Degg!
Seketika detak jantung Ana seakan terhenti. Raut wajahnya kembali khawatir. “Tapi Pak, kenapa harus saya. Buat apa menikahi saya secara hukum dan agama. Kalau memang butuh baby sitter kenapa tidak menjadi orang yang ahli saja. Saya tidak punya pengalaman dalam hal ini," lirih Ana mencoba mengelak. “Sudah, lakukan saja tugas yang saya perintahkan. Kamu telah saya beli dengan harga mahal," titah Arka. “Pak, beri saya satu kesempatan. Saya hanya ingin melanjutkan pendidikan saya,” protes ana. Dia masih bersikeras menolak. Hati Ana terasa begitu sakit. Baru saja dia merasa bahagia karena dinikahi oleh seorang laki-laki kaya yang terlihat masih muda. Namun kenyataannya sangat pahit. Ternyata laki-laki itu sudah mempunyai anak. “Lakukan saja apa yang saya mau, Ana!” kelakar Arka lalu meninggalkan Ana berdua dengan anak Gio. Ana tak dapat melawan. Dia hanya bisa membatin, rasanya percuma membantah ucapan seorang Arka. Ana hanya melihat Gio dengan dekat. Rasanya begitu lelah. Hal yang tak pernah dia bayangkan adalah menjadi seorang baby sitter. Tiba-tiba seorang perempuan berwajah mirip dengan Arka memasuki rumah mewah itu. Ana masih terdiam diluar kamar memperhatikan Arka yang mendekati perempuan itu. Namun perempuan itu langsung menunjuk ke arah Ana. “Jadi kamu, istri baru Arka?” ucap perempuan itu dengan raut penasaran. Ana diam mematung, dia tak kenal dengan perempuan itu. Dia terlihat bingung. Lalu Arka menengahi mereka. “Mama. Ini Ana, istri Arka,” ucap Arka tiba-tiba menggandeng tangan Ana. Veni melihat tampilan Ana dari atas sampai bawah. Dia terlihat tidak suka dengan penampilan Ana yang sangat terlihat biasa saja. “Setelah menikahi perempuan sombong, sekarang kamu malah menikahi perempuan miskin. Selera kamu selalu rendahan, Arka!” sindir Rika sambil menatap Ana dengan sinis dan tak suka. Arka lalu memegang tangan Ana dengan lembut. “Sudah Ma, ini pilihan Arka,” ucap Arka dengan dingin. Ana terkesiap dan sedikit kaget melihat tangan Arka memegang tangannya. Ana memilih diam diantara kedua orang itu. Dia mencoba melirik ke sekitar yang ternyata banyak penjaga di kawasan rumah elit itu. Rika menghampiri Ana. “Kamu perempuan miskin, sudah lakukan apa saja untuk membujuk anak saya agar menikahi kamu?” gertak perempuan berpenampilan mewah itu. Ana tertegun dibuatnya. “Maaf, Bu. Saya tidak pernah melakukan apapun untuk Pak Arka,” lirih Ana sedikit ketakutan. Dia sambil melirik Arka yang terlihat tenang. “Bohong, pasti kamu hanya mau harta anakku saja kan? Jujur kamu. Asal kamu tau ya, Arka ini gak akan pernah jadi seperti sekarang kalau tanpa Aku dan papanya. Camkan itu! Jadi kamu jangan berharap lebih meskipun sudah diperistri olehnya,” ungkap Rika dengan pandangan merendahkan. Ana hanya menunduk dalam. Lebih baik dia diam saja daripada semakin direndahkan. Arka pun mengusap bahu Ana dengan lembut. “Ma, pintu keluar ada disana. Silakan Mama pergi dari rumah Arka,” ucap Arka menunjukkan sebuah pintu besar dan megah. “Tega kamu dengan mama kamu sendiri, Arka. Mama pastiin nanti kamu yang akan datang ke mama dan menyesal dengan pilihan kamu ini,” sungut Rika membuang pandangannya lalu pergi meninggalkan rumah itu. Setelah kepergian mamanya, Arka langsung menatap Ana dengan tajam dan melepas tangan Ana. “Kembali ke dalam, kamu harus menjaga anak saya,” tunjuk Arka dengan murka. “Maaf pak,” ujar Ana menunduk. Ana tak ada pilihan lain saat melihat wajah amarah dari Arka. Mungkin Ana banyak kecewa setelah ucapan Arka dan mamanya barusan. Arka lalu melanjutkan aktivitasnya. Dimana di luar rumahnya sudah ada beberapa penjaga kepercayaannya. Ada Bang Bewok yang ikut menyusulnya. Bang Bewok merupakan bodyguard Arka sejak dia kecil. Dan setelah Arka dewasa, Bang Bewok tetap ikut dengannya menjadi bodyguard dan kepercayaannya. Jadi Arka begitu dekat dengan bang Bewok. Hingga suatu hari Arka dengan terpaksa meminta bang Bewok untuk mencarikan gadis baik-baik dari desanya. Untuk dinikahkan dengannya. Arka bisa saja menyewa baby sitter lain, tapi dia ingin anaknya dapat perawat yang memang benar-benar baik dan tulus. Jadilah Arka membeli Ana dan menikahinya agar Ana bisa dekat dengan sang anak dan bisa menganggap Gio sebagai anaknya sendiri. Malam harinya, setelah Ana berhasil menidurkan dengan berbagai cara sebab Gio banyak sekali alasannya agar tak tidur. Lalu Ana beranjak ke arah dapur. “Ternyata susah juga ya nidurin anak kecil,” lirih Ana mengeluh. Dia sambil meneguk segelas air putih. “Pembantu masih datang besok. Kalau mau makan kamu masak sendiri," ucap Arka yang tiba-tiba datang dari lantai dua. Ana melihat sekilas lalu mengangguk. “Maaf Pak Arka, kamar saya di sebelah mana ya?” tanya Ana kebingungan. Pasalnya dia belum membereskan pakaiannya yang dia bawa. “Ya kamu satu kamar dengan Gio,” jawab Arka langsung duduk di kursi santai. “Lalu pak Arka dimana kamarnya?” tanya Ana lagi. "Lantai dua," ucap Arka. Dia terlihat sibuk dengan ponselnya. "Kita tidak satu kamar ya, Pak?" tanya Ana dengan polosnya. "Jelas tidak, disini kamu hanya pengasuh buat anak saya. Bukan sebagai istri," ucap Arka dengan tegas. Kesibukannya tidak teralihkan dari kerjaannya. Ana tersentak mendengar itu. Lalu dia mengelus dadanya. “I- iya pak, maaf,” beo Ana. Lalu dia segera menuju ke kamarnya dan membereskan semua barang bawaannya. Arka dapat melihat sosok Ana yang begitu polos namun sedikit keras kepala . Arka hanya melihat kepergian Ana dari hadapannya. Dia jadi teringat dengan seseorang. Keesokan harinya, Ana bangun dengan memulai memandikan Gio. Soalnya anak itu harus pergi ke sekolah. Anak umur empat tahun yang sudah mengenyam pendidikan TK A. Gio berlari dari sudut ke sudut kamar. Dia berteriak tidak mau menurut ke Ana. "Gak mau, Gio masih mau main," ucap Gio terus berlari dari kejaran Ana. "Ayo Gio, kamu harus mandi," ucap Ana dengan kesusahan. “Kamu urus anak saya dengan benar!” ucap Arka yang tiba-tiba masuk ke kamar itu. Dia terlihat baru saja bangun tidur. Mungkin dia terbangun karena mendengar teriakan Gio. “Aduh, maaf pak. Ini daritadi Gio gak mau mandi," ungkap Ana sambil terus melihat Gio yang tengah memutari sudut ruangan. “Coba cari cara lain, masa tidak bisa,” ucap Arka dan langsung meninggalkan kamar dengan perasaan kesal. Ana terlihat ngos-ngosan. Arka dengan seenaknya meremahkan. Ana melihat ke arah Gio yang juga melihatnya. "Mandi ya, nanti setelah mandi baru main lagi," pinta Ana dengan tatapan memelas. "Oke," ungkap Gio lalu menurut pergi ke kamar mandi. Akhirnya Ana dapat bernafas dengan lega. Setelah selesai, Ana langsung menuju ke dapur berniat untuk masak. Dari kemarin dia belum makan sama sekali. “Kamu tidak boleh ke lantai dua,” ucap Arka yang tiba-tiba berada di belakang ana. “Iya pak,” sahut Ana. Dia mencoba untuk memilih beberapa makanan yang akan dia masam. “Buatkan saya kopi hitam tanpa gula. Sama sandwich, saya mau sarapan,” perintah Arka sambil merapikan pakaiannya. Ana pun patuh, dia langsung menyiapkan yang Arka minta. ‘Mau ngeluh ya percuma. Lagi pula pak Arka kan sudah sah jadi suamiku. Ini juga pasti akan bernilai pahala’, gumam Ana dalam hatinya. Dia masih berpikir positif dengan segala yang sudah terjadi padanya. Setelah selesai, Ana pun langsung menghindangkannya di depan Arka. “Silahkan pak,” ucap Ana. Arka pun langsung menyantap sarapannya beserta minuman kesukaan dia. Ana merasa kalau dirinya tidak diuntungkan dalam hal ini. Dijual dan dijadikan pengasuh anak bukanlah sebuah impian bagi Ana. Ana pikir akan lebih baik hidupnya tanpa ibu tiri dan saudara tirinya. Ternyata sama saja, dia tetap menjadi suruhan dari orang sekitarnya. "Jangan melamun, makanlah," titah Arka menyadarkan Ana. "iya pak," sahut Ana langsung menyendokkkan suap demi suap makanan yang telah dia masak. Ana bingung dengan sikap Arka yang super dingin dan tidak banyak bicara. Ana mencoba untuk fokus dengan makanannya saja. "Kamu harus bisa menjaga anak saya dengan baik," peringat Arka. Mengingat takdirnya saat ini yang berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Ana mengunyah makanan itu namun terasa pahit saat mendengar ucapan dari Arka. Ana hanya bisa pasrah dengan keadaan yang tak pernah dia mimpikan sebelumnya. Bersambung …Setelah selesai makan, Ana langsung membereskan piring bekas makanannya. Lalu dia beranjak pergi menuju kamarnya. Saat dibalik tembok, Ana menghentikan langkah ketika mendengar omongan Arka dengan bang Bewok. "Tuan Arka. Gimana dengan kabar non Gisel? tanya bang Bewok. Arka mematikan laptopnya, tanda kerjaan dia telah selesai. "Saya sudah putus kontak dengan dia, Bang," sahut Arka sambil menyesap kopi kesukaannya. "Sebaiknya Tuan merahasiakan pernikahan Tuan ini dengan Ana," saran dari Bang Bewok untuk Arka. "Tidak, tidak perlu dirahasiakan. Lagipula saya dengan Gisel sudah tidak ada hubungan sama sekali," ucap Arka yakın. "Baik Tuan, jika itu kehendak Tuan. Saran saya, perlakukan Ana dengan baik. Dia gadis baik, hanya saja tidak beruntung dalam hal ekonomi," ucap bang Bewok. "Saya hanya ingin Ana menjadi perawat untuk Gio. Masalah pernikahan, bisa dipikirkan lain kali," ujar Arka. Meskipun kedua orang itu sebagat atasan dan bawahan. Namun bang Bewok sudah seperti kakak
Pagi ini seperti biasa kegiatan Ana adalah mengirus Gio. Ana mencoba melupakan kejadian tadi malam. Setelah bangun tidur, dia melakukan aktivitas seperti biasanya. Gio terlihat menggeliat dengan tenang. Sepertinya masih terlalu pagi untuk membangunkan Gio. Palagi masuk sekolahnya masih jam delapan. "Kasihan, bayi sekecil ini sudah harus ditinggal oleh ibunya," lirih Ana mengusap wajah Gio begitu pelan. Sudah seminggu Ana di rumah besar itu. Namun Ana tak merasakan kebahagiaan sebagai seorang istri. Yang ada hidupnya semakin memperihatinkan. Ana harus menaruhkan usia mudanya untuk mengurus anak kecil yang sudah aktif- aktifnya. Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok Arka. “Besok ikut saya ke acara penting. Ada pertemuan dengan klien,” ucap Arka sambil menciumi anaknya. “Baik, Pak,” ucap Ana menurut. “Oke, saya ke atas dulu,” ucap Arka beranjak meninggalkan kamar itu. “Pak, tunggu,” ujar Ana menghentikan langkah Arka. “Hmm,” sahut Arka membalikkan badan. " Kalau bisa
Arka tampak mondar mandir di atas balkon. Ana yang sedang membantu bi Sri menyiram tanaman, dapat melihat dengan jelas kebingungan Arka. “Ada masalah ya Non?” tanya bi Sri. “Sepertinya bi, mungkin gara-gara membela saya kemarin. Pak Arka menaruhkan pekerjaannya hanya untuk membela saya,” ucap Ana bersedih hati saat mengingat kejadian kemarin. “Bagus dong non, berarti tuan Arka itu tanggung jawab. Meskipun masih belum memperlakukan non sebagai layaknya seorang istri. Tapi di depan semua orang bisa membela istrinya,” ucap bi Sri membuka pikiran Ana. “Bi Sri benar, dia ternyata sebaik itu. Selama ini saya terlalu berpikir buruk dengan pak Arka,” ucap Ana terus memandangi Arka yang terlihat termenung. Setelah selesai dengan urusannya, Ana kembali mengecek keadaan Gio. Bayi kecil itu masih konsisten dengan tidurnya yang sangat pulas. Akhirnya Ana memilih untuk membawakan makan siang dan minuman untuk Arka. “Pak Arka,” sapa Ana membawa sebuah nampan. “Saya sudah larang kamu unt
Arka melepas Ana dari cengkramannya. Sementara Gio yang terbangun langsung memeluk Arka. “Pa,” panggil Gio. Arka yang tadinya tak sadarkan diri langsung menyadari perbuatannya barusan pada Ana. Sementara Ana langsung mengambil baju dan pergi ke kamar mandi. Ana mengutuk dirinya di dalam kamar mandi. Dia terdiam cukup lama dan berusaha menyadari kejadian barusan. Setelah merasa cukup, dia lalu keluar ke kamar. Di kamar hanya tersisa Gio yang kembali terlelap dalam tidurnya. Sementara Arka sudah tak nampak di kamar itu. Ana pun melanjutkan aktivitas malamnya dan tak lupa mengunci pintu kamarnya. *** Pagi harinya, Ana melakukan kegiatan seperti biasa. Dia sudah mulai terbiasa dengan tugasnya. Gio terlihat sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Mereka sedang sarapan pagi. “Non Ana baik-baik aja kan?” tanya bi Sri menyapa Ana di meja makan. Ana melihat bi Sri sambil menyuapi Gio. “Iya bi, baik-baik aja kok,” ucap Ana. Lalu bi Sri mencoba duduk di sebelah Ana. “Rambutnya ba
Sejak malam itu, Ana berusaha mengikis jarak dengan Arka. Semalaman dia tak henti menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan. “Tante Ana,” panggil Gio saat istirahat sekolah tengah berlangsung. “Iya Gio,” sambut Ana menerima kertas yang merupakan hasil dari gambaran Gio. “Jangan nangis terus, Tante Ana,” ucap Gio dengan tulus. Lalu dia kembali ke arena bermain bersama temannya yang lain. Ana tertegun, lalu dia segera menghapus sisa tangisan air matanya. Dan berubah fokus dengan kertas pemberian Gio. Dimana di kertas itu ada sebuah gambar perempuan yang sedang memetik bunga di taman. “Gambarnya bagus,” puji Ana sambil melihat ke arah Gio yang tengah tertawa bersama temannya. Ana mencoba menerbitkan secercah senyuman. Setidaknya, tidak semua orang di rumah itu membenci dirinya. Masih ada Gio yang baik padanya. Setelah selesai dari menjaga Gio. Lalu Ana mencoba keluar dari kamar untuk menemui bi Sri yang tengah bergurau dengan pak Martin yang merupakan satpam di rumah itu.
Dua bulan berlalu. Kehidupan Ana terasa sangat menjenuhkan. Tak ada kebahagiaan lebih yang dia rasakan. “Pak, saya boleh tidak, sambil melanjutkan kuliah?” tanya Ana sedikit ragu. Sedari kemarin dia menahan pertanyaannya itu. “Lalu, Gio gimana?” tanya balik Arka. Dia melepas kacamatanya. Mereka berdua tengah berada di ruang kerja Arka yang terletak di lantai satu sebelah kamar Gio. “Saya mau ambil kelas malam. Kan biasanya kalau malam Gio sudah tidur,” ujar Ana menunduk takut. Dia tak yakin dengan keinginannya sekarang. “Gak bisa, Gio butuh kamu,” ucap Arka melarang Ana. “Saya janji bakal jaga Gio dengan baik, meskipun saya sambil kuliah,” ujar Ana meminta pertimbangan pada Arka. “Gak bisa, lagian kamu gak ada biaya kan buat lanjut kuliah?” tegur Arka. Keputusan laki-laki itu tetap saja tidak berubah. Tak ada jawaban, Ana memilih langsung keluar dari ruangan kerja Arka. Ana nampak sekali kecewa. Lalu dia masuk ke kamarnya dengan menangis. “Tante kenapa?” tanya Gio men
Arka melepas tangan Ana saat mereka memasuki mobil dan meninggalkan tempat itu. Arka kembali fokus menyetir. Sementara Ana memangku Gio yang telah tertidur pulas. “Bu, tadi itu Ana si gadis cupu dan culun kan?” tanya Dania masih ternganga melihat kepergian Ana. “Sepertinya bukan deh, kan dia jadi istri keduanya bang Bewok. Tadi itu bukan bang Bewok kok,” jawab Mirna menggaruk pelipisnya. “Apa jangan-jangan Ana selingkuh ya. Tapi gak mungkin sih selingkuh sama laki-laki kaya dan tampan,” ungkap Dania. Dia terlihat mondar mandir sambil membawa tas belanjaannya. “Udah lah jangan dibahas. Sepertinya barusan itu bukan Ana si gadis miskin itu,” ucap Bu Mirna. Dania pun menyetujui. Lalu mereka melanjutkan aktivitasnya berbelanja kembali. Sementara di rumah megah itu. Arka menggendong Gio menuju kamarnya. Anak itu begitu pulas dalam tidurnya. “Pak Arka, masalah tadi itu …,” ujar Ana menggantungkan kalimatnya. “Ibu tiri dan kakak tirimu kan?” tebak Arka setelah meletakkan Gio. “
Arka membantu Ana mengobati pahanya yang melepuh karena kopi panas yang tertumpah tadi. Dengan teliti dan penuh kehati-hatian, Arka terlihat fokus mengobati Ana. “Gimana?” tanya Arka melihat intens ke arah Ana. “Apanya ya, Pak?” tanya Ana sedikit loading dengan ucapan Arka yang irit dalam berbicara. “Masih perih nggak?” tanya Arka lagi memperjelas pertanyaannya. “Udah lumayan mendingan, Pak. Makasih ya,” ujar Ana terlihat sedikit membaik setelah tadi merintih kesakitan. “Ya sudah kamu pergi dari sini!” usir Arka pada karyawan perempuan tadi. “Sekali lagi, Maaf Nyonya Ana,” ujar perempuan itu menunduk dalam merasa bersalah. “Gak apa-apa kok, lagian juga gak sengaja kan,” ucap Ana memberikan senyum pada karyawan perempuan itu. Lalu karyawan perempuan itu meninggalkan ruangan Arka. Sementara Arka masih duduk di sebelah Ana. Gio mendekati Ana. “Tante gak apa-apa kan?” tanya Gio terlihat begitu sedih melihat kondisi Ana. “Gak apa-apa kok, Gio,” ucap Ana mengusap kepala G
Adiva mencoba melihat ke arah pintu, cahaya yang remang dan tak terlalu jelas. Adiva dapat mendengar suara itu dengan sangat jelas. “Kamu siapa?” tanya Adiva sedikit berteriak. Sosok perempuan itu semakin mendekat. Dia sekarang berada tepat di depan Adiva. Namun Adiva tak bisa melihatnya secara jelas. Sebab terbatasnya penerangan yang ada. “Kamu tidak perlu tau siapa aku,” ujar perempuan itu dengan suara lantang. Adiva mencoba membuka lagi tapi yang mengikat tangannya. Namun tetap saja itu percuma. Tapi itu terasa semakin erat mengikat tangannya. “Cepat lepaskan aku, ini sangat sakit,” keluh Adiva. Meringis kesakitan. Mana rasa lapar mulai mendesaknya. Dia bahkan tidak makan sedari pagi tadi. “Mimpi kamu, jauhin Fahri dulu, baru aku akan melepaskan kamu!” ancam perempuan itu memberi pilihan pada Adiva. Adiva menggeleng dengan cepat. “Nggak, aku gak mau, kenapa harus menjauhi Fahri? Memangnya kamu siapanya dia?” tanya Adiva dengan nafas memburu. Suaranya pun sudah mulai melemah. Di
Hari ini cuaca sedikit mendung, matahari tidak menampakkan diri. Tepat pukul delapan lewat tiga puluh menit, Yusuf memasuki sebuah tempat makan. Dia sedang ada kerjaan bisnis dengan teman lama nya. Jadi dia memutuskan untuk membahas pekerjaan nya sambil sarapan. Yusuf memakai baju lengan panjang polos, serta celana jeans hitam. Dia terlihat sangat tampan. Dengan alisnya yang tebal dan hidung yang mancung, menjadikan dia terlihat lebih tampan berkali-kali lipat.Yusuf langsung memesan nasi Padang, karena tempat ini terkenal dengan masakan padangnya yang enak dan lezat.Apalagi dipadukan dengan teh hangat, rasa nya tidak ada duanya.Hendra- teman bisnis Yusuf langsung menghampiri Yusuf. Mereka duduk dibangku pojok sebelah kiri."Pagi bro." Sapa Hendra."Alhamdulillah, akhirnya datang. Langsung pesan makan aja, hitung-hitung sambil sarapan." Tawar Yusuf kepada Hendra."Oke lah, sebentar." Akhirnya Hendra langsung memesan beberapa menu lauk nasi Padang.Setelah itu mereka langsung sarap
Semua menoleh ke arah sumber suara berasal. Adiva menutup mulutnya, dia barusan sadar dengan suaranya yang begitu keras barusan. Nazila menyenggol bahu Adiva. “Maaf Zil,” ucap Adiva. Nazila langsung menepuk dahinya. Beruntungnya di ruangan itu hanya ada Gus kembar dan beberapa pengurus senior. “Asih, Adiva, kok keras banget sih suara kamu!” tegur Nazila dengan ekspresi takut. “Aduh, beneran maaf loh, aku saking terkejut soalnya,” ujar Adiva menggigit bibirnya. Dia memang benar-benar tak sengaja. “Gimana ini dong,” lirih Nazila. Dia seperti malu dan ketakutan. “Ya udah kabur aja yuk,” ajak Adiva. Nazila pun mengangguk. Mereka berdua sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari meninggalkan ruangan itu. Namun ada seseorang yang menghentikannya. “Loh, mau kemana kalian?” tanya Fatah. Ketiga Gus kembar pun menghampiri kedua perempuan yang sama-sama sedang ketakutan itu. “Ini Gus, mau ke asrama putri,” jawab Adiva. Sementara Nazila menunduk dalam. “Loh, sebentar dulu Nazila. Ini ba
Pun dengan Layla yang bisa melewati segala macam ujian dalam mencintai seorang Abidzar Al-Ghifari. Ujian itu silih datang berganti, Layla semakin hari semakin tahu jika ujiannya bukan hanya sebatas ujian untuk dirinya namun juga untuk keutuhan rumah tangga nya. Karena disini sebenarnya mereka berdua sama-sama di uji. Di uji untuk saling bertahan, di uni untuk saling berjuang dan di uji untuk saling berkorban.Tidak ada yang sia-sia dalam sebuah perjuangan, dan disini Layla membuktikan bahwa ucapan nya kala itu untuk bisa mendapatkan hati Abidzar sudah terkabul. Dia bisa memiliki Abidzar seutuhnya, dan sampai mereka mempunyai seorang nak yang sangat lucu dan menggemaskan seperti mereka berdua tentunya "Iya Mas tau, dan Mas sudah menyadari itu sejak awal kita bertemu. Kamu sangat berbeda Humaira, kamu terlihat menenangkan dan hati ini langsung terpaut dengan kesabaran mu. Terima kasih telah kau bertahan hingga sejauh ini, dan maaf atas segala ketidak baikan yang kamu daoat selama kita b
Beberapa bulan kemudian."Mas." Panggil Layla saat Abidzar masih memasak untuk sarapan mereka berdua. Abidzar yang sadar sedang dipanggil, langsung tergesa-gesa untuk menghampiri istrinya itu. "Ada apa Humaira, kamu mau apa sekarang?" Tanya Abidzar langsung."Perutku sakit Mas, apa sudah mau keluar ya anak kita, aku harus gimana Mas?" Tanya Layla. Dan kangsung saja Abidzar berubah khawatir. "Loh, Layla, ya sudah ayo kita langsung menuju ke rumah sakit, kamu ini gimana sih kok masih ragu, ayo Humaira, tapi sebentar dulu Mas mau matyin kompor dan mau siap-siap. Tahan ya Humaira.""Cepat Mas." Pinta Layla dan langsung saja Abidzar bergegas dan setelah itu mereka langsung berangkat menuju ke rumah sakit terdekat. Abidzar mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan, dia tidak tega melihat Layla yang sedang merintih menahan kesakitan, dan benar saja sampai di rumah sakit Layla langsung dimasukkan ke ruangan khusus dan tertutup.Sebelum Abidzar memasuki ruangan itu, Abidzar menghubungi U
Namaku Abidzar, biasa dipanggil Abi atau Bi. Aku memutuskan untuk menuntut ilmu di salah satu pesantren besar yang ada di kota Jakarta. Namanya Pesantren Modern.Dari masa Tsanawiyah aku sudah disana, bahkan hingga masa Aliyah. Aku sangat ingin menjadi salah satu ustadz di pesantren modern.Setiap hari aku berusaha untuk tekun belajar, terutama belajar ilmu keagamaan. Cita-cita mulia ini juga berawal dari Abah ku, yang menjadi salah satu guru besar di dunia pendidikan terkemuka.Tapi aku ingin mengajar di pesantren saja, dimana aku bisa juga sambil mengabdi di pesantren tersebut.Ini no no no no no koi no no no no noSetiap hari ku lalui hari ini dengan semangat, tanpa lelah dan selalu ingin belajar. Aku harap dimasa depan semua ini dapat terbayar, semoga lelah ku ini menjadi Lillah. Insya Allah.Hingga tiba setelah kelulusan tes, dimana namaku terpampang paling atas. Sebagai ustadz, iya aku dapat mengajar di pesantren modern. Pesantren yang pernah mengajarkan ku banyak ilmu dan banya
Lailatul Jannah, gadis muda yang besar di kota Jakarta. Dia merupakan anak tunggal dari pasangan Doni dan Winda. Nama panggilan nya adalah Layla. Dia tumbuh di lingkungan yang baik. Saat berumur tiga belas tahun, dia melanjutkan pendidikan nya di salah satu pondok pesantren salaf di kota Jakarta. Nama pondok pesantren nya jalan Pondok pesantren Salaf Nurul Huda yang bertepatan di Jakarta Timur. Layla merupakan salah satu santriwati yang terkenal dengan sifat rajin nya. Dia santriwati yang berprestasi di banyak bidang, baik bidang keagamaan maupun bidang pengetahuan umum. Dia menghabiskan masa remaja di pondok pesantrennya. Delapan tahun dia disana untuk memperdalam ilmu keagamaan nya. Dia ingin menjadi salah satu juru dakwah untuk kaum perempuan di masa mendatang. Layla sangat fokus di kehidupan sehari-hari nya, dia tidak ikut pergaulan yang salah. Untuk itu setelah dia lulus jenjang SMA, dia diminta untuk mengajar di pondok pesantren nya sebagai ustadzah. Layla sangat bersyukur bisa
"Maryam!" Panggil seorang perempuan memakai daster dari dalam kamar sebelah di rumah itu."Iya Kak, ada apa?" Sahut seorang perempuan memakai Jilbab rawis berwarna hitam."Siapa yang nyuruh kamu buat lanjut kuliah? Nanti ngerepotin aja kalau butuh apa-apa, Kita ini keluarga miskin, bapak sama ibu juga udah ga kerja, harusnya kamu itu sadar diri." Firda- kakak kedua Maryam yang kini sedang memaki Maryam untuk tidak melanjutkan pendidikan nya ke jenjang lebih tinggi lagi.Maryam terkejut dengan sikap kakak perempuan nya itu, padahal dirinya sekarang bunuh dukungan, bukan hanya hinaan dan sebuah tuduhan. Maryam menatap kakaknya dengan mengiba, dirinya tidak seperti itu, dia ingin melanjutkan kuliahnya karena dia ingin mengangkat derajat keluarga nya itu lebih baik lagi, terutama untuk mengangkat derajat kedua orang tuanya."Ma- maaf Kak. Aku cuma mau mengejar cita-cita ku saja. Untuk urusan biaya nanti aku akan berusaha buat cari beasiswa, Insya Allah. Semua pasti dimudahkan kak." Maryam
Maryam hanya diam mendengar semua kata-kata yang terdengar pilu dari kakak perempuannya itu. Terlihat juga raut kecewa dari orang tuanya, kalau sudah begini apa yang harus Maryam lakukan. Maryam meminta maaf lalu kemudian tetap berjuang, atau Maryam terus bekerja hingga dia menabung banyak uang sampai keluarga nya bangga dan terbebas dari kekurangan, benar saja Maryam sekarang dilema."Maaf Bu, setelah gajian nanti Maryam lunasi hutang ibu. Dan setelah ini Maryam tidak akan menyusahkan lagi." Maryam mendekat dan duduk di depan ibunya. Lalu Kulsum, menghela nafas pasrah. "Sudah tidak apa-apa, tapi benar kata kakakmu, sebaiknya kamu jangan lanjut buat kuliah. Kita ini serba kekurangan, apalagi kalau kamu nanti kuliah sudah gak bisa kerja lagi. Kalaupun tetap kerja nanti takutnya kecapean.Maryam sadar, atau hanya sebatas mimpi. Satu-satunya orang yang Maryam anggap akan selalu mendukung ternyata juga sudah tidak yakin terhadap dirinya. Maryam tau diri, cukup, dia sudah tidak punya lagi