Tentu Wiliam sekarang kepikiran Silvi berani marah padanya, tetapi masih dalam otaknya menginginkan seorang anak yang bisa membantunya kelak dalam mengelola apa yang sudah dibangunnya selama ini.
"Apa yang salah dariku? Silvi sensitif sekali, padahal dia sendiri yang mau aku menikah dan menikah lagi, kalau saja mereka bertiga tidak mandul, kejadian ini tidak akan terjadi, aku harus pastikan Vea bisa pulang dengan cepat," ucap Wiliam tanpa penyesalan. Hati Silvi rasanya sakit juga sedih melihat sikap suaminya tidak terkontrol lagi atas keinginannya. Belum lama Wiliam menikah dengan Cici tetapi hasilnya tetap sama Wiliam belum juga mendapatkan keturunan yang dia mau. Setelah kejadian itu, tiga hari kemudian dokter mengizinkan Vea pulang dari rumah sakit atas permintaan Wiliam sendiri. "Kita pulang ke hotel sebagai bulan madu yang sempat tertunda saat wanita ini ada di rumah sakit, pastinya di sini jauh lebih nyaman karena tidak ada Silvi, Ria dan Cici." Dibenak Wiliam hanya mau berdua dengan Vea selama satu minggu ini, walaupun akhirnya dia juga memberitahukan keberadaannya pada Silvi sebagai tanda Wiliam masih menghargai istri-istrinya yang lain. "Di mana aku? Kenapa rasanya pusing sekali, apa yang terjadi padaku? Aku bukan di rumah itu lagi, apa aku sudah ada di dunia lain?" Mata wanita itu terbuka dan bertanya-tanya, Wiliam duduk tidak jauh dari sana terus memperhatikan wanitanya perlahan sadarkan diri. "Syukurlah kamu sudah bangun, kita bisa langsung melanjutkan bulan madu yang sempat tertunda karena ulah kamu sendiri, bagaimana kita langsung saja mulai? Aku akan siapkan bunga-bunga agar kamar ini jauh lebih harum." Terperanjat seketika Wiliam panjang bicara padanya, Vea tidak menyangka dirinya masih satu ruangan yang sama dengan pria tua yang telah merenggut segalanya darinya. "Ngomong apa kamu? Bulan madu? Tidak ada yang namanya bulan madu! Aku mau pergi dari sini! Aku tidak mau melihat muka kamu lagi pria tua yang suka gonta ganti istri!" Begitu marah Vea pada Wiliam semakin membuatnya berani meninggikan suara, apalagi Wiliam terus menguji kesabarannya, dengan cepat dia turun dari kasur walaupun kondisi tubuhnya masih sangat lemas. "Mau kemana kamu? Apa pun yang kamu katakan tadi tidak akan mengubah jadwal kita berdua dalam berbulan madu dan kamu harus segera memberikan aku seorang anak, aku mau kita progam hamil dalam satu tahun ini, kalau tidak, aku akan menikah lagi dan menceraikan salah satu dari kalian," balas Wiliam membuka satu persatu kemejanya. Mata Vea melorot ke bagian perut Wiliam yang begitu menggiurkan, tetapi dalam kesadarannya dia harus segera kabur dari ruangan itu sebelum Wiliam melakukan yang sama seperti waktu di kamar. "Jangan mendekat! Aku minta kamu jaga diri kamu dari aku, kita tidak saling mencintai, mana mungkin bisa memiliki seorang anak, aku mau pergi dari sini dan melanjutkan kehidupan aku dengan normal, jangan halangi aku, Wiliam!" Jalan sudah dikepung oleh Wiliam, Vea kesulitan bergerak untuk keluar dari kamar hotel itu, Wiliam juga sudah siap dengan aksinya agar tidak berlama-lama memberikan penyatuan pada Vea. "Serahkan tubuhmu, dari sana anakku akan dilahirkan, ku mohon turuti kemauan aku untuk melahirkan seorang anak, hanya itu saja mengapa kamu sulit memberikannya? Kehidupan kamu jauh lebih normal bersama denganku." Bujukan Wiliam terus menggema di telinga Vea yang dari tadi menangis tanpa henti dengan menutupi bagian atasnya yang sudah terlepas oleh Wiliam, ternyata Wiliam membukanya saat Vea masih tertidur. "Tidak mau! Aku mohon Wiliam, kamu masih bisa bersama wanita yang jauh lebih cantik daripada aku, biarkan aku pergi darimu, aku tau kamu tidak sejahat itu, aku minta kamu cukup sampai di sini, aku tidak bisa memberikan kamu keturunan." Titik lelah Vea berkecamuk dalam dirinya, dia mungkin tidak bisa keluar tanpa seizin Wiliam yang menyimpan kunci kamar hotelnya, dia terus memohon agar Wiliam melepaskannya. "Omong kosong! Jangan banyak membuang waktumu, aku mau anak ya, Anak! Sekarang lakukan dulu, aku janji tidak akan membatasi kamu pergi, tapi biarkan kita menyatu di atas ranjang itu." Merosot Vea tidak kuat mendengarkan Wiliam terus bicara tentang penyatuan, dirinya meringkuk dan menangis tanpa bisa melakukan apa-apa, Wiliam yang berkuasa sekarang padanya. Dengan cepat pria tua itu membawa tubuh wanitanya ke atas tempat tidur yang bernuansa serba putih. Tatapan keduanya beradu dan Wiliam lembut memberikan ciumannya pada Vea. "Bagus sayang, lakukan tugasmu dengan baik, kamu hanya perlu diam dan biarkan aku yang bekerja, kamu mau tetap bekerja bukan? Aku akan biarkan setelah ini, asalkan kamu menuruti semua kemauan aku, segalanya menjadi lancar," bisik Wiliam menggigit kecil telinga Vea. Wanita itu tidak dapat berbuat apa-apa, dia hanya menerima apa yang dilakukan suaminya, seluruh tubuhnya begitu sangat panas, semua bagaikan mimpi buruk dengan mata terbuka. Tok! Tok! Tok! "Mas Wiliam! Keluar dari kamar, aku mau bicara padamu, kita harus biarkan Vea sembuh dulu baru kamu bisa melakukan sesuai dengan keinginanmu," teriak Silvi bersama Ria dan Cici. Pria tua itu turun dari ranjangnya dan segera menggunakan celananya kembali dan membukakan pintu, ternyata Silvi terlambat, Wiliam sudah kembali membuat Vea trauma atas keinginan yang sangat berambisi itu. Plak! "Kamu tega ya, Mas. Kenapa kamu lakukan itu tanpa persetujuan aku dan yang lainnya? Kamu juga tau dia baru sembuh dari sakitnya dan sekarang kamu masih melakukan itu? Di mata otak kamu Mas?" Kedua bola mata Silvi melebar kuat menatap mata suaminya sendiri, tidak habis pikir dengan Wiliam yang masih terus menyerang Vea dalam kondisi sakit bahkan lukanya belum kering. "Silvi sayang, kamu tau kan kita harus punya keturunan, jadi aku sudah melakukan dengan cepat, sekarang dia bebas mau kemana aja, aku akan biarkan, bahkan kalian mau bersatu padu bergosip atau belanja pun aku tidak masalah, aku rasa tamparan kamu berlebihan sayang, jangan diulangi," kata Wiliam keluar dari kamar. Ketiga istri Wiliam masuk ke dalam kamar melihat Vea yang masih terselimuti dengan selimut tebalnya, kini Silvi semakin yakin Vea sangat trauma atas perlakuan suaminya. "Tenanglah, kami tidak jahat padamu, aku akan membantumu menggunakan pakaian kembali, percaya padaku," ucap Silvi pada Vea yang masih terus terisak. Ria dan Cici hanya membantu sedikit membawakan air dari kamar mandi untuk membersihkan tubuh Vea, setidaknya mereka membantu madu mereka sendiri yang sudah dianggap saudara. "Hiks, pria itu telah merenggut segalanya! Kalian tau itu kan? Dia jahat dan penuh dirasuki setan, aku tidak mau berurusan dengannya lagi, tolong, biarkan aku pergi dari sini, bantu aku kabur," pintanya memegang lengan Silvi.Mereka bertiga saling pandang atas permintaan Vea, tidak mungkin membantu Vea pergi dari Wiliam, mereka pastinya akan membantu suaminya untuk mendapatkan Vea. "Tenanglah Vea, kamu tidak perlu memikirkan Mas Wiliam seberat itu, kamu tau kan ini masih pagi, kamu tidak mau berangkat kerja di tempatmu?" tanya Silvi menyadarkan Vea. Wanita itu segera beranjak dari sana dan kembali berjalan keluar dari kamar hotel tanpa berkata-kata pada mereka bertiga, memang pekerjaannya jauh lebih penting dari segalanya. "Gawat, aku bisa dipecat beberapa hari ini tidak masuk kerja tanpa izin, Wiliam benar-benar memuakkan, aku tidak akan terima jika pekerjaanku akan berhenti gara-gara dia." Saat perjalanan menuju tempat kerja yang ada di Twenty XXII. Tepatnya ada di Jakarta Barat dekat sekali dengan kampus. Vea sudah lama bekerja di sana hampir dua tahun lamanya, dia tidak mau kehilangannya hanya karena pernikahan bodohnya. Dengan cepat Silvi menghubungi Wiliam yang berada di dalam mobil menu
"Wiliam! Keluar dari sini atau aku akan berteriak untuk mengusir kamu! Kamu sudah masuk tanpa izinku dan kamu membahas hal yang tidak pantas!" Seketika itu juga Wiliam bangun dan bertatapan langsung dengan Vea yang sedang marah besar, keempat bola mata bertemu, Wiliam seakan berkaca mata itu adalah dirinya sendiri. "Izin istri sendiri? Hal tidak pantas adalah kewajiban kamu sebagai seorang istri, apa aku salah? Rasanya aku hanya mengingatkan kamu untuk tidak menunda apa yang harus kamu berikan pada suamimu," tuturnya menambah kemarahan istrinya sendiri. Bersamaan mulut Wiliam yang tertutup, Vea menaikan tangannya untuk memukul wajah rupawan Wiliam, dia tidak tahan didesak dan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak mau dia lakukan. "Istri? Kewajiban? Aku tidak akan mau! Lebih baik kamu hilangkan niat kamu Wiliam! Aku tidak akan sudi tidur denganmu dan aku minta segera lepaskan aku dari jerat pernikahan ini. Aku menolak menjadi istri keempat kamu! Aku muak melihat tingkah kamu sepe
"Berdirilah Wiliam! Kamu jangan seperti anak kecil yang terus merengek meminta keinginanmu bisa aku wujudkan, aku bukan orang yang tepat untuk memberikan kamu anak, percayalah aku bukan wanita yang kamu cari, segera ceraikan aku." Dengan cepat tangan Vea melepaskan tangan Wiliam yang terus menggenggamnya, tidak mau lagi berlama-lama berhadapan dengan pria tua yang membuat Vea rasanya ingin murka. "Vea, jika kamu menuruti aku, sesuatu sudah aku siapkan untukmu, aku mendapatkan informasi mengenai kedua orang tuamu, tentang keberadaan ayahmu Aziz, itu juga kalau kamu masih menganggapnya sebagai orang tuamu, ikutlah denganku." Mungkin dengan cara ini Vea akan mau diajaknya pulang, setidaknya wanita itu tidak menghindarinya. Informasi yang Wiliam dapatkan termasuk valid dan lengkap dibutuhkan oleh Vea selama ini. "Ayahku? Di mana dia? Apa kamu serius mengetahui keberadaan ayahku? Selama ini aku ingin bertemu dengannya dan bertanya banyak tentang, kenapa aku dibuang ke panti asuhan? A
Vea menundukkan kepala tidak mau Wiliam bertambah marah padanya. Mereka hampir sampai di rumah, tentu tidak akan jauh-jauh dari ketiga istri Wiliam yang selalu antusias menyambut wanita lain masuk ke dalam rumah. "Selamat datang di rumah kembali Vea dan Mas Wiliam." Silvi lebih dulu menyambut dengan membawakan kalung bunga-bunga yang segar, sedangkan Cici dan Ria menggandeng keduanya agar bisa lebih cepat masuk ke dalam rumah setelah keluar dari mobil. "Apa yang kalian lakukan lagi? Apa ini adalah penyambutan untuk madu kalian? Orang di rumah ini sangat aneh, aku baru bertemu dengan kalian semua. Tidakkah kalian bertiga merasakan cemburu?" Ucapannya dihiraukan oleh mereka. Hanya beberapa menit Vea dan Wiliam sudah ada di dalam rumah bersama Silvi, Ria dan Cici, mereka melihat ruangan telah banyak hiasan yang telah disiapkan ketiganya. Namun, tidak begitu membuat Vea merasakan kebahagiaan. "Aku mau istirahat, bisakah kamu biarkan aku istirahat hari ini sebelum kamu akan mempert
Sungguh di luar kemampuan Wiliam untuk bisa mengubah jalan pikiran Vea yang selalu menganggapnya jahat ataupun penipu, Wiliam melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu. "Maafkan aku, Vea. Rasanya aku tidak kuat apabila mendengar kamu kecewa jika mendapat kenyataan yang tidak kamu inginkan lagi, setidaknya aku tidak melihatnya sekarang." Wiliam pergi dari rumah untuk memastikan sendiri apa yang dia dapatkan dari orang suruhannya, sedangkan Vea masih terus berada di dalam kamar yang terkunci, dan jendela sudah ditutup rapat agar wanita itu tidak bisa kabur lagi. Hari berlalu dan tiba di mana ada awak media yang datang ke kediaman Wiliam. Tepat pukul sembilan pagi Wiliam dan keempat istrinya sudah berada di ruangan khusus untuk pertemuan semacam ini, mereka semua meliput begitu juga banyak sekali kamera wartawan yang terus menyilaukan mata kelimanya. "Saya Wiliam telah menikah lagi dengan wanita bernama Vea, dia adalah pekerja di sebuah pusat perbelanjaan, dan sekarang menjadi
"Ikut denganku jika kamu tidak percaya apa yang aku katakan. Kita akan bertemu dengan kedua orang tuamu." Deg! Rasanya itu akan menyenangkan jika belum mengetahui informasi yang diberikan oleh William, tetapi sekarang Vea mengetahui keduanya tidak mau dia ada. "Aku belum siap Wiliam, bagaimana jika mereka mengusirku dan tidak mau mengakui aku sebagai anak?" Dengan cepat tangan Wiliam tetap menarik paksa wanitanya agar keluar dari rumah, mereka akan tetap pergi ke kediaman Aziz sebagai ayahnya Vea. Dalam perjalanan menuju ke sana, Vea terus menerus berusaha melupakan apa yang sudah dia ketahui. Namun, pikirannya tetap takut mereka akan mengatakan sesuatu yang menyakiti hati. Dua puluh menit dalam perjalanan, Wiliam menghentikan mobil tepat di depan rumah orang tua Vea yang sekarang menjadi kaya raya, mereka termasuk orang terpandang dan banyak sekali aset di mana-mana. "Turunlah Vea, kita sudah sampai di rumah orang tuamu, kamu harus kuat menerima kenyataan jika nanti akan men
"Kita pulang sekarang! Kamu tidak akan menginjakkan kaki lagi di rumah yang seharusnya aku runtuhkan, kita akan membalas dendam pada mereka yang telah menyakitimu." Baru Wiliam dan Vea ingin memasuki mobil, seketika itu tubuh Vea ambruk dalam dekapan suaminya sendiri. "Vea!" Segera Wiliam memasukkan Vea ke dalam mobil dan membawanya ke rumah, sudah pasti malam ini adalah hari terberatnya yang pernah dia dapatkan. "Sial! Mereka membuat wanitaku pingsan seperti ini, aku akan pastikan kalian hancur berkeping-keping," dengusnya. Tidak lama setelah sampai di rumah, hanya ada Cici yang terlihat tidak memiliki acara malam ini. Dia membantu Wiliam merawat Vea dikarenakan hari sudah cukup larut untuk dokter datang ke rumah. "Mas, apa sebaiknya Vea kita bawa ke rumah sakit? Aku takut dia jadi demam karena terlalu banyak pikiran." Wiliam masih mencemaskan kondisi Vea, dia masih terus memegangi tangan wanitanya sampai Cici memberinya saran tidak dihiraukan. "Mas?" "Diam! Keluar dari
Sorot mata yang begitu marah pada Vea tidak bisa dia keluarkan karena takut wanitanya akan bunuh diri lagi jika dikasari. "Baiklah, aku akan melepaskan kamu. Maafkan aku telah membuatmu se takut itu. Masalah ponsel tidak masalah, aku bisa langsung membelinya yang baru," ujar Wiliam sudah menjauh dari sana. Sekarang Vea bisa bernafas lega melihat suaminya pergi. Tidak ada yang membuatnya kecuali jauh dari pria tua yang sudah memaksanya. Segera Vea membersihkan segala bekas kecupan Wiliam yang sulit dihilangkan, setidaknya dia bisa menghilangkan bau pria tua itu dari tubuhnya. "Pria tua sialan! Awas kamu aku akan beri perhitungan. Lain kali mana mau aku ditindas semacam ini, lihat apa yang akan aku lakukan." Sesudah membersihkan tubuh. Vea keluar dari kamar yang membuatnya terus terbayang wajah Wiliam. Udara segar di luar rumah mungkin bisa menyejukkan pikirannya. "Di sini rupanya," kata seseorang yang ada di belakangnya. Vea melihat seseorang dengan badan yang cukup kurus