Arka melepas Ana dari cengkramannya. Sementara Gio yang terbangun langsung memeluk Arka.
“Pa,” panggil Gio. Arka yang tadinya tak sadarkan diri langsung menyadari perbuatannya barusan pada Ana. Sementara Ana langsung mengambil baju dan pergi ke kamar mandi. Ana mengutuk dirinya di dalam kamar mandi. Dia terdiam cukup lama dan berusaha menyadari kejadian barusan. Setelah merasa cukup, dia lalu keluar ke kamar. Di kamar hanya tersisa Gio yang kembali terlelap dalam tidurnya. Sementara Arka sudah tak nampak di kamar itu. Ana pun melanjutkan aktivitas malamnya dan tak lupa mengunci pintu kamarnya. *** Pagi harinya, Ana melakukan kegiatan seperti biasa. Dia sudah mulai terbiasa dengan tugasnya. Gio terlihat sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Mereka sedang sarapan pagi. “Non Ana baik-baik aja kan?” tanya bi Sri menyapa Ana di meja makan. Ana melihat bi Sri sambil menyuapi Gio. “Iya bi, baik-baik aja kok,” ucap Ana. Lalu bi Sri mencoba duduk di sebelah Ana. “Rambutnya basah ya non,” ucap bi Sri melihat ke arah rambut Ana yang setengah basah. “Iya bi, tadi pagi saya keramas. Soalnya udah dua hari belum keramas,” ucap Ana dengan lugunya. Dia masih belum memahami maksud dari bi Sri. “Ouhh, terus gimana yang tadi malam non?” tanya bi Sri lagi sambil menyembunyikan senyumannya. “Hah?” tanya Ana kebingungan mencoba memahami maksud bi Sri. “Iya non, itu loh,” ucap bi Sri sambil menaik turunkan sebelah alisnya. “Bi Sri salah paham,” ucap Ana menaruh piring makanannya Gio. Lalu bi Sri tertawa puas dan meneruskan pekerjaan menyiapkan makanannya. Ana menggigit bibirnya dalam. Dia tak ingin ada yang salah paham dengannya tadi malam. Belum sempat Ana menjelaskan, tiba-tiba Arka sudah turun dari lantai dua mengenakan pakaian rapinya. “Tuan, sarapan dulu,” peringat Bi Sri pada Arka. “Saya keburu, ada meeting pagi,” ucap Arka sambil melipat lengan bajunya. Sementara Ana mencoba fokus tanpa memperhatikan Arka. “Papa,” sapa Gio. Arka langsung memeluk Gio sekilas lalu langsung melepasnya. Arka pun langsung meninggalkan kediaman rumahnya itu. “Ayo Gio, saatnya berangkat sekolah,” ucap Ana. Gio pun menurut. Sementara di sebuah bangunan besar. Di dalamnya tengah ada beberapa staff yang menghadang kedatangan kedua orang. Mereka mencoba memberikan penjelasan. “Maaf Tuan dan Nyonya, Tuan Muda Arka tengah sibuk melakukan meeting bersama para klien penting,” ucap seorang staff penjaga resepsionis. “Saya tidak peduli, mana Arka. Saya harus bertemu dia,” ucap Rika dengan wajah masamnya. Sementara laki-laki di sampingnya tengah bersedekap dada. “Sabar Ma, kita tunggu sampai meeting nya selesai saja,” ucap laki-laki itu dengan tenang lalu duduk di ruang tunggu. “Gak bisa begitu Pa, Anak itu sudah sangat berlebihan. Dia membuat kerja sama proyek kita menurun,” ucap Rika dengan amarahnya yang menggebu. “Sudah Ma, jangan buat keributan. Malu, banyak karyawan Arka yang melihat dari tadi,” ucap Abraham. Dia tampak lebih tenang dari sang istri. “Mama capek sama anak itu!” keluh Rika mengibas rambut pendeknya. Lalu Arka tiba-tiba keluar dari ruang meeting dan langsung menemui orang tuanya. “Pa, Ma,” sapa Arka nampak menyambut kedatangan prang tuanya. “Mama kecewa sama kamu, Arka,” ucap Rika langsung to the point. “Ayo ke ruangan Arka,” ucap Arka tak enak jika harus berdebat dengan kedua orang tuanya di tempat banyak karyawan. “Demi perempuan itu kamu merelakan kerja sama yang sangat besar dampaknya untuk perusahaan kita. Dimana pikiran kamu Arka?!” geram Rika dengan nada penuh kecewa. “Ma, sudahlah. Kita kesini hanya ingin melihat Arka,” ucap Abraham. “Pa, ini urusan penting …,” geram Rika masih dengan nafas menggebu. “Arka, kenalkan Papa dengan istrimu. Bawa Gio juga, Papa rindu sama cucu papa itu,” ucap Abraham. “Gio lagi sekolah. Kalau gak ada hal yang lebih penting lagi, mendingan Papa sama Mama pergi dari kantor Arka,” ucap Arka dengan dingin. “Tuh kan Pa, anak ini gak tau diuntung emang!” ucap Rika memaki Arka. “Jangan anggap Papa ini orang lain, Arka. Papa masih papamu sampai kapanpun,” peringat Abraham sebelum membawa sang istri meninggalkan gedung itu. Arka meremas tangannya keras. Dia menatap ke kaca jendela di depannya. Sementara di tempat lain. Ana sedang menjaga Gio di luar sekolah. Banyak juga mama muda yang menunggu sang anak dari luar kelas. “Mbak, baby sitter nya Tuan muda Gio ya,” celetuk perempuan dengan pakaian sedikit terbuka. “Eum, kenapa mbak?” Ana tak langsung meng iyakan pertanyaan perempuan itu. “Beruntung banget ya, bisa ketemu setiap hari sama Tuan Arka yang paling tampan dan gagah itu. Duda Hot yang masih muda, siapa sih yang tidak mengenalnya,” ucap perempuan itu dengan heboh sambil membayangkan sosok Arka. “Emang kenal ya mbak?” tanya Ana semakin penasaran. “Gak kenal dekat sih. Tapi rata-rata orang daerah sini pasti kenal. Tuan Arka sudah seperti artis Hollywood tau. Banyak penggemarnya, apalagi mama muda orang tua siswa disini,” ucapnya makin heboh. Ana hanya menggeleng pelan. “Ouh, gitu ya,” ungkap Ana terlihat biasa saja meskipun dia juga mengakui ketampanan suaminya itu. Ana terlihat murung saat mengingat kalau dirinya adalah istri dari sosok yang tengah perempuan di depannya itu ceritakan. “Salam ya mbak, buat Tuan hot Arka. Jadi orang jangan terlalu hot gitu, kan saya jadi kesemsem bayanginnya,” ucap perempuan tadi lalu pergi saat saat sang anak sudah datang. Ana hanya manggut-manggut saja. Lalu Gio datang. Ana pun pulang bersama supir yang mengantar dan menjemput mereka. Sesampainya di rumah. Ana langsung mengurus Gio. Sepertinya anak itu kecapean jadi dia langsung tertidur. Ana pun langsung membereskan mainannya yang berserakan di kamar. Lalu Ana pergi ke dapur untuk membuat minuman karena siang ini terasa sangat panas. Ana membuat jus buah kesukaannya. “Tuan Arka, manis sekali,” lirih suara seorang perempuan dari atas lantai dua. Ana langsung terdiam. Jantungnya kembali berdegup kencang. “Saya mau kamu lebih dari ini,” ucap Arka dengan nafas memburu. “Baik tuan, apapun keinginan Tuan saya penuhi,” lirih perempuan itu. Suara mereka dapat terdengar dengan jelas oleh Ana. Tanpa terasa air mata Ana turun dengan jelasnya. Ana tak dapat membendung nya. Ana mencoba melanjutkan membuat jus buah. Dia mencoba untuk tak memfokuskan pendengarnya itu. Namun nihil, dia tetap mendengar suara kedua insan itu dengan sangat jelas. Sebisa mungkin Ana menahan semuanya. Dia tetap lanjut meminum jus buah yang telah dibuatnya sampai tandas. “Terima kasih Tuan,” ucap seorang perempuan menuruni tangga. Ana melirik sekilas ke perempuan itu. Perempuan berbeda dari sebelumnya. Lalu Arka juga ikut turun dengan tatapan tajam ke arah Ana yang terlihat biasa saja. “Lagi apa kamu?” tanya Arka. “Buat Jus, Pak,” ucap Ana menunjukkan gelas jusnya yang isinya sudah tinggal satu kali tegukan. “Ouhh, untuk urusan tadi malam. Lupain, saya lagi mabuk berat,” ucap Arka. “Segampang itu ya pak?” heran Ana. Ana mencoba menatap Arka dengan penuh pertanyaan. “Jangan pernah berharap lebih, baby sitter Ana!” ucap Arka dengan menekankan tiga kata ucapannya di akhir. Bersambung…Sejak malam itu, Ana berusaha mengikis jarak dengan Arka. Semalaman dia tak henti menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan. “Tante Ana,” panggil Gio saat istirahat sekolah tengah berlangsung. “Iya Gio,” sambut Ana menerima kertas yang merupakan hasil dari gambaran Gio. “Jangan nangis terus, Tante Ana,” ucap Gio dengan tulus. Lalu dia kembali ke arena bermain bersama temannya yang lain. Ana tertegun, lalu dia segera menghapus sisa tangisan air matanya. Dan berubah fokus dengan kertas pemberian Gio. Dimana di kertas itu ada sebuah gambar perempuan yang sedang memetik bunga di taman. “Gambarnya bagus,” puji Ana sambil melihat ke arah Gio yang tengah tertawa bersama temannya. Ana mencoba menerbitkan secercah senyuman. Setidaknya, tidak semua orang di rumah itu membenci dirinya. Masih ada Gio yang baik padanya. Setelah selesai dari menjaga Gio. Lalu Ana mencoba keluar dari kamar untuk menemui bi Sri yang tengah bergurau dengan pak Martin yang merupakan satpam di rumah itu.
Dua bulan berlalu. Kehidupan Ana terasa sangat menjenuhkan. Tak ada kebahagiaan lebih yang dia rasakan. “Pak, saya boleh tidak, sambil melanjutkan kuliah?” tanya Ana sedikit ragu. Sedari kemarin dia menahan pertanyaannya itu. “Lalu, Gio gimana?” tanya balik Arka. Dia melepas kacamatanya. Mereka berdua tengah berada di ruang kerja Arka yang terletak di lantai satu sebelah kamar Gio. “Saya mau ambil kelas malam. Kan biasanya kalau malam Gio sudah tidur,” ujar Ana menunduk takut. Dia tak yakin dengan keinginannya sekarang. “Gak bisa, Gio butuh kamu,” ucap Arka melarang Ana. “Saya janji bakal jaga Gio dengan baik, meskipun saya sambil kuliah,” ujar Ana meminta pertimbangan pada Arka. “Gak bisa, lagian kamu gak ada biaya kan buat lanjut kuliah?” tegur Arka. Keputusan laki-laki itu tetap saja tidak berubah. Tak ada jawaban, Ana memilih langsung keluar dari ruangan kerja Arka. Ana nampak sekali kecewa. Lalu dia masuk ke kamarnya dengan menangis. “Tante kenapa?” tanya Gio men
Arka melepas tangan Ana saat mereka memasuki mobil dan meninggalkan tempat itu. Arka kembali fokus menyetir. Sementara Ana memangku Gio yang telah tertidur pulas. “Bu, tadi itu Ana si gadis cupu dan culun kan?” tanya Dania masih ternganga melihat kepergian Ana. “Sepertinya bukan deh, kan dia jadi istri keduanya bang Bewok. Tadi itu bukan bang Bewok kok,” jawab Mirna menggaruk pelipisnya. “Apa jangan-jangan Ana selingkuh ya. Tapi gak mungkin sih selingkuh sama laki-laki kaya dan tampan,” ungkap Dania. Dia terlihat mondar mandir sambil membawa tas belanjaannya. “Udah lah jangan dibahas. Sepertinya barusan itu bukan Ana si gadis miskin itu,” ucap Bu Mirna. Dania pun menyetujui. Lalu mereka melanjutkan aktivitasnya berbelanja kembali. Sementara di rumah megah itu. Arka menggendong Gio menuju kamarnya. Anak itu begitu pulas dalam tidurnya. “Pak Arka, masalah tadi itu …,” ujar Ana menggantungkan kalimatnya. “Ibu tiri dan kakak tirimu kan?” tebak Arka setelah meletakkan Gio. “
Arka membantu Ana mengobati pahanya yang melepuh karena kopi panas yang tertumpah tadi. Dengan teliti dan penuh kehati-hatian, Arka terlihat fokus mengobati Ana. “Gimana?” tanya Arka melihat intens ke arah Ana. “Apanya ya, Pak?” tanya Ana sedikit loading dengan ucapan Arka yang irit dalam berbicara. “Masih perih nggak?” tanya Arka lagi memperjelas pertanyaannya. “Udah lumayan mendingan, Pak. Makasih ya,” ujar Ana terlihat sedikit membaik setelah tadi merintih kesakitan. “Ya sudah kamu pergi dari sini!” usir Arka pada karyawan perempuan tadi. “Sekali lagi, Maaf Nyonya Ana,” ujar perempuan itu menunduk dalam merasa bersalah. “Gak apa-apa kok, lagian juga gak sengaja kan,” ucap Ana memberikan senyum pada karyawan perempuan itu. Lalu karyawan perempuan itu meninggalkan ruangan Arka. Sementara Arka masih duduk di sebelah Ana. Gio mendekati Ana. “Tante gak apa-apa kan?” tanya Gio terlihat begitu sedih melihat kondisi Ana. “Gak apa-apa kok, Gio,” ucap Ana mengusap kepala G
Sakit dan semakin sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itu yang Ana rasakan sekarang. Arka masih saja menganggapnya bukan siapa-siapa. Ana merengkuh di kamar mandi. Rasa perih di pahanya seakan sudah sembuh. Rasa sakit hatinya terus bertambah karena ucapan dan perlakuan Arka. Ana menyudahi mandi malamnya. Dia lalu memakai handuk kembali. Tok tok tok Pintu kamar itu berbunyi. “Iya, sebentar,” lirih Ana pelan. Semenjak kejadian malam itu. Ana tak lagi membiarkan pintu kamarnya tak terkunci. “Non, ayo makan malam,” ucap bi Sri di ambang pintu saat Ana membukanya. “Saya sudah kenyang, Bi,” lirih Ana pelan. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang kering dan pecah-pecah. “Loh, ayo, Non harus makan. Wajah non Ana terlihat pucat,” ujar bi Sri memperhatikan dengan dekat wajah Ana. Ana menggeleng pelan. “Nggak Bi, Saya cuma lagi kecapean aja. Sudah ya, saya mau istirahat dulu,” ucap Ana tersenyum tipis. Tanpa menunggu jawaban Bi Sri. Dia langsung menutup pintu kamarnya. Bi
Ana menoleh ke arah Arka. Jadilah kedua insan itu saling pandang sekarang. Di satu ranjang yang sama.“Kamu sudah dewasa, harusnya paham,” ujar Arka menatap Ana tanpa berkedip.“Saya gadis desa biasa, Pak. Belum pernah pacaran, jadi seharusnya bapak sudah tau jawabannya,” ucap Ana tak dapat membalas tatapan Arka. Dia memalingkan wajahnya melihat ke arah langit-langit atap kamarnya.“Ouh, tapi di zaman sekarang banyak loh, meskipun gadis desa tapi sering begituan,” imbuh Arka lagi sambil melirik ke Ana. Dia juga menatap langit-langit atap kamar itu.“Jadi sudah pernah begituan sama gadis desa ya pak?” pancing Ana yang langsung membuat Arka menoleh cepat.“Kurang ajar kamu! Ya nggak lah,” cecar Arka menolak tuduhan Ana.“Ouh, jadi sama gadis kota semua,” ungkap Ana berlagak paham maksud Arka.“Saya gak pernah begituan lagi, kecuali sama mantan istri saya dulu,” ujar Arka dengan suara dan tatapan serius.Ana langsung tersenyum miris. “Iya kah, Pak? Tapi sayangnya saya tidak percaya,” uca
Dion dengan khusyuk mendengarkan cerita Arka. “Dia kenapa?” tanya Dion semakin penasaran. “Ya dia itu sepertinya polos banget. Masih perawan juga,” ucap Arka dengan raut khawatir. “Lah, bagus dong. Itu berarti bonus buat Lo,” ucap Dion. Arka beranjak dari kursi kebesarannya. “Gue insecure, kayak gak pantes aja,” ujar Arka berdiri di samping jendela kaca ruangannya yang dimana dapat melihat pemandangan gedung besar dan jalan diluar. “Yaelah bro, berarti itu udah jodohnya Lo. Bersyukur kek,” celetuk Dion. Dia lalu mengambil beberapa makanan ringan di meja santai sudut kiri ruangan Arka. “Liat nanti ajalah,” ucap Arka akhirnya. Dia menyerah dengan keinginan dan rasa was was dalam dirinya. “Terserah Lo!” ucap Dion akhirnya pun mengalah dengan pikiran dari sahabatnya yang sudah menjadi atasan kerjanya itu. *** Ana sedang membersihkan dirinya. Panasnya sudah menurun dan rasa pusingnya sudah sedikit menghilang. Bahkan hari ini Ana baru beranjak dari tempat tidurnya. Hari ini
Arka terlihat kebingungan dengan ucapannya sendiri. Biasanya dia selalu tegas dan dingin. Namun semenjak ada Ana, terkadang dia merasa perbedaan dalam dirinya.“Maksudnya apa pak?” tanya Ana lagi. “Ya kamu kan emang sudah saya nikahi. Tidak pantas kalau dekat dengan lelaki yang lain,” peringat Arka dengan wajah juteknya lagi.Ana terkesiap dan lalu melihat ke arah Arka. “Iya Pak, saya juga bukan orang yang seperti itu. Saya punya harga diri dan hati nurani,” balas Ana. Sudah merasa diatas langit dan tiba-tiba dijatuhkan ke paling dasar bumi.“Baguslah. Saya mau lanjut meeting diluar. Kamu pulang dulu sama Gio,” ucap Arka langsung mengambil tas kerja dan ponselnya.Arka langsung keluar dari ruangan kerjanya. Ana terlihat masih kesal dibuatnya. Perkataan menyakitkan itu keluar dari mulut Arka. Padahal yang seperti itu adalah dirinya. Ana tak ingin memikirkan itu lebih. Lalu dia mengajak Gio untuk pergi dari kantor papanya itu.Sesampainya di rumah, Ana langsung menuju ke dapur. Sement
Zahra langsung menemui Kemal yang lagi mengobrol dengan Ummahnya. Zahra berlari mendekati Kemal dengan raut wajah sedih bercampur kesal. “Kak Kemal!” panggil Zahra. Kemal dan Balqis pun sedikit terkejut dengan suara Zahra.“Kenapa nak?” tanya Balqis dengan raut khawatir.“Ini ummah, kak Kemal lagi Deket sama temen di kampusnya. Padahal kan kata ayah Fakih, kak Kemal cuma boleh deket sama Zahra,” kesal Zahra dengan melipat kedua tangannya di dada.“Kumat nih orang,” gerutu Kemal. Sepertinya Kemal sudah muak dengan semua yang terjadi di hari ini. Dia sedang berurusan dengan dua wanita sekaligus dan dengan kasus yang sama.“Kenapa sih nak, Kemal,” pinta Balqis. Menyuruh Kemal untuk menjelaskan.“Jelasin gak kak Kemal ish,” geram Zahra. Dia sudah tak sabar mendengar penjelasan dari Kemal.“Aduh, gini ya Zahra. Kamu ini masih sangat muda tapi udah bahas kayak gitu. Kata ayah Fakih itu kan dulu, waktu kita kecil, waktu kita masih suka main bareng. Sekarang udah beda urusannya lagi, Zahra. T
Ketiga Gus kembar pun langsung pergi kesana. Perasaan Fahri campur aduk. Setelah mendengar penuturan dari Fatah kalau Adiva ada di gedung kosong. Pikiran Fahri langsung kemana-mana. Yang dia pikirkan sekarang hanya keselamatan Adiva. Sementara di gedung kosong itu, Adiva tengah terbangun dengan wajah sembabnya. Dia selalu menangis tanpa henti. Sampai dia tertidur dan bangun dia kembali memangis lagi. Selalu seperti itu sampai pagi.Adiva membuka matanya, dia melihat cahaya. Beberapa jendela di gedung itu dibuka hingga cahaya begitu jelas disana. Di deoannya sudah ada beberapa orang. Terdiri dari dua laki-laki dan satu sosok perempuan yang menggunakan topeng.“Bangun juga kamu!” ucap perempuan itu menghampiri Adiva yang tengah menyipitkan mata.Bagian seluruh tubuh Adiva terasa sakit. Tangannya pasti sudah memerah. Kepakanya terasa pusing karena tidur dengan posisi yang tidak benar. Adiva benar-benar merasa lelah.“Tolong lepasin saya,” pinta Adiva dengan suara seraknya.“Sudah buat k
Hari ini pembelajaran seperti biasa. Adiva sudah mulai mengajar kembali. Seperti sekarang ini Adiva mengajar kelas dua madrasah Tsanawiyah dengan materi “Jangan Dzolimi diri sendiri dan jangan Dzolimi orang lain”.“Para santri putri, kita hidup di dunia ini hanya sebentar. Kehidupan di dunia tak luput dari namanya bersosial. Kita harus bisa membangun sikap sosial yang baik. Dan yang paling penting jangan pernah dzolim dengan diri sendiri, dan juga jangan dzolim dengan orang lain,”“Contoh dzolim kepada diri sendiri yaitu tidak peduli dengan kebutuhan tubuh, seperti tidak makan, tidak minum. Itu kan namanya tidak sayang dengan tubuh sendiri. Itu namanya dzolim, karena sejatinya kesehatan itu mahal. Jaga kesehatan selalu,”“Contoh dari dzolim kepada orang lain, seperti membully, mencemooh, menjelekkan orang lain atau bahkan sampai menganggap rendah. Jangan pernah lakukan itu, bertemanlah yang baik-baik saja. Baik itu ketika di kelas, ketika di kamar atau ketika sedang di acara. Karena k
Dua tahun berlalu. Ketiga Gus kembar pun wisuda barengan di tahun ini. Seperti sekarang mereka sudah selesai dengan acara wisuda. Lalu mereka berkumpul di gedung fakultas. Disana juga sudah ada Adiva yang memakai baju tiga dan di make up dengan sangat cantik.“Alhamdulillah, selamat semuanya atas gelar yang telah diraih,” ucap Adiva kepada ketiga Gus kembar.“Uhuy, S.ag sama S.ag nih, kapan tanggal tepatnya?” sindir Kemal pada Adiva dan Fahri.“Secepatnya gak sih,” imbuh Fatah yang menyenggol sang kakak. Fahri hanya tersenyum dibuatnya.Ashraf dan Balqis turut hadir. Mereka juga ikut tersenyum senang melihat anak-anaknya wisuda. Dan benar dengan Jani Ashraf yang akan menanggung biaya kehidupan Adiva. Ashraf menanggung biaya hidup Adiva. Dan Adiva pun tak keberatan setelah mendapat dukungan juga dari Fahri dan Balqis.“Doakan aja ya,” pinta Adiva sambil melihat Fahri. Keduanya juga saling menahan senyum. Lalu mereka berlanjut berfoto untuk mengabadikan moment di Lalu tiba-tiba datang
Seminggu dari pernikahannya, Fahri dan Adiva tinggal di tengah kawasan pesantren Al Muhajirin. Rumah mereka pun bersebalahan dengan rumah Balqis dan Ashraf. Hanya jarak beberapa langkah saja dari sana.“Umi, Abi berangkat mau ngajar dulu ya,” pamit Fahri tengah merapikan pakaiannya.“Eh, kak, panggilannya ganti lagi ya?” Tanya Adiva. Sebab selama seminggu terakhir ini mereka memanggil dengan sebutan kakak dan adek.“Hehe, biar ada nuansa baru aja, Umi dan Abi, lucu kan?” sahut Ashraf sambil menampilkan senyuman termanisnya.“Hemm, boleh aja sih kak, eh Abi!” beo Adiva menyadari kesalahannya.“Ya sudah umi, Abi mau ngajar dulu ya, nanti siang mau lanjut urus rumah makan di Solo,” izin Fahri mendekati sang istri.Adiva memanyunkan bibirnya. “Adek mau ikut kak, umi maksudnya,” cengir Adiva. Dia masih belum terbiasa dengan sebutan barunya.“Aduh, jauh dek, kakak takut kamu kenapa-kenapa. Kamu juga masih pusing kan, barusan aja mual-mual. Apa jangan-jangan kamu udah mau hamil ya,” gelagat
Fakih sudah datang terlebih dahulu sebelum pukul empat. Dia sengaja datang lebih awal dari Anggi. Sementara Anggi masih berada di jalan. Dengan keadaan jalan yang cukup ramai, masih sangat macet karena ini jam pulang kerja.Sementara faqih sudah menyiapkan tempat duduk khusus untuk dirinya dan juga anggi. Faqih juga sudah memesan minuman kopi kesukaan anggi yang di mana minumannya juga sama dengan kesukaan dirinya. Faqih menunggu anggi dengan duduk bersantai di ruang pojok kedai kopi di mana ini sudah tiga kali pertemuan mereka dan saat ini pertemuan yang direncanakan.Anggi datang dengan pakaian yang begitu sopan dan tidak seperti biasanya kali ini dirinya terlihat cukup pendiam dan sedikit berbicara. “Maaf ustad Faqih, sudah lama yah menunggu, maaf barusan di jalan macet banget jadi waktunya keteteran,” ungkap Anggi namun Fakih hanya menampilkan senyuman khasnya.“Tidak apa-apa, saya paham kok, ya sudah kamu duduk saja. Ini sudah saya pesankan minuman kesukaan kamu,” ungkap Fakih me
Kepala Fatah cenat cenut, sejak tadi diganggu perempuan yang sudah beberapa bulan ini tak muncul. Sekarang malah datang lagi dan menganggu kehidupan Fatah kembali. Selama jam mata kuliah fokus Fatah menjadi pecah. Pikirannya kemana-mana.“Dasar cewek gak jelas, aish, stress kalau gini terus. Mana gak bisa main game, astaghfirullah, gini banget ujian hidup!” keluh Fatah memukul tas ranselnya.Fatah tak fokus sama sekali selama pelajaran berlangsung. Otak dia terus berputar dimana kejadian dia di tampar oleh sang Abah. Fatah merasa di dibedakan dari saudaranya yang lain. Padahal dia ingin berbeda dan hanya ingin melakukan semua keinginan yang menurutnya dia suka.Fatah keluar kelas dengan wajah lesu. Dia langsung menghampiri sopirnya di parkiran khusus mobil. Sesampainya disana dia kembali terkejut.“Iya pak, sudah lama ya jadi sopirnya Fatah?” tanya Alya sudah terlihat sangat akrab dengan sopir yang ditugaskan untuk mengantar dan menjemput Fatah.“Iya mbak, saya sudah sekitar tujuh tah
Setelah sadar dari komanya, Kemal masih harus melakukan perawatan berlanjut di rumah sakit. Mau tidak mau, Ashraf dan Balqis menyerahkan pada Gibran dan istrinya untuk mengatasi semua urusan pesantren teebih dahulu. Dibantu juga Fahri dan Fatah yang juga sudah terbiasa dengan tugas-tugas di pesantren.Seperti saat ini, Fahri sedang mengisi materi untuk semua santri pesantren Al Muhajirin. Sebab hari ini bertepatan dengan acara sholawat Akbar di pesantren Al Muhajirin.“Para santri yang dirahmati oleh Allah SWT. Saya mewakili Kyai Ashraf untuk memberi beberapa amanat untuk kalian semua. Yang pertama, Kyai Ashraf dan Nyai Balqis meminta maaf karena belum bisabhadir pada sholawat Akbar malam ini. Lalu yang kedua, kyai Ashrydan Nyai Balqis meminta para santri untuk menyumbang doa pada Gus Kemal yang sedang dirawat di rumah sakit pasca koma selama sembilan belas hari. Dan pesan yang ketiga, kalian harus tetap disiplin selama beraktivitas dan belajar di pesantren Al Muhajirin. Sebab kyai As
Kemal dan Fatah melotot tajam mendengar penuturan dari Fahri. “Bang, serius aja. Kita bertiga gak jago berantem loh,” Celetuk Fatah kebingungan, dia menyenggol bahu kakaknya, Kemal. “Iya Bang, mau ngelawan mereka dengan cara apa emang? Lomba pidato atau debat kita gitu, nggak lucu bang!” timpal Kemal menggaruk telinganya.Fahri tersenyum samar. “Mau dimana dan kapan?” tanya Fahri pada kelima orang itu. Fahri tak mempedulikan keluhan kedua adiknya.“Nanti malam jam delapan, di markas jalan pahlawan dekat dengan pabrik tahu,” ucap ketua dari pasukan itu yang katanya teman dekat dari Farhan.“Oke,” sahut Fahri. Lalu kelima orang itu meninggalkan mereka.Ketiga Gus kembar pun langsung membereskan kekacauan yang kelima orang itu buat. Kemal memanggil montir langganannya untuk mengurus kedua motor yang mereka pakai pergi ke kampus.“Bang, beneran nggak barusan?” tanya Fatah lagi. Dia masih penasaran dengan rencana apa yang sebenarnya sangat kakak buat.“Aku gak ikut-ikutan bang. Banyak tug