"Kenapa aku harus mempertimbangan lamaran dari Kak Shaka? Tunggu dulu. Memangnya Papa kenal dia?"
Ardhan duduk di kursi kerjanya. "Shaka adalah laki-laki terakhir yang melamar kamu pada Papa bulan lalu."Shaka tidak mengatakan soal itu kepada Almaira saat mereka bertemu di kafe. Sudah tahu ditolak, masih berusaha juga. Shaka juga berlagak tidak tahu apa-apa soal Almaira. Ternyata sudah mengajukan lamaran lebih dulu kepada Ardhan.Entah apa maksud Shaka. Mungkin dia lupa. Almaira tidak ingin memusingkannya karena jawaban dia tetap sama. "Aku tidak mau, Pa.""Kenapa, Mai? Shaka laki-laki yang baik. Papa sudah mengutus orang untuk mengawasinya. Dia tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan.""Apa Papa juga menyadap CCTV yang ada di rumahnya?""Tidak sampai seperti itu jugalah.""Ya sudah." Almaira mengedik."Kalau kamu mau Papa memata-matai Shaka sampai ke rumahnya. Papa bisa melakukannya untuk kamu."Aduh"Sekarang waktu dan tempatnya tidak tepat, Kak.""Kita bisa keluar sebentar."Almaira menoleh Chyara yang celingak-celinguk. Bisa gawat jika Chyara melihatnya sedang bersama Xavier."Baiklah. Ayo."Keduanya lantas keluar dari aula. Mereka mencari tempat yang nyaman, tetapi masih ada orang."Jadi bagaimana, Mai?" Xavier sangat tidak sabar ingin tahu jawaban dari Almaira.Almaira menghela napas. Dadanya kembali sesak. Perempuan itu lalu menggeleng pelan. "Aku ... menolak." Ucapannya itu tidak hanya melukai Xavier. Namun, dirinya sendiri juga ikut merasakan patah hati.Xavier membasahi bibir. Melihat reaksi Almaira saat di kafe, Xavier sempat yakin Almaira akan menerimanya. Maka dari itu dia memberanikan diri mengakui perasaannya kepada Ardhan.Xavier juga sempat yakin Ardhan akan merestuinya mengingat Ardhan sendiri yang menyampaikan soal rasa suka Chyara dan keinginannya memiliki hubungan dengan Xavier. Namun, Ar
Ardhan langsung menoleh Almaira. Dari tatapannya, dia mengiba agar Almaira tidak memberi tahu Chyara.Almaira mengepalkan tangan. Teringat janji jika dia tidak akan bertengkar dengan Chyara gara-gara cinta dan pria."Siapa?" Chyara mengernyit."Teman sekolahnya dulu," jawab Almaira. Dia tidak benar-benar berbohong karena Almaira dan Xavier pernah satu sekolah meskipun sebentar."Di Surabaya? Atau di Birmingham?""Di hadapan kamu," batin Almaira. Perempuan itu mengedik. "Kalau itu aku belum tahu.""Masih ada kemungkinan kalau Kak Vier membual."Ya ampun! Dasar kepala batu! Almaira sudah kehabisan akal."Aku tidak membual," ucap Xavier yang tiba-tiba muncul di rumah Ardhan.Semua pasang mata membelalak melihat kehadirannya. Bukan karena Xavier, melainkan kehadiran seorang perempuan yang datang bersama pria itu."Kenalkan, namanya Tamara. Ara, ini keluarga angkatku."Perempuan bernama Tam
"Loh, itu Papa. Papa terlihat baik-baik saja," ucap Chyara yang menemukan Ardhan sedang menelepon seseorang."Papa memang baik-baik saja," ujar Ardhan sambil menyerahkan ponselnya ke Lova."Terus siapa yang sakit?" tanya Almaira."Shaka."Almaira sontak mengernyit.Ardhan lalu menjelaskan jika Shaka masuk rumah sakit karena menolongnya. Ardhan tadi pergi ke ATM untuk mengambil sejumlah uang cash. Saat dia selesai dengan urusannya, tiba-tiba Ardhan dihampiri perampok yang menodongkan senjata.Shaka kebetulan ada di sana, ingin mengambil uang juga. Dia langsung bereaksi menghadang perampok itu. Namun, Shaka harus merelakan dirinya terluka. Dia mendapatkan luka tusuk di perut.Lova seketika teringat kejadian bertahun-tahun lalu saat Ardhan mengalaminya juga. "Bagaimana keadaan Shaka sekarang?" tanya Lova khawatir."Shaka harus dioperasi. Tusukan itu mengenai organ vitalnya."Lova refleks menutup mulut. Dia
"Saya terima nikah dan kawinnya Almaira Lovely Nuraga bin--" Xavier langsung menghentikan ucapannya ketika sadar dia salah sebut nama.Pria itu menggigit bibir bawah. Di dalam hati merutuki kebodohan sendiri. Yah, mau bagaimana lagi? Di dalam pikirannya dia terus membayangkan Almaira. Maka tidak heran jika nama perempuan itu yang keluar dari mulutnya.Sontak saja para saksi terperanjat, lalu melihat kiri dan kanan mencari tahu dari orang sebelah jika pendengaran mereka tidak salah."Vier, kamu mau mempercepat kepergian Ayah?" bisik Tamara menahan kesal.Xavier menelan ludah. Menyebut nama perempuan lain saat ijab kabul tentu kesalahan yang sangat fatal. Tidak tanggung-tanggung, Xavier menyebut nama lengkap Almaira."Siapa itu Almaira?" tanya ibunya Tamara."Almaira adalah adiknya Xavier. Hari ini Almaira tidak bisa datang karena suatu alasan. Mungkin karena itu Xavier jadi kepikiran," ucap Tamara memberi penjelasan sambil melirik
"Kak Vier," panggil Chyara begitu melihat pria itu keluar dari gedung kantor."Chyara? Ada apa?" tanya Xavier sedikit waspada. Dia khawatir Chyara masih berusaha mengejar cintanya."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.""Soal apa, ya?" Xavier menggaruk tengkuk yang tidak gatal."Kak Mai.""Maira kenapa?"Chyara bisa melihat ekspresi Xavier yang berubah saat nama kakaknya disebut. "Jadi Kak Vier mau bicara dengan aku atau tidak?"Xavier menelan ludah. "Oke.""Tapi aku tidak mau mengobrol sambil berdiri. Ayo, pindah."Keduanya lalu pergi ke kedai kopi terdekat."Kenapa dengan Maira?" tanya Xavier khawatir."Kemarin Kak Mai demam. Tapi sekarang sudah mendingan," jawab Chyara.Xavier menghela napas lega. Syukurlah jika Almaira sudah membaik.Chyara lalu bertanya, "Kak Vier sungguhan mencintai Kak Tamara?"Xavier sontak mengerutkan kening. "Apa maksud kamu?"
Almaira tidak percaya jika Xavier berniat balas dendam. Chyara murni menyukainya, tanpa Xavier yang menggoda. Sedangkan Almaira sudah menyimpan perasaan itu sedari lama, hanya saja baru menyadarinya."Kak Vier tidak mungkin seperti itu." Almaira bergumam sambil mengemudikan mobil.Hari ini dia pergi bekerja. Ada banyak tanggung jawab yang harus Almaira jalani. Sedihnya cukup sebentar saja. Ah, tidak. Sakit di hatinya masih ada. Namun, Almaira berusaha bangkit dari keterpurukan. Hidup tidak akan selamanya bahagia, juga tidak akan selamanya sengsara.Perempuan itu tersenyum. Dia berdoa untuk kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan keluarga dan orang-orang yang dia sayangi, termasuk Xavier.Namun, tetap saja, senyum Almaira perlahan memudar saat dia melihat Xavier dan Tamara di mobil sebelah saat lampu merah. Mereka mengobrol akrab, sambil Tamara menyuapi suaminya sesuatu."Oke, tenang, Almaira. Ini memang menyakitkan, tapi kamu bisa melewatinya
"Chy, Mama tahu kamu merasa cocok dengan Ibrahim. Kenapa kamu menolaknya?" tanya Lova."Aku tidak mau menikah sebelum Kak Mai menikah, Ma," jawab Chyara.Sudah setengah tahun berlalu sejak Chyara mengatakan hal itu. Almaira pikir Chyara hanya asal bicara. Namun, ternyata dia serius. Chyara sudah mengenal Ibrahim enam bulan belakangan. Keduanya bertemu di panti asuhan saat memberi santunan. Mereka bertemu kembali di tempat pengajian.Ibrahim lalu mengajukan lamaran ta'aruf. Seperti biasa, Ardhan akan mencari informasi tentang pria itu. Babat, bebet, dan bobotnya bagus. Chyara juga sepertinya menyukai Ibrahim sejak pandangan pertama. Namun, karena janjinya, Chyara harus menunda menerima Ibrahim."Kenapa kamu harus menungguku, sih? Kalau mau menikah, ya, menikah saja," kata Almaira sambil menarik tangannya dari genggaman Chyara."Kalau dulu aku tidak menyukai Kak Vier, mungkin kalian berdua sudah menikah. Aku sudah bilang ingin memastikan Ka
"Masih ada waktu kalau kamu ingin membatalkannya, Sayang." Lova mengelus kepala Almaira yang sudah dipakaikan veil putih sebetis.Entah kenapa perasaan Lova tidak enak. Lova juga menyadari tatapan kosong Almaira. Dia tahu Almaira masih mencintai Xavier. Dia tahu putrinya tidak benar-benar ingin menikah dengan Shaka.Almaira menggeleng, lalu tersenyum. "Tidak, Mama."Lova menggenggam tangan putri sulungnya. Cairan hangat sudah menggenang di pelupuk mata perempuan paruh baya itu. "Baiklah jika itu keputusan kamu. Semoga ini memang yang terbaik.""Aamiin."Keduanya kemudian berpelukan. Chyara lantas bergabung setelah menghubungi Emir yang sudah berada di belahan bumi lain."Sayang sekali Emir tidak bisa pulang. Nih, dia bikin vidio untuk Kak Mai," ucap Chyara, lalu memutar vidio yang dikirimkan Emir.Anak itu berada di Jembatan Brooklyn. Sengaja katanya, agar suasana New York-nya terasa. Emir memberikan doa dan selamat. Anak bungsu itu tersenyum, tetapi tidak bisa menyembunyikan air matan
"Mengapa Anda menusuk suami Anda sendiri sebanyak tiga kali?" tanya hakim ketua."Mungkin ada cara lain untuk menghentikan Kak Shaka yang ingin membunuh Kak Xavier. Namun, yang ada di pikiran saya hanya itu karena ada gunting berada di dekat kaki saya," jawab Almaira."Kenapa Anda harus menusuk sebanyak tiga kali?"Almaira menghela napas. "Saya emosi karena sebelumnya Kak Shaka memaksa saya meminum obat penggugur kandungan. Saya marah karena Kak Shaka mengancam akan membunuh keluarga saya satu per satu. Saya sangat kecewa karena ...."Almaira menjeda ucapannya. Dia malu mengatakan hal itu. Namun, Almaira tetap harus mengungkap semua yang terjadi hari itu. "Saya kecewa dan malu karena Kak Shaka melakukan hal menjijikan dan serendah itu. Dia ... menggauli saya di depan Kak Xavier.""Apa Anda tahu motif Saudara Arshaka Lesmana melakukan hal itu.""Kak Shaka cemburu. Dia berpikir saya dan Kak Xavier masih saling mencintai. Kak Shaka
"Di mana Maira?" tanya Xavier."Untuk apa kamu mencari istri orang?"Keduanya sama-sama melemparkan tatapan permusuhan."Mama dan Papa memintaku memastikan keadaannya.""Aku ini suaminya. Mereka sudah tidak punya hak, apalagi sampai mengutus orang lain.""Terserah apa katamu. Tapi aku tidak akan pergi sebelum memastikan Almaira baik-baik saja.""Aku bisa memanggil warga untuk mengusirmu."Xavier berdecak. "Sial. Aku sudah tidak bisa bersabar." Pria itu meringsek masuk. "Maira! Mai!" panggilnya berteriak.Shaka tentu tidak diam saja. Dia membalik badan Xavier, lalu melayangkan tinju ke pipinya.Xavier terhuyung. Dia segera menegakkan tubuh dan membalas pukulan Shaka."Keluar dari rumahku!" bentak Shaka."Di mana Maira?"Suara benda jatuh terdengar dari atas. Xavier segera menaiki tangga. Namun, Shaka tidak membiarkannya begitu saja. Shaka menarik Xavier, lalu mengempaskannya ke
"Gugurkan kandungan itu!" ucap Shaka tegas.Almaira membelalak. Dia refleks melindungi perutnya menggunakan kedua tangan. "Tidak.""Aku tidak menginginkannya!""Tapi aku menginginkannya. Dia anakku. Anak kita."Shaka mengetatkan rahang. Padahal dia sudah vasektomi. Vasektomi memang tidak 100% mencegah kehamilan. Tahu begini Shaka akan tetap memakai pengaman."Kamu harus menggugurkannya, Sayang." Shaka mendekati sang istri.Almaira langsung mundur beberapa langkah sambil terus melindungi perutnya. "Tidak! Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau membunuh anakku sendiri.""Al, mengertilah."Almaira menggeleng. Air mata berkejaran jatuh ke pipinya. "Kak Shaka yang seharusnya mengerti.""Aku tidak ingin ada orang ketiga di antara kita.""Dia darah daging Kak Shaka!" Almaira menjerit."Aku tidak peduli, Sayang. Aku hanya mencintai kamu."Pria itu kembali melangkah mengikis jarak. Almaira
"Aku tidak membawa keycard saat menyusul Kak Shaka. Aku tidak bisa masuk, lalu Kak Tamara memaksaku menunggu di sana." Almaira berusaha menjelaskan kepada suaminya yang tampak sangat marah. Matanya bahkan memerah."Sejak kapan kamu tahu Xavier tinggal di sini?" tanya Shaka sinis."Tadi. Mereka juga pindah baru dua hari yang lalu.""Kita pergi dari sini," ujar Shaka sambil melangkahkan kakinya ke kamar, lalu ke walk in closet. Pria itu segera mengemasi pakaian dirinya dan Almaira.Almaira menghela napas. Dia sudah menebak akan seperti ini jadinya. "Aku bantu," ucap perempuan itu.Almaira tidak protes Shaka akan membawanya pindah. Dia sudah membuat keputusan akan mengikuti suaminya ke manapun. Shaka adalah rumahnya. Shaka adalah tempat Almaira pulang."Tidak bilang Mama dan Papa dulu, Kak?"Shaka membalas Almaira dengan tatapan tajam, membuat perempuan itu menutup mulutnya.Mereka kembali pindah ke rumah Shaka. Se
"Kak, geli!" Almaira berusaha menarik kakinya yang sedang dikelitiki oleh Shaka.Selama empat bulan tinggal di apartemen, Almaira dan Shaka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka justru semakin romantis dari hari ke hari. Keduanya menjadi pasangan yang tidak bisa terpisahkan meski hanya sesaat.Siapa itu Xavier? Almaira bahkan melupakan eksistensinya. Hati dan pikiran perempuan itu selalu dipenuhi oleh Shaka. Almaira telah jatuh cinta kepada Shaka.Tempat terbaik bagi Almaira adalah di samping suaminya itu. Sekarang dia benar-benar malas keluar unit. Almaira sudah seperti tidak memiliki kehidupan di luar sana. Lovara saja dia bebankan kepada sang adik."Ini akibatnya karena kamu pura-pura tidur." Shaka tidak memedulikan jeritan Almaira. Dia terus menarikan jari-jarinya di telapak kaki sang istri.Setelah memperkerjakan otaknya untuk naskah, Shaka akan meminta jatah kepada Almaira. Almaira justru pura-pura terlelap. Bukan ingin menolak
"Pesawatnya masuk ke goa ... aaaaa." Almaira mengarahkan sendok ke mulut Shaka setelah memutarnya di udara.Shaka justru melengos. "Kamu tidak perlu seperti ini.""Kenapa? Selama ini Kak Shaka selalu merawatku padahal aku baik-baik saja. Sekarang giliran." Almaira kembali mengarahkan sendok.Namun, Shaka menggeleng pelan dengan mulut terkunci rapat."Kak Shaka." Almaira merengek. "Aku marah, nih. Adik-adikku bilang kalau aku lebih galak dari Mama."Shaka mengernyit. Ekspresinya seperti sedang meledek Almaira."Oke. Aku marah." Almaira menyimpan piring di nakas. Dia lalu bersedekap.Shaka mencubit pipi istrinya. "Aku merasa gagal menjadi suami kamu kalau kamu sampai menyuapiku seperti ini.""Loh, kenapa?""Karena aku ingin meratukan kamu.""Kalau aku ratu, Kak Shaka rajanya, kan?"Shaka tersenyum samar. "Apa aku pantas disebut raja? Status kita jelas berbeda."Almaira menghela
"Chy akan menikah dua hari lagi. Aku ingin menghadirinya," ucap Almaira kepada Shaka.Mereka sudah satu bulan berada di kota itu. Pada akhirnya Shaka membawa Almaira kembali ke rumahnya dengan alasan tidak ingin merepotkan sang bibi. Toh, masih satu kota. Setidaknya Shaka bisa langsung pergi menemui nenek seandainya terjadi sesuatu kepada beliau."Iya," jawab Shaka tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Tangannya sibuk mengetik.Beberapa hari terakhir Shaka lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Dia bisa sampai begadang. Almaira sangat khawatir dengan kondisi Shaka. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas."Iya apa?" Almaira meminta penjelasan lebih."Kita akan menghadirinya."Perempuan itu langsung berbinar. "Serius?"Shaka menutup laptop. "Aku tidak setega itu, Sayang.""Terima kasih, Kak," ucap Almaira dengan senyum lebar.Pria itu menghampiri istrinya di tempat tidur. "Ha
"Sayang," panggil Shaka riang sambil membawa nampan berisi sarapan yang sudah telat.Almaira bangkit ke posisi duduk, lalu mengikat rambutnya yang acak-acakan.Shaka menaruh nampan di nakas."Terima kasih, Kak Shaka," ucap Almaira. Dia tersenyum, sebagai penghargaan untuk Shaka yang sudah membuatkannya makanan sementara dia hanya bermalas-malasan."Aku memiliki informasi yang penting," tutur Shaka sambil mengarahkan sendok berisi nasi dan lauknya kepada Almaira."Apa itu?" tanya Almaira sebelum menerima suapan dari suaminya."Aku sudah menemukan alamat keluarga Ibu.""Benarkah?" Almaira senang mendengarnya."Iya. Besok kita ke sana, ya."Besok seharusnya mereka kembali ke Jakarta.Almaira mengangguk. Dia tidak mungkin memaksa Shaka kembali ke Jakarta saat pria itu ingin pergi ke tempat keluarganya yang tidak pernah dia temui. Shaka sudah terlalu lama hidup sendiri. Dari ekspresinya saja sudah
"Kak Shaka mengancam?" Almaira mengangkat sebelah alisnya."Itu bukan ancaman, Sayang. Hanya peringatan kecil. Selama ini aku sudah bersabar menahan diri karena kamu belum bersamaku. Tapi, kali ini tidak. Kamu hanya milik Arshaka Lesmana."Shaka mengusap pipi lembut Almaira, yang langsung perempuan itu tepis. "Aku bukan barang yang bisa dimiliki siapapun, termasuk Kak Shaka. Kak Shaka hanya suamiku, imamku, bukan pemilik hidupku. Kita sangat bisa berpisah."Shaka mengetatkan rahang. Dia tidak suka mendengar kata 'berpisah' keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu," ucap Shaka tegas."Kalau Kak Shaka terlalu mengekang aku, aku akan pergi." Almaira balik mengancam.Shaka semakin emosi. Dia lantas mencekal kedua lengan Almaira. "Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Al." Tatapan pria itu menajam."Kalau aku betulan pergi, Kakak mau apa?" Almaira justru menantang dengan