Sakit dan semakin sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itu yang Ana rasakan sekarang. Arka masih saja menganggapnya bukan siapa-siapa. Ana merengkuh di kamar mandi. Rasa perih di pahanya seakan sudah sembuh. Rasa sakit hatinya terus bertambah karena ucapan dan perlakuan Arka. Ana menyudahi mandi malamnya. Dia lalu memakai handuk kembali. Tok tok tok Pintu kamar itu berbunyi. “Iya, sebentar,” lirih Ana pelan. Semenjak kejadian malam itu. Ana tak lagi membiarkan pintu kamarnya tak terkunci. “Non, ayo makan malam,” ucap bi Sri di ambang pintu saat Ana membukanya. “Saya sudah kenyang, Bi,” lirih Ana pelan. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang kering dan pecah-pecah. “Loh, ayo, Non harus makan. Wajah non Ana terlihat pucat,” ujar bi Sri memperhatikan dengan dekat wajah Ana. Ana menggeleng pelan. “Nggak Bi, Saya cuma lagi kecapean aja. Sudah ya, saya mau istirahat dulu,” ucap Ana tersenyum tipis. Tanpa menunggu jawaban Bi Sri. Dia langsung menutup pintu kamarnya. Bi
Ana menoleh ke arah Arka. Jadilah kedua insan itu saling pandang sekarang. Di satu ranjang yang sama.“Kamu sudah dewasa, harusnya paham,” ujar Arka menatap Ana tanpa berkedip.“Saya gadis desa biasa, Pak. Belum pernah pacaran, jadi seharusnya bapak sudah tau jawabannya,” ucap Ana tak dapat membalas tatapan Arka. Dia memalingkan wajahnya melihat ke arah langit-langit atap kamarnya.“Ouh, tapi di zaman sekarang banyak loh, meskipun gadis desa tapi sering begituan,” imbuh Arka lagi sambil melirik ke Ana. Dia juga menatap langit-langit atap kamar itu.“Jadi sudah pernah begituan sama gadis desa ya pak?” pancing Ana yang langsung membuat Arka menoleh cepat.“Kurang ajar kamu! Ya nggak lah,” cecar Arka menolak tuduhan Ana.“Ouh, jadi sama gadis kota semua,” ungkap Ana berlagak paham maksud Arka.“Saya gak pernah begituan lagi, kecuali sama mantan istri saya dulu,” ujar Arka dengan suara dan tatapan serius.Ana langsung tersenyum miris. “Iya kah, Pak? Tapi sayangnya saya tidak percaya,” uca
Dion dengan khusyuk mendengarkan cerita Arka. “Dia kenapa?” tanya Dion semakin penasaran. “Ya dia itu sepertinya polos banget. Masih perawan juga,” ucap Arka dengan raut khawatir. “Lah, bagus dong. Itu berarti bonus buat Lo,” ucap Dion. Arka beranjak dari kursi kebesarannya. “Gue insecure, kayak gak pantes aja,” ujar Arka berdiri di samping jendela kaca ruangannya yang dimana dapat melihat pemandangan gedung besar dan jalan diluar. “Yaelah bro, berarti itu udah jodohnya Lo. Bersyukur kek,” celetuk Dion. Dia lalu mengambil beberapa makanan ringan di meja santai sudut kiri ruangan Arka. “Liat nanti ajalah,” ucap Arka akhirnya. Dia menyerah dengan keinginan dan rasa was was dalam dirinya. “Terserah Lo!” ucap Dion akhirnya pun mengalah dengan pikiran dari sahabatnya yang sudah menjadi atasan kerjanya itu. *** Ana sedang membersihkan dirinya. Panasnya sudah menurun dan rasa pusingnya sudah sedikit menghilang. Bahkan hari ini Ana baru beranjak dari tempat tidurnya. Hari ini
Arka terlihat kebingungan dengan ucapannya sendiri. Biasanya dia selalu tegas dan dingin. Namun semenjak ada Ana, terkadang dia merasa perbedaan dalam dirinya.“Maksudnya apa pak?” tanya Ana lagi. “Ya kamu kan emang sudah saya nikahi. Tidak pantas kalau dekat dengan lelaki yang lain,” peringat Arka dengan wajah juteknya lagi.Ana terkesiap dan lalu melihat ke arah Arka. “Iya Pak, saya juga bukan orang yang seperti itu. Saya punya harga diri dan hati nurani,” balas Ana. Sudah merasa diatas langit dan tiba-tiba dijatuhkan ke paling dasar bumi.“Baguslah. Saya mau lanjut meeting diluar. Kamu pulang dulu sama Gio,” ucap Arka langsung mengambil tas kerja dan ponselnya.Arka langsung keluar dari ruangan kerjanya. Ana terlihat masih kesal dibuatnya. Perkataan menyakitkan itu keluar dari mulut Arka. Padahal yang seperti itu adalah dirinya. Ana tak ingin memikirkan itu lebih. Lalu dia mengajak Gio untuk pergi dari kantor papanya itu.Sesampainya di rumah, Ana langsung menuju ke dapur. Sement
Arka menghentikan kegiatannya saat terdengar suara tangisan kecil di telinganya. Setelah melumat dan sesekali menggigit kecil bibir Ana.“Sakit ya?” tanya Arka menatap dengan lekat wajah manis itu yang berada tepat di hadapannya sekarang. Arka mengusap wajah Ana yang terlihat ketakutan.Ana menghindar dari tatapan Arka. “Saya hanya baby sitter kan Pak?” tanya Ana kembali. Mengingatkan status dirinya yang tak pernah dianggap sebagai istri.“Kamu, istri saya,” bungkam Arka. Lalu dia berjalan keluar balkon melihat daerah perumahan sekitar.“Nggak, Pak. Saya hanya baby sitter, saya tau diri. Jangan seperti tadi lagi ya, Pak. Pak Arka sendiri yang pernah bilang tidak akan menyentuh saya,” ucap Ana lalu segera berlari keluar dari kamar Arka.“Ana! Tunggu!” teriak Arka. Namun Ana tetap melakukan langkahnya.Ana mengacak rambutnya kasar. Tak lupa juga memandang pintu kamarnya yang sudah tertutup. “Sialan!” umpat Arka. Sepertinya dia menyesal dengan ucapannya dulu.Sementara Ana langsung menuj
“Beneran, Pak?” tanya Ana lagi dengan wajah berbinar. Ana mengedikkan kedua bahunya. “Dengan beberapa syarat,” jawab Arka. Dia langsung duduk di kursi kerjanya. Sementara Gio dia sedang asyik dengan mainan baru miliknya. “Apa itu pak?” tanya Ana lagi mendekati Arka. Dia terlihat begitu tertarik mendengar penuturan Arka. “Pertama, ganti uang saya dua kali lipat saat saya membeli kamu. Kedua, kembalikan barang dan semua kebutuhan kamu dalam bentuk uang. Saya beri waktu satu Minggu,” ujar Arka sambil mengerjakan kerjaannya di laptop miliknya. “Astaghfirullah, Pak Arka mau memberi saya kebebasan atau mau meras saya?” ucap Ana begitu syok mendengar syarat demi syarat dari Arka. “Ya itu pilihan, kamu sudah berurusan dengan saya. Jangan pernah bermimpi mendapat kebebasan. Lagipula, kamu tidak akan bisa apa-apa tanpa saya lagi,” peringat Arka dengan tatapan sinisnya. “Pak Arka jahat, Pak Arka tega, Pak Arka gak punya hati!!” pekik Ana dengan air mata yang hampir luruh. “Tante,” p
Arka memberikan Gio pada bi Sri. “Jaga dia,” titah Arka. Bi Sri langsung menerima Gio dari pangkuan Arka. “Baik, Tuan,” sahut bi Sri langsung menggendong Gio ke kamarnya. “Pak,” panggil Ana mengejar Arka. Dia masih tak terima dengan sikap Arka tadi telah menerima saudara tirinya yang begitu jahat itu. “Buatkan saya jus dingin, antarkan ke kamar,” perintah Arka lalu menaiki tangga. Ana hanya bisa menghembuskan nafas pelan. Lalu dia tanpa babibu langsung membuat jus buah yang Arka minta. Dan langsung mengantarnya ke kamar Arka. Pintu kamar Arka terbuka. Ana langsung masuk ke dalam. “Aaa!” teriak Ana langsung menaruh jus buahnya di meja sebelah ranjang Arka. Ana langsung menutup mata dengan kedua tangannya. “Pak, pakai bajunya,” keluh Ana. Dia tetap memejamkan matanya. “Sepertinya lebih baik gak pakai baju,” ucap Arka. Dia baru selesai mandi. Niat hati ingin memakai baju tapi melihat reaksi Ana. Arka langsung berubah pikiran. “Pak, ya udah deh, saya langsung turun aja ke b
Ana masih berusaha mengingat semua kejadian yang telah dia alami. “Ini kan kamar saya,” ucap Arka tersenyum sinis. “Hah?” lirih Ana masih begitu kebingungan. Dia melihat ke sekitar lagi. Mengucek matanya berkali-kali. Tetap saja tempat itu menang bukan kamar Gio. “Gimana, puas?” tanya Arka lagi. Dia menaik turunkan kedua alisnya. “Astaghfirullah,” ujar Ana dengan begitu terkejut. Ana lalu menatap Arka dengan penuh kecewa. Lalu dia berlari meninggalkan Arka sendiri di kamarnya. Sementara Arka hanya tertawa puas melihat kekhawatiran di wajah istrinya itu. Arka hanya bergeleng- geleng pelan. “Astaghfirullah, ya Allah. Bagaimana ini?” lirih Ana langsung menuju ke kamar mandi di kamar Gio. Dia langsung membersihkan diri. “Pakaianku lengkap,” ucap Ana melepas semua pakaian yang melekat pada tubuhnya. Dia mandi dengan cemat. Lalu setelah selesai langsung keluar dan berpakaian rapi. Wajah Ana masih terlihat sangat panik. Dia lalu mencari di aplikasi pencarian mengenai yang dia
Setelah tiga lima hari dari kejadian itu, akhirnya luka Layla sudah membaik. Benar saja kata dokter itu, hanya membutuhkan waktu dan Istiqomah dalam memakai obat. Semuanya akan baik-baik saja.Wajah Layla sudah tidak memerah lagi, bahkan benjolan nya sudah bersih. Rasa perih itu sudah hilang, Layla sudah kembali lagi seperti wajah semula. Pagi itu, cuaca sangat cerah, secerah keadaan hati Layla. Meskipun pelaku nya belum ketemu, setidaknya wajah Layla sudah sembuh. Untuk urusan pelaku, pasti juga akan ketemu.Layla memulai aktivitas nya, dia membereskan rumah nya. Dimulai dari dalam ruangan hingga lingkungan rumah di daerah luar.Dia mulai dari menyapu, mengepel, bahkan berkebun. Hingga lanjut memasak untuk sarapan paginya dengan sang suami.Sementara Abidzar masih berkutat dengan laptopnya, karena sisa liburan dia sudah tinggal tiga hari lagi. Sebentar lagi dia akan kembali mengajar di pesantren modern."Mas, udah selesai urusan kerjaan nya?" Tanya Layla diambang pintu."Sedikit lag
"Lain kali hati-hati ya kalau nyebrang, untung lukanya gak begitu parah." Ucap Abidzar smabil memberikan beberapa obat pada luka Layla.Meskipun sudah sempat Layla obati waktu di dalam mobil tadi, tapi Abidzar memberi obat tambahan supaya luka yang lecet itu segera kering.Jika dibiarkan begitu saja, mungkin keringnya akan memakan waktu yang cukup lama dan pasti nanti akan menyulitkan Layla untuk beraktivitas.Tubuh kita jika luka kemudian kena air pasti akan sangat perih, dan Layla tipe orang yang tidak kuat menahan luka meksipun terlihat kecil."Perih Mas." Ucap Layla memohon."Sebentar, ini harus di giniin biar cepat kering, sabar ya." Pinta Abidzar dengan lembut.Layla hanya mengangguk pasrah. Abidzar dengan telaten mengobati luka Layla. Sambil meniup luka itu, Layla tersenyum."Kenapa senyum?" Tanya Abidzar."Gak apa-apa Mas, Mas kelihatan lebih tampan kalau posisi begini." Ungkap Layla dengan malu-malu."Kalau gini?" Abidzar mendekatkan wajahnya ke wajah Layla.Layla terkesiap k
Layla mengangguk patuh, dia sudah pasrah dan ingin menjadi istri seutuhnya dengan Abidzar. Abidzar yang mendapat respon positif itu sangat bahagia, ternyata Layla sudah siap dengan semua kewajiban nya dan memenuhi hak batin nya Abidzar.Mereka pun langsung melakukan ibadah suami istri tersebut dengan baik. Layla sangat menenangkan untuk Abidzar.Layla pikir Abidzar akan bersikap sangat lembut, namun pikiran nya diluar ekspektasi. Abidzar terlihat sangat menakutkan pikir Layla.Ternyata kepribadian seseorang akan berbeda jika sudah berurusan dengan hal seperti itu. "Terima kasih Humaira-ku." Ungkap Abidzar.Layla menyahut dengan nada lesu, penglihatan nya terlihat sangat sendu, dia berucap "Ini sudah kewajiban ku Mas, Kamu nakutin ya kalau sudah urusan seperti itu."Abidzar terkekeh mendengar pengakuan dari Layla. Layla begitu polos dan terang-terangan dalam menilai sikap Abidzar setelah melakukan hal itu."Maaf Humaira, harusnya kamu tadi bilang, biar aku bisa lebih lembut lagi." Ja
Layla terbangun saat adzan Dzuhur berkumandang, dia sudah tertidur dari tadi dan bangun di siang hari. Kepala nya terasa pusing, dan perutnya sudah membaik meskipun masih sangat mual.Layla melihat sekitar nya, tapi Abidzar sudah tidak ada disampingnya. Layla terlihat sangat sebal, pasalnya Layla tadi sudah mewanti-wanti Abidzar supaya tak meninggalkan nya kemanapun.Akhirnya Layla terpaksa bangun dari tidur nyenyak nya, Layla akan langsung mengambil wudhu untuk menunaikan sholat Dzuhur secara munfarid.Selesai melaksanakan sholat Dzuhur, Layla langsung menuju ke dapur. Langkah nya sedikit tertatih, dia terasa lemah sekali di hari ini. Pusingnya semakin menjadi dan Layla berusaha untuk tetap menuju dapur."Humaira, Mas datang." Abidzar berjalan mendekati Layla yang menuju dapur."Maaf ya Mas ninggalin kamu tadi waktu tidur, soalnya Mas tadi di telfon sama Ummah disuruh ke rumah sama kamu. Tapi Mas pergi sendiri. Kata Mama kamu harus dibawa ke dokter." Ucap Abidzar panjang lebar."Aku
Sesampainya di rumah, Abidzar langsung mengambil piring untuk wadah martabak manis nya. Dan langsung membawa ke kamar untuk disuguhkan kepada istri satu-satunya yang sedang hamil muda. Abidzar harus lebih peduli lagi dengan istrinya itu, pikir Abidzar."Humaira, ini Mas sudah beliin martabak manisnya. Bangun dulu ya, mumpung masih hangat." Abidzar membangun kan Layla dengan sangat lembut dan pelan."Aku ngantuk banget Mas, taruh aja dulu di dapur ya." Layla bergeliat dan menguap dengan tetap memejamkan matanya."Loh, katanya kamu tadi pengen banget, ayo di makan dulu ya Humaira." Abidzar terus membangun kan Layla dengan paksa.Akhirnya Layla terbangun dengan terpaksa, matanya masih memejam dan dia terus saja menguap.Langsung saja dia ambil sepotong martabak manis dengan toping coklat keju itu. Takut dirasa tangan kanan nya kotor, akhirnya Layla mengambil sepotong martabat manis itu dengan tissue di samping meja tidurnya.Satu gigitan, dua gigitan, tiga gigitan. Layla mengunyah martab
Jihan mendekat ke arah Arsya. Dia mengikis jarak dengan Arsya. "Wajahmu seperti tidak asing, apa kita kenal?" Tanya Jihan kepada Arsya."Kita tidak kenal." Ucap Arsya sedikit dingin. Dia langsung masuk ke ruangan penyetoran berkas itu.Jihan juga tidak terlalu mempedulikan itu, dia juga langsung keluar dari tempat itu menuju keluar tata usaha.***Malam ini, Abidzar sudah selesai dengan seluruh kerjaan nya. Dia masih di pesantren modern, karena banyak tugas yang belum diselesaikan. Padahal masih hari pertama mengajar, tapi sudah diberikan banyak tugas saja.Setelah itu dia langsung merapikan ruangan nya, dan langsung bergegas untuk pulang ke rumahnya.Layla yang terlihat khawatir, dia sedang menunggu Abidzar di depan teras rumahnya. Layla sudah menyiapkan makan malam untuk Abidzar.Terlihat mobil Abidzar yang sudah memasuki pekarangan rumahnya. Layla tersenyum tenang melihat kedatangan suaminya."Alhamdulillah, akhirnya Mas Abi datang juga." Ucap Layla langsung memeluk Abidzar."Kange
Hari ini, Abidzar dan Arsya akan melaksanakan rencana mereka. Dimana Abidzar mengikuti Yusuf, dan Arsya akan mengikuti Jihan.Mereka akan bagi tugas supaya rencana mereka berhasil. Abidzar mengikuti Yusuf yang akan pergi ke sebuah kafe, dimana Yusuf akan bertemu dengan seseorang rekan bisnisnya.Sementara Arsya mengikuti Jihan yang hendak pergi ke kampus nya hari ini. Arsya akan memata-matai Jihan dari jarak yang tidak terlalu jauh.Jihan terlihat sedang bertemu dengan teman-teman nya, perkiraan Arsya itu teman kelas. Soalnya Jihan dan kedua teman nya itu langsung menuju ke suatu kelas.Arsya terus mengikuti Jihan, sampai di depan kelas Arsya berhenti. Tidak mungkin dia masuk ke kalas Jihan. Ternyata Jihan kuliah di salah satu universitas swasta yang cukup bergengsi di kota Jakarta. Jihan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi, meskipun sebelumnya Jihan lulusan dari pesantren salaf.Itu yang membuat Jihan sedikit berbeda dengan beberapa teman waktu di pesantren salaf dulu. Bahkan pakaian
Yusuf yang melihat kepergian Abidzar membawa Layla hanya bisa bernafas panjang. Dia tadi melihat Layla sangat pucat, buru-buru dia menghampiri Layla.'Ingat, kamu bukan siapa-siapa nya lagi. Dia sudah punya orang lain, Ingat Yusuf!' Ucap Yusuf membatin dalam dirinya sendiri.Abidzar membawa Layla menuju tempat mobilnya terparkir. Abidzar merebahkan tubuh Layla di kursi belakang. Sedikit kesusahan namun setelah menghabiskan beberapa waktu yang akhirnya bisa.Layla tetap tak kunjung sadar, Abidzar sangat khawatir melihat kondisi istrinya seperti itu. Abidzar mengambil minyak kayu putih dan mengoleskan nya tepat di hidung Layla.Selang beberapa detik, Layla tersadar kembali. Dibukanya penglihatan itu, Layla sedikit meringis kesakitan dibagian kepalanya."Aw, sakit sekali. Mas Abi, aku kenapa?" Ucap Layla terus memegangi pelipisnya."Kamu tadi pingsan Humaira, Mas khawatir banget. Untungnya sekarang kamu sudah siuman kembali. Masih pusing kah, dibagian mana Humaira." Abidzar memijat bagia
Abidzar bersikap biasa saja, dan Aldo langsung tercengang, bisa-bisa nya sahabat nya ini bersikap seolah-olah perjodohan nya hal yang biasa."Bagus dong, kamu sekarang gak perlu cari cewek lagi, Do." Abidzar berucap dengan santai."Astaghfirullah Bi, kamu memang bukan sahabat terbaik. Bisa-bisa nya respon mu seperti ini, aku aku saja beberapa hari ini sampai gak bisa tidur gara-gara perjodohan ini." Ucap Aldo bersulut - sulut."Memangnya kenapa?" Tanya Abidzar.Aldo pun menjelaskan kalau calonnya itu sangat berbanding terbalik dengan nya, mulai dari pakaian dan pendidikan nya serta pemahaman agamanya. Abidzar pun yang mulai memahami perasaan sahabat nya itu hanya diam mendengarkan curhatan nya.Aldo juga bercerita kalau dia pernah curhat juga dengan Arsya, dia juga menceritakan semua nasihat yang pernah Arsya lontarkan. Abidzar sedikit takjub dengan nasihat dari adiknya itu, ternyata Arsya sudah berpikir dewasa dan Abidzar menanggapi nya dengan sangat antusias sekali."Ternyata dia su