Share

Bab 6. Hujan

"Wiliam! Keluar dari sini atau aku akan berteriak untuk mengusir kamu! Kamu sudah masuk tanpa izinku dan kamu membahas hal yang tidak pantas!"

Seketika itu juga Wiliam bangun dan bertatapan langsung dengan Vea yang sedang marah besar, keempat bola mata bertemu, Wiliam seakan berkaca mata itu adalah dirinya sendiri.

"Izin istri sendiri? Hal tidak pantas adalah kewajiban kamu sebagai seorang istri, apa aku salah? Rasanya aku hanya mengingatkan kamu untuk tidak menunda apa yang harus kamu berikan pada suamimu," tuturnya menambah kemarahan istrinya sendiri.

Bersamaan mulut Wiliam yang tertutup, Vea menaikan tangannya untuk memukul wajah rupawan Wiliam, dia tidak tahan didesak dan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak mau dia lakukan.

"Istri? Kewajiban? Aku tidak akan mau! Lebih baik kamu hilangkan niat kamu Wiliam! Aku tidak akan sudi tidur denganmu dan aku minta segera lepaskan aku dari jerat pernikahan ini. Aku menolak menjadi istri keempat kamu! Aku muak melihat tingkah kamu seperti ini," balasnya meninggikan suara.

Tangan Wiliam menangkap tangan Vea yang hampir menamparnya, pria yang selama ini ditakuti dan dihormati banyak orang ternyata tidak sedikitpun membuat Vea tunduk padanya.

"Jangan kamu pikir bisa lari dari aku! Menikahi kamu bukan sebuah permintaan, tapi keputusan aku sendiri, maka kamu harus siap setiap waktu jika aku membutuhkan kamu, kamu mengerti itu kan?!"

Tidak disangka Wiliam lebih berani lagi berkata-kata di depan Vea yang sekarang menciut, mana mungkin ada orang lain yang berani melawan seorang Wiliam jika dia sudah menginginkan sesuatu.

"Kamu yang seperti ini hanya membuat orang sengsara Wiliam, sikap dan tingkah laku kamu berbeda dari yang orang pikirkan, karena ternyata kamu memiliki banyak istri dan mereka mau dibodohi kamu untuk berbagi suami, itu yang membuat aku tidak mau. Aku tidak akan mau berbagi!"

Masih Vea terus memaki suaminya, sebagaimana dirinya ingin dibebaskan dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Namun, Wiliam tetap tidak menginginkan perpisahan Vea.

"Ikut denganku!"

Tarikan tangan Wiliam membuat pergelangan tangan Vea rasanya sakit, pria sekeras Wiliam mampu mematahkan tangan seseorang begitu juga yang bisa dilakukannya pada Vea.

"Lepaskan!"

Wiliam benar melepaskan tangan Vea, mereka ada di luar rumah kontrakan petak kecil tersebut, kemarahan keduanya membuat langit tiba-tiba turun hujan cukup deras, keduanya masih terus bertatapan.

"Ikut pulang denganku, Vea. Kamu tidak akan rugi menikah denganku dan jangan buat aku marah lagi, cukup kamu jadi istri yang baik, aku akan memenuhi segala kebutuhan kamu, lihat diri kamu tinggal di rumah sekecil ini."

Air hujan terus mengguyur keduanya, Vea tidak akan bisa menuruti kemauan Wiliam saat ini. Cukup bersabar menghadapi Wiliam, Vea memberanikan diri untuk kembali bicara.

"Stop! Jangan paksa aku Wiliam! Kamu pergi atau aku teriak agar orang-orang datang dan memukuli kamu sekarang juga, aku minta kamu pergi karena aku sudah capek pulang kerja dan jangan paksa aku semau kamu, berikan aku waktu untuk sendiri, aku mau menenangkan pikiranku."

Saat ancamannya tidak digubris oleh Wiliam, Vea mulai memohon hingga dirinya harus berlutut di tengah hujan, rasanya memalukan dan harga dirinya sangat jatuh untuk sebuah kebebasannya. Wiliam mematung melihat Vea yang berlutut di depannya, tidak mungkin jika dia membiarkan istrinya merendahkan diri sendiri hanya untuk memohon padanya.

"Baik, aku pergi sekarang. Aku rasa kamu belum mengerti kenapa pernikahan ini terjadi begitu saja, suatu hari nanti kamu akan mengerti dan memahami alasan aku menikahi kamu, berdirilah dan tegakkan kepalamu lagi, sungguh aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti kamu walaupun itu aku sendiri," ucapnya membangunkan istrinya yang berlutut dengan tangisan keputusasaan.

Gerakan kaki Wiliam sangat cepat, dia hanya perlu memastikan dari dalam mobilnya Vea sekarang perlahan masuk ke dalam kontrakan petak yang kecil itu, Wiliam tidak benar-benar pergi dari sana, dia tetap mengawasinya sebagai bentuk rasa pedulinya pada istri keempatnya ini.

"Aku akan menjaga kamu Vea, walaupun badanku harus basah kuyup atau sakit, aku tidak peduli, yang pasti aku mau tetap membawamu pulang bersamaku."

Keputusan Wiliam membuatnya harus membatalkan janji pekerjaan yang sudah dijadwalkan hari ini, semua urusannya dia berikan pada Silvi sebagai istri yang bisa dia andalkan selama ini. Sedangkan Vea masih terus menangis meratapi hidupnya yang begitu rumit semenjak ada di panti asuhan sampai bertemu dengan pria yang begitu memaksanya memberikan anak.

"Mengapa hidupku seperti ini, kenapa aku harus tinggal di panti asuhan waktu dulu? Dan aku harus mengenalnya? Tidak bisakah aku mau kehidupan yang layak seperti orang lain? Pernikahan yang dilandasi cinta dan kasih sayang, orang tua yang utuh? Di mana keadilan untuk hidup aku?"

Bagaikan tidak memiliki semangat hidup lagi untuknya, tangisan masih terus menemani hingga ribuan pertanyaan terus berdatangan. Tetapi tiba-tiba, suara pintu terketuk dua kali. Vea berpikir pasti ibu kontrakan yang akan menagih uang yang belum dia lunaskan karena masih menunggak. Namun, ternyata salah, seseorang berdiri dengan pakaian yang masih basah kuyup dan rambut sudah berantakan.

"Hey, aku membawakan kamu pakaian hangat dan makanan, kamu juga bisa meminum vitamin agar daya tahan tubuhmu meningkat," ucap Wiliam menyodorkan semua itu pada Vea.

Wanita itu menghela nafas, rupanya Wiliam belum pergi dari sana dan tetap dengan keputusannya, Vea mendorong Wiliam agar tidak lagi menghalanginya menutup pintu, daun pintu di tarik dan segera dia kunci rapat-rapat.

"Pergi dari sini Wiliam! Aku bilang pergi! Jangan ganggu dan peduli padaku! Kamu tidak akan pernah mengerti betapa kesepian dan menderitanya aku selama ini. Tolong jangan menambah beban hidupku!"

Perkataan Vea membuat Wiliam harus meletakkan semua yang dibawanya di depan pintu, selama ini memang Wiliam tidak pernah mengalami yang namanya penderitaan semacam kesepian, karena hidupnya sudah ramai, banyak istri dan banyak pekerjaan, serta banyak uang.

"Sepertinya dia sudah pergi, astaga dia meninggalkan semua ini di sini, aku rasa dia tidak sejahat yang aku pikir, tapi aku tetap tidak bisa menjadi istri yang dia inginkan."

Terpaksa Vea membawa semua pemberian Wiliam masuk ke dalam, dia melihat ada satu ponsel android yang cukup bagus dan bermerk dan sepucuk surat yang sudah disisipkan di sebelah ponsel tersebut.

Isi surat: "Ponsel ini digunakan untuk bisa menghubungi aku, semua nomor adalah milikku, dan nomor telepon rumah juga tertera di sini, jaga dirimu dan makan yang banyak, pastikan juga badanmu tetap hangat dengan sweater yang aku berikan."

Tangan Vea mengambil sweater hangat yang dimaksud Wiliam. Wiliam benar, baru saja jemarinya menyentuh sweater hangat itu ternyata bisa dia rasakan jika rajutan bahan benang wol memang cocok digunakan saat dingin.

"Aku rasa dia berlebihan, tapi aku baru merasakan kepedulian semacam ini. Eh, aku tidak boleh luluh hanya karena semua barang-barang ini, dia hanya sedang membeli aku dengan uang yang dia punya," ucapnya segera merapihkan lagi barang-barang tersebut.

Dibukanya pintu, Vea berjalan menuju tempat yang seharusnya bisa membuang apa yang dipegangnya itu, benar saja ada mobil keluaran terbaru berwarna putih hitam terparkir tidak jauh dari tempatnya. Diketuknya tiga kali kaca mobil, terlihat jika pemiliknya mengetahui betul kalau Vea sudah berdiri di samping mobilnya.

Saat kaca mobil terbuka, Vea melemparkan apa yang dipegangnya.

"Ambil semua milikmu ini! Sampah buatku!"

Dilemparkan ke wajah Wiliam secara kasar, pria itu geleng-geleng kepala tidak memperdulikan perlakuan istri keempatnya, dia segera membuka pintu mobil dan mengejar Vea.

"Tunggu dulu Vea! Tunggu dan dengarkan aku baik-baik. Aku mencintai kamu, sangat-sangat mencintai kamu, ikutlah denganku, aku mohon padamu. Berikan aku kesempatan untuk membahagiakan kamu, detik ini dan selamanya," kata Wiliam dengan sungguh-sungguh, apalagi sekarang dia berani berlutut di depan wanita yang dia cintai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status