"Saya terima nikah dan kawinnya Vea Damania binti Aziz dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ucapnya dengan lantang di depan penghulu dan semua tamu yang datang.
Sah! Pilu yang dirasakan Via telah dinikahi seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, air matanya tidak berhenti sampai make up mahal yang menempel di wajahnya perlahan luntur, matanya juga bengkak karena terus menerus menangis, dia harus menerima dirinya dinikahi tanpa ada perasaan cinta. "Sekarang kamu telah menjadi istriku, kamu bisa bergabung dengan ketiga istriku yang lain, lihat disebelah kanan kamu, mereka terlihat bahagia dengan pernikahan kita," tuturnya tanpa rasa bersalah sama sekali. Lirikan Vea memang tertuju pada ketiga istri Wiliam yang sekarang menjadi istrinya, banyak pertanyaan yang ada dibenak Vea mengapa mereka bertiga menyetujui pernikahan ini begitu mudah dan mau berbagi suami dengannya. "Aku tidak menyangka kamu menjadikan aku istri keempat! Kamu penipu! Rasanya kalau kamu jujur lebih awal aku mau dijadikan istri keempat. Aku tidak mau! Kamu bisa menikahi aku, tapi tidak dengan hatiku dengan mudah menjadi milikmu," balas Vea dengan bercucuran air mata. Mengira pria bernama Wiliam itu hanya mau mempermainkan dirinya yang sudah sangat lelah dalam mengarungi kehidupan sebatang kara, ditambah pernikahan ini, sebuah pernikahan yang seharusnya dibangun dengan rasa cinta, saling mengenal satu sama lain justru membuat Vea telanjur menikahinya. "Aku bukannya tidak mau bilang tentang istri-istriku, kamu juga sudah setuju duduk di sini mendengar aku ijab kabul bukan? Aku akan berikan apa saja yang kamu mau, hartaku, kesenangan dan kebahagiaan yang belum pernah kamu dapatkan selama ini, semua akan aku berikan," balasnya lagi masih tidak mau meminta maaf sudah menipu Vea tentang statusnya ini. Tentu ucapannya membuat Vea tersinggung, mengapa pria itu hanya membicarakan harta tanpa meminta pendapatnya mengenai hatinya yang terpaksa menerima semua ini, nyaris tidak bisa dilawan pria yang terbiasa dominan dalam segala hal di depannya ini. "Harta? Kesenangan? Kebahagiaan? Tau apa kamu tentang semua itu? Aku sudah hidup sendiri dan memenuhi segalanya sendiri sejak aku menginjakkan kakiku keluar dari tempat tinggal aku yang dulu! Kamu tidak tau apa pun yang aku rasakan!" isaknya semakin membuat dadanya sesak. Pernikahan sudah berlalu beberapa detik yang lalu, dengan acara yang sederhana membuatnya tidak bisa membendung kesedihannya diwaktu beberapa orang tamu undangan termasuk penghulu berpamitan. Wiliam memerintahkan ketiga istrinya bersiap-siap. "Bawa wanita ini ke dalam kamar! Jangan biarkan dia keluar dari sana sebelum berhenti menangis! Aku tidak akan mengubah keputusan aku menjadikannya istri keempat seumur hidupku, kalian tau apa yang kalian bisa lakukan untukku kan? Aku lelah mendengarkan dia terus mengoceh dan protes padaku!" hardiknya lalu pergi dari sana melepaskan jas berwarna putihnya. Sebuah perintah yang tidak boleh diganggu gugat oleh ketiga istrinya, paling tertua bernama Silvi segera mendekati madu barunya, diikuti kedua madunya yang lain bernama Cici dan Ria dari belakangnya. "Masuklah ke dalam kamarmu, sekarang kamar ini menjadi milik kamu, aku Silvi istri tertua di sini, aku rasa perintah Mas Wiliam sudah jelas membawamu masuk ke dalam kamar, aku akan membawakan baju ganti untukmu," ucap Silvi yang sudah berjejer dengan madu-madunya. Di depan kamar sudut mata Vea terus berputar melihat isi yang ada di dalamnya, tentu lebih lebar daripada kosan petak yang biasa menjadi tempat tinggalnya. Namun siapa yang mau tinggal di kamar lebar dan mewah milik suami yang tidak tahu asal usulnya itu, bagi Vea sangat menakutkan. "Tolong lepaskan aku dari sini, bantu aku kabur dari rumah yang asing buat aku, aku punya kosan sendiri dan aku memiliki kerjaan yang sudah tanda tangan kontrak dua tahun ini, bantu aku, aku mohon padamu, pada kalian bertiga, jangan kurung aku di dalam kamar ini dan menyerahkan aku pada pria itu," pinta Vea merengek meminta bantuan pada ketiganya. Ketiganya saling beradu pandang dengan permohonan Vea, mereka tidak mungkin bisa melawan perintah suaminya yang sudah sangat baik mencukupi segala kebutuhan lahir dan batin. Kemewahan dan kebahagiaan memang dimiliki ketiganya, itu semuanya karena Wiliam. "Sudahlah, masuk ke dalam kamar dulu, beristirahat sejenak sembari kamu mandi air hangat yang sudah disediakan, Mas Wiliam memerintah kami menjaga kamu di sini sebagai istri barunya, kalau kami membantu kamu pergi, maka kami juga akan terkena marahnya," balas Ria yang sekarang mulai membantu Silvi bicara. Penolakan mereka untuk membuatnya pergi dari sana membuat Vea berani melangkah ingin melarikan diri, tetapi digagalkan oleh mereka bertiga yang menarik tangannya sehingga Vea sekarang masuk ke dalam kamar dengan pintu yang sudah dikunci dari luar. "Keluarkan aku dari kamar! Kenapa kalian setega ini sama aku? Bukankah kalian juga perempuan! Mengapa kalian mau dimadu oleh pria bodoh itu? Kalian sama saja dengannya! Pasti kalian semua berniat jahat sama aku kan dari awal!" teriaknya di dalam kamar. Silvi, Ria dan Cici hanya mendengarkan teriakan dengan wajah yang tidak begitu menyenangkan, bagi mereka Vea yang paling susah menerima suaminya, padahal Vea adalah wanita pilihan Wiliam setelah mereka, dipastikan hidupnya tidak akan pernah susah lagi. "Bagaimana ini Kak Silvi, apa kita biarkan Vea ada di dalam kamar sendirian? Kalau dia nekat melakukan hal-hal bodoh gimana? Tapi serba salah juga sama perintah Mas Wiliam kan, kita ada di tengah-tengah kondisi yang tidak menyenangkan," keluh Cici tidak begitu menyukai peristiwa hari ini. Cici sangat setuju Wiliam menikah lagi dengan Vea atau wanita manapun, tetapi mengurung wanita di dalam kamar menurutnya salah, sudah dipastikan Vea akan salah paham pada mereka bertiga. "Sudahlah Ci, Ria, kalian berdua ikuti saja aturan di rumah ini, turuti Mas Wiliam beres, aku pun tidak akan kasar pada Vea, kita sama-sama tau bagaimana caranya menjaga perasaan satu sama lain bukan? Memang tidak semua wanita setuju dengan yang namanya poligami," tutur Silvi menenangkan kedua madunya. Keduanya setuju, mungkin Vea masih membutuhkan adaptasi menerima semua kenyataan yang dihadapinya. Menurut mereka pernikahan ini akan menguntungkan Vea, tidak untuk Wiliam sama sekali. Saat masih berdiri di depan pintu, teriakan Vea semakin menggelegar. "Heyyy! Kalian dengar aku kan? Buka pintunya! Aku akan melaporkan kalian semua ke polisi karena sudah menculik dan mengurungku seperti ini! Apa tujuan kalian yang sebenarnya setuju dengan pernikahan konyol ini? Si tua Wiliam itu juga tidak cocok menjadi suamiku! Keluarkan aku!" Demi apa pun teriakan Vea menyambar batin Silvi, sesuatu telah dipendamnya lebih lama daripada kedua madunya. Air matanya begitu saja mengalir tanpa izinnya, Cici dan Ria memahami apa yang dirasakan Silvi. Mereka saling menguatkan dengan sebuah pelukan. "Tujuan kami? Tentu kami tidak akan memberitahukan kamu apa yang terjadi sebenarnya, semua sudah kami tutup rapat bertiga," batin ketiganya."Memang gila orang-orang di rumah ini, poligami dimudahkan, mereka saling akur satu sama lain, bahkan istri tertua seperti wanita yang begitu rela suaminya dibagi rata, si tua bangka itu seharusnya sadar diri sudah punya istri-istri cantik, malah ditambah lagi," gerutu Vea yang akhirnya berhenti teriak-teriak. Sudah cukup lelah Vea berteriak-teriak, kini pandangannya tertuju pada jendela kaca yang terbuka, ternyata masih ada kesempatan bagi dirinya untuk kabur dari tempat yang menurutnya asing. "Jendela itu, aku harus kabur dari sini sebelum mereka semuanya menyadarinya, mana mungkin aku mau jadi istri orang yang tidak aku kenal sama sekali, baru satu hari bertatap muka langsung seenaknya bawa aku dalam pernikahan, akhirnya aku bisa pulang," ucapnya segera keluar dari jendela dengan perlahan-lahan. Sedangkan ketiga istri Wiliam masih ada di depan pintu kamar, mereka berjaga-jaga agar Vea tidak melarikan diri, tetapi ternyata Vea mendapatkan ide gila kabur lewati jalur lain. Masi
Tepat menjelang malam Vea telah di eksekusi oleh William, waktu sangat cepat berlalu membuat wanita itu akhirnya bisa menyatu dengan Wiliam, perasaan hancur, sedih, menyesal menjadi satu, Vea masih tidak percaya dirinya akan tidur dengan pria asing. "Hiks, kamu sudah memperkosa aku, rasanya aku jijik melihatmu di dekatku, aku minta kamu keluar dari kamar ini, Wiliam! Keluar dan jangan tampakkan wajahmu di hadapan akan!" Saat Vea sudah sangat lemas dan nyeri diberbagai bagian tubuhnya, Wiliam tidak memperdulikan itu, tugasnya sudah selesai, dia juga mengambil kembali pakaian dan celananya yang ada di lantai, kesedihan Vea menyakitkan dadanya yang terasa sesak. "Tugasku selesai, istirahatlah jika kamu memang lelah, nanti malam aku mau kamu bisa makan malam denganku di sebuah restoran dekat dari sini, kamu pasti akan menyukainya," ujar Wiliam keluar dari sana. Tidak peduli dengan ucapan Wiliam, Vea masih meringkuk menangis tersedu-sedu tidak tertahan lagi, tentu apa yang dilakukan
Tentu Wiliam sekarang kepikiran Silvi berani marah padanya, tetapi masih dalam otaknya menginginkan seorang anak yang bisa membantunya kelak dalam mengelola apa yang sudah dibangunnya selama ini. "Apa yang salah dariku? Silvi sensitif sekali, padahal dia sendiri yang mau aku menikah dan menikah lagi, kalau saja mereka bertiga tidak mandul, kejadian ini tidak akan terjadi, aku harus pastikan Vea bisa pulang dengan cepat," ucap Wiliam tanpa penyesalan. Hati Silvi rasanya sakit juga sedih melihat sikap suaminya tidak terkontrol lagi atas keinginannya. Belum lama Wiliam menikah dengan Cici tetapi hasilnya tetap sama Wiliam belum juga mendapatkan keturunan yang dia mau. Setelah kejadian itu, tiga hari kemudian dokter mengizinkan Vea pulang dari rumah sakit atas permintaan Wiliam sendiri. "Kita pulang ke hotel sebagai bulan madu yang sempat tertunda saat wanita ini ada di rumah sakit, pastinya di sini jauh lebih nyaman karena tidak ada Silvi, Ria dan Cici." Dibenak Wiliam hanya ma
Mereka bertiga saling pandang atas permintaan Vea, tidak mungkin membantu Vea pergi dari Wiliam, mereka pastinya akan membantu suaminya untuk mendapatkan Vea. "Tenanglah Vea, kamu tidak perlu memikirkan Mas Wiliam seberat itu, kamu tau kan ini masih pagi, kamu tidak mau berangkat kerja di tempatmu?" tanya Silvi menyadarkan Vea. Wanita itu segera beranjak dari sana dan kembali berjalan keluar dari kamar hotel tanpa berkata-kata pada mereka bertiga, memang pekerjaannya jauh lebih penting dari segalanya. "Gawat, aku bisa dipecat beberapa hari ini tidak masuk kerja tanpa izin, Wiliam benar-benar memuakkan, aku tidak akan terima jika pekerjaanku akan berhenti gara-gara dia." Saat perjalanan menuju tempat kerja yang ada di Twenty XXII. Tepatnya ada di Jakarta Barat dekat sekali dengan kampus. Vea sudah lama bekerja di sana hampir dua tahun lamanya, dia tidak mau kehilangannya hanya karena pernikahan bodohnya. Dengan cepat Silvi menghubungi Wiliam yang berada di dalam mobil menu
"Wiliam! Keluar dari sini atau aku akan berteriak untuk mengusir kamu! Kamu sudah masuk tanpa izinku dan kamu membahas hal yang tidak pantas!" Seketika itu juga Wiliam bangun dan bertatapan langsung dengan Vea yang sedang marah besar, keempat bola mata bertemu, Wiliam seakan berkaca mata itu adalah dirinya sendiri. "Izin istri sendiri? Hal tidak pantas adalah kewajiban kamu sebagai seorang istri, apa aku salah? Rasanya aku hanya mengingatkan kamu untuk tidak menunda apa yang harus kamu berikan pada suamimu," tuturnya menambah kemarahan istrinya sendiri. Bersamaan mulut Wiliam yang tertutup, Vea menaikan tangannya untuk memukul wajah rupawan Wiliam, dia tidak tahan didesak dan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak mau dia lakukan. "Istri? Kewajiban? Aku tidak akan mau! Lebih baik kamu hilangkan niat kamu Wiliam! Aku tidak akan sudi tidur denganmu dan aku minta segera lepaskan aku dari jerat pernikahan ini. Aku menolak menjadi istri keempat kamu! Aku muak melihat tingkah kamu sepe
"Berdirilah Wiliam! Kamu jangan seperti anak kecil yang terus merengek meminta keinginanmu bisa aku wujudkan, aku bukan orang yang tepat untuk memberikan kamu anak, percayalah aku bukan wanita yang kamu cari, segera ceraikan aku." Dengan cepat tangan Vea melepaskan tangan Wiliam yang terus menggenggamnya, tidak mau lagi berlama-lama berhadapan dengan pria tua yang membuat Vea rasanya ingin murka. "Vea, jika kamu menuruti aku, sesuatu sudah aku siapkan untukmu, aku mendapatkan informasi mengenai kedua orang tuamu, tentang keberadaan ayahmu Aziz, itu juga kalau kamu masih menganggapnya sebagai orang tuamu, ikutlah denganku." Mungkin dengan cara ini Vea akan mau diajaknya pulang, setidaknya wanita itu tidak menghindarinya. Informasi yang Wiliam dapatkan termasuk valid dan lengkap dibutuhkan oleh Vea selama ini. "Ayahku? Di mana dia? Apa kamu serius mengetahui keberadaan ayahku? Selama ini aku ingin bertemu dengannya dan bertanya banyak tentang, kenapa aku dibuang ke panti asuhan? A
Vea menundukkan kepala tidak mau Wiliam bertambah marah padanya. Mereka hampir sampai di rumah, tentu tidak akan jauh-jauh dari ketiga istri Wiliam yang selalu antusias menyambut wanita lain masuk ke dalam rumah. "Selamat datang di rumah kembali Vea dan Mas Wiliam." Silvi lebih dulu menyambut dengan membawakan kalung bunga-bunga yang segar, sedangkan Cici dan Ria menggandeng keduanya agar bisa lebih cepat masuk ke dalam rumah setelah keluar dari mobil. "Apa yang kalian lakukan lagi? Apa ini adalah penyambutan untuk madu kalian? Orang di rumah ini sangat aneh, aku baru bertemu dengan kalian semua. Tidakkah kalian bertiga merasakan cemburu?" Ucapannya dihiraukan oleh mereka. Hanya beberapa menit Vea dan Wiliam sudah ada di dalam rumah bersama Silvi, Ria dan Cici, mereka melihat ruangan telah banyak hiasan yang telah disiapkan ketiganya. Namun, tidak begitu membuat Vea merasakan kebahagiaan. "Aku mau istirahat, bisakah kamu biarkan aku istirahat hari ini sebelum kamu akan mempert
Sungguh di luar kemampuan Wiliam untuk bisa mengubah jalan pikiran Vea yang selalu menganggapnya jahat ataupun penipu, Wiliam melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu. "Maafkan aku, Vea. Rasanya aku tidak kuat apabila mendengar kamu kecewa jika mendapat kenyataan yang tidak kamu inginkan lagi, setidaknya aku tidak melihatnya sekarang." Wiliam pergi dari rumah untuk memastikan sendiri apa yang dia dapatkan dari orang suruhannya, sedangkan Vea masih terus berada di dalam kamar yang terkunci, dan jendela sudah ditutup rapat agar wanita itu tidak bisa kabur lagi. Hari berlalu dan tiba di mana ada awak media yang datang ke kediaman Wiliam. Tepat pukul sembilan pagi Wiliam dan keempat istrinya sudah berada di ruangan khusus untuk pertemuan semacam ini, mereka semua meliput begitu juga banyak sekali kamera wartawan yang terus menyilaukan mata kelimanya. "Saya Wiliam telah menikah lagi dengan wanita bernama Vea, dia adalah pekerja di sebuah pusat perbelanjaan, dan sekarang menjadi
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki