Setelah selesai makan, Ana langsung membereskan piring bekas makanannya. Lalu dia beranjak pergi menuju kamarnya. Saat dibalik tembok, Ana menghentikan langkah ketika mendengar omongan Arka dengan bang Bewok.
"Tuan Arka. Gimana dengan kabar non Gisel? tanya bang Bewok. Arka mematikan laptopnya, tanda kerjaan dia telah selesai. "Saya sudah putus kontak dengan dia, Bang," sahut Arka sambil menyesap kopi kesukaannya. "Sebaiknya Tuan merahasiakan pernikahan Tuan ini dengan Ana," saran dari Bang Bewok untuk Arka. "Tidak, tidak perlu dirahasiakan. Lagipula saya dengan Gisel sudah tidak ada hubungan sama sekali," ucap Arka yakın. "Baik Tuan, jika itu kehendak Tuan. Saran saya, perlakukan Ana dengan baik. Dia gadis baik, hanya saja tidak beruntung dalam hal ekonomi," ucap bang Bewok. "Saya hanya ingin Ana menjadi perawat untuk Gio. Masalah pernikahan, bisa dipikirkan lain kali," ujar Arka. Meskipun kedua orang itu sebagat atasan dan bawahan. Namun bang Bewok sudah seperti kakak untuk Arka. Dia sangat mengenal karakter dari sang tuannya. Begitupun Arka juga menganggap bang bewok sebagai keluarganya sendiri. Sementara Ana masih terdiam di balik tembok ruang tamu. Dia masih meresapi perbincangan Arka dan bang Bewok. Ada rasa sakit dalam hatinya saat mengetahui ucapan Arka. “Pak Arka, ternyata saya dijadikan istri kedua? Meskipun saya hanya gadis desa yang dijual. Tapi saya juga punya harga diri. Saya gak pernah bermimpi akan menjadi istri kedua seperti ini. Lebih baik ceraikan saya saja pak,” ucap Ana menghampiri Arka dengan tangisan yang menyertai. Dia bisa menerima dijadikan baby sitter. Tapi kalau sampai harus jadi istri kedua. Rasanya dia tak ingin sama sekali. Arka menoleh ke Ana. Dia mengerutkan dahi. Sepertinya Ana salah paham. Bang Bewok memilih pergi dari ruang tamu itu. Dia sangat menghargai privasi dari Arka. Dan sudah menjadi bagian dari tata Krama seorang bawahan kerja. “Jaga ucapan kamu, Ana. Kamu saya beli untuk merawat putra saya,” ucap Arka. “Setidaknya Pak Arka tidak menjadikan saya istri kedua. Saya sangat tidak suka dan tak pernah ingin jadi seorang madu,” lirih Ana dengan sisa suaranya. “Kamu salah paham. Saya sudah bercerai dengan istri pertama saya,” ucap Arka lalu dia menaiki tangga ke lantai atas. Ana pun terkesiap dibuatnya. Menjadi istri seorang dua bukanlah keinginan dia. Namun kenyataan itu harus dia terima. Mungkin Ana sempat berpikir kalau Arka masih telrihat muda. Dan awalnya Ana tak percaya kalau Gio itu anaknya. Tapi sekarang dia sudah sangat percaya. Ana langsung kembali ke kamarnya dengan wajah menahan malu. Tidak pernah dia bayangkan kalau takdirnya akan berakhir di kehidupan seperti ini. Menjadi istri satu-satunya merupakan keinginan. Tapi menjadi istri dari seorang duda? Tidak pernah Ana bayangkan. *** Sore harinya, Ana menemani Gio bermain. Anak kecil itu sudah mulai cukup mengenal Ana. Ana berusaha untuk menerima takdirnya meskipun terasa begitu sakit. Tok tok tok Ada suara ketukan pintu di kamar Ana. “Non,” panggil seorang perempuan. Ana membuka pintu. “Siapa ya?” tanyanya. “Saya bi Sri, pembantu disini,” ucap perempuan tua itu. Ana pun keluar dari kamar setelah Gio merasa tertidur dengan lelap. “Ouhh, iya bi, perkenalkan saya Ana,” ucap Ana mencium tangan Bi Sri. “Istri baru tuan Arka ya non,” ungkap bi Sri. Keduanya pun berjalan menuju dapur. “Entahlah bi, saya pun bingung. Saya ini sebenarnya siapa sih,” ungkap Ana dengan kesal. Mengingat perlakuan Arka padanya. “Sabar ya non, semoga nanti tuan Arka jatuh cinta beneran deh sama non Ana. Bi Sri doain,” ucap bi Sri tersenyum penuh saat berjalan di samping Ana. “Aduh bi, kayaknya gak mungkin deh. Saya cuma dijadikan pengurus anak saja sama sama dia,” ucap Ana mengeluh. "Non, jangan bicara seperti itu. Hati itu kan bisa berbolak balik. Siapa tau nanti Tuan Arka bisa mencintai non Ana dengan tulus," saran dari BI Sri mencoba menhibur Ana. "Saya tidak tau Bi. Saya cuma ingin kehidupan saya lebih baik," ucap Ana termenung menatap kosong ke depannya. Bi Sri merasa kasihan. Lalu Bi Sri mencoba menepuk bahu Ana dan memberinya semangat. "Non pasti bisa melalui ini semua," lirih bi Sri. "Iya bi," ujar Ana mengangguk. Mereka pun melanjutkan aktivitas di sore hari. Ana membantu bi Sri memasak untuk menu makan malam. Sementara Gio sudah tidur setelah kecapean bermain. Lalu Ana dan Bi Sri saling bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Terdengar bunyi mobil memasuki rumah besar bak istana itu. Arka memasuki rumahnya dengan gagah. Tampilan dia sangat gentle, meskipun dia sudah duda tapi tetap saja membawa kharisma. “Dimana Gio?” tanya Arka saat berpapasan Ana sedang bersama Bu Sri di dapur. “Gio sudah tidur dari tadi, Pak, sesudah mandi. Mungkin dia kelelahan sehabis bermain,” tukas Ana. “Ouh, baguslah,” ungkap Arka langsung menuju ke lantai atas. “Sabar ya non, Tuan Arka sepertinya lagi banyak masalah. Dia memang suka tempramen,” ungkap bi Sri. “Gak apa-apa Bi, lagian juga saya bukan siapa-siapa nya. Jadi gak masalah meski dicuekin macam apapun,” ungkap Ana tersenyum menampilkan deretan giginya yang putih. “Eh non, gak boleh ngomong gitu. Meskipun non itu gak dianggap istri. Setidaknya non Ana harus bisa menjalankan kewajiban seorang istri. Insya Allah pasti berkah kok non,” ucap bi Sri. “Eum, ada benarnya juga sih bi,” ungkap Ana. Dia jadi berpikir hal lain mengenai saran dari perempuan paruh baya itu. "Sebenarnya tuan Arka itu sangat baik kok non. Sama semua pekerja disini saja dia baik, apalagi sama non Ana yang sudah sah jadi istrinya. Pasti suatu hari nanti tuan Arka sadar," ucap bi Mirna. "Semoga saja bi, saya hanya ingin merawat Gio dengan baik," ucao Ana yang juga diangguki oleh Bi Mirna. Malam harinya, Ana pergi ke dapur. Yang dimana dapur langsung terhubung dengan tangga menuju ke lantai dua. “Aduh, Tuan Arka selalu bisa memuaskan saya,” lirih seorang perempuan dari lantai dua. Ana menghentikan langkahnya. Bulu kuduknya meremang. Jantungnya berdetak kencang. “Jangan terlalu cepat, saya suka permainan pelan,” ucap Arka dengan suara serak basah. "Enak tuan, sekali lagi," pinta perempuan itu lagi. "Jangan menyesal telah menggoda saya," titah Arka meneruskan permainannya. Ana terduduk ke lantai. Suara itu sangat jelas di indra pendengarannya. Air matanya luruh seketika. Baru dua hari saja dia disana sudah seperti ini. “Aduh, ada apa ini? Kenapa hatiku merasa sangat sakit dibuatnya,” lirih Ana merutuki dirinya sendiri. Dia memukul-mukul sekujur tubuhnya. “Saya sudah transfer,” ucap Arka menuruni anak tangga sambil menggandeng seorang perempuan berpakaian sexy. “Oke tuan, terima kasih. Saya langsung pergi,” ucap perempuan itu menuruni tangga. Tanpa mempedulikan Ana yang sedang menangis di lantai. “Kamu kenapa?” tanya Arka saat melihat Ana. Dia seperti orang yang tidak bersalah. Ana pun beranjak dari lantai. Dia berdiri dengan nafas memburu. “Pak Arka, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan perintah bapak. Tolong pulangkan saya ke kampung lagi. Saya masih ingin melanjutkan pendidikan,” ucap Ana dengan tegas. Pikirannya mulai kacau setelah mendengar suara- suara itu. “Maksud kamu?" Tanya Arka mendekati Ana yang tengah kecewa. "Sa- saya sepertinya tidak bisa menjadi perawat untuk Gio," ujar Ana menunduk. Dia sambil menghapus sisa air matanya. "Lalu?" tanya Arka kembali. Dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Barusan itu, istri pertama bapak?" tanya Ana mengalihkan topik. Meskipun ada rasa sadar diri untuk tak membahas hal yang bukan menjadi urusannya. "Rekan kerja, kamu jangan ikut campur," ucap Arka dengan dingin. "Tapi pak," tegur Ana. "Jangan berharap banyak dari saya, Ana," peringat Arka membuat Ana tersadar. Arka langsung meninggalkan Ana yang masih mematung. Apa yang akan Ana lakukan. Tetap bertahan atau memilih untuk pergi dari laki-laki seperti tuan Arka?? Bersambung …Pagi ini seperti biasa kegiatan Ana adalah mengirus Gio. Ana mencoba melupakan kejadian tadi malam. Setelah bangun tidur, dia melakukan aktivitas seperti biasanya. Gio terlihat menggeliat dengan tenang. Sepertinya masih terlalu pagi untuk membangunkan Gio. Palagi masuk sekolahnya masih jam delapan. "Kasihan, bayi sekecil ini sudah harus ditinggal oleh ibunya," lirih Ana mengusap wajah Gio begitu pelan. Sudah seminggu Ana di rumah besar itu. Namun Ana tak merasakan kebahagiaan sebagai seorang istri. Yang ada hidupnya semakin memperihatinkan. Ana harus menaruhkan usia mudanya untuk mengurus anak kecil yang sudah aktif- aktifnya. Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok Arka. “Besok ikut saya ke acara penting. Ada pertemuan dengan klien,” ucap Arka sambil menciumi anaknya. “Baik, Pak,” ucap Ana menurut. “Oke, saya ke atas dulu,” ucap Arka beranjak meninggalkan kamar itu. “Pak, tunggu,” ujar Ana menghentikan langkah Arka. “Hmm,” sahut Arka membalikkan badan. " Kalau bisa
Arka tampak mondar mandir di atas balkon. Ana yang sedang membantu bi Sri menyiram tanaman, dapat melihat dengan jelas kebingungan Arka. “Ada masalah ya Non?” tanya bi Sri. “Sepertinya bi, mungkin gara-gara membela saya kemarin. Pak Arka menaruhkan pekerjaannya hanya untuk membela saya,” ucap Ana bersedih hati saat mengingat kejadian kemarin. “Bagus dong non, berarti tuan Arka itu tanggung jawab. Meskipun masih belum memperlakukan non sebagai layaknya seorang istri. Tapi di depan semua orang bisa membela istrinya,” ucap bi Sri membuka pikiran Ana. “Bi Sri benar, dia ternyata sebaik itu. Selama ini saya terlalu berpikir buruk dengan pak Arka,” ucap Ana terus memandangi Arka yang terlihat termenung. Setelah selesai dengan urusannya, Ana kembali mengecek keadaan Gio. Bayi kecil itu masih konsisten dengan tidurnya yang sangat pulas. Akhirnya Ana memilih untuk membawakan makan siang dan minuman untuk Arka. “Pak Arka,” sapa Ana membawa sebuah nampan. “Saya sudah larang kamu unt
Arka melepas Ana dari cengkramannya. Sementara Gio yang terbangun langsung memeluk Arka. “Pa,” panggil Gio. Arka yang tadinya tak sadarkan diri langsung menyadari perbuatannya barusan pada Ana. Sementara Ana langsung mengambil baju dan pergi ke kamar mandi. Ana mengutuk dirinya di dalam kamar mandi. Dia terdiam cukup lama dan berusaha menyadari kejadian barusan. Setelah merasa cukup, dia lalu keluar ke kamar. Di kamar hanya tersisa Gio yang kembali terlelap dalam tidurnya. Sementara Arka sudah tak nampak di kamar itu. Ana pun melanjutkan aktivitas malamnya dan tak lupa mengunci pintu kamarnya. *** Pagi harinya, Ana melakukan kegiatan seperti biasa. Dia sudah mulai terbiasa dengan tugasnya. Gio terlihat sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Mereka sedang sarapan pagi. “Non Ana baik-baik aja kan?” tanya bi Sri menyapa Ana di meja makan. Ana melihat bi Sri sambil menyuapi Gio. “Iya bi, baik-baik aja kok,” ucap Ana. Lalu bi Sri mencoba duduk di sebelah Ana. “Rambutnya ba
Sejak malam itu, Ana berusaha mengikis jarak dengan Arka. Semalaman dia tak henti menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan. “Tante Ana,” panggil Gio saat istirahat sekolah tengah berlangsung. “Iya Gio,” sambut Ana menerima kertas yang merupakan hasil dari gambaran Gio. “Jangan nangis terus, Tante Ana,” ucap Gio dengan tulus. Lalu dia kembali ke arena bermain bersama temannya yang lain. Ana tertegun, lalu dia segera menghapus sisa tangisan air matanya. Dan berubah fokus dengan kertas pemberian Gio. Dimana di kertas itu ada sebuah gambar perempuan yang sedang memetik bunga di taman. “Gambarnya bagus,” puji Ana sambil melihat ke arah Gio yang tengah tertawa bersama temannya. Ana mencoba menerbitkan secercah senyuman. Setidaknya, tidak semua orang di rumah itu membenci dirinya. Masih ada Gio yang baik padanya. Setelah selesai dari menjaga Gio. Lalu Ana mencoba keluar dari kamar untuk menemui bi Sri yang tengah bergurau dengan pak Martin yang merupakan satpam di rumah itu.
Dua bulan berlalu. Kehidupan Ana terasa sangat menjenuhkan. Tak ada kebahagiaan lebih yang dia rasakan. “Pak, saya boleh tidak, sambil melanjutkan kuliah?” tanya Ana sedikit ragu. Sedari kemarin dia menahan pertanyaannya itu. “Lalu, Gio gimana?” tanya balik Arka. Dia melepas kacamatanya. Mereka berdua tengah berada di ruang kerja Arka yang terletak di lantai satu sebelah kamar Gio. “Saya mau ambil kelas malam. Kan biasanya kalau malam Gio sudah tidur,” ujar Ana menunduk takut. Dia tak yakin dengan keinginannya sekarang. “Gak bisa, Gio butuh kamu,” ucap Arka melarang Ana. “Saya janji bakal jaga Gio dengan baik, meskipun saya sambil kuliah,” ujar Ana meminta pertimbangan pada Arka. “Gak bisa, lagian kamu gak ada biaya kan buat lanjut kuliah?” tegur Arka. Keputusan laki-laki itu tetap saja tidak berubah. Tak ada jawaban, Ana memilih langsung keluar dari ruangan kerja Arka. Ana nampak sekali kecewa. Lalu dia masuk ke kamarnya dengan menangis. “Tante kenapa?” tanya Gio men
Arka melepas tangan Ana saat mereka memasuki mobil dan meninggalkan tempat itu. Arka kembali fokus menyetir. Sementara Ana memangku Gio yang telah tertidur pulas. “Bu, tadi itu Ana si gadis cupu dan culun kan?” tanya Dania masih ternganga melihat kepergian Ana. “Sepertinya bukan deh, kan dia jadi istri keduanya bang Bewok. Tadi itu bukan bang Bewok kok,” jawab Mirna menggaruk pelipisnya. “Apa jangan-jangan Ana selingkuh ya. Tapi gak mungkin sih selingkuh sama laki-laki kaya dan tampan,” ungkap Dania. Dia terlihat mondar mandir sambil membawa tas belanjaannya. “Udah lah jangan dibahas. Sepertinya barusan itu bukan Ana si gadis miskin itu,” ucap Bu Mirna. Dania pun menyetujui. Lalu mereka melanjutkan aktivitasnya berbelanja kembali. Sementara di rumah megah itu. Arka menggendong Gio menuju kamarnya. Anak itu begitu pulas dalam tidurnya. “Pak Arka, masalah tadi itu …,” ujar Ana menggantungkan kalimatnya. “Ibu tiri dan kakak tirimu kan?” tebak Arka setelah meletakkan Gio. “
Arka membantu Ana mengobati pahanya yang melepuh karena kopi panas yang tertumpah tadi. Dengan teliti dan penuh kehati-hatian, Arka terlihat fokus mengobati Ana. “Gimana?” tanya Arka melihat intens ke arah Ana. “Apanya ya, Pak?” tanya Ana sedikit loading dengan ucapan Arka yang irit dalam berbicara. “Masih perih nggak?” tanya Arka lagi memperjelas pertanyaannya. “Udah lumayan mendingan, Pak. Makasih ya,” ujar Ana terlihat sedikit membaik setelah tadi merintih kesakitan. “Ya sudah kamu pergi dari sini!” usir Arka pada karyawan perempuan tadi. “Sekali lagi, Maaf Nyonya Ana,” ujar perempuan itu menunduk dalam merasa bersalah. “Gak apa-apa kok, lagian juga gak sengaja kan,” ucap Ana memberikan senyum pada karyawan perempuan itu. Lalu karyawan perempuan itu meninggalkan ruangan Arka. Sementara Arka masih duduk di sebelah Ana. Gio mendekati Ana. “Tante gak apa-apa kan?” tanya Gio terlihat begitu sedih melihat kondisi Ana. “Gak apa-apa kok, Gio,” ucap Ana mengusap kepala G
Sakit dan semakin sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itu yang Ana rasakan sekarang. Arka masih saja menganggapnya bukan siapa-siapa. Ana merengkuh di kamar mandi. Rasa perih di pahanya seakan sudah sembuh. Rasa sakit hatinya terus bertambah karena ucapan dan perlakuan Arka. Ana menyudahi mandi malamnya. Dia lalu memakai handuk kembali. Tok tok tok Pintu kamar itu berbunyi. “Iya, sebentar,” lirih Ana pelan. Semenjak kejadian malam itu. Ana tak lagi membiarkan pintu kamarnya tak terkunci. “Non, ayo makan malam,” ucap bi Sri di ambang pintu saat Ana membukanya. “Saya sudah kenyang, Bi,” lirih Ana pelan. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang kering dan pecah-pecah. “Loh, ayo, Non harus makan. Wajah non Ana terlihat pucat,” ujar bi Sri memperhatikan dengan dekat wajah Ana. Ana menggeleng pelan. “Nggak Bi, Saya cuma lagi kecapean aja. Sudah ya, saya mau istirahat dulu,” ucap Ana tersenyum tipis. Tanpa menunggu jawaban Bi Sri. Dia langsung menutup pintu kamarnya. Bi
"Lain kali hati-hati ya kalau nyebrang, untung lukanya gak begitu parah." Ucap Abidzar smabil memberikan beberapa obat pada luka Layla.Meskipun sudah sempat Layla obati waktu di dalam mobil tadi, tapi Abidzar memberi obat tambahan supaya luka yang lecet itu segera kering.Jika dibiarkan begitu saja, mungkin keringnya akan memakan waktu yang cukup lama dan pasti nanti akan menyulitkan Layla untuk beraktivitas.Tubuh kita jika luka kemudian kena air pasti akan sangat perih, dan Layla tipe orang yang tidak kuat menahan luka meksipun terlihat kecil."Perih Mas." Ucap Layla memohon."Sebentar, ini harus di giniin biar cepat kering, sabar ya." Pinta Abidzar dengan lembut.Layla hanya mengangguk pasrah. Abidzar dengan telaten mengobati luka Layla. Sambil meniup luka itu, Layla tersenyum."Kenapa senyum?" Tanya Abidzar."Gak apa-apa Mas, Mas kelihatan lebih tampan kalau posisi begini." Ungkap Layla dengan malu-malu."Kalau gini?" Abidzar mendekatkan wajahnya ke wajah Layla.Layla terkesiap k
Layla mengangguk patuh, dia sudah pasrah dan ingin menjadi istri seutuhnya dengan Abidzar. Abidzar yang mendapat respon positif itu sangat bahagia, ternyata Layla sudah siap dengan semua kewajiban nya dan memenuhi hak batin nya Abidzar.Mereka pun langsung melakukan ibadah suami istri tersebut dengan baik. Layla sangat menenangkan untuk Abidzar.Layla pikir Abidzar akan bersikap sangat lembut, namun pikiran nya diluar ekspektasi. Abidzar terlihat sangat menakutkan pikir Layla.Ternyata kepribadian seseorang akan berbeda jika sudah berurusan dengan hal seperti itu. "Terima kasih Humaira-ku." Ungkap Abidzar.Layla menyahut dengan nada lesu, penglihatan nya terlihat sangat sendu, dia berucap "Ini sudah kewajiban ku Mas, Kamu nakutin ya kalau sudah urusan seperti itu."Abidzar terkekeh mendengar pengakuan dari Layla. Layla begitu polos dan terang-terangan dalam menilai sikap Abidzar setelah melakukan hal itu."Maaf Humaira, harusnya kamu tadi bilang, biar aku bisa lebih lembut lagi." Ja
Layla terbangun saat adzan Dzuhur berkumandang, dia sudah tertidur dari tadi dan bangun di siang hari. Kepala nya terasa pusing, dan perutnya sudah membaik meskipun masih sangat mual.Layla melihat sekitar nya, tapi Abidzar sudah tidak ada disampingnya. Layla terlihat sangat sebal, pasalnya Layla tadi sudah mewanti-wanti Abidzar supaya tak meninggalkan nya kemanapun.Akhirnya Layla terpaksa bangun dari tidur nyenyak nya, Layla akan langsung mengambil wudhu untuk menunaikan sholat Dzuhur secara munfarid.Selesai melaksanakan sholat Dzuhur, Layla langsung menuju ke dapur. Langkah nya sedikit tertatih, dia terasa lemah sekali di hari ini. Pusingnya semakin menjadi dan Layla berusaha untuk tetap menuju dapur."Humaira, Mas datang." Abidzar berjalan mendekati Layla yang menuju dapur."Maaf ya Mas ninggalin kamu tadi waktu tidur, soalnya Mas tadi di telfon sama Ummah disuruh ke rumah sama kamu. Tapi Mas pergi sendiri. Kata Mama kamu harus dibawa ke dokter." Ucap Abidzar panjang lebar."Aku
Sesampainya di rumah, Abidzar langsung mengambil piring untuk wadah martabak manis nya. Dan langsung membawa ke kamar untuk disuguhkan kepada istri satu-satunya yang sedang hamil muda. Abidzar harus lebih peduli lagi dengan istrinya itu, pikir Abidzar."Humaira, ini Mas sudah beliin martabak manisnya. Bangun dulu ya, mumpung masih hangat." Abidzar membangun kan Layla dengan sangat lembut dan pelan."Aku ngantuk banget Mas, taruh aja dulu di dapur ya." Layla bergeliat dan menguap dengan tetap memejamkan matanya."Loh, katanya kamu tadi pengen banget, ayo di makan dulu ya Humaira." Abidzar terus membangun kan Layla dengan paksa.Akhirnya Layla terbangun dengan terpaksa, matanya masih memejam dan dia terus saja menguap.Langsung saja dia ambil sepotong martabak manis dengan toping coklat keju itu. Takut dirasa tangan kanan nya kotor, akhirnya Layla mengambil sepotong martabat manis itu dengan tissue di samping meja tidurnya.Satu gigitan, dua gigitan, tiga gigitan. Layla mengunyah martab
Jihan mendekat ke arah Arsya. Dia mengikis jarak dengan Arsya. "Wajahmu seperti tidak asing, apa kita kenal?" Tanya Jihan kepada Arsya."Kita tidak kenal." Ucap Arsya sedikit dingin. Dia langsung masuk ke ruangan penyetoran berkas itu.Jihan juga tidak terlalu mempedulikan itu, dia juga langsung keluar dari tempat itu menuju keluar tata usaha.***Malam ini, Abidzar sudah selesai dengan seluruh kerjaan nya. Dia masih di pesantren modern, karena banyak tugas yang belum diselesaikan. Padahal masih hari pertama mengajar, tapi sudah diberikan banyak tugas saja.Setelah itu dia langsung merapikan ruangan nya, dan langsung bergegas untuk pulang ke rumahnya.Layla yang terlihat khawatir, dia sedang menunggu Abidzar di depan teras rumahnya. Layla sudah menyiapkan makan malam untuk Abidzar.Terlihat mobil Abidzar yang sudah memasuki pekarangan rumahnya. Layla tersenyum tenang melihat kedatangan suaminya."Alhamdulillah, akhirnya Mas Abi datang juga." Ucap Layla langsung memeluk Abidzar."Kange
Hari ini, Abidzar dan Arsya akan melaksanakan rencana mereka. Dimana Abidzar mengikuti Yusuf, dan Arsya akan mengikuti Jihan.Mereka akan bagi tugas supaya rencana mereka berhasil. Abidzar mengikuti Yusuf yang akan pergi ke sebuah kafe, dimana Yusuf akan bertemu dengan seseorang rekan bisnisnya.Sementara Arsya mengikuti Jihan yang hendak pergi ke kampus nya hari ini. Arsya akan memata-matai Jihan dari jarak yang tidak terlalu jauh.Jihan terlihat sedang bertemu dengan teman-teman nya, perkiraan Arsya itu teman kelas. Soalnya Jihan dan kedua teman nya itu langsung menuju ke suatu kelas.Arsya terus mengikuti Jihan, sampai di depan kelas Arsya berhenti. Tidak mungkin dia masuk ke kalas Jihan. Ternyata Jihan kuliah di salah satu universitas swasta yang cukup bergengsi di kota Jakarta. Jihan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi, meskipun sebelumnya Jihan lulusan dari pesantren salaf.Itu yang membuat Jihan sedikit berbeda dengan beberapa teman waktu di pesantren salaf dulu. Bahkan pakaian
Yusuf yang melihat kepergian Abidzar membawa Layla hanya bisa bernafas panjang. Dia tadi melihat Layla sangat pucat, buru-buru dia menghampiri Layla.'Ingat, kamu bukan siapa-siapa nya lagi. Dia sudah punya orang lain, Ingat Yusuf!' Ucap Yusuf membatin dalam dirinya sendiri.Abidzar membawa Layla menuju tempat mobilnya terparkir. Abidzar merebahkan tubuh Layla di kursi belakang. Sedikit kesusahan namun setelah menghabiskan beberapa waktu yang akhirnya bisa.Layla tetap tak kunjung sadar, Abidzar sangat khawatir melihat kondisi istrinya seperti itu. Abidzar mengambil minyak kayu putih dan mengoleskan nya tepat di hidung Layla.Selang beberapa detik, Layla tersadar kembali. Dibukanya penglihatan itu, Layla sedikit meringis kesakitan dibagian kepalanya."Aw, sakit sekali. Mas Abi, aku kenapa?" Ucap Layla terus memegangi pelipisnya."Kamu tadi pingsan Humaira, Mas khawatir banget. Untungnya sekarang kamu sudah siuman kembali. Masih pusing kah, dibagian mana Humaira." Abidzar memijat bagia
Abidzar bersikap biasa saja, dan Aldo langsung tercengang, bisa-bisa nya sahabat nya ini bersikap seolah-olah perjodohan nya hal yang biasa."Bagus dong, kamu sekarang gak perlu cari cewek lagi, Do." Abidzar berucap dengan santai."Astaghfirullah Bi, kamu memang bukan sahabat terbaik. Bisa-bisa nya respon mu seperti ini, aku aku saja beberapa hari ini sampai gak bisa tidur gara-gara perjodohan ini." Ucap Aldo bersulut - sulut."Memangnya kenapa?" Tanya Abidzar.Aldo pun menjelaskan kalau calonnya itu sangat berbanding terbalik dengan nya, mulai dari pakaian dan pendidikan nya serta pemahaman agamanya. Abidzar pun yang mulai memahami perasaan sahabat nya itu hanya diam mendengarkan curhatan nya.Aldo juga bercerita kalau dia pernah curhat juga dengan Arsya, dia juga menceritakan semua nasihat yang pernah Arsya lontarkan. Abidzar sedikit takjub dengan nasihat dari adiknya itu, ternyata Arsya sudah berpikir dewasa dan Abidzar menanggapi nya dengan sangat antusias sekali."Ternyata dia su
Selesai bermain dengan Rendi, mereka langsung keluar dari arena bermain itu. Layla menggendong Rendi, dia tampak bahagia hari ini."Terima kasih ya Rendi, sudah mau main sama kami." Layla menatap anak kecil itu dengan bahagia.Rendi hanya mengangguk, dia saking bahagianya. Sudah ada beberapa jenis makanan dan mainan yang dia dapat usai bermain bersama dengan Abidzar dan Layla."Kami pamit pulang dulu." Ucap Abidzar dan langsung menggandeng Layla. Anak kecil yang bernama Rendi itu langsung menarik pergelangan tangan ibunya, dia tampak sangat bahagia sekali.***Layla dan Abidzar sudah sampai di rumah nya. Mereka langsung membersihkan diri masing-masing. Tak lupa juga Layla menyiapkan makan malam untuk Abidzar. Abidzar terlihat bersantai di ruang tamu. Dia sedang membaca buku mengenai pelajaran ilmu Fiqh. Dia sedang menyiapkan materi untuk besok pagi, untuk diajarkan ke santrinya.Layla yang sudah selesai memasak langsung menghampiri Abidzar. Sambil membawa segelas teh hangat untuk Ab