Arka membantu Ana mengobati pahanya yang melepuh karena kopi panas yang tertumpah tadi. Dengan teliti dan penuh kehati-hatian, Arka terlihat fokus mengobati Ana. “Gimana?” tanya Arka melihat intens ke arah Ana. “Apanya ya, Pak?” tanya Ana sedikit loading dengan ucapan Arka yang irit dalam berbicara. “Masih perih nggak?” tanya Arka lagi memperjelas pertanyaannya. “Udah lumayan mendingan, Pak. Makasih ya,” ujar Ana terlihat sedikit membaik setelah tadi merintih kesakitan. “Ya sudah kamu pergi dari sini!” usir Arka pada karyawan perempuan tadi. “Sekali lagi, Maaf Nyonya Ana,” ujar perempuan itu menunduk dalam merasa bersalah. “Gak apa-apa kok, lagian juga gak sengaja kan,” ucap Ana memberikan senyum pada karyawan perempuan itu. Lalu karyawan perempuan itu meninggalkan ruangan Arka. Sementara Arka masih duduk di sebelah Ana. Gio mendekati Ana. “Tante gak apa-apa kan?” tanya Gio terlihat begitu sedih melihat kondisi Ana. “Gak apa-apa kok, Gio,” ucap Ana mengusap kepala G
Sakit dan semakin sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itu yang Ana rasakan sekarang. Arka masih saja menganggapnya bukan siapa-siapa. Ana merengkuh di kamar mandi. Rasa perih di pahanya seakan sudah sembuh. Rasa sakit hatinya terus bertambah karena ucapan dan perlakuan Arka. Ana menyudahi mandi malamnya. Dia lalu memakai handuk kembali. Tok tok tok Pintu kamar itu berbunyi. “Iya, sebentar,” lirih Ana pelan. Semenjak kejadian malam itu. Ana tak lagi membiarkan pintu kamarnya tak terkunci. “Non, ayo makan malam,” ucap bi Sri di ambang pintu saat Ana membukanya. “Saya sudah kenyang, Bi,” lirih Ana pelan. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang kering dan pecah-pecah. “Loh, ayo, Non harus makan. Wajah non Ana terlihat pucat,” ujar bi Sri memperhatikan dengan dekat wajah Ana. Ana menggeleng pelan. “Nggak Bi, Saya cuma lagi kecapean aja. Sudah ya, saya mau istirahat dulu,” ucap Ana tersenyum tipis. Tanpa menunggu jawaban Bi Sri. Dia langsung menutup pintu kamarnya. Bi
Ana menoleh ke arah Arka. Jadilah kedua insan itu saling pandang sekarang. Di satu ranjang yang sama.“Kamu sudah dewasa, harusnya paham,” ujar Arka menatap Ana tanpa berkedip.“Saya gadis desa biasa, Pak. Belum pernah pacaran, jadi seharusnya bapak sudah tau jawabannya,” ucap Ana tak dapat membalas tatapan Arka. Dia memalingkan wajahnya melihat ke arah langit-langit atap kamarnya.“Ouh, tapi di zaman sekarang banyak loh, meskipun gadis desa tapi sering begituan,” imbuh Arka lagi sambil melirik ke Ana. Dia juga menatap langit-langit atap kamar itu.“Jadi sudah pernah begituan sama gadis desa ya pak?” pancing Ana yang langsung membuat Arka menoleh cepat.“Kurang ajar kamu! Ya nggak lah,” cecar Arka menolak tuduhan Ana.“Ouh, jadi sama gadis kota semua,” ungkap Ana berlagak paham maksud Arka.“Saya gak pernah begituan lagi, kecuali sama mantan istri saya dulu,” ujar Arka dengan suara dan tatapan serius.Ana langsung tersenyum miris. “Iya kah, Pak? Tapi sayangnya saya tidak percaya,” uca
Dion dengan khusyuk mendengarkan cerita Arka. “Dia kenapa?” tanya Dion semakin penasaran. “Ya dia itu sepertinya polos banget. Masih perawan juga,” ucap Arka dengan raut khawatir. “Lah, bagus dong. Itu berarti bonus buat Lo,” ucap Dion. Arka beranjak dari kursi kebesarannya. “Gue insecure, kayak gak pantes aja,” ujar Arka berdiri di samping jendela kaca ruangannya yang dimana dapat melihat pemandangan gedung besar dan jalan diluar. “Yaelah bro, berarti itu udah jodohnya Lo. Bersyukur kek,” celetuk Dion. Dia lalu mengambil beberapa makanan ringan di meja santai sudut kiri ruangan Arka. “Liat nanti ajalah,” ucap Arka akhirnya. Dia menyerah dengan keinginan dan rasa was was dalam dirinya. “Terserah Lo!” ucap Dion akhirnya pun mengalah dengan pikiran dari sahabatnya yang sudah menjadi atasan kerjanya itu. *** Ana sedang membersihkan dirinya. Panasnya sudah menurun dan rasa pusingnya sudah sedikit menghilang. Bahkan hari ini Ana baru beranjak dari tempat tidurnya. Hari ini
Arka terlihat kebingungan dengan ucapannya sendiri. Biasanya dia selalu tegas dan dingin. Namun semenjak ada Ana, terkadang dia merasa perbedaan dalam dirinya.“Maksudnya apa pak?” tanya Ana lagi. “Ya kamu kan emang sudah saya nikahi. Tidak pantas kalau dekat dengan lelaki yang lain,” peringat Arka dengan wajah juteknya lagi.Ana terkesiap dan lalu melihat ke arah Arka. “Iya Pak, saya juga bukan orang yang seperti itu. Saya punya harga diri dan hati nurani,” balas Ana. Sudah merasa diatas langit dan tiba-tiba dijatuhkan ke paling dasar bumi.“Baguslah. Saya mau lanjut meeting diluar. Kamu pulang dulu sama Gio,” ucap Arka langsung mengambil tas kerja dan ponselnya.Arka langsung keluar dari ruangan kerjanya. Ana terlihat masih kesal dibuatnya. Perkataan menyakitkan itu keluar dari mulut Arka. Padahal yang seperti itu adalah dirinya. Ana tak ingin memikirkan itu lebih. Lalu dia mengajak Gio untuk pergi dari kantor papanya itu.Sesampainya di rumah, Ana langsung menuju ke dapur. Sement
Arka menghentikan kegiatannya saat terdengar suara tangisan kecil di telinganya. Setelah melumat dan sesekali menggigit kecil bibir Ana.“Sakit ya?” tanya Arka menatap dengan lekat wajah manis itu yang berada tepat di hadapannya sekarang. Arka mengusap wajah Ana yang terlihat ketakutan.Ana menghindar dari tatapan Arka. “Saya hanya baby sitter kan Pak?” tanya Ana kembali. Mengingatkan status dirinya yang tak pernah dianggap sebagai istri.“Kamu, istri saya,” bungkam Arka. Lalu dia berjalan keluar balkon melihat daerah perumahan sekitar.“Nggak, Pak. Saya hanya baby sitter, saya tau diri. Jangan seperti tadi lagi ya, Pak. Pak Arka sendiri yang pernah bilang tidak akan menyentuh saya,” ucap Ana lalu segera berlari keluar dari kamar Arka.“Ana! Tunggu!” teriak Arka. Namun Ana tetap melakukan langkahnya.Ana mengacak rambutnya kasar. Tak lupa juga memandang pintu kamarnya yang sudah tertutup. “Sialan!” umpat Arka. Sepertinya dia menyesal dengan ucapannya dulu.Sementara Ana langsung menuj
“Beneran, Pak?” tanya Ana lagi dengan wajah berbinar. Ana mengedikkan kedua bahunya. “Dengan beberapa syarat,” jawab Arka. Dia langsung duduk di kursi kerjanya. Sementara Gio dia sedang asyik dengan mainan baru miliknya. “Apa itu pak?” tanya Ana lagi mendekati Arka. Dia terlihat begitu tertarik mendengar penuturan Arka. “Pertama, ganti uang saya dua kali lipat saat saya membeli kamu. Kedua, kembalikan barang dan semua kebutuhan kamu dalam bentuk uang. Saya beri waktu satu Minggu,” ujar Arka sambil mengerjakan kerjaannya di laptop miliknya. “Astaghfirullah, Pak Arka mau memberi saya kebebasan atau mau meras saya?” ucap Ana begitu syok mendengar syarat demi syarat dari Arka. “Ya itu pilihan, kamu sudah berurusan dengan saya. Jangan pernah bermimpi mendapat kebebasan. Lagipula, kamu tidak akan bisa apa-apa tanpa saya lagi,” peringat Arka dengan tatapan sinisnya. “Pak Arka jahat, Pak Arka tega, Pak Arka gak punya hati!!” pekik Ana dengan air mata yang hampir luruh. “Tante,” p
Arka memberikan Gio pada bi Sri. “Jaga dia,” titah Arka. Bi Sri langsung menerima Gio dari pangkuan Arka. “Baik, Tuan,” sahut bi Sri langsung menggendong Gio ke kamarnya. “Pak,” panggil Ana mengejar Arka. Dia masih tak terima dengan sikap Arka tadi telah menerima saudara tirinya yang begitu jahat itu. “Buatkan saya jus dingin, antarkan ke kamar,” perintah Arka lalu menaiki tangga. Ana hanya bisa menghembuskan nafas pelan. Lalu dia tanpa babibu langsung membuat jus buah yang Arka minta. Dan langsung mengantarnya ke kamar Arka. Pintu kamar Arka terbuka. Ana langsung masuk ke dalam. “Aaa!” teriak Ana langsung menaruh jus buahnya di meja sebelah ranjang Arka. Ana langsung menutup mata dengan kedua tangannya. “Pak, pakai bajunya,” keluh Ana. Dia tetap memejamkan matanya. “Sepertinya lebih baik gak pakai baju,” ucap Arka. Dia baru selesai mandi. Niat hati ingin memakai baju tapi melihat reaksi Ana. Arka langsung berubah pikiran. “Pak, ya udah deh, saya langsung turun aja ke b