada. "Aku belum siap Wiliam, bagaimana jika mereka mengusirku dan tidak mau mengakui aku sebagai anak?" Dengan cepat tangan Wiliam tetap menarik paksa wanitanya agar keluar dari rumah, mereka akan tetap pergi ke kediaman Aziz sebagai ayahnya Vea. Dalam perjalanan menuju ke sana, Vea terus menerus berusaha melupakan apa yang sudah dia ketahui. Namun, pikirannya tetap takut mereka akan mengatakan sesuatu yang menyakiti hati. Dua puluh menit dalam perjalanan, Wiliam menghentikan mobil tepat di depan rumah orang tua Vea yang sekarang menjadi kaya raya, mereka termasuk orang terpandang dan banyak sekali aset di mana-mana. "Turunlah Vea, kita sudah sampai di rumah orang tuamu, kamu harus kuat menerima kenyataan jika nanti akan men
"Kita pulang sekarang! Kamu tidak akan menginjakkan kaki lagi di rumah yang seharusnya aku runtuhkan, kita akan membalas dendam pada mereka yang telah menyakitimu." Baru Wiliam dan Vea ingin memasuki mobil, seketika itu tubuh Vea ambruk dalam dekapan suaminya sendiri. "Vea!" Segera Wiliam memasukkan Vea ke dalam mobil dan membawanya ke rumah, sudah pasti malam ini adalah hari terberatnya yang pernah dia dapatkan. "Sial! Mereka membuat wanitaku pingsan seperti ini, aku akan pastikan kalian hancur berkeping-keping," dengusnya. Tidak lama setelah sampai di rumah, hanya ada Cici yang terlihat tidak memiliki acara malam ini. Dia membantu Wiliam merawat Vea dikarenakan hari sudah cukup larut untuk dokter datang ke rumah. "Mas, apa sebaiknya Vea kita bawa ke rumah sakit? Aku takut dia jadi demam karena terlalu banyak pikiran." Wiliam masih mencemaskan kondisi Vea, dia masih terus memegangi tangan wanitanya sampai Cici memberinya saran tidak dihiraukan. "Mas?" "Diam! Keluar dari
Sorot mata yang begitu marah pada Vea tidak bisa dia keluarkan karena takut wanitanya akan bunuh diri lagi jika dikasari. "Baiklah, aku akan melepaskan kamu. Maafkan aku telah membuatmu se takut itu. Masalah ponsel tidak masalah, aku bisa langsung membelinya yang baru," ujar Wiliam sudah menjauh dari sana. Sekarang Vea bisa bernafas lega melihat suaminya pergi. Tidak ada yang membuatnya kecuali jauh dari pria tua yang sudah memaksanya. Segera Vea membersihkan segala bekas kecupan Wiliam yang sulit dihilangkan, setidaknya dia bisa menghilangkan bau pria tua itu dari tubuhnya. "Pria tua sialan! Awas kamu aku akan beri perhitungan. Lain kali mana mau aku ditindas semacam ini, lihat apa yang akan aku lakukan." Sesudah membersihkan tubuh. Vea keluar dari kamar yang membuatnya terus terbayang wajah Wiliam. Udara segar di luar rumah mungkin bisa menyejukkan pikirannya. "Di sini rupanya," kata seseorang yang ada di belakangnya. Vea melihat seseorang dengan badan yang cukup kurus
Membawa banyak barang yang baru dibelinya di sebuah mall terbesar yang selama ini menjadi pusat perhatian kalangan atas. Silvi menaruh di atas meja setelah dirinya duduk bersama ketiga madunya. "Kado ini hanya sebuah awal di mana aku sangat setuju kamu menikah dengan Mas Wiliam. Kamu tau sendiri kalau aku ini seorang wanita yang mandul, jadi kalian itu adalah harapan aku, setidaknya aku dan Mas Wiliam terus berusaha agar kami memiliki keturunan." Kata-kata Silvi membuat suasana hati ketiganya menjadi sedih. Vea pun mengerti bagaimana rasanya menjadi wanita yang tidak sempurna dimata suaminya sendiri. "Tolong jangan bicara begitu, aku bukan orang yang tepat di sini. Aku juga tidak bisa memastikan kalau bisa hamil anaknya, semua itu sudah digariskan." Gerakan tangan keragu-raguan memegang lengan Silvi untuk menguatkannya, begitu juga Ria dan Cici yang mulai berdiri berada di samping Silvi. "Vea betul Kak Silvi, kita berdoa agar kita semua diberikan anak dari benih Mas Wiliam. Ka
Dalam hitungan jam semuanya berlalu. Seketika mereka akhirnya tidur ke kamar masing-masing, tidak dengan Silvi yang berbicara sama Wiliam. "Mas, kamu bisa lihat apa yang aku bicarakan sama Vea. Dia telah setuju menerima kamu walaupun harus menunggu beberapa waktu untuk penyesuaiannya." Saat sedang meyakinkan, dengan begitu rasa hormatnya pada wanita yang sangat merelakan kebahagiaannya terbagi Wiliam sungguh begitu mencintai Silvi. "Aku mencintai kamu sayang, terima kasih atas pengorbanan kamu selama ini, aku tau berat untuk kamu bisa menerima mereka bertiga," ucap Wiliam memeluk mesra Silvi. Wanita yang pertama kali mengenal Wiliam sudah tahu betul suaminya sangat manja saat malam hari. "Sama-sama. Aku juga senang melihat kita semua bahagia termasuk kamu, Mas. Kamu harus tau setidaknya ada yang aku berikan selama menjadi istrimu walaupun bukan seorang anak," balas Silvi kembali membahas keturunan. Dikecupnya kepala Silvi dengan lembut. Wiliam mengerti jika Silvi mau diriny
Hari sudah malam. Mobil Wiliam sudah memasuki garasi rumah dan tepat di sampingnya sudah ada Silvi yang menyambut suaminya. "Malam, Mas Wiliam. Kamu mau langsung mandi atau ke kamar Ria?" Belum sempat menjawab pertanyaan Silvi, pria itu menyelonong masuk ke dalam rumah mencari sesuatu, terlihat jika Vea bersama Cici sedang membuat sesuatu di dapur. "Ria mana?" Wiliam bertanya pada Silvi yang berjalan cepat mengikuti ritme kakinya. Rupanya Ria sedang bersiap-siap di dalam kamar untuk menyambut suaminya masuk dan tidur dengannya. "Di kamar, Mas." Tetapi Wiliam justru datang menghampiri Cici dan Vea yang sedang membuat nasi goreng, harumnya membuat indra penciumannya tidak bisa berhenti ingin mendekati aroma masakan kedua istrinya itu. "Apa yang kalian buat?" Wiliam mengejutkan keduanya, Vea dan Cici menoleh ke belakang dan terlihat Wiliam sudah tidak rapih lagi menggunakan kemeja. "Nasi goreng Mas, aku baru belajar dari Vea, ternyata dia bisa masak juga dan rasanya sangat
Pagi hari di mana Silvi, Ria dan Cici dengan rutinitas mengurus suami yang mau berangkat kerja berbeda dengan Vea yang sudah lebih dulu bekerja di tempat kerjanya. "Di mana dia?" Mencari di mana salah satu istrinya yang tidak hadir ketika Wiliam mau masuk mobil, sudah pasti Vea yang selalu membuatnya bertanya-tanya, ada yang salah dengan Wiliam sampai wanita itu belum juga membuka hatinya? "Mas Wiliam. Vea sudah pergi kerja sejak subuh tadi aku melihatnya berangkat menggunakan taksi online. Sebaiknya biarkan dia menjalani aktivitas seperti biasanya daripada nanti semakin memberontak." Suara Silvi membuat Wiliam mengerutkan dahi. Dia tidak mungkin bisa membiarkan Vea bekerja di tempat yang kecil dan penuh persaingan orang-orang yang tidak disukainya waktu itu. "Aku berangkat dulu, kalian jaga diri di rumah ya, hubungi aku kalau ada apa-apa dengan kalian bertiga." Pamitnya Wiliam ditandai lambaian ketiga tangan istrinya yang telah berlalu saat mobil semakin meninggalkan garasi
Selesai semua kerjaan Wiliam di kantor bersama para kliennya, Silvi masih mendampingi suaminya untuk membantu sedemikian rupa agar tidak menumpuk. "Mas. Apa tadi kamu bertemu dengan Vea?" Wiliam masuk ke dalam ruangan pribadinya bersama Silvi yang mengikuti dari belakang, seketika Silvi bertanya menyudutkan Wiliam harus terbuka tentang Vea. "Benar. Aku pergi ke tempat kerjanya, untuk memastikan dia baik dan tidak ada yang mengganggu karena sebelumnya sempat ada insiden antara Vea sama orang dalam," jawabnya. Silvi paham kalau suaminya sedang beralasan, rupanya Wiliam sudah jatuh cinta pada madunya yang paling muda, rasa sakit dirasakan Silvi tersembunyi di dalam lubuk hatinya. "Oh, jadi begitu rupanya. Sampai kamu tidak mengurus kantor kamu dengan baik dan mengacaukan hariku? Demi Vea?" Sekarang nada Silvi tidak mengenakan untuk Wiliam. Pria itu duduk dan menatap raut wajah istri tuanya sedang kesal. "Bukan begitu. Kamu harus paham kalau aku masih harus menjaganya agar bi
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki