Kisah Ardhan dan Lova selesai di sini, ya. Lanjut kisah Almaira.
"Mai, ada lamaran lagi yang datang untuk kamu," ucap Ardhan kepada putri sulungnya."Aku menolak," jawab Almaira tanpa berpikir dua kali.Lova menghela napas, tidak tahan memberi komentar. "Setidaknya cari tahu dulu siapa yang melamar kamu, jangan asal menolak seperti itu."Almaira tersenyum. "Mama, kan, sudah tahu jawabannya.""Belum siap? Atau, kamu memang tidak mempersiapkan diri?" Lova mengernyit."Mama, aku masih 25. Tenang sajalah. Kita ini hidup di kota besar, loh. Yang 35-an masih single juga banyak."Ardhan dan Lova bersitatap. Hal itu memang benar. Namun, Lova khawatir karena di usia Almaira yang sudah seperempat abad, anak itu tidak pernah menunjukkan ketertarikan soal pernikahan. Almaira terlalu cuek, dan itu sangat mengganggu Lova."Lalu kamu siapnya kapan?" tanya Ardhan. "Dan apa yang membuat kamu tidak siap?"Almaira mengedik. Dia sendiri tidak tahu. Apakah Almaira pernah membayangkan sebuah perni
"Hubungan apa? Aku tidak berteman dengan laki-laki. Aku juga tidak suka pacaran, dan aku belum mau menikah," kata Almaira tegas.Dari reaksi Shaka, Almaira sudah tahu maksud ucapannya. Sekalian saja menegaskan dari awal."Kira-kira, kapan kamu mau menikah?""Tidak tahu." Almaira mengedik."Aku rela menunggu, Al."Almaira menghela napas. "Jangan bebani aku, Kak Shaka. Jangan membuat aku merasa punya utang, padahal aku tidak menjanjikan apapun. Entah kapan aku siap menikah, dan saat waktunya tiba, belum tentu aku akan menerima Kakak."Setelah menyedot habis minumannya, Almaira bangkit berdiri. "Kalau begitu aku permisi," ucapnya, kemudian berlalu meninggalkan Shaka.Sebelum itu Almaira menyempatkan diri melirik Xavier yang entah sejak kapan sudah duduk di dekat meja Almaira. Apa Xavier mendengar pembicaraannya?"Memangnya kalau dengar kenapa? Kalau tidak juga kenapa? Dia tidak sepenting itu buatku," gumam Almaira
Chyara memasuki butik milik kakaknya dengan langkah ringan. Wajahnya berseri. Dia bahkan menyapa pegawai dan pelanggan yang dia temui."Kak Mai!" serunya saat menemukan sang kakak sedang berbincang dengan salah satu pegawai. Chyara langsung berlari dan memeluk Almaira."Ada apa?" tanya Almaira dengan kening mengerut.Chyara menarik Almaira ke sofa terdekat. Wajahnya memerah. Dia lalu menunduk. "Aku sudah bilang ke Papa soal perasaan aku ke Kak Vier," ucapnya pelan.Almaira sontak membelalak. "Apa?""Iya. Aku sudah bilang ke Papa kalau aku suka Kak Vier. Papa kasih restu. Papa bilang, Papa mau membicarakan hal ini dengan Kak Vier."Almaira justru mematung di tempat. Entah kenapa udara menjadi sulit dihirup. Sesak sekali. "Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Almaira."Doakan, ya, Kak. Semoga Kak Vier mau menikah sama aku." Chyara menggenggam kedua tangan Almaira.Almaira tidak menjawab. Pandangannya lurus ke dep
"Ke-kenapa Kak Vier mau melamarku?"Xavier membasahi bibir bawahnya. "Karena ... yang aku cintai itu kamu, Mai."Almaira tertegun. Waktu seolah-olah ikut berhenti. Aktivitas di sekelilingnya tidak Almaira hiraukan. Dia hanya fokus menatap pria yang duduk di meja samping sana. Pria yang baru saja menyatakan cinta kepadanya."A-aku?" Almaira menunjuk dirinya sendiri, setelah pulih dari keterkejutan luar biasa."Iya. Aku cinta kamu." Xavier mengulangi ucapannya. Sudah tidak ada jalan lagi untuk mundur. Xavier juga tidak ingin terus memendam perasaannya yang semakin menggebu setiap kali melihat Almaira."Tidak mungkin, kan?" Almaira masih tidak bisa percaya. Xavier, teman bertengkarnya saat kecil, mengaku mencintainya."Kenapa?""Kita ini sudah seperti saudara," jawab Almaira."Kita tidak memiliki hubungan darah, Mai. Chy juga menyukaiku, kan? Tapi, yang aku cinta itu kamu."Almaira menelan ludah. "Kak Vier
"Kenapa aku harus mempertimbangan lamaran dari Kak Shaka? Tunggu dulu. Memangnya Papa kenal dia?"Ardhan duduk di kursi kerjanya. "Shaka adalah laki-laki terakhir yang melamar kamu pada Papa bulan lalu."Shaka tidak mengatakan soal itu kepada Almaira saat mereka bertemu di kafe. Sudah tahu ditolak, masih berusaha juga. Shaka juga berlagak tidak tahu apa-apa soal Almaira. Ternyata sudah mengajukan lamaran lebih dulu kepada Ardhan.Entah apa maksud Shaka. Mungkin dia lupa. Almaira tidak ingin memusingkannya karena jawaban dia tetap sama. "Aku tidak mau, Pa.""Kenapa, Mai? Shaka laki-laki yang baik. Papa sudah mengutus orang untuk mengawasinya. Dia tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan.""Apa Papa juga menyadap CCTV yang ada di rumahnya?""Tidak sampai seperti itu jugalah.""Ya sudah." Almaira mengedik."Kalau kamu mau Papa memata-matai Shaka sampai ke rumahnya. Papa bisa melakukannya untuk kamu."Aduh
"Sekarang waktu dan tempatnya tidak tepat, Kak.""Kita bisa keluar sebentar."Almaira menoleh Chyara yang celingak-celinguk. Bisa gawat jika Chyara melihatnya sedang bersama Xavier."Baiklah. Ayo."Keduanya lantas keluar dari aula. Mereka mencari tempat yang nyaman, tetapi masih ada orang."Jadi bagaimana, Mai?" Xavier sangat tidak sabar ingin tahu jawaban dari Almaira.Almaira menghela napas. Dadanya kembali sesak. Perempuan itu lalu menggeleng pelan. "Aku ... menolak." Ucapannya itu tidak hanya melukai Xavier. Namun, dirinya sendiri juga ikut merasakan patah hati.Xavier membasahi bibir. Melihat reaksi Almaira saat di kafe, Xavier sempat yakin Almaira akan menerimanya. Maka dari itu dia memberanikan diri mengakui perasaannya kepada Ardhan.Xavier juga sempat yakin Ardhan akan merestuinya mengingat Ardhan sendiri yang menyampaikan soal rasa suka Chyara dan keinginannya memiliki hubungan dengan Xavier. Namun, Ar
Ardhan langsung menoleh Almaira. Dari tatapannya, dia mengiba agar Almaira tidak memberi tahu Chyara.Almaira mengepalkan tangan. Teringat janji jika dia tidak akan bertengkar dengan Chyara gara-gara cinta dan pria."Siapa?" Chyara mengernyit."Teman sekolahnya dulu," jawab Almaira. Dia tidak benar-benar berbohong karena Almaira dan Xavier pernah satu sekolah meskipun sebentar."Di Surabaya? Atau di Birmingham?""Di hadapan kamu," batin Almaira. Perempuan itu mengedik. "Kalau itu aku belum tahu.""Masih ada kemungkinan kalau Kak Vier membual."Ya ampun! Dasar kepala batu! Almaira sudah kehabisan akal."Aku tidak membual," ucap Xavier yang tiba-tiba muncul di rumah Ardhan.Semua pasang mata membelalak melihat kehadirannya. Bukan karena Xavier, melainkan kehadiran seorang perempuan yang datang bersama pria itu."Kenalkan, namanya Tamara. Ara, ini keluarga angkatku."Perempuan bernama Tam
"Loh, itu Papa. Papa terlihat baik-baik saja," ucap Chyara yang menemukan Ardhan sedang menelepon seseorang."Papa memang baik-baik saja," ujar Ardhan sambil menyerahkan ponselnya ke Lova."Terus siapa yang sakit?" tanya Almaira."Shaka."Almaira sontak mengernyit.Ardhan lalu menjelaskan jika Shaka masuk rumah sakit karena menolongnya. Ardhan tadi pergi ke ATM untuk mengambil sejumlah uang cash. Saat dia selesai dengan urusannya, tiba-tiba Ardhan dihampiri perampok yang menodongkan senjata.Shaka kebetulan ada di sana, ingin mengambil uang juga. Dia langsung bereaksi menghadang perampok itu. Namun, Shaka harus merelakan dirinya terluka. Dia mendapatkan luka tusuk di perut.Lova seketika teringat kejadian bertahun-tahun lalu saat Ardhan mengalaminya juga. "Bagaimana keadaan Shaka sekarang?" tanya Lova khawatir."Shaka harus dioperasi. Tusukan itu mengenai organ vitalnya."Lova refleks menutup mulut. Dia