Degg!
Seketika detak jantung Ana seakan terhenti. Raut wajahnya kembali khawatir. “Tapi Pak, kenapa harus saya. Buat apa menikahi saya secara hukum dan agama. Kalau memang butuh baby sitter kenapa tidak menjadi orang yang ahli saja. Saya tidak punya pengalaman dalam hal ini," lirih Ana mencoba mengelak. “Sudah, lakukan saja tugas yang saya perintahkan. Kamu telah saya beli dengan harga mahal," titah Arka. “Pak, beri saya satu kesempatan. Saya hanya ingin melanjutkan pendidikan saya,” protes ana. Dia masih bersikeras menolak. Hati Ana terasa begitu sakit. Baru saja dia merasa bahagia karena dinikahi oleh seorang laki-laki kaya yang terlihat masih muda. Namun kenyataannya sangat pahit. Ternyata laki-laki itu sudah mempunyai anak. “Lakukan saja apa yang saya mau, Ana!” kelakar Arka lalu meninggalkan Ana berdua dengan anak Gio. Ana tak dapat melawan. Dia hanya bisa membatin, rasanya percuma membantah ucapan seorang Arka. Ana hanya melihat Gio dengan dekat. Rasanya begitu lelah. Hal yang tak pernah dia bayangkan adalah menjadi seorang baby sitter. Tiba-tiba seorang perempuan berwajah mirip dengan Arka memasuki rumah mewah itu. Ana masih terdiam diluar kamar memperhatikan Arka yang mendekati perempuan itu. Namun perempuan itu langsung menunjuk ke arah Ana. “Jadi kamu, istri baru Arka?” ucap perempuan itu dengan raut penasaran. Ana diam mematung, dia tak kenal dengan perempuan itu. Dia terlihat bingung. Lalu Arka menengahi mereka. “Mama. Ini Ana, istri Arka,” ucap Arka tiba-tiba menggandeng tangan Ana. Veni melihat tampilan Ana dari atas sampai bawah. Dia terlihat tidak suka dengan penampilan Ana yang sangat terlihat biasa saja. “Setelah menikahi perempuan sombong, sekarang kamu malah menikahi perempuan miskin. Selera kamu selalu rendahan, Arka!” sindir Rika sambil menatap Ana dengan sinis dan tak suka. Arka lalu memegang tangan Ana dengan lembut. “Sudah Ma, ini pilihan Arka,” ucap Arka dengan dingin. Ana terkesiap dan sedikit kaget melihat tangan Arka memegang tangannya. Ana memilih diam diantara kedua orang itu. Dia mencoba melirik ke sekitar yang ternyata banyak penjaga di kawasan rumah elit itu. Rika menghampiri Ana. “Kamu perempuan miskin, sudah lakukan apa saja untuk membujuk anak saya agar menikahi kamu?” gertak perempuan berpenampilan mewah itu. Ana tertegun dibuatnya. “Maaf, Bu. Saya tidak pernah melakukan apapun untuk Pak Arka,” lirih Ana sedikit ketakutan. Dia sambil melirik Arka yang terlihat tenang. “Bohong, pasti kamu hanya mau harta anakku saja kan? Jujur kamu. Asal kamu tau ya, Arka ini gak akan pernah jadi seperti sekarang kalau tanpa Aku dan papanya. Camkan itu! Jadi kamu jangan berharap lebih meskipun sudah diperistri olehnya,” ungkap Rika dengan pandangan merendahkan. Ana hanya menunduk dalam. Lebih baik dia diam saja daripada semakin direndahkan. Arka pun mengusap bahu Ana dengan lembut. “Ma, pintu keluar ada disana. Silakan Mama pergi dari rumah Arka,” ucap Arka menunjukkan sebuah pintu besar dan megah. “Tega kamu dengan mama kamu sendiri, Arka. Mama pastiin nanti kamu yang akan datang ke mama dan menyesal dengan pilihan kamu ini,” sungut Rika membuang pandangannya lalu pergi meninggalkan rumah itu. Setelah kepergian mamanya, Arka langsung menatap Ana dengan tajam dan melepas tangan Ana. “Kembali ke dalam, kamu harus menjaga anak saya,” tunjuk Arka dengan murka. “Maaf pak,” ujar Ana menunduk. Ana tak ada pilihan lain saat melihat wajah amarah dari Arka. Mungkin Ana banyak kecewa setelah ucapan Arka dan mamanya barusan. Arka lalu melanjutkan aktivitasnya. Dimana di luar rumahnya sudah ada beberapa penjaga kepercayaannya. Ada Bang Bewok yang ikut menyusulnya. Bang Bewok merupakan bodyguard Arka sejak dia kecil. Dan setelah Arka dewasa, Bang Bewok tetap ikut dengannya menjadi bodyguard dan kepercayaannya. Jadi Arka begitu dekat dengan bang Bewok. Hingga suatu hari Arka dengan terpaksa meminta bang Bewok untuk mencarikan gadis baik-baik dari desanya. Untuk dinikahkan dengannya. Arka bisa saja menyewa baby sitter lain, tapi dia ingin anaknya dapat perawat yang memang benar-benar baik dan tulus. Jadilah Arka membeli Ana dan menikahinya agar Ana bisa dekat dengan sang anak dan bisa menganggap Gio sebagai anaknya sendiri. Malam harinya, setelah Ana berhasil menidurkan dengan berbagai cara sebab Gio banyak sekali alasannya agar tak tidur. Lalu Ana beranjak ke arah dapur. “Ternyata susah juga ya nidurin anak kecil,” lirih Ana mengeluh. Dia sambil meneguk segelas air putih. “Pembantu masih datang besok. Kalau mau makan kamu masak sendiri," ucap Arka yang tiba-tiba datang dari lantai dua. Ana melihat sekilas lalu mengangguk. “Maaf Pak Arka, kamar saya di sebelah mana ya?” tanya Ana kebingungan. Pasalnya dia belum membereskan pakaiannya yang dia bawa. “Ya kamu satu kamar dengan Gio,” jawab Arka langsung duduk di kursi santai. “Lalu pak Arka dimana kamarnya?” tanya Ana lagi. "Lantai dua," ucap Arka. Dia terlihat sibuk dengan ponselnya. "Kita tidak satu kamar ya, Pak?" tanya Ana dengan polosnya. "Jelas tidak, disini kamu hanya pengasuh buat anak saya. Bukan sebagai istri," ucap Arka dengan tegas. Kesibukannya tidak teralihkan dari kerjaannya. Ana tersentak mendengar itu. Lalu dia mengelus dadanya. “I- iya pak, maaf,” beo Ana. Lalu dia segera menuju ke kamarnya dan membereskan semua barang bawaannya. Arka dapat melihat sosok Ana yang begitu polos namun sedikit keras kepala . Arka hanya melihat kepergian Ana dari hadapannya. Dia jadi teringat dengan seseorang. Keesokan harinya, Ana bangun dengan memulai memandikan Gio. Soalnya anak itu harus pergi ke sekolah. Anak umur empat tahun yang sudah mengenyam pendidikan TK A. Gio berlari dari sudut ke sudut kamar. Dia berteriak tidak mau menurut ke Ana. "Gak mau, Gio masih mau main," ucap Gio terus berlari dari kejaran Ana. "Ayo Gio, kamu harus mandi," ucap Ana dengan kesusahan. “Kamu urus anak saya dengan benar!” ucap Arka yang tiba-tiba masuk ke kamar itu. Dia terlihat baru saja bangun tidur. Mungkin dia terbangun karena mendengar teriakan Gio. “Aduh, maaf pak. Ini daritadi Gio gak mau mandi," ungkap Ana sambil terus melihat Gio yang tengah memutari sudut ruangan. “Coba cari cara lain, masa tidak bisa,” ucap Arka dan langsung meninggalkan kamar dengan perasaan kesal. Ana terlihat ngos-ngosan. Arka dengan seenaknya meremahkan. Ana melihat ke arah Gio yang juga melihatnya. "Mandi ya, nanti setelah mandi baru main lagi," pinta Ana dengan tatapan memelas. "Oke," ungkap Gio lalu menurut pergi ke kamar mandi. Akhirnya Ana dapat bernafas dengan lega. Setelah selesai, Ana langsung menuju ke dapur berniat untuk masak. Dari kemarin dia belum makan sama sekali. “Kamu tidak boleh ke lantai dua,” ucap Arka yang tiba-tiba berada di belakang ana. “Iya pak,” sahut Ana. Dia mencoba untuk memilih beberapa makanan yang akan dia masam. “Buatkan saya kopi hitam tanpa gula. Sama sandwich, saya mau sarapan,” perintah Arka sambil merapikan pakaiannya. Ana pun patuh, dia langsung menyiapkan yang Arka minta. ‘Mau ngeluh ya percuma. Lagi pula pak Arka kan sudah sah jadi suamiku. Ini juga pasti akan bernilai pahala’, gumam Ana dalam hatinya. Dia masih berpikir positif dengan segala yang sudah terjadi padanya. Setelah selesai, Ana pun langsung menghindangkannya di depan Arka. “Silahkan pak,” ucap Ana. Arka pun langsung menyantap sarapannya beserta minuman kesukaan dia. Ana merasa kalau dirinya tidak diuntungkan dalam hal ini. Dijual dan dijadikan pengasuh anak bukanlah sebuah impian bagi Ana. Ana pikir akan lebih baik hidupnya tanpa ibu tiri dan saudara tirinya. Ternyata sama saja, dia tetap menjadi suruhan dari orang sekitarnya. "Jangan melamun, makanlah," titah Arka menyadarkan Ana. "iya pak," sahut Ana langsung menyendokkkan suap demi suap makanan yang telah dia masak. Ana bingung dengan sikap Arka yang super dingin dan tidak banyak bicara. Ana mencoba untuk fokus dengan makanannya saja. "Kamu harus bisa menjaga anak saya dengan baik," peringat Arka. Mengingat takdirnya saat ini yang berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Ana mengunyah makanan itu namun terasa pahit saat mendengar ucapan dari Arka. Ana hanya bisa pasrah dengan keadaan yang tak pernah dia mimpikan sebelumnya. Bersambung …Setelah selesai makan, Ana langsung membereskan piring bekas makanannya. Lalu dia beranjak pergi menuju kamarnya. Saat dibalik tembok, Ana menghentikan langkah ketika mendengar omongan Arka dengan bang Bewok. "Tuan Arka. Gimana dengan kabar non Gisel? tanya bang Bewok. Arka mematikan laptopnya, tanda kerjaan dia telah selesai. "Saya sudah putus kontak dengan dia, Bang," sahut Arka sambil menyesap kopi kesukaannya. "Sebaiknya Tuan merahasiakan pernikahan Tuan ini dengan Ana," saran dari Bang Bewok untuk Arka. "Tidak, tidak perlu dirahasiakan. Lagipula saya dengan Gisel sudah tidak ada hubungan sama sekali," ucap Arka yakın. "Baik Tuan, jika itu kehendak Tuan. Saran saya, perlakukan Ana dengan baik. Dia gadis baik, hanya saja tidak beruntung dalam hal ekonomi," ucap bang Bewok. "Saya hanya ingin Ana menjadi perawat untuk Gio. Masalah pernikahan, bisa dipikirkan lain kali," ujar Arka. Meskipun kedua orang itu sebagat atasan dan bawahan. Namun bang Bewok sudah seperti kakak
Pagi ini seperti biasa kegiatan Ana adalah mengirus Gio. Ana mencoba melupakan kejadian tadi malam. Setelah bangun tidur, dia melakukan aktivitas seperti biasanya. Gio terlihat menggeliat dengan tenang. Sepertinya masih terlalu pagi untuk membangunkan Gio. Palagi masuk sekolahnya masih jam delapan. "Kasihan, bayi sekecil ini sudah harus ditinggal oleh ibunya," lirih Ana mengusap wajah Gio begitu pelan. Sudah seminggu Ana di rumah besar itu. Namun Ana tak merasakan kebahagiaan sebagai seorang istri. Yang ada hidupnya semakin memperihatinkan. Ana harus menaruhkan usia mudanya untuk mengurus anak kecil yang sudah aktif- aktifnya. Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok Arka. “Besok ikut saya ke acara penting. Ada pertemuan dengan klien,” ucap Arka sambil menciumi anaknya. “Baik, Pak,” ucap Ana menurut. “Oke, saya ke atas dulu,” ucap Arka beranjak meninggalkan kamar itu. “Pak, tunggu,” ujar Ana menghentikan langkah Arka. “Hmm,” sahut Arka membalikkan badan. " Kalau bisa
Arka tampak mondar mandir di atas balkon. Ana yang sedang membantu bi Sri menyiram tanaman, dapat melihat dengan jelas kebingungan Arka. “Ada masalah ya Non?” tanya bi Sri. “Sepertinya bi, mungkin gara-gara membela saya kemarin. Pak Arka menaruhkan pekerjaannya hanya untuk membela saya,” ucap Ana bersedih hati saat mengingat kejadian kemarin. “Bagus dong non, berarti tuan Arka itu tanggung jawab. Meskipun masih belum memperlakukan non sebagai layaknya seorang istri. Tapi di depan semua orang bisa membela istrinya,” ucap bi Sri membuka pikiran Ana. “Bi Sri benar, dia ternyata sebaik itu. Selama ini saya terlalu berpikir buruk dengan pak Arka,” ucap Ana terus memandangi Arka yang terlihat termenung. Setelah selesai dengan urusannya, Ana kembali mengecek keadaan Gio. Bayi kecil itu masih konsisten dengan tidurnya yang sangat pulas. Akhirnya Ana memilih untuk membawakan makan siang dan minuman untuk Arka. “Pak Arka,” sapa Ana membawa sebuah nampan. “Saya sudah larang kamu unt
Arka melepas Ana dari cengkramannya. Sementara Gio yang terbangun langsung memeluk Arka. “Pa,” panggil Gio. Arka yang tadinya tak sadarkan diri langsung menyadari perbuatannya barusan pada Ana. Sementara Ana langsung mengambil baju dan pergi ke kamar mandi. Ana mengutuk dirinya di dalam kamar mandi. Dia terdiam cukup lama dan berusaha menyadari kejadian barusan. Setelah merasa cukup, dia lalu keluar ke kamar. Di kamar hanya tersisa Gio yang kembali terlelap dalam tidurnya. Sementara Arka sudah tak nampak di kamar itu. Ana pun melanjutkan aktivitas malamnya dan tak lupa mengunci pintu kamarnya. *** Pagi harinya, Ana melakukan kegiatan seperti biasa. Dia sudah mulai terbiasa dengan tugasnya. Gio terlihat sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Mereka sedang sarapan pagi. “Non Ana baik-baik aja kan?” tanya bi Sri menyapa Ana di meja makan. Ana melihat bi Sri sambil menyuapi Gio. “Iya bi, baik-baik aja kok,” ucap Ana. Lalu bi Sri mencoba duduk di sebelah Ana. “Rambutnya ba
Sejak malam itu, Ana berusaha mengikis jarak dengan Arka. Semalaman dia tak henti menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan. “Tante Ana,” panggil Gio saat istirahat sekolah tengah berlangsung. “Iya Gio,” sambut Ana menerima kertas yang merupakan hasil dari gambaran Gio. “Jangan nangis terus, Tante Ana,” ucap Gio dengan tulus. Lalu dia kembali ke arena bermain bersama temannya yang lain. Ana tertegun, lalu dia segera menghapus sisa tangisan air matanya. Dan berubah fokus dengan kertas pemberian Gio. Dimana di kertas itu ada sebuah gambar perempuan yang sedang memetik bunga di taman. “Gambarnya bagus,” puji Ana sambil melihat ke arah Gio yang tengah tertawa bersama temannya. Ana mencoba menerbitkan secercah senyuman. Setidaknya, tidak semua orang di rumah itu membenci dirinya. Masih ada Gio yang baik padanya. Setelah selesai dari menjaga Gio. Lalu Ana mencoba keluar dari kamar untuk menemui bi Sri yang tengah bergurau dengan pak Martin yang merupakan satpam di rumah itu.
Dua bulan berlalu. Kehidupan Ana terasa sangat menjenuhkan. Tak ada kebahagiaan lebih yang dia rasakan. “Pak, saya boleh tidak, sambil melanjutkan kuliah?” tanya Ana sedikit ragu. Sedari kemarin dia menahan pertanyaannya itu. “Lalu, Gio gimana?” tanya balik Arka. Dia melepas kacamatanya. Mereka berdua tengah berada di ruang kerja Arka yang terletak di lantai satu sebelah kamar Gio. “Saya mau ambil kelas malam. Kan biasanya kalau malam Gio sudah tidur,” ujar Ana menunduk takut. Dia tak yakin dengan keinginannya sekarang. “Gak bisa, Gio butuh kamu,” ucap Arka melarang Ana. “Saya janji bakal jaga Gio dengan baik, meskipun saya sambil kuliah,” ujar Ana meminta pertimbangan pada Arka. “Gak bisa, lagian kamu gak ada biaya kan buat lanjut kuliah?” tegur Arka. Keputusan laki-laki itu tetap saja tidak berubah. Tak ada jawaban, Ana memilih langsung keluar dari ruangan kerja Arka. Ana nampak sekali kecewa. Lalu dia masuk ke kamarnya dengan menangis. “Tante kenapa?” tanya Gio men
Arka melepas tangan Ana saat mereka memasuki mobil dan meninggalkan tempat itu. Arka kembali fokus menyetir. Sementara Ana memangku Gio yang telah tertidur pulas. “Bu, tadi itu Ana si gadis cupu dan culun kan?” tanya Dania masih ternganga melihat kepergian Ana. “Sepertinya bukan deh, kan dia jadi istri keduanya bang Bewok. Tadi itu bukan bang Bewok kok,” jawab Mirna menggaruk pelipisnya. “Apa jangan-jangan Ana selingkuh ya. Tapi gak mungkin sih selingkuh sama laki-laki kaya dan tampan,” ungkap Dania. Dia terlihat mondar mandir sambil membawa tas belanjaannya. “Udah lah jangan dibahas. Sepertinya barusan itu bukan Ana si gadis miskin itu,” ucap Bu Mirna. Dania pun menyetujui. Lalu mereka melanjutkan aktivitasnya berbelanja kembali. Sementara di rumah megah itu. Arka menggendong Gio menuju kamarnya. Anak itu begitu pulas dalam tidurnya. “Pak Arka, masalah tadi itu …,” ujar Ana menggantungkan kalimatnya. “Ibu tiri dan kakak tirimu kan?” tebak Arka setelah meletakkan Gio. “
Arka membantu Ana mengobati pahanya yang melepuh karena kopi panas yang tertumpah tadi. Dengan teliti dan penuh kehati-hatian, Arka terlihat fokus mengobati Ana. “Gimana?” tanya Arka melihat intens ke arah Ana. “Apanya ya, Pak?” tanya Ana sedikit loading dengan ucapan Arka yang irit dalam berbicara. “Masih perih nggak?” tanya Arka lagi memperjelas pertanyaannya. “Udah lumayan mendingan, Pak. Makasih ya,” ujar Ana terlihat sedikit membaik setelah tadi merintih kesakitan. “Ya sudah kamu pergi dari sini!” usir Arka pada karyawan perempuan tadi. “Sekali lagi, Maaf Nyonya Ana,” ujar perempuan itu menunduk dalam merasa bersalah. “Gak apa-apa kok, lagian juga gak sengaja kan,” ucap Ana memberikan senyum pada karyawan perempuan itu. Lalu karyawan perempuan itu meninggalkan ruangan Arka. Sementara Arka masih duduk di sebelah Ana. Gio mendekati Ana. “Tante gak apa-apa kan?” tanya Gio terlihat begitu sedih melihat kondisi Ana. “Gak apa-apa kok, Gio,” ucap Ana mengusap kepala G
Malam yang begitu hening. Layla semakin kebingungan akan sikap Abidzar. Terkadang Abidzar begitu meyakinkan untuk dirinya. Tapi di hati itu Abidzar masih meragukan lagi. 'Mas, kenapa kau menghadirkan diriku jika dihatimu masih ada dia. Ternyata sakit, apa boleh aku mengeluh?' Layla membatin dalam kesendirian nya.Setelah kejadian di dapur itu, Layla memilih untuk kembali ke kamarnya. Dia lebih baik membawa tubuhnya beristirahat. Sudah terlalu lelah untuk semua kejadian di hari itu.Di kamar sebelah, tepatnya di kamar tamu. Abidzar termenung. Dia terdiam kaku, pikirannya berkecamuk. Memikirkan semua yang telah terjadi.Abidzar sadar jika dia salah, selama ini dia tidak tegas akan semuanya. Harusnya jika dia memang masih mencintai Jihan, dia bisa membatalkan perjodohan nya dengan Layla.Tapi Abidzar malah membuat kedua wanita itu sama-sama kecewa. Jihan yang kecewa terhadap sebuah janji yang telah diucapkan Abidzar. Sedangkan Layla yang telah kecewa sebab Abidzar tidak bisa memusatkan
Semenjak kejadian pagi ini, Layla tidak banyak bicara. Dia semakin banyak diam. Pikiran nya kalang kabut. Tidak mungkin hal semacam itu tidak sengaja. Abidzar pun menyadari tentang sikap Layla yang tidak seperti biasanya. Abidzar berpikir keras, siapa kira-kira yang berani melakukan hal tidak baik itu kepada Layla.Padahal Abidzar sejauh ini tidak mempunyai musuh. Atau sedikit pun dia tidak bermasalah dengan teman-teman nya sekalipun.Eh, tapi tunggu. Abidzar mengingat dengan jelas kata-kata itu. Sebuah ancaman kepada Layla untuk menjauhi dirinya. Berarti orang itu tidak suka dengan Layla. Berarti dia salah satu yang pernah dekat dengan Abidzar.Jihan? Tapi menurut Abidzar, seorang Jihan tidak mungkin bertindak seperti itu. Abidzar sangat tahu jika Jihan bukanlah sosok yang seperti itu. Tidak mungkin Jihan bertingkah berlebihan seperti ini.Terus siapa kalau bukan Jihan. Atau ada seseorang yang sangat tidak suka dengan hubungan rumah tangga nya dengan Layla. Hingga dia mau mengancam
"Gak apa-apa Mas, cuma belum siap aja. Kalau udah siap nanti juga dibuka tanpa disuruh." Ucap Layla sedikit menjelaskan."Ouh, gitu, bukan karena kamu punya mata ninja kan?" Tanya Abidzar sedikit menggoda."Ish, apa sih Mas, ya nggak lah. Aku normal, masa punya mata ninja." Ucap Layla.Setelah itu mereka pun terlelap untuk beberapa saat. Hingga sampai waktu sholat Dzuhur, Layla terbangun terlebih dahulu. Sedangkan Abidzar masih begitu terlelap.Layla hendak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, dikarenakan Abidzar masih tertidur. Layla membuka cadarnya ke kamar mandi.Keluar dari kamar mandi dia langsung sholat Dzuhur, usai sholat Dzuhur dia hendak keluar kamar untuk memasak.Abidzar terbangun, dia terkejut Layla sudah tidak ada di kamarnya. Dia melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah satu. Dia langsung melaksanakan sholat Dzuhur sendirian.Ternyata Layla lagi memasak bersama Ratna- ibu mertuanya. Mereka sambil bercanda gurau menceritakan Abidzar semasa waktu kecilnya. Layla lup
"Iya, Ummah, ada apa?" Tanya Abi sekali lagi."Itu, besok ummah mau menginap di rumah kalian selama beberapa hari. Boleh kan?" Ucap mamanya Abidzar bertanya."Ya ampun, dikira ada apa, ya boleh lah Ummah. Boleh banget malahan, tiap hari disini juga boleh." Ucap Abidzar."Ya sudah, sana tidur, kasian Layla sendiri tuh, maaf ya, Ummah ganggu malam-malam." Nasihat mamanya Abi."Baik, Ummah." Ucap Abi sambil memutus panggilan telfon nya."Ada apa Mas? Ada sesuatu yang terjadi kah, Sampek Ummah nelfon malam-malam." Tanya Layla khawatir."Itu Layla, Ummah dalam beberapa hari ke depan mau menginap disini. Ummah besok siang mungkin kesini nya, cuma mau ngabarin itu aja sih." Jawab Abidzar menerangkan."Ouh, aku kira ada apa. Syukurlah kalau cuma mau bilang itu." Jawab Layla.Akhirnya mereka pun lanjut untuk tidur, Layla tetap tidur di kamar Abidzar. Dia masih berjaga-jaga takut Abidzar memerlukan sesuatu jika demam nya kambuh lagi. Akhirnya setelah hampir tiga Minggu mereka bisa satu kamar da
"Iya, gak papa kalau mau poligami kok Mas. Silahkan saja. Tapi jangan sama aku lagi." Ucap Layla sambil tersenyum. "Layla, jangan dengerin perkataan Abudzar ya, dia kalau ngomong emang suka aneh loh." Ucap Ratna.Abidzar hanya terdiam, akibat salah ucapnya. Semuanya jadi rumit. Pasti setelah ini dia akan dimarahin habis-habisan oleh Ummah nya.***Di lain tempat, Jihan berniat ingin menemui Abidzar lagi di Pesantren Modern. Dia mengira kalau Abidzar hari ini akan mengajar.Waktu masuk pintu utama, secara tidak sengaja dia berpasangan dengan seorang laki-laki yang tidak asing."Yusuf, ini kamu Yusuf kan? Santri pesantren Salaf Nurul Huda." Tanya Jihan meyakinkan."Iya benar, maaf ini dengan siapa ya." Yusuf lupa terhadap wanita itu. Padahal kepada Layla yang berubah penampilan dia tidak melupa. Aneh memang kalau pikiran sudah dikuasai rasa suka."Ini aku Jihan. Teman kamu dulu waktu masa Tsanawiyah. Masa lupa sih." Ucap Jihan sedikit kesal."Ouh Jihan ya, aku kira siapa. Soalnya kamu
Maryam hanya diam mendengar semua kata-kata yang terdengar pilu dari kakak perempuannya itu. Terlihat juga raut kecewa dari orang tuanya, kalau sudah begini apa yang harus Maryam lakukan. Maryam meminta maaf lalu kemudian tetap berjuang, atau Maryam terus bekerja hingga dia menabung banyak uang sampai keluarga nya bangga dan terbebas dari kekurangan, benar saja Maryam sekarang dilema."Maaf Bu, setelah gajian nanti Maryam lunasi hutang ibu. Dan setelah ini Maryam tidak akan menyusahkan lagi." Maryam mendekat dan duduk di depan ibunya. Lalu Kulsum, menghela nafas pasrah. "Sudah tidak apa-apa, tapi benar kata kakakmu, sebaiknya kamu jangan lanjut buat kuliah. Kita ini serba kekurangan, apalagi kalau kamu nanti kuliah sudah gak bisa kerja lagi. Kalaupun tetap kerja nanti takutnya kecapean.Maryam sadar, atau hanya sebatas mimpi. Satu-satunya orang yang Maryam anggap akan selalu mendukung ternyata juga sudah tidak yakin terhadap dirinya. Maryam tau diri, cukup, dia sudah tidak punya lagi
Abidzar sudah sampai di pekarangan rumah nya. Dia langsung masuk. Sesampainya di dalam dia tidak melihat keberadaan istrinya.Ternyata Layla sedang berada di dapur. Layla sedang mempersiapkan makanannya."Assalamu'alaikum Layla." Ucap Abidzar."Wa'alaikumussalam Mas. Sudah pulang? Gimana kerjaan nya hari ini." Tanya Layla sambil menyalami Abidzar."Alhamdulillah baik. Setelah ini liburan semester ganjil selama dua Minggu. Jadi Mas bisa nemenin kamu tiap hari." Ucap Abidzar sambil menggenggam tangan Layla."Alhamdulillah kalau lancar Mas. Padahal aku udah besar, gak usah ditemenin loh." Canda Layla dengan tersenyum hangat."Iya iya udah besar, tapi kan Mas pengen nemenin.""Iya Mas, yaudah makan dulu yuk. Pasti lapar kan?"Akhirnya mereka langsung makan siang, sebenarnya sudah sore. Tapi memang tadi Abidzar waktu di pesantren modern belum makan siang. Banyak tugas dan kerjaan yang harus diselesaikan di hari ini juga.Waktu mereka makan dan saling mengobrol ringan, terdengar suara oran
"Ouh Maaf. Tadi saya cuma gak sengaja mau belikan Layla es krim." Ucap Yusuf kebingungan."Jangan diambil!" Larang Abidzar pada Layla."Mas, kan cuma es krim. Gak apa-apa ya?" Pinta Layla memelas. Dia tidak enak hati pada Yusuf yang telah berbuat baik pada dirinya.Akhirnya Layla mengambil es krim itu. "Makasih ya Yusuf. Lain kali jangan repot kek gini." Ucap Layla sambil tersenyum.Yusuf hanya mengangguk pelan. Kemudian memilih meninggalkan Layla dengan Abidzar.Abidzar menatap Layla yang memakan es krim nya itu tampak tidak suka. Bisa-bisa nya Layla menerima pemberian dari seorang Yusuf.Abidzar tidak suka dengan sikap Yusuf yang menurut nya berlebihan. Lebih ke arah melebihi teman. Anggap Abidzar penuh frustasi."Ayo kita pulang. Acaranya sudah selesai." Ucap Abidzar langsung menarik tangan Layla menuju mobil nya."Tapi Mas …" ucap Layla.Mereka pun akhirnya meninggalkan pesantren modern. Abidzar terlihat tidak baik-baik saja. Dia membawakan mobilnya cukup mengebut. Membuat Layla t
Namaku Layla, Aku lahir dari seorang ibu yang begitu baik. Beliau memberiku banyak kasih sayang dan cinta, hingga aku besar pun kasih sayang nya tidak pernah pudar.Bagiku ibu lah segalanya, selalu menjadikan ratu. Ibu bisa menjadi teman untukku, Ibu bisa mendengar semua keluh kesah dan masalah ku.Tapi semua itu berakhir, saat itu kelulusan ku. Saat aku kelas tiga akhir, ibuku meninggal kan ku untuk selamanya. Aku sangat bersedih, berduka, dan aku benar-benar merasa jatuh. Kehidupan semakin berbeda. Semuanya terasa sepi, biasanya ibu akan selalu tersenyum hangat padaku.Kejadian itu sangat jelas ku ingat, dimana aku akan memberi ibu piala, tapi di saat itu juga ibu pergi dariku, untuk selamanya.Aku sebisa mungkin untuk ikhlas, aku berharap bisa bertemu dengan ibu suatu saat nanti. Aku, Layla, pernah menjadi santriwati teladan dua periode di pesantren salaf. Dimana saat periode pertama itu aku masih duduk di kelas tiga Tsanawiyah dan periode kedua disaat aku sudah jenjang Aliyah k