Pagi ini seperti biasa kegiatan Ana adalah mengirus Gio. Ana mencoba melupakan kejadian tadi malam. Setelah bangun tidur, dia melakukan aktivitas seperti biasanya.
Gio terlihat menggeliat dengan tenang. Sepertinya masih terlalu pagi untuk membangunkan Gio. Palagi masuk sekolahnya masih jam delapan. "Kasihan, bayi sekecil ini sudah harus ditinggal oleh ibunya," lirih Ana mengusap wajah Gio begitu pelan. Sudah seminggu Ana di rumah besar itu. Namun Ana tak merasakan kebahagiaan sebagai seorang istri. Yang ada hidupnya semakin memperihatinkan. Ana harus menaruhkan usia mudanya untuk mengurus anak kecil yang sudah aktif- aktifnya. Tiba-tiba pintu terbuka menampilkan sosok Arka. “Besok ikut saya ke acara penting. Ada pertemuan dengan klien,” ucap Arka sambil menciumi anaknya. “Baik, Pak,” ucap Ana menurut. “Oke, saya ke atas dulu,” ucap Arka beranjak meninggalkan kamar itu. “Pak, tunggu,” ujar Ana menghentikan langkah Arka. “Hmm,” sahut Arka membalikkan badan. " Kalau bisa jangan terlalu sering pulang malam Pak, Gio sepertinya butuh bapak," ucap Ana terlihat kebingungan. Sebenarnya bukan itu yang ingin dia tanyakan. Ana sebenarnya ingin bertanya masalah kuliah. Apa dibolehkan jika merawat Gio sambil menjalani kuliah. "Saya banyak kerjaan, lagipula sudah ada kamu biat menemani Gio," pinta Arka dengan tatapan tajam disetai. "Tapi pak," ucap Ana mencoba mengingatkan Arka lagi. "Apa lagi?" tanya Arka berdiri dengan tegak menarap Ana lurus. Ana semakin grogi ditatap Sepeti itu. Dia terlihat takut. "Saya cuma mau mengingatkan kalau saya ini istri pak Arka," lirih Ana sambil menggigit bibir bawahnya. Rasanya pertanyaan Ana semakin kemana-mana. “Mau dianggap istri? Berarti mau melayani kebutuhan ranjang saya?” tanya Arka menaikkan sebelah alisnya. Jantung Ana berubah deg degan. Sepertinya dia salah omong. “Maksud saya bukan seperti itu, pak,” ucap Ana dengan nada menciut. “Pikirkan baik-baik tawaran saya, Ana,” peringat Arka langsung meninggalkan Ana. Ana mematung di tempat. Pikirannya semakin rumit saja dibuat Arka. Ada perasaan kesal bercampur bingung. Saat mendengar penuturan dari Arka. Ingin rasanya pergi sejauh mungkin, tapi melihat bayi mungil itu. Membuat Ana ragu. Bayi mungil itu terlelap dengan tenang dalam tidurnya. Meskipun Arka bersikap begitu dingin. Untungnya masih ada baby Gio yang secara tak langsung membuat Ana sedikit terhibur. *** Besok paginya, Ana sudah bersiap dengan pakaian yang Arka sediakan. Dimana Ana memakai kemeja dan rok yang super mewah. Dan ditambah dengan aksesoris yang lain. Ana semakin cantik dan manis dilihatnya. Hari ini juga bertepatan dengan hari weekend yang dimana Gio libur sekolah. “Ayo kita berangkat,” ajak Arka. Ana menoleh sembari tangan kanannya mendorong menggandeng Gio. Arka meneguk salivanya beberapa saat. Riasan Ana yang terlihat sederhana namun begitu elegan. “Ayo pak,” ucap Ana tersenyum. Arka tak menjawab, dia seperti menahan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. “Ya sudah ayo berangkat, gandeng saya!” suruh Arka. Ana pun menurut. Mereka berdua tampak seperti pasangan suami istri yang begitu serasi. Ana terlihat cocok ketika dengan tampilan seperti itu dengan Arka. Setelah menempuh waktu yang cukup lama, akhirnya kedua pasangan itu sampai di tempat acara. Sebuah gedung besar yang sudah dihadiri oleh banyak orang. “Selamat datang, Tuan Arka Abraham,” sambut seorang laki-laki langsung menjabat tangan Arka. “Ini istri dan anak saya,” jawab Arka mengenalkan Ana dan juga Gio. “Wah, istri tuan Arka begitu cantik. Sangat serasi, ditambah Tuan muda Gio yang sangat lucu,” puji seorang rekan kerja dari Arka. “Terima kasih sambutan dan pujiannya, Pak. Senang bertemu dengan anda,” ucap Arka. Lalu Arka menggandeng Ana untuk mengenalkannya pada klien dan rekan kerjanya yang lain. Ana pun terus tersenyum dengan anggun. Dia berusaha untuk tetap tenang. “Istri baru pak Arka cantik banget ya. Gak kalah sama yang kemarin. Sepertinya juga orang baik, yang kemarin mah judesnya minta ampun,” ucap seorang karyawan Arka. Mereka tengah berkumpul memperhatikan Ana. “Iya, malah lebih wow yang sekarang. Pak Arka emang super deh cari pengganti,” puji perempuan yang lainnya. “Halo, Nyonya. Bagaimana dengan acara kali ini?” tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba mendekati Ana. Dia merupakan sekretaris Arka. “Bagus kok,” jawab Ana seadanya. Dia sambil memberi susu formula untuk Gio. “Sepertinya Tuan Arka sudah pintar memilih istri,” puji laki-laki itu. “Dion!” peringat Arka yang berada tak jauh dari Ana dan Gio. “Baik Tuan, saya tidak akan mengganggu istri tuan yang begitu menawan ini,” ucap Dion sambil tertawa. “Jaga ucapanmu, Dion. Cepat urus kerjaan,” perintah Arka lalu mendekati mereka. “Sabar tuan, kita tunggu kedatangan ibu Jessika yang terhormat itu dulu,” ucap Dion sambil bersedekap dada yang langsung mendapat tatapan tajam dari Arka. Lalu acara pun dimulai, semua klien kerja sudah hadir. Di pimpin oleh seorang CEO muda yang membuat acara itu. Beberapa kerja sama pun mulai di perbincangkan. “Ouhh, ini istri baru tuan Arka yang katanya gadis kampung itu ya!” celetuk Jessika saat melihat kehadiran sosok Ana. Jessika merupakan musuh Arka dalam dunia bisnis. Seketika para klien dan tamu yang hadir terdiam melihat ke arah Ana. Ana sedikit panik saat dilihat seperti itu oleh banyak orang. Seketika muncul beberapa bisikan dari para tamu. “Iya kan, Tuan Arka menikahi perempuan kampung. Lihat saja tampilannya seperti itu. Sangat jauh dari wanita berkelas,” umpat Jessika semakin parah. Beberapa klien dan karyawan yang hadir kembali berbisik. Ana telrihat tidak enak diperhatikan banyak orang. Apalagi ini kali pertamanya dia hadir di acara sebesar itu dan dia harus jadi sorotan mata banyak orang . “Jaga ucapan kamu, Jessika," peringat Arka dengan tatapan dingin dan serius "Arka Arka, kamu sepertinya butuh kaca mata agar penglihatanmu itu jelas," peringat Jessika. "Saya hanya ingin membahas masalah bisnis," ujar Arka dengan santai. "Membahas istri barumu lebih menyenangkan," ujar Jessika semakin menjadi. Arka terlihat geram menatap wajah angkuh dari Jessika. Arka dan Jessika selalu bersaing dalam hal apapun sejak dulu. Itulah sebabnya kedua orang itu tak pernah akur. Padahal mereka berdua adalah kedua sosok teman sedari kecil yang rukun. Dunia bisnis mengubah semuanya. Gio tiba-tiba menangis karena mendengar suara keributan. Dia sepertinya memiliki trauma dengan suara keributan. Ana berusaha tak peduli dengan ucapan Jessika. Dia memilih menenangkan Gio dengan menggendongnya. Ana berusaha menenangkan Gio. "Saya membatalkan semua perjanjian ini," ucap Arka dengan tegas. Semua tampak terlihat panik. Tidak dengan Jessika. "Tuan Arka, jangan mengambil langkah yang salah. Ini semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin," peringat seorang klien yang sangat butuh kerja sama dengan perusahaan Arka. "Maaf pak Dito, pilihan saya sudah bulat," ucap Arka lalu membawa Ana dan Gio meninggalkan tempat itu. Bersambung …Arka tampak mondar mandir di atas balkon. Ana yang sedang membantu bi Sri menyiram tanaman, dapat melihat dengan jelas kebingungan Arka. “Ada masalah ya Non?” tanya bi Sri. “Sepertinya bi, mungkin gara-gara membela saya kemarin. Pak Arka menaruhkan pekerjaannya hanya untuk membela saya,” ucap Ana bersedih hati saat mengingat kejadian kemarin. “Bagus dong non, berarti tuan Arka itu tanggung jawab. Meskipun masih belum memperlakukan non sebagai layaknya seorang istri. Tapi di depan semua orang bisa membela istrinya,” ucap bi Sri membuka pikiran Ana. “Bi Sri benar, dia ternyata sebaik itu. Selama ini saya terlalu berpikir buruk dengan pak Arka,” ucap Ana terus memandangi Arka yang terlihat termenung. Setelah selesai dengan urusannya, Ana kembali mengecek keadaan Gio. Bayi kecil itu masih konsisten dengan tidurnya yang sangat pulas. Akhirnya Ana memilih untuk membawakan makan siang dan minuman untuk Arka. “Pak Arka,” sapa Ana membawa sebuah nampan. “Saya sudah larang kamu unt
Arka melepas Ana dari cengkramannya. Sementara Gio yang terbangun langsung memeluk Arka. “Pa,” panggil Gio. Arka yang tadinya tak sadarkan diri langsung menyadari perbuatannya barusan pada Ana. Sementara Ana langsung mengambil baju dan pergi ke kamar mandi. Ana mengutuk dirinya di dalam kamar mandi. Dia terdiam cukup lama dan berusaha menyadari kejadian barusan. Setelah merasa cukup, dia lalu keluar ke kamar. Di kamar hanya tersisa Gio yang kembali terlelap dalam tidurnya. Sementara Arka sudah tak nampak di kamar itu. Ana pun melanjutkan aktivitas malamnya dan tak lupa mengunci pintu kamarnya. *** Pagi harinya, Ana melakukan kegiatan seperti biasa. Dia sudah mulai terbiasa dengan tugasnya. Gio terlihat sudah rapi memakai seragam sekolahnya. Mereka sedang sarapan pagi. “Non Ana baik-baik aja kan?” tanya bi Sri menyapa Ana di meja makan. Ana melihat bi Sri sambil menyuapi Gio. “Iya bi, baik-baik aja kok,” ucap Ana. Lalu bi Sri mencoba duduk di sebelah Ana. “Rambutnya ba
Sejak malam itu, Ana berusaha mengikis jarak dengan Arka. Semalaman dia tak henti menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan. “Tante Ana,” panggil Gio saat istirahat sekolah tengah berlangsung. “Iya Gio,” sambut Ana menerima kertas yang merupakan hasil dari gambaran Gio. “Jangan nangis terus, Tante Ana,” ucap Gio dengan tulus. Lalu dia kembali ke arena bermain bersama temannya yang lain. Ana tertegun, lalu dia segera menghapus sisa tangisan air matanya. Dan berubah fokus dengan kertas pemberian Gio. Dimana di kertas itu ada sebuah gambar perempuan yang sedang memetik bunga di taman. “Gambarnya bagus,” puji Ana sambil melihat ke arah Gio yang tengah tertawa bersama temannya. Ana mencoba menerbitkan secercah senyuman. Setidaknya, tidak semua orang di rumah itu membenci dirinya. Masih ada Gio yang baik padanya. Setelah selesai dari menjaga Gio. Lalu Ana mencoba keluar dari kamar untuk menemui bi Sri yang tengah bergurau dengan pak Martin yang merupakan satpam di rumah itu.
Dua bulan berlalu. Kehidupan Ana terasa sangat menjenuhkan. Tak ada kebahagiaan lebih yang dia rasakan. “Pak, saya boleh tidak, sambil melanjutkan kuliah?” tanya Ana sedikit ragu. Sedari kemarin dia menahan pertanyaannya itu. “Lalu, Gio gimana?” tanya balik Arka. Dia melepas kacamatanya. Mereka berdua tengah berada di ruang kerja Arka yang terletak di lantai satu sebelah kamar Gio. “Saya mau ambil kelas malam. Kan biasanya kalau malam Gio sudah tidur,” ujar Ana menunduk takut. Dia tak yakin dengan keinginannya sekarang. “Gak bisa, Gio butuh kamu,” ucap Arka melarang Ana. “Saya janji bakal jaga Gio dengan baik, meskipun saya sambil kuliah,” ujar Ana meminta pertimbangan pada Arka. “Gak bisa, lagian kamu gak ada biaya kan buat lanjut kuliah?” tegur Arka. Keputusan laki-laki itu tetap saja tidak berubah. Tak ada jawaban, Ana memilih langsung keluar dari ruangan kerja Arka. Ana nampak sekali kecewa. Lalu dia masuk ke kamarnya dengan menangis. “Tante kenapa?” tanya Gio men
Arka melepas tangan Ana saat mereka memasuki mobil dan meninggalkan tempat itu. Arka kembali fokus menyetir. Sementara Ana memangku Gio yang telah tertidur pulas. “Bu, tadi itu Ana si gadis cupu dan culun kan?” tanya Dania masih ternganga melihat kepergian Ana. “Sepertinya bukan deh, kan dia jadi istri keduanya bang Bewok. Tadi itu bukan bang Bewok kok,” jawab Mirna menggaruk pelipisnya. “Apa jangan-jangan Ana selingkuh ya. Tapi gak mungkin sih selingkuh sama laki-laki kaya dan tampan,” ungkap Dania. Dia terlihat mondar mandir sambil membawa tas belanjaannya. “Udah lah jangan dibahas. Sepertinya barusan itu bukan Ana si gadis miskin itu,” ucap Bu Mirna. Dania pun menyetujui. Lalu mereka melanjutkan aktivitasnya berbelanja kembali. Sementara di rumah megah itu. Arka menggendong Gio menuju kamarnya. Anak itu begitu pulas dalam tidurnya. “Pak Arka, masalah tadi itu …,” ujar Ana menggantungkan kalimatnya. “Ibu tiri dan kakak tirimu kan?” tebak Arka setelah meletakkan Gio. “
Arka membantu Ana mengobati pahanya yang melepuh karena kopi panas yang tertumpah tadi. Dengan teliti dan penuh kehati-hatian, Arka terlihat fokus mengobati Ana. “Gimana?” tanya Arka melihat intens ke arah Ana. “Apanya ya, Pak?” tanya Ana sedikit loading dengan ucapan Arka yang irit dalam berbicara. “Masih perih nggak?” tanya Arka lagi memperjelas pertanyaannya. “Udah lumayan mendingan, Pak. Makasih ya,” ujar Ana terlihat sedikit membaik setelah tadi merintih kesakitan. “Ya sudah kamu pergi dari sini!” usir Arka pada karyawan perempuan tadi. “Sekali lagi, Maaf Nyonya Ana,” ujar perempuan itu menunduk dalam merasa bersalah. “Gak apa-apa kok, lagian juga gak sengaja kan,” ucap Ana memberikan senyum pada karyawan perempuan itu. Lalu karyawan perempuan itu meninggalkan ruangan Arka. Sementara Arka masih duduk di sebelah Ana. Gio mendekati Ana. “Tante gak apa-apa kan?” tanya Gio terlihat begitu sedih melihat kondisi Ana. “Gak apa-apa kok, Gio,” ucap Ana mengusap kepala G
Sakit dan semakin sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itu yang Ana rasakan sekarang. Arka masih saja menganggapnya bukan siapa-siapa. Ana merengkuh di kamar mandi. Rasa perih di pahanya seakan sudah sembuh. Rasa sakit hatinya terus bertambah karena ucapan dan perlakuan Arka. Ana menyudahi mandi malamnya. Dia lalu memakai handuk kembali. Tok tok tok Pintu kamar itu berbunyi. “Iya, sebentar,” lirih Ana pelan. Semenjak kejadian malam itu. Ana tak lagi membiarkan pintu kamarnya tak terkunci. “Non, ayo makan malam,” ucap bi Sri di ambang pintu saat Ana membukanya. “Saya sudah kenyang, Bi,” lirih Ana pelan. Wajahnya terlihat pucat dengan bibir yang kering dan pecah-pecah. “Loh, ayo, Non harus makan. Wajah non Ana terlihat pucat,” ujar bi Sri memperhatikan dengan dekat wajah Ana. Ana menggeleng pelan. “Nggak Bi, Saya cuma lagi kecapean aja. Sudah ya, saya mau istirahat dulu,” ucap Ana tersenyum tipis. Tanpa menunggu jawaban Bi Sri. Dia langsung menutup pintu kamarnya. Bi
Ana menoleh ke arah Arka. Jadilah kedua insan itu saling pandang sekarang. Di satu ranjang yang sama.“Kamu sudah dewasa, harusnya paham,” ujar Arka menatap Ana tanpa berkedip.“Saya gadis desa biasa, Pak. Belum pernah pacaran, jadi seharusnya bapak sudah tau jawabannya,” ucap Ana tak dapat membalas tatapan Arka. Dia memalingkan wajahnya melihat ke arah langit-langit atap kamarnya.“Ouh, tapi di zaman sekarang banyak loh, meskipun gadis desa tapi sering begituan,” imbuh Arka lagi sambil melirik ke Ana. Dia juga menatap langit-langit atap kamar itu.“Jadi sudah pernah begituan sama gadis desa ya pak?” pancing Ana yang langsung membuat Arka menoleh cepat.“Kurang ajar kamu! Ya nggak lah,” cecar Arka menolak tuduhan Ana.“Ouh, jadi sama gadis kota semua,” ungkap Ana berlagak paham maksud Arka.“Saya gak pernah begituan lagi, kecuali sama mantan istri saya dulu,” ujar Arka dengan suara dan tatapan serius.Ana langsung tersenyum miris. “Iya kah, Pak? Tapi sayangnya saya tidak percaya,” uca