"Wiliam! Keluar dari sini atau aku akan berteriak untuk mengusir kamu! Kamu sudah masuk tanpa izinku dan kamu membahas hal yang tidak pantas!"
Seketika itu juga Wiliam bangun dan bertatapan langsung dengan Vea yang sedang marah besar, keempat bola mata bertemu, Wiliam seakan berkaca mata itu adalah dirinya sendiri. "Izin istri sendiri? Hal tidak pantas adalah kewajiban kamu sebagai seorang istri, apa aku salah? Rasanya aku hanya mengingatkan kamu untuk tidak menunda apa yang harus kamu berikan pada suamimu," tuturnya menambah kemarahan istrinya sendiri. Bersamaan mulut Wiliam yang tertutup, Vea menaikan tangannya untuk memukul wajah rupawan Wiliam, dia tidak tahan didesak dan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak mau dia lakukan. "Istri? Kewajiban? Aku tidak akan mau! Lebih baik kamu hilangkan niat kamu Wiliam! Aku tidak akan sudi tidur denganmu dan aku minta segera lepaskan aku dari jerat pernikahan ini. Aku menolak menjadi istri keempat kamu! Aku muak melihat tingkah kamu seperti ini," balasnya meninggikan suara. Tangan Wiliam menangkap tangan Vea yang hampir menamparnya, pria yang selama ini ditakuti dan dihormati banyak orang ternyata tidak sedikitpun membuat Vea tunduk padanya. "Jangan kamu pikir bisa lari dari aku! Menikahi kamu bukan sebuah permintaan, tapi keputusan aku sendiri, maka kamu harus siap setiap waktu jika aku membutuhkan kamu, kamu mengerti itu kan?!" Tidak disangka Wiliam lebih berani lagi berkata-kata di depan Vea yang sekarang menciut, mana mungkin ada orang lain yang berani melawan seorang Wiliam jika dia sudah menginginkan sesuatu. "Kamu yang seperti ini hanya membuat orang sengsara Wiliam, sikap dan tingkah laku kamu berbeda dari yang orang pikirkan, karena ternyata kamu memiliki banyak istri dan mereka mau dibodohi kamu untuk berbagi suami, itu yang membuat aku tidak mau. Aku tidak akan mau berbagi!" Masih Vea terus memaki suaminya, sebagaimana dirinya ingin dibebaskan dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Namun, Wiliam tetap tidak menginginkan perpisahan Vea. "Ikut denganku!" Tarikan tangan Wiliam membuat pergelangan tangan Vea rasanya sakit, pria sekeras Wiliam mampu mematahkan tangan seseorang begitu juga yang bisa dilakukannya pada Vea. "Lepaskan!" Wiliam benar melepaskan tangan Vea, mereka ada di luar rumah kontrakan petak kecil tersebut, kemarahan keduanya membuat langit tiba-tiba turun hujan cukup deras, keduanya masih terus bertatapan. "Ikut pulang denganku, Vea. Kamu tidak akan rugi menikah denganku dan jangan buat aku marah lagi, cukup kamu jadi istri yang baik, aku akan memenuhi segala kebutuhan kamu, lihat diri kamu tinggal di rumah sekecil ini." Air hujan terus mengguyur keduanya, Vea tidak akan bisa menuruti kemauan Wiliam saat ini. Cukup bersabar menghadapi Wiliam, Vea memberanikan diri untuk kembali bicara. "Stop! Jangan paksa aku Wiliam! Kamu pergi atau aku teriak agar orang-orang datang dan memukuli kamu sekarang juga, aku minta kamu pergi karena aku sudah capek pulang kerja dan jangan paksa aku semau kamu, berikan aku waktu untuk sendiri, aku mau menenangkan pikiranku." Saat ancamannya tidak digubris oleh Wiliam, Vea mulai memohon hingga dirinya harus berlutut di tengah hujan, rasanya memalukan dan harga dirinya sangat jatuh untuk sebuah kebebasannya. Wiliam mematung melihat Vea yang berlutut di depannya, tidak mungkin jika dia membiarkan istrinya merendahkan diri sendiri hanya untuk memohon padanya. "Baik, aku pergi sekarang. Aku rasa kamu belum mengerti kenapa pernikahan ini terjadi begitu saja, suatu hari nanti kamu akan mengerti dan memahami alasan aku menikahi kamu, berdirilah dan tegakkan kepalamu lagi, sungguh aku tidak akan membiarkan siapapun menyakiti kamu walaupun itu aku sendiri," ucapnya membangunkan istrinya yang berlutut dengan tangisan keputusasaan. Gerakan kaki Wiliam sangat cepat, dia hanya perlu memastikan dari dalam mobilnya Vea sekarang perlahan masuk ke dalam kontrakan petak yang kecil itu, Wiliam tidak benar-benar pergi dari sana, dia tetap mengawasinya sebagai bentuk rasa pedulinya pada istri keempatnya ini. "Aku akan menjaga kamu Vea, walaupun badanku harus basah kuyup atau sakit, aku tidak peduli, yang pasti aku mau tetap membawamu pulang bersamaku." Keputusan Wiliam membuatnya harus membatalkan janji pekerjaan yang sudah dijadwalkan hari ini, semua urusannya dia berikan pada Silvi sebagai istri yang bisa dia andalkan selama ini. Sedangkan Vea masih terus menangis meratapi hidupnya yang begitu rumit semenjak ada di panti asuhan sampai bertemu dengan pria yang begitu memaksanya memberikan anak. "Mengapa hidupku seperti ini, kenapa aku harus tinggal di panti asuhan waktu dulu? Dan aku harus mengenalnya? Tidak bisakah aku mau kehidupan yang layak seperti orang lain? Pernikahan yang dilandasi cinta dan kasih sayang, orang tua yang utuh? Di mana keadilan untuk hidup aku?" Bagaikan tidak memiliki semangat hidup lagi untuknya, tangisan masih terus menemani hingga ribuan pertanyaan terus berdatangan. Tetapi tiba-tiba, suara pintu terketuk dua kali. Vea berpikir pasti ibu kontrakan yang akan menagih uang yang belum dia lunaskan karena masih menunggak. Namun, ternyata salah, seseorang berdiri dengan pakaian yang masih basah kuyup dan rambut sudah berantakan. "Hey, aku membawakan kamu pakaian hangat dan makanan, kamu juga bisa meminum vitamin agar daya tahan tubuhmu meningkat," ucap Wiliam menyodorkan semua itu pada Vea. Wanita itu menghela nafas, rupanya Wiliam belum pergi dari sana dan tetap dengan keputusannya, Vea mendorong Wiliam agar tidak lagi menghalanginya menutup pintu, daun pintu di tarik dan segera dia kunci rapat-rapat. "Pergi dari sini Wiliam! Aku bilang pergi! Jangan ganggu dan peduli padaku! Kamu tidak akan pernah mengerti betapa kesepian dan menderitanya aku selama ini. Tolong jangan menambah beban hidupku!" Perkataan Vea membuat Wiliam harus meletakkan semua yang dibawanya di depan pintu, selama ini memang Wiliam tidak pernah mengalami yang namanya penderitaan semacam kesepian, karena hidupnya sudah ramai, banyak istri dan banyak pekerjaan, serta banyak uang. "Sepertinya dia sudah pergi, astaga dia meninggalkan semua ini di sini, aku rasa dia tidak sejahat yang aku pikir, tapi aku tetap tidak bisa menjadi istri yang dia inginkan." Terpaksa Vea membawa semua pemberian Wiliam masuk ke dalam, dia melihat ada satu ponsel android yang cukup bagus dan bermerk dan sepucuk surat yang sudah disisipkan di sebelah ponsel tersebut. Isi surat: "Ponsel ini digunakan untuk bisa menghubungi aku, semua nomor adalah milikku, dan nomor telepon rumah juga tertera di sini, jaga dirimu dan makan yang banyak, pastikan juga badanmu tetap hangat dengan sweater yang aku berikan." Tangan Vea mengambil sweater hangat yang dimaksud Wiliam. Wiliam benar, baru saja jemarinya menyentuh sweater hangat itu ternyata bisa dia rasakan jika rajutan bahan benang wol memang cocok digunakan saat dingin. "Aku rasa dia berlebihan, tapi aku baru merasakan kepedulian semacam ini. Eh, aku tidak boleh luluh hanya karena semua barang-barang ini, dia hanya sedang membeli aku dengan uang yang dia punya," ucapnya segera merapihkan lagi barang-barang tersebut. Dibukanya pintu, Vea berjalan menuju tempat yang seharusnya bisa membuang apa yang dipegangnya itu, benar saja ada mobil keluaran terbaru berwarna putih hitam terparkir tidak jauh dari tempatnya. Diketuknya tiga kali kaca mobil, terlihat jika pemiliknya mengetahui betul kalau Vea sudah berdiri di samping mobilnya. Saat kaca mobil terbuka, Vea melemparkan apa yang dipegangnya. "Ambil semua milikmu ini! Sampah buatku!" Dilemparkan ke wajah Wiliam secara kasar, pria itu geleng-geleng kepala tidak memperdulikan perlakuan istri keempatnya, dia segera membuka pintu mobil dan mengejar Vea. "Tunggu dulu Vea! Tunggu dan dengarkan aku baik-baik. Aku mencintai kamu, sangat-sangat mencintai kamu, ikutlah denganku, aku mohon padamu. Berikan aku kesempatan untuk membahagiakan kamu, detik ini dan selamanya," kata Wiliam dengan sungguh-sungguh, apalagi sekarang dia berani berlutut di depan wanita yang dia cintai."Berdirilah Wiliam! Kamu jangan seperti anak kecil yang terus merengek meminta keinginanmu bisa aku wujudkan, aku bukan orang yang tepat untuk memberikan kamu anak, percayalah aku bukan wanita yang kamu cari, segera ceraikan aku." Dengan cepat tangan Vea melepaskan tangan Wiliam yang terus menggenggamnya, tidak mau lagi berlama-lama berhadapan dengan pria tua yang membuat Vea rasanya ingin murka. "Vea, jika kamu menuruti aku, sesuatu sudah aku siapkan untukmu, aku mendapatkan informasi mengenai kedua orang tuamu, tentang keberadaan ayahmu Aziz, itu juga kalau kamu masih menganggapnya sebagai orang tuamu, ikutlah denganku." Mungkin dengan cara ini Vea akan mau diajaknya pulang, setidaknya wanita itu tidak menghindarinya. Informasi yang Wiliam dapatkan termasuk valid dan lengkap dibutuhkan oleh Vea selama ini. "Ayahku? Di mana dia? Apa kamu serius mengetahui keberadaan ayahku? Selama ini aku ingin bertemu dengannya dan bertanya banyak tentang, kenapa aku dibuang ke panti asuhan? A
Vea menundukkan kepala tidak mau Wiliam bertambah marah padanya. Mereka hampir sampai di rumah, tentu tidak akan jauh-jauh dari ketiga istri Wiliam yang selalu antusias menyambut wanita lain masuk ke dalam rumah. "Selamat datang di rumah kembali Vea dan Mas Wiliam." Silvi lebih dulu menyambut dengan membawakan kalung bunga-bunga yang segar, sedangkan Cici dan Ria menggandeng keduanya agar bisa lebih cepat masuk ke dalam rumah setelah keluar dari mobil. "Apa yang kalian lakukan lagi? Apa ini adalah penyambutan untuk madu kalian? Orang di rumah ini sangat aneh, aku baru bertemu dengan kalian semua. Tidakkah kalian bertiga merasakan cemburu?" Ucapannya dihiraukan oleh mereka. Hanya beberapa menit Vea dan Wiliam sudah ada di dalam rumah bersama Silvi, Ria dan Cici, mereka melihat ruangan telah banyak hiasan yang telah disiapkan ketiganya. Namun, tidak begitu membuat Vea merasakan kebahagiaan. "Aku mau istirahat, bisakah kamu biarkan aku istirahat hari ini sebelum kamu akan mempert
Sungguh di luar kemampuan Wiliam untuk bisa mengubah jalan pikiran Vea yang selalu menganggapnya jahat ataupun penipu, Wiliam melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu. "Maafkan aku, Vea. Rasanya aku tidak kuat apabila mendengar kamu kecewa jika mendapat kenyataan yang tidak kamu inginkan lagi, setidaknya aku tidak melihatnya sekarang." Wiliam pergi dari rumah untuk memastikan sendiri apa yang dia dapatkan dari orang suruhannya, sedangkan Vea masih terus berada di dalam kamar yang terkunci, dan jendela sudah ditutup rapat agar wanita itu tidak bisa kabur lagi. Hari berlalu dan tiba di mana ada awak media yang datang ke kediaman Wiliam. Tepat pukul sembilan pagi Wiliam dan keempat istrinya sudah berada di ruangan khusus untuk pertemuan semacam ini, mereka semua meliput begitu juga banyak sekali kamera wartawan yang terus menyilaukan mata kelimanya. "Saya Wiliam telah menikah lagi dengan wanita bernama Vea, dia adalah pekerja di sebuah pusat perbelanjaan, dan sekarang menjadi
"Ikut denganku jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan. Kita akan bertemu dengan kedua orang tuamu." Deg! Rasanya itu akan menyenangkan jika belum mengetahui informasi yang diberikan oleh William, tetapi sekarang Vea mengetahui keduanya tidak mau dia ada. "Aku belum siap Wiliam, bagaimana jika mereka mengusirku dan tidak mau mengakui aku sebagai anak?" Dengan cepat tangan Wiliam tetap menarik paksa wanitanya agar keluar dari rumah, mereka akan tetap pergi ke kediaman Aziz sebagai ayahnya Vea. Dalam perjalanan menuju ke sana, Vea terus menerus berusaha melupakan apa yang sudah dia ketahui. Namun, pikirannya tetap takut mereka akan mengatakan sesuatu yang menyakiti hati. Dua puluh menit dalam perjalanan, Wiliam menghentikan mobil tepat di depan rumah orang tua Vea yang sekarang menjadi kaya raya, mereka termasuk orang terpandang dan banyak sekali aset di mana-mana. "Turunlah Vea, kita sudah sampai di rumah orang tuamu, kamu harus kuat menerima kenyataan jika nanti akan men
"Kita pulang sekarang! Kamu tidak akan menginjakkan kaki lagi di rumah yang seharusnya aku runtuhkan, kita akan membalas dendam pada mereka yang telah menyakitimu." Baru Wiliam dan Vea ingin memasuki mobil, seketika itu tubuh Vea ambruk dalam dekapan suaminya sendiri. "Vea!" Segera Wiliam memasukkan Vea ke dalam mobil dan membawanya ke rumah, sudah pasti malam ini adalah hari terberatnya yang pernah dia dapatkan. "Sial! Mereka membuat wanitaku pingsan seperti ini, aku akan pastikan kalian hancur berkeping-keping," dengusnya. Tidak lama setelah sampai di rumah, hanya ada Cici yang terlihat tidak memiliki acara malam ini. Dia membantu Wiliam merawat Vea dikarenakan hari sudah cukup larut untuk dokter datang ke rumah. "Mas, apa sebaiknya Vea kita bawa ke rumah sakit? Aku takut dia jadi demam karena terlalu banyak pikiran." Wiliam masih mencemaskan kondisi Vea, dia masih terus memegangi tangan wanitanya sampai Cici memberinya saran tidak dihiraukan. "Mas?" "Diam! Keluar dari
Sorot mata yang begitu marah pada Vea tidak bisa dia keluarkan karena takut wanitanya akan bunuh diri lagi jika dikasari. "Baiklah, aku akan melepaskan kamu. Maafkan aku telah membuatmu se takut itu. Masalah ponsel tidak masalah, aku bisa langsung membelinya yang baru," ujar Wiliam sudah menjauh dari sana. Sekarang Vea bisa bernafas lega melihat suaminya pergi. Tidak ada yang membuatnya kecuali jauh dari pria tua yang sudah memaksanya. Segera Vea membersihkan segala bekas kecupan Wiliam yang sulit dihilangkan, setidaknya dia bisa menghilangkan bau pria tua itu dari tubuhnya. "Pria tua sialan! Awas kamu aku akan beri perhitungan. Lain kali mana mau aku ditindas semacam ini, lihat apa yang akan aku lakukan." Sesudah membersihkan tubuh. Vea keluar dari kamar yang membuatnya terus terbayang wajah Wiliam. Udara segar di luar rumah mungkin bisa menyejukkan pikirannya. "Di sini rupanya," kata seseorang yang ada di belakangnya. Vea melihat seseorang dengan badan yang cukup kurus
Membawa banyak barang yang baru dibelinya di sebuah mall terbesar yang selama ini menjadi pusat perhatian kalangan atas. Silvi menaruh di atas meja setelah dirinya duduk bersama ketiga madunya. "Kado ini hanya sebuah awal di mana aku sangat setuju kamu menikah dengan Mas Wiliam. Kamu tau sendiri kalau aku ini seorang wanita yang mandul, jadi kalian itu adalah harapan aku, setidaknya aku dan Mas Wiliam terus berusaha agar kami memiliki keturunan." Kata-kata Silvi membuat suasana hati ketiganya menjadi sedih. Vea pun mengerti bagaimana rasanya menjadi wanita yang tidak sempurna dimata suaminya sendiri. "Tolong jangan bicara begitu, aku bukan orang yang tepat di sini. Aku juga tidak bisa memastikan kalau bisa hamil anaknya, semua itu sudah digariskan." Gerakan tangan keragu-raguan memegang lengan Silvi untuk menguatkannya, begitu juga Ria dan Cici yang mulai berdiri berada di samping Silvi. "Vea betul Kak Silvi, kita berdoa agar kita semua diberikan anak dari benih Mas Wiliam. Ka
Dalam hitungan jam semuanya berlalu. Seketika mereka akhirnya tidur ke kamar masing-masing, tidak dengan Silvi yang berbicara sama Wiliam. "Mas, kamu bisa lihat apa yang aku bicarakan sama Vea. Dia telah setuju menerima kamu walaupun harus menunggu beberapa waktu untuk penyesuaiannya." Saat sedang meyakinkan, dengan begitu rasa hormatnya pada wanita yang sangat merelakan kebahagiaannya terbagi Wiliam sungguh begitu mencintai Silvi. "Aku mencintai kamu sayang, terima kasih atas pengorbanan kamu selama ini, aku tau berat untuk kamu bisa menerima mereka bertiga," ucap Wiliam memeluk mesra Silvi. Wanita yang pertama kali mengenal Wiliam sudah tahu betul suaminya sangat manja saat malam hari. "Sama-sama. Aku juga senang melihat kita semua bahagia termasuk kamu, Mas. Kamu harus tau setidaknya ada yang aku berikan selama menjadi istrimu walaupun bukan seorang anak," balas Silvi kembali membahas keturunan. Dikecupnya kepala Silvi dengan lembut. Wiliam mengerti jika Silvi mau diriny