Setelah selesai makan, Ana langsung membereskan piring bekas makanannya. Lalu dia beranjak pergi menuju kamarnya. Saat dibalik tembok, Ana menghentikan langkah ketika mendengar omongan Arka dengan bang Bewok.
"Tuan Arka. Gimana dengan kabar non Gisel? tanya bang Bewok. Arka mematikan laptopnya, tanda kerjaan dia telah selesai. "Saya sudah putus kontak dengan dia, Bang," sahut Arka sambil menyesap kopi kesukaannya. "Sebaiknya Tuan merahasiakan pernikahan Tuan ini dengan Ana," saran dari Bang Bewok untuk Arka. "Tidak, tidak perlu dirahasiakan. Lagipula saya dengan Gisel sudah tidak ada hubungan sama sekali," ucap Arka yakın. "Baik Tuan, jika itu kehendak Tuan. Saran saya, perlakukan Ana dengan baik. Dia gadis baik, hanya saja tidak beruntung dalam hal ekonomi," ucap bang Bewok. "Saya hanya ingin Ana menjadi perawat untuk Gio. Masalah pernikahan, bisa dipikirkan lain kali," ujar Arka. Meskipun kedua orang itu sebagat atasan dan bawahan. Namun bang Bewok sudah seperti kakak untuk Arka. Dia sangat mengenal karakter dari sang tuannya. Begitupun Arka juga menganggap bang bewok sebagai keluarganya sendiri. Sementara Ana masih terdiam di balik tembok ruang tamu. Dia masih meresapi perbincangan Arka dan bang Bewok. Ada rasa sakit dalam hatinya saat mengetahui ucapan Arka. “Pak Arka, ternyata saya dijadikan istri kedua? Meskipun saya hanya gadis desa yang dijual. Tapi saya juga punya harga diri. Saya gak pernah bermimpi akan menjadi istri kedua seperti ini. Lebih baik ceraikan saya saja pak,” ucap Ana menghampiri Arka dengan tangisan yang menyertai. Dia bisa menerima dijadikan baby sitter. Tapi kalau sampai harus jadi istri kedua. Rasanya dia tak ingin sama sekali. Arka menoleh ke Ana. Dia mengerutkan dahi. Sepertinya Ana salah paham. Bang Bewok memilih pergi dari ruang tamu itu. Dia sangat menghargai privasi dari Arka. Dan sudah menjadi bagian dari tata Krama seorang bawahan kerja. “Jaga ucapan kamu, Ana. Kamu saya beli untuk merawat putra saya,” ucap Arka. “Setidaknya Pak Arka tidak menjadikan saya istri kedua. Saya sangat tidak suka dan tak pernah ingin jadi seorang madu,” lirih Ana dengan sisa suaranya. “Kamu salah paham. Saya sudah bercerai dengan istri pertama saya,” ucap Arka lalu dia menaiki tangga ke lantai atas. Ana pun terkesiap dibuatnya. Menjadi istri seorang dua bukanlah keinginan dia. Namun kenyataan itu harus dia terima. Mungkin Ana sempat berpikir kalau Arka masih telrihat muda. Dan awalnya Ana tak percaya kalau Gio itu anaknya. Tapi sekarang dia sudah sangat percaya. Ana langsung kembali ke kamarnya dengan wajah menahan malu. Tidak pernah dia bayangkan kalau takdirnya akan berakhir di kehidupan seperti ini. Menjadi istri satu-satunya merupakan keinginan. Tapi menjadi istri dari seorang duda? Tidak pernah Ana bayangkan. *** Sore harinya, Ana menemani Gio bermain. Anak kecil itu sudah mulai cukup mengenal Ana. Ana berusaha untuk menerima takdirnya meskipun terasa begitu sakit. Tok tok tok Ada suara ketukan pintu di kamar Ana. “Non,” panggil seorang perempuan. Ana membuka pintu. “Siapa ya?” tanyanya. “Saya bi Sri, pembantu disini,” ucap perempuan tua itu. Ana pun keluar dari kamar setelah Gio merasa tertidur dengan lelap. “Ouhh, iya bi, perkenalkan saya Ana,” ucap Ana mencium tangan Bi Sri. “Istri baru tuan Arka ya non,” ungkap bi Sri. Keduanya pun berjalan menuju dapur. “Entahlah bi, saya pun bingung. Saya ini sebenarnya siapa sih,” ungkap Ana dengan kesal. Mengingat perlakuan Arka padanya. “Sabar ya non, semoga nanti tuan Arka jatuh cinta beneran deh sama non Ana. Bi Sri doain,” ucap bi Sri tersenyum penuh saat berjalan di samping Ana. “Aduh bi, kayaknya gak mungkin deh. Saya cuma dijadikan pengurus anak saja sama sama dia,” ucap Ana mengeluh. "Non, jangan bicara seperti itu. Hati itu kan bisa berbolak balik. Siapa tau nanti Tuan Arka bisa mencintai non Ana dengan tulus," saran dari BI Sri mencoba menhibur Ana. "Saya tidak tau Bi. Saya cuma ingin kehidupan saya lebih baik," ucap Ana termenung menatap kosong ke depannya. Bi Sri merasa kasihan. Lalu Bi Sri mencoba menepuk bahu Ana dan memberinya semangat. "Non pasti bisa melalui ini semua," lirih bi Sri. "Iya bi," ujar Ana mengangguk. Mereka pun melanjutkan aktivitas di sore hari. Ana membantu bi Sri memasak untuk menu makan malam. Sementara Gio sudah tidur setelah kecapean bermain. Lalu Ana dan Bi Sri saling bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Terdengar bunyi mobil memasuki rumah besar bak istana itu. Arka memasuki rumahnya dengan gagah. Tampilan dia sangat gentle, meskipun dia sudah duda tapi tetap saja membawa kharisma. “Dimana Gio?” tanya Arka saat berpapasan Ana sedang bersama Bu Sri di dapur. “Gio sudah tidur dari tadi, Pak, sesudah mandi. Mungkin dia kelelahan sehabis bermain,” tukas Ana. “Ouh, baguslah,” ungkap Arka langsung menuju ke lantai atas. “Sabar ya non, Tuan Arka sepertinya lagi banyak masalah. Dia memang suka tempramen,” ungkap bi Sri. “Gak apa-apa Bi, lagian juga saya bukan siapa-siapa nya. Jadi gak masalah meski dicuekin macam apapun,” ungkap Ana tersenyum menampilkan deretan giginya yang putih. “Eh non, gak boleh ngomong gitu. Meskipun non itu gak dianggap istri. Setidaknya non Ana harus bisa menjalankan kewajiban seorang istri. Insya Allah pasti berkah kok non,” ucap bi Sri. “Eum, ada benarnya juga sih bi,” ungkap Ana. Dia jadi berpikir hal lain mengenai saran dari perempuan paruh baya itu. "Sebenarnya tuan Arka itu sangat baik kok non. Sama semua pekerja disini saja dia baik, apalagi sama non Ana yang sudah sah jadi istrinya. Pasti suatu hari nanti tuan Arka sadar," ucap bi Mirna. "Semoga saja bi, saya hanya ingin merawat Gio dengan baik," ucao Ana yang juga diangguki oleh Bi Mirna. Malam harinya, Ana pergi ke dapur. Yang dimana dapur langsung terhubung dengan tangga menuju ke lantai dua. “Aduh, Tuan Arka selalu bisa memuaskan saya,” lirih seorang perempuan dari lantai dua. Ana menghentikan langkahnya. Bulu kuduknya meremang. Jantungnya berdetak kencang. “Jangan terlalu cepat, saya suka permainan pelan,” ucap Arka dengan suara serak basah. "Enak tuan, sekali lagi," pinta perempuan itu lagi. "Jangan menyesal telah menggoda saya," titah Arka meneruskan permainannya. Ana terduduk ke lantai. Suara itu sangat jelas di indra pendengarannya. Air matanya luruh seketika. Baru dua hari saja dia disana sudah seperti ini. “Aduh, ada apa ini? Kenapa hatiku merasa sangat sakit dibuatnya,” lirih Ana merutuki dirinya sendiri. Dia memukul-mukul sekujur tubuhnya. “Saya sudah transfer,” ucap Arka menuruni anak tangga sambil menggandeng seorang perempuan berpakaian sexy. “Oke tuan, terima kasih. Saya langsung pergi,” ucap perempuan itu menuruni tangga. Tanpa mempedulikan Ana yang sedang menangis di lantai. “Kamu kenapa?” tanya Arka saat melihat Ana. Dia seperti orang yang tidak bersalah. Ana pun beranjak dari lantai. Dia berdiri dengan nafas memburu. “Pak Arka, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan perintah bapak. Tolong pulangkan saya ke kampung lagi. Saya masih ingin melanjutkan pendidikan,” ucap Ana dengan tegas. Pikirannya mulai kacau setelah mendengar suara- suara itu. “Maksud kamu?" Tanya Arka mendekati Ana yang tengah kecewa. "Sa- saya sepertinya tidak bisa menjadi perawat untuk Gio," ujar Ana menunduk. Dia sambil menghapus sisa air matanya. "Lalu?" tanya Arka kembali. Dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Barusan itu, istri pertama bapak?" tanya Ana mengalihkan topik. Meskipun ada rasa sadar diri untuk tak membahas hal yang bukan menjadi urusannya. "Rekan kerja, kamu jangan ikut campur," ucap Arka dengan dingin. "Tapi pak," tegur Ana. "Jangan berharap banyak dari saya, Ana," peringat Arka membuat Ana tersadar. Arka langsung meninggalkan Ana yang masih mematung. Apa yang akan Ana lakukan. Tetap bertahan atau memilih untuk pergi dari laki-laki seperti tuan Arka?? Bersambung …Pagi ini seperti biasa kegiatan Ana adalah mengirus Gio. Ana mencoba melupakan kejadian tadi malam. Setelah bangun tidur, dia melakukan aktivitas seperti biasanya. Gio terlihat menggeliat dengan tenang. Sepertinya masih terlalu pagi untuk membangunkan Gio. Palagi masuk sekolahnya masih jam delapan. "Kasihan, bayi sekecil ini sudah harus ditinggal oleh ibunya," lirih Ana mengusap wajah Gio begitu pelan. Sudah seminggu Ana di rumah besar itu. Namun Ana tak merasakan kebahagiaan sebagai seorang istri. Yang ada hidupnya semakin memperihatinkan. Ana harus menaruhkan usia mudanya untuk mengurus anak kecil yang sudah aktif- aktifnya. Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok Arka. “Besok ikut saya ke acara penting. Ada pertemuan dengan klien,” ucap Arka sambil menciumi anaknya. “Baik, Pak,” ucap Ana menurut. “Oke, saya ke atas dulu,” ucap Arka beranjak meninggalkan kamar itu. “Pak, tunggu,” ujar Ana menghentikan langkah Arka. “Hmm,” sahut Arka membalikkan badan. " Kalau bisa
Arka tampak mondar mandir di atas balkon. Ana yang sedang membantu bi Sri menyiram tanaman, dapat melihat dengan jelas kebingungan Arka. “Ada masalah ya Non?” tanya bi Sri. “Sepertinya bi, mungkin gara-gara membela saya kemarin. Pak Arka menaruhkan pekerjaannya hanya untuk membela saya,” ucap Ana bersedih hati saat mengingat kejadian kemarin. “Bagus dong non, berarti tuan Arka itu tanggung jawab. Meskipun masih belum memperlakukan non sebagai layaknya seorang istri. Tapi di depan semua orang bisa membela istrinya,” ucap bi Sri membuka pikiran Ana. “Bi Sri benar, dia ternyata sebaik itu. Selama ini saya terlalu berpikir buruk dengan pak Arka,” ucap Ana terus memandangi Arka yang terlihat termenung. Setelah selesai dengan urusannya, Ana kembali mengecek keadaan Gio. Bayi kecil itu masih konsisten dengan tidurnya yang sangat pulas. Akhirnya Ana memilih untuk membawakan makan siang dan minuman untuk Arka. “Pak Arka,” sapa Ana membawa sebuah nampan. “Saya sudah larang kamu unt
Arka melepas Ana dari cengkramannya. Sementara Gio yang terbangun langsung memeluk Arka. “Pa,” panggil Gio. Arka yang tadinya tak sadarkan diri langsung menyadari perbuatannya barusan pada Ana. Sementara Ana langsung mengambil baju dan pergi ke kamar mandi. Ana mengutuk dirinya di dalam kamar mandi. Dia terdiam cukup lama dan berusaha menyadari kejadian barusan. Setelah merasa cukup, dia lalu keluar ke kamar. Di kamar hanya tersisa Gio yang kembali terlelap dalam tidurnya. Sementara Arka sudah tak nampak di kamar itu. Ana pun melanjutkan aktivitas malamnya dan tak lupa mengunci pintu kamarnya. *** Pagi harinya, Ana melakukan kegiatan seperti biasa. Dia sudah mulai terbiasa dengan tugasnya. Gio terlihat sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Mereka sedang sarapan pagi. “Non Ana baik-baik aja kan?” tanya bi Sri menyapa Ana di meja makan. Ana melihat bi Sri sambil menyuapi Gio. “Iya bi, baik-baik aja kok,” ucap Ana. Lalu bi Sri mencoba duduk di sebelah Ana. “Rambutnya ba
Sejak malam itu, Ana berusaha mengikis jarak dengan Arka. Semalaman dia tak henti menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan. “Tante Ana,” panggil Gio saat istirahat sekolah tengah berlangsung. “Iya Gio,” sambut Ana menerima kertas yang merupakan hasil dari gambaran Gio. “Jangan nangis terus, Tante Ana,” ucap Gio dengan tulus. Lalu dia kembali ke arena bermain bersama temannya yang lain. Ana tertegun, lalu dia segera menghapus sisa tangisan air matanya. Dan berubah fokus dengan kertas pemberian Gio. Dimana di kertas itu ada sebuah gambar perempuan yang sedang memetik bunga di taman. “Gambarnya bagus,” puji Ana sambil melihat ke arah Gio yang tengah tertawa bersama temannya. Ana mencoba menerbitkan secercah senyuman. Setidaknya, tidak semua orang di rumah itu membenci dirinya. Masih ada Gio yang baik padanya. Setelah selesai dari menjaga Gio. Lalu Ana mencoba keluar dari kamar untuk menemui bi Sri yang tengah bergurau dengan pak Martin yang merupakan satpam di rumah itu.
Dua bulan berlalu. Kehidupan Ana terasa sangat menjenuhkan. Tak ada kebahagiaan lebih yang dia rasakan. “Pak, saya boleh tidak, sambil melanjutkan kuliah?” tanya Ana sedikit ragu. Sedari kemarin dia menahan pertanyaannya itu. “Lalu, Gio gimana?” tanya balik Arka. Dia melepas kacamatanya. Mereka berdua tengah berada di ruang kerja Arka yang terletak di lantai satu sebelah kamar Gio. “Saya mau ambil kelas malam. Kan biasanya kalau malam Gio sudah tidur,” ujar Ana menunduk takut. Dia tak yakin dengan keinginannya sekarang. “Gak bisa, Gio butuh kamu,” ucap Arka melarang Ana. “Saya janji bakal jaga Gio dengan baik, meskipun saya sambil kuliah,” ujar Ana meminta pertimbangan pada Arka. “Gak bisa, lagian kamu gak ada biaya kan buat lanjut kuliah?” tegur Arka. Keputusan laki-laki itu tetap saja tidak berubah. Tak ada jawaban, Ana memilih langsung keluar dari ruangan kerja Arka. Ana nampak sekali kecewa. Lalu dia masuk ke kamarnya dengan menangis. “Tante kenapa?” tanya Gio men
Arka melepas tangan Ana saat mereka memasuki mobil dan meninggalkan tempat itu. Arka kembali fokus menyetir. Sementara Ana memangku Gio yang telah tertidur pulas. “Bu, tadi itu Ana si gadis cupu dan culun kan?” tanya Dania masih ternganga melihat kepergian Ana. “Sepertinya bukan deh, kan dia jadi istri keduanya bang Bewok. Tadi itu bukan bang Bewok kok,” jawab Mirna menggaruk pelipisnya. “Apa jangan-jangan Ana selingkuh ya. Tapi gak mungkin sih selingkuh sama laki-laki kaya dan tampan,” ungkap Dania. Dia terlihat mondar mandir sambil membawa tas belanjaannya. “Udah lah jangan dibahas. Sepertinya barusan itu bukan Ana si gadis miskin itu,” ucap Bu Mirna. Dania pun menyetujui. Lalu mereka melanjutkan aktivitasnya berbelanja kembali. Sementara di rumah megah itu. Arka menggendong Gio menuju kamarnya. Anak itu begitu pulas dalam tidurnya. “Pak Arka, masalah tadi itu …,” ujar Ana menggantungkan kalimatnya. “Ibu tiri dan kakak tirimu kan?” tebak Arka setelah meletakkan Gio. “
Arka membantu Ana mengobati pahanya yang melepuh karena kopi panas yang tertumpah tadi. Dengan teliti dan penuh kehati-hatian, Arka terlihat fokus mengobati Ana. “Gimana?” tanya Arka melihat intens ke arah Ana. “Apanya ya, Pak?” tanya Ana sedikit loading dengan ucapan Arka yang irit dalam berbicara. “Masih perih nggak?” tanya Arka lagi memperjelas pertanyaannya. “Udah lumayan mendingan, Pak. Makasih ya,” ujar Ana terlihat sedikit membaik setelah tadi merintih kesakitan. “Ya sudah kamu pergi dari sini!” usir Arka pada karyawan perempuan tadi. “Sekali lagi, Maaf Nyonya Ana,” ujar perempuan itu menunduk dalam merasa bersalah. “Gak apa-apa kok, lagian juga gak sengaja kan,” ucap Ana memberikan senyum pada karyawan perempuan itu. Lalu karyawan perempuan itu meninggalkan ruangan Arka. Sementara Arka masih duduk di sebelah Ana. Gio mendekati Ana. “Tante gak apa-apa kan?” tanya Gio terlihat begitu sedih melihat kondisi Ana. “Gak apa-apa kok, Gio,” ucap Ana mengusap kepala G
Sakit dan semakin sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itu yang Ana rasakan sekarang. Arka masih saja menganggapnya bukan siapa-siapa. Ana merengkuh di kamar mandi. Rasa perih di pahanya seakan sudah sembuh. Rasa sakit hatinya terus bertambah karena ucapan dan perlakuan Arka. Ana menyudahi mandi malamnya. Dia lalu memakai handuk kembali. Tok tok tok Pintu kamar itu berbunyi. “Iya, sebentar,” lirih Ana pelan. Semenjak kejadian malam itu. Ana tak lagi membiarkan pintu kamarnya tak terkunci. “Non, ayo makan malam,” ucap bi Sri di ambang pintu saat Ana membukanya. “Saya sudah kenyang, Bi,” lirih Ana pelan. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang kering dan pecah-pecah. “Loh, ayo, Non harus makan. Wajah non Ana terlihat pucat,” ujar bi Sri memperhatikan dengan dekat wajah Ana. Ana menggeleng pelan. “Nggak Bi, Saya cuma lagi kecapean aja. Sudah ya, saya mau istirahat dulu,” ucap Ana tersenyum tipis. Tanpa menunggu jawaban Bi Sri. Dia langsung menutup pintu kamarnya. Bi